Kisah ini menceritakan perkawinan Prabuanom Jakapitana alias Prabu
Duryudana, pemimpin para Kurawa, dengan Dewi Banuwati, putri Prabu Salya.
Kisah ini saya olah dari rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang
Ki Nartosabdo, yang dipadukan dengan hasil diskusi dengan Ki Rudy Wiratama, yang
mendapat pengembangan seperlunya.
Kediri, 17 Desember 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Duryudana Jakapitana |
DUA SYARAT PERKAWINAN YANG DIAJUKAN DEWI BANUWATI
Prabuanom Jakapitana di
Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Resi Druna dari Sokalima,
Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta adik-adiknya yang
dikepalai Arya Dursasana dan Arya Kartawarma. Hadir pula kedua orang tua para
Kurawa, yaitu Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari dari Kadipaten Gajahoya.
Adipati Dretarastra menanyakan
rencana perkawinan antara Prabuanom Jakapitana dengan Dewi Banuwati yang sudah
tertunda cukup lama. Sekitar tujuh bulan yang lalu, setelah Prabuanom
Jakapitana gagal menikah dengan Dewi Srutikanti, Patih Sangkuni pun pergi ke Kerajaan
Mandraka menemui Prabu Salya untuk melamar Dewi Banuwati. Prabu Salya dengan
senang hati menerima lamaran itu karena sudah dua kali dirinya gagal berbesan
dengan Adipati Dretarastra. Akam tetapi, sebagai orang tua, ia juga menyerahkan
keputusan sepenuhnya kepada Dewi Banuwati kapan sang putri siap untuk menikah.
Dewi Banuwati tidak berani
menolak, tapi juga tidak langsung menerima. Ia mohon diberi waktu untuk
menyelesaikan kain rimong batik buatannya terlebih dahulu, barulah kemudian
menentukan tanggal perkawinan dengan Prabuanom Jakapitana. Kini, peristiwa itu
sudah berlalu tujuh bulan. Sungguh janggal rasanya membuat batik yang tidak
terlalu lebar, tapi memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
Adipati Dretarastra prihatin atas
nasib putranya yang tiga kali gagal menikah, dan sekarang untuk yang keempat
digantung sampai tujuh bulan. Kegagalan yang pertama ialah saat melamar Dewi
Drupadi, ternyata tidak mampu mengalahkan sayembara Arya Gandamana. Yang kedua
saat melamar Dewi Erawati, ternyata tidak mampu pula memenangkan sayembara
menemukan hilangnya sang putri. Adapun yang berhasil memenangkannya adalah Wasi
Jaladara yang kini bergelar Prabu Baladewa. Kegagalan yang ketiga adalah saat
melamar Dewi Srutikanti, ternyata si mempelai wanita diculik oleh Raden Suryaputra
yang kini menjadi Adipati Karna.
Mendengar namanya disinggung, Adipati
Karna segera ikut bicara. Ia menyatakan siap pergi ke Kerajaan Mandraka untuk
meminta sang mertua, yaitu Prabu Salya agar segera menetapkan hari pernikahan.
Ia berjanji tidak akan pulang sebelum mendapat kepastian dari Prabu Salya dan
Dewi Banuwati.
Belum selesai Adipati Karna bicara,
tiba-tiba datang putra bungsu Prabu Salya, yaitu Raden Rukmarata yang membawa
surat dari ayahnya. Prabuanom Jakapitana menerima surat tersebut dan membaca
isinya. Ternyata surat itu berisi bahwa, Prabu Salya telah menentukan tanggal
pernikahan, namun Dewi Banuwati mengajukan dua buah syarat. Syarat yang pertama
ialah Prabuanom Jakapitana harus menyediakan perias tampan tanpa cacat untuk
mendandani Dewi Banuwati, dan syarat yang kedua ialah kedua mempelai harus diarak
keliling ibu kota Mandraka dengan mengendarai seekor gajah putih yang dikemudikan
srati (pawang) wanita.
Prabuanom Jakapitana sangat kesal
dan membanting surat tersebut ke lantai. Ia marah-marah merasa telah
dipermainkan. Sudah tujuh bulan menunggu jawaban ternyata hasilnya dipersulit seperti
ini. Adipati Dretarastra berusaha menyabarkan putra sulungnya itu dan
menasihati bahwa, menjadi seorang raja harus bisa mengendalikan amarah, apalagi
di hadapan tamu. Prabuanom Jakapitana harus bersikap selayaknya laki-laki sejati
yang pantang menolak permintaan calon istri, bukannya marah-marah seperti tadi.
Patih Sangkuni pun memungut
surat tersebut dan mengatakan kepada Raden Rukmarata bahwa Prabuanom Jakapitana
menerima kedua syarat yang diajukan Dewi Banuwati. Raden Rukmarata merasa ketakutan
dan segera mohon pamit kembali ke Mandraka untuk melaporkan hasil penugasannya
kepada sang ayah.
Setelah Raden Rukmarata pergi,
Adipati Karna segera maju menghibur Prabuanom Jakapitana. Mengingat dulu
dirinya bisa menikah dengan Dewi Srutikanti adalah berkat keikhlasan hati
Prabuanom Jakapitana, maka kini tiba saatnya ia harus membalas budi. Adipati
Karna menyatakan sanggup untuk mewujudkan kedua syarat tersebut. Menurut
pengamatannya, di dunia ini laki-laki tampan tanpa cacat yang mahir dalam seni
merias pengantin hanyalah adiknya, yaitu Raden Permadi (Arjuna). Untuk itu, ia
berniat pergi ke Kerajaan Amarta menjemput adiknya tersebut, kemudian pergi bersama
mencari gajah putih berpawang wanita.
Prabuanom Jakapitana bersyukur
dan melepas kepergian Adipati Karna dengan penuh pengharapan. Adipati Karna lalu
berangkat dengan ditemani Patih Adimanggala.
PRABU JAYALENGKARA INGIN MENIKAHI DEWI BANUWATI
Tersebutlah seorang raja muda
yang gagah perkasa, bernama Prabu Jayalengkara dari Kerajaan Nrancangpura. Pada
suatu malam ia mimpi bertemu Dewi Banuwati dan jatuh cinta kepadanya. Setelah
bangun tidur, Prabu Jayalengkara pun dilanda sakit asmara dan berniat menikahi
putri ketiga Prabu Salya tersebut.
Maka, berangkatlah Prabu
Jayalengkara bersama pasukan Nrancangpura menuju Kerajaan Mandraka. Di tengah
jalan, mereka bertemu dengan Adipati Karna dan Patih Adimanggala yang sedang
dalam perjalanan menuju Kerajaan Amarta. Terjadilah pertikaian di antara mereka
yang berlanjut dengan pertempuran.
Sementara itu, Prabu
Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Wrekodara, Raden Nakula, dan Raden Sadewa, serta
para panakawan sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Mandraka. Mereka mendapat
undangan dari Prabu Salya yang akan menikahkan Dewi Banuwati. Melihat Adipati
Karna dan Patih Adimanggala bertempur melawan Prabu Jayalengkara beserta pasukannya
yang jauh lebih banyak, Prabu Puntadewa segera memerintahkan Raden Wrekodara
untuk membantu.
Raden Wrekodara merasa berat
hati karena teringat kejadian sebulan yang lalu, yaitu Adipati Karna menolak
meminjamkan warangka Panah Kuntadruwasa untuk memotong tali pusar Raden
Gatutkaca, sehingga terpaksa Raden Permadi merebutnya dengan cara kekerasan.
Prabu Puntadewa menasihati adiknya agar jangan suka menaruh dendam, apalagi
Adipati Karna adalah kakak tertua para Pandawa. Jika memang Raden Wrekodara
menolak membantu, maka Prabu Puntadewa sendiri yang akan turun berperang.
Tanpa membantah lagi, Raden
Wrekodara pun menerjang barisan prajurit Nrancangpura. Prabu Jayalengkara terdesak
kewalahan dan pasukannya kocar-kacir. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk
mundur meninggalkan pertempuran.
PRABU PUNTADEWA MENCERITAKAN KEBERADAAN RADEN PERMADI
Adipati Karna berterima kasih
atas bantuan Raden Wrekodara dan ia pun menghampiri Prabu Puntadewa untuk
menyampaikan salam hormat. Prabu Puntadewa tidak berani menerima penghormatan
Adipati Karna karena mereka sesungguhnya adik dan kakak. Bahkan, Prabu
Puntadewa meminta agar Adipati Karna cukup memanggil dirinya sebagai “adik”
saja, dan bukan sebagai “raja”.
Adipati Karna menceritakan bahwa
Dewi Banuwati telah mengajukan dua syarat kepada Prabuanom Jakapitana, yaitu
ingin disediakan perias tampan tanpa cacat, serta ingin diarak keliling ibu
kota mengendarai seekor gajah putih yang dikemudikan pawang wanita. Oleh sebab
itu, Adipati Karna berniat pergi ke Kerajaan Amarta untuk meminta bantuan Raden
Permadi memenuhi syarat nomor satu tersebut.
Prabu Puntadewa menjelaskan
bahwa sebulan yang lalu adiknya itu dibawa ke Kahyangan Suralaya untuk menumpas
musuh para dewa. Dalam pertempuran itu, Raden Permadi terlempar sejauh-jauhnya oleh
Aji Gelap Sayuta yang dikerahkan Patih Sekiputantra. Menurut penglihatan Batara
Guru, Raden Permadi jatuh di Padepokan Andongsumawi dan dirawat oleh Resi
Sidikwacana dan Endang Manuhara. Dengan kata lain, sudah sebulan ini Raden
Permadi belum pulang ke Kerajaan Amarta.
Adipati Karna berterima kasih
atas keterangan Prabu Puntadewa. Mereka lalu berpisah melanjutkan perjalanan
masing-masing. Adipati Karna dan Patih Adimanggala bergegas mencari Padepokan
Andongsumawi, sedangkan Prabu Puntadewa dan adik-adiknya menuju Kerajaan
Mandraka. Adapun para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong diperintahkan
Prabu Puntadewa agar menyertai Adipati Karna mencari Raden Permadi.
ADIPATI KARNA MENEMUKAN RADEN PERMADI
Raden Permadi (Arjuna) yang
dicari-cari saat ini memang berada di Padepokan Andongsumawi bersama Endang
Manuhara yang telah menjadi istrinya. Awal mulanya Endang Manuhara mimpi
bertemu kesatria tampan, Sang Panengah Pandawa. Ketika terbangun dari tidurnya,
gadis itu pun berterus terang kepada sang ayah, yaitu Resi Sidikwacana, bahwa
ia ingin mengabdi pada kesatria dalam mimpinya tersebut. Sungguh beruntung,
Raden Permadi tiba-tiba jatuh dari angkasa dalam keadaan pingsan. Rupanya ia
kalah perang melawan Patih Sekiputantra dan tubuhnya terlempar dari kahyangan.
Resi Sidikwacana pun merawat dan mengobati Raden Permadi sampai sembuh. Setelah
sang pangeran pulih kembali, Resi Sidikwacana berterus terang bahwa putrinya
ingin mengabdi kepada Raden Permadi.
Raden Permadi paham bahwa
Endang Manuhara ingin menjadi istrinya. Ia mengakui gadis tersebut memang sangat
cantik dan menawan. Namun, Raden Permadi sejak kecil sudah dijodohkan dengan
sepupunya, yaitu Dewi Bratajaya, dan ia pun berterus terang soal itu. Endang
Manuhara tampak kecewa dan ia menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang gadis
desa biasa, tentu tidak sebanding dengan Dewi Bratajaya yang putri raja. Raden
Permadi tidak sampai hati dan ia pun menerima Endang Manuhara sebagai istri,
tetapi istri paminggir, bukan istri padmi.
Endang Manuhara berterima
kasih atas kesediaan Raden Permadi menerima dirinya. Ia tidak keberatan menjadi
istri paminggir asalkan tetap bisa melayani sang pangeran. Sebagai istri
paminggir, maka dirinya tidak akan diboyong ke Kerajaan Amarta, atau tepatnya
ke Kesatrian Madukara, tetapi tetap tinggal di padepokan bersama sang ayah.
Demikianlah, Raden Permadi dan
Endang Manuhara kini telah resmi menjadi suami-istri. Ketika mereka sedang
duduk berdua, tiba-tiba datang Adipati Karna dan Patih Adimanggala beserta para
panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Sungguh bahagia perasaan
mereka yang telah bersusah payah mencari di mana Padepokan Andongsumawi berada,
akhirnya bisa bertemu juga.
Pertama-tama Adipati Karna
meminta maaf atas kejadian di Hutan Jatirokeh sebulan yang lalu, di mana ia
bersikap picik tidak mau meminjamkan warangka Panah Kuntadruwasa untuk memotong
tali pusar Raden Tetuka. Raden Permadi menjawab hal itu tidak perlu
diungkit-ungkit lagi, karena yang penting saat ini sang keponakan sudah terpisah
dengan ari-arinya.
Adipati Karna lalu bercerita
bahwa kedatangannya adalah untuk meminta bantuan Raden Permadi memenuhi syarat
yang diajukan Dewi Banuwati kepada Prabuanom Jakapitana, yaitu menyediakan
perias pengantin yang tampan tanpa cacat. Adipati Karna memuji bahwa di dunia
ini manusia tampan sempurna yang menguasai ilmu merias pengantin hanyalah Raden
Permadi seorang.
Raden Permadi gemetar
mendengarnya. Dalam hati ia masih menyimpan rasa cinta terhadap Dewi Banuwati,
namun kini sang kekasih akan menikah dengan orang lain, yaitu sepupunya
sendiri. Raden Permadi merasa gelisah bercampur kesal, namun akhirnya ia mengabulkan
permintaan Adipati Karna. Ia merasa ini adalah kesempatan baginya untuk bisa
bertemu dengan Dewi Banuwati dan bertanya tentang isi hati sang putri.
Raden Permadi dan Adipati
Karna lalu berpamitan kepada Resi Sidikwacana dan Endang Manuhara untuk pergi mencari
syarat kedua, yaitu gajah putih berpawang wanita. Resi Sidikwacana berkata
bahwa dirinya mempunyai kawan lama seorang gandarwa wanita, bernama Nyai
Clekutana yang tinggal di Hutan Pringgabaya. Nyai Clekutana ini mempunyai
seorang anak perempuan berwujud gandarwi pula, bernama Mirahdinebak. Putrinya
itulah yang memiliki piaraan seekor gajah putih, bernama Gajah Murdaningkung.
Resi Sidikwacana lalu menulis
surat pengantar untuk diberikan kepada Nyai Clekutana. Adipati Karna dengan
senang hati menerima surat tersebut dan berterima kasih atas bantuan sang
pendeta. Ia dan Raden Permadi lalu mohon pamit menuju Hutan Pringgabaya. Khusus
kepada Endang Manuhara, Raden Permadi berjanji bahwa dirinya akan datang lagi
suatu saat nanti. Endang Manuhara berterima kasih dan melepas kepergian
suaminya itu dengan doa keberhasilan.
ADIPATI KARNA MENDAPATKAN GAJAH PUTIH BERPAWANG WANITA
Adipati Karna, Raden Permadi,
serta Patih Adimanggala dan para panakawan telah sampai di Hutan Pringgabaya.
Berkat khasiat Minyak Pranawa milik Raden Permadi, Adipati Karna kini dapat
melihat alam gaib di dalam hutan tersebut. Akhirnya, mereka berhasil pula menemukan
tempat tinggal Nyai Clekutana dan Mirahdinebak.
Nyai Clekutana membaca surat
pengantar yang ditulis Resi Sidikwacana dan ia pun mempersilakan jika memang
Adipati Karna hendak meminjam Gajah Murdaningkung lengkap dengan pawangnya,
yaitu Mirahdinebak sendiri. Adipati Karna berterima kasih, namun Mirahdinebak ternyata
mengajukan syarat. Adipati Karna pun bertanya apa syaratnya. Apabila Mirahdinebak
menginginkan nyawa Prabuanom Jakapitana, maka ia rela sebagai penggantinya.
Mirahdinebak menjawab dirinya
bukanlah makhluk halus yang gemar membunuh manusia. Apa yang menjadi syaratnya,
nanti akan ia sampaikan sendiri di hadapan Prabuanom Jakapitana. Adipati Karna
setuju. Mereka lalu berpamitan kepada Nyai Clekutana dan bersama-sama pergi menuju
Kerajaan Hastina.
MIRAHDINEBAK TIDUR DENGAN PRABUANOM JAKAPITANA
Singkat cerita, Adipati Karna
dan rombongannya telah sampai di Kerajaan Hastina. Prabuanom Jakapitana sangat
bahagia dan berterima kasih, karena sahabatnya telah pulang dengan
keberhasilan, yaitu membawa perias tampan tanpa cacat, serta gajah putih lengkap
dengan pawang wanita. Dalam hal ini Mirahdinebak sengaja menampakkan diri dalam
wujud badan jasmani, agar bisa dilihat semua orang.
Mirahdinebak berkata bahwa
dirinya bersedia menyerahkan Gajah Murdaningkung kepada Prabuanom Jakapitana
untuk selamanya, bukan hanya meminjamkan, tetapi dengan satu syarat. Namun,
syarat itu hanya bisa disampaikan secara empat mata saja, tidak di depan orang
lain. Adipati Karna keberatan jika Mirahdinebak ingin bicara berdua dengan
Prabuanom Jakapitana, karena khawatir keselamatan sang raja muda terancam. Mirahdinebak
meyakinkan Adipati Karna bahwa dirinya bukan hantu haus darah, sehingga tidak
perlu takut Prabuanom Jakapitana mendapat celaka.
Prabuanom Jakapitana akhirnya
bersedia membawa Mirahdinebak masuk ke dalam kamar bedua saja. Sesampainya di
dalam, Mirahdinebak berkata terus terang bahwa ia ingin bersetubuh dengan
Prabuanom Jakapitana sebagai syarat memiliki Gajah Murdaningkung. Prabuanom
Jakapitana terkejut dan merasa jijik melihat wujud Mirahdinebak yang buruk rupa
dan berbadan besar. Ia tidak sanggup jika harus tidur dengan wanita seperti
dia.
Mirahdinebak merayu, bahwa
bersetubuh dengannya akan mendatangkan dua keuntungan, yaitu Prabuanom
Jakapitana bisa menikahi Dewi Banuwati dan juga dapat memiliki Gajah
Murdaningkung untuk selamanya. Ia pun menjelaskan bahwa Gajah Murdaningkung
bukan binatang sembarangan, tetapi memiliki kekuatan dan kekebalan tubuh di
atas rata-rata gajah lainnya, sehingga sangat baik jika digunakan Prabuanom
Jakapitana untuk berperang menaklukkan musuh.
Prabuanom Jakapitana
menimbang-nimbang, akhirnya ia pun bersedia tidur dengan Mirahdinebak. Mereka
berdua lalu memulai persetubuhan, di mana Prabuanom Jakapitana memejamkan mata
rapat-rapat karena jijik melihat wujud Mirahdinebak. Setelah gandarwa wanita
itu puas, barulah mereka mengakhiri permainan dan keluar dari kamar.
PRABU SALYA MENYAMBUT KEDATANGAN PENGANTIN PRIA
Prabu Salya di Kerajaan
Mandraka telah mempersiapkan pernikahan Dewi Banuwati dengan dibantu para
putra, yaitu Raden Burisrawa dan Raden Rukmarata. Saat itu para keponakan dan
menantu telah berdatangan, antara lain Prabu Baladewa dari Mandura bersama Dewi
Erawati, juga Prabu Kresna dari Dwarawati, Prabu Puntadewa dari Amarta, beserta
Dewi Drupadi, Raden Wrekodara, dan si kembar.
Dewi Bratajaya sejak peristiwa
turunnya Wahyu Purbasejati tidak lagi pulang ke Kerajaan Mandura, tetapi
menetap di Kerajaan Dwarawati, berkumpul bersama ketiga kakak iparnya (Dewi
Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma). Dalam acara pernikahan Dewi
Banuwati kali ini, Dewi Bratajaya ikut datang bersama Prabu Kresna, dengan
mengenakan kain rimong batik buatannya sendiri yang disampirkan di kedua pundak.
Tidak lama kemudian
terdengarlah suara iring-iringan pengantin pria dari Kerajaan Hastina.
Prabuanom Jakapitana tampak begitu gagah mengendarai seekor gajah putih
berukuran tinggi besar, yang dikemudikan Mirahdinebak. Di belakang Gajah
Murdaningkung tampak Adipati Karna naik Kereta Jatisura bersama sang istri,
yaitu Dewi Srutikanti. Disusul kemudian iring-iringan Patih Sangkuni, Resi
Druna, para Kurawa, dan juga Raden Permadi beserta para panakawan.
Prabu Salya menyambut
kedatangan calon menantunya dengan sukacita. Karena kedua syarat sudah
terpenuhi, maka tidak ada lagi alasan bagi Dewi Banuwati untuk menunda-nunda
pernikahannya. Dewi Banuwati sendiri tampak salah tingkah karena Raden Permadi
yang dirindukannya kini hadir di istana Mandraka.
Dewi Bratajaya yang telah
dijodohkan dengan Raden Permadi sejak kecil melihat ada gelagat yang tidak
beres di antara mereka. Ia pun menyindir-nyindir Dewi Banuwati dengan lagak dan
gayanya yang polos tanpa dosa. Prabu Baladewa merasa malu atas ulah adiknya itu,
dan ia pun segera membawa Dewi Bratajaya pergi menghindar.
DEWI BANUWATI MENGUTARAKAN ISI HATINYA KEPADA RADEN PERMADI
Dewi Banuwati lalu mengajak
Raden Permadi masuk ke dalam kamar untuk memulai periasan. Prabuanom Jakapitana
hendak mengikuti tetapi ditolak Dewi Banuwati, dengan alasan sudah menjadi
tradisi bahwa pengantin laki-laki tidak boleh melihat calon istrinya dirias.
Jika itu dilanggar, maka perkawinan mereka bisa gagal di tegah jalan. Prabuanom
Jakapitana percaya. Ia merasa lebih baik menunggu di luar kamar daripada
perkawinan kali ini sampai gagal.
Di dalam kamar hanya ada Dewi
Banuwati berdua dengan Raden Permadi. Dewi Banuwati mengajak Raden Permadi
bicara namun tidak ditanggapi. Dewi Banuwati menangis sedih karena harus
menikah dengan orang lain, sedangkan sang kekasih tidak mau bicara lagi
dengannya. Raden Permadi akhirnya menjawab bahwa dirinya kesal bercampur cemburu
atas pernikahan Dewi Banuwati dengan Prabuanom Jakapitana.
Dewi Banuwati mengingatkan Raden
Permadi sejak kecil sudah dijodohkan dengan Dewi Bratajaya, sehingga tidak
perlu lagi memikirkan dirinya. Raden Permadi membenarkan hal itu, namun
bagaimanapun juga ia tetap tidak dapat melupakan rasa cintanya kepada Dewi
Banuwati. Andai saja diizinkan, Raden Permadi ingin mengamuk hingga mati dikeroyok
para Kurawa, daripada menyaksikan Dewi Banuwati menikah dengan orang lain.
Dewi Banuwati terharu. Ia
bercerita bahwa dirinya pun menyimpan rasa cinta yang begitu besar terhadap Raden
Permadi. Ketika Prabuanom Jakapitana gagal menikah dengan Dewi Srutikanti dan
kemudian mengajukan lamaran atas dirinya, saat itu sang ayah langsung menerima.
Namun, Dewi Banuwati berusaha mengulur waktu dengan alasan ingin menyelesaikan
karyanya yang berupa kain rimong batik. Setiap kali kain tersebut hampir
selesai, Dewi Banuwati selalu merobek dan membuangnya, kemudian memulai lagi
dari awal. Demikianlah ia berusaha mengulur waktu. Sampai akhirnya, ia mendapat
teguran dari ayah dan ibu karena telah menggantung perasaan Prabuanom
Jakapitana selama berbulan-bulan.
Saat itu Dewi Banuwati teringat
ayahnya pernah bercerita bahwa dewata menakdirkan anak-anak Adipati Dretarastra
menjadi musuh anak-anak Prabu Pandu. Suatu hari nanti akan meletus sebuah
perang besar bernama Perang Bratayuda di antara mereka. Menyadari hal itu, Dewi
Banuwati pun menyatakan bersedia menikah dengan Prabuanom Jakapitana. Melalui
pernikahan ini, ia dapat mengorek rahasia kelemahan Kurawa dan para pelindungnya
untuk disampaikan kepada Raden Permadi. Dewi Banuwati bersumpah ini semua ia
lakukan demi kemenangan para Pandawa, meskipun harus berkorban menyerahkan
tubuh kepada Prabuanom Jakapitana.
Raden Permadi terharu dan tak mampu
menahan air mata. Dewi Banuwati lalu menyerahkan kain rimong batik buatannya
sebagai kenang-kenangan. Mereka berdua menangis dan saling berpelukan erat.
Masing-masing tak kuasa lagi menahan perasaan, hingga sama-sama terlena oleh
godaan nafsu birahi. Raden Permadi lalu menggendong tubuh Dewi Banuwati dan
menidurkannya di atas ranjang.
PRABUANOM JAKAPITANA MELABRAK RADEN PERMADI DAN DEWI BANUWATI
Sementara itu, Prabuanom
Jakapitana menunggu di luar dengan perasaan gelisah. Patih Sangkuni datang dan
berbisik bahwa ia baru saja diberi tahu Raden Rukmarata tentang hubungan asmara
antara Dewi Banuwati dengan Raden Permadi. Dahulu kala ketika Dewi Erawati
hilang diculik Raden Kartapiyoga, saat itu Raden Permadi datang ke istana
Mandraka untuk pertama kalinya. Prabu Salya berharap Raden Permadi bisa menjadi
menantunya, dan ia pun memerintahkan Dewi Srutikanti dan Dewi Banuwati untuk memikat
sang pangeran. Dewi Srutikanti tidak setuju dengan keputusan ayahnya dan ia pun
memikat Raden Permadi dengan setengah hati. Raden Permadi dapat melihat
ketidaktulusan Dewi Srutikanti dan ia pun menolak undangannya secara halus.
Giliran Dewi Banuwati, Raden Permadi benar-benar terpikat. Meskipun Dewi
Banuwati terlihat galak dan ceplas-ceplos, tetapi perasaannya tulus. Konon
sejak itulah terjalin kisah cinta antara mereka berdua.
Prabuanom Jakapitana terbakar
amarahnya mendengar cerita itu. Ia pun menggedor pintu kamar Dewi Banuwati yang
ternyata dikunci dari dalam. Perasaan marah, cemburu, dan gelisah semakin
memuncak. Dengan sekuat tenaga, ia lalu menendang pintu kamar tersebut hingga
jebol. Sungguh terkejut Prabuanom Jakapitana saat melihat pemandangan di dalam
kamar, yaitu Raden Permadi sedang sibuk merias Dewi Banuwati.
Prabuanom Jakapitana merasa
curiga mengapa sejak tadi acara merias belum juga selesai. Dewi Banuwati
menjawab bahwa merias pengantin tentu tidak sama seperti dandan biasa. Menjadi
pengantin adalah peristiwa penting seumur hidup, maka harus dirias dengan hati-hati
dan ketelitian tinggi. Ia merasa sangat kecewa pada ketidaksabaran calon
suaminya hingga sampai menjebolkan pintu kamarnya.
Prabuanom Jakapitana menjawab
dirinya didorong rasa cemburu karena takut kehilangan Dewi Banuwati. Ia pun bertanya
terus terang apakah Dewi Banuwati berbuat zina dengan Raden Permadi? Jika benar
demikian, Prabuanom Jakapitana akan sangat kecewa karena calon istrinya
ternyata sudah tidak perawan.
Dewi Banuwati marah-marah
dikatai demikian. Ia menyebut kaum laki-laki selalu ingin menang sendiri. Jika
menikah, laki-laki meminta istri yang perawan, padahal dirinya belum tentu
masih perjaka. Dewi Banuwati pun menantang Prabuanom Jakapitana untuk sama-sama
bersumpah bahwa mereka masing-masing belum pernah melakukan zina, apakah
berani?
Prabuanom Jakapitana terdiam
tidak berani menjawab karena dirinya memang sudah tidak perjaka sejak bersetubuh
dengan Mirahdinebak. Maka, ia lalu keluar kamar dan mempersilakan Raden Permadi
untuk melanjutkan merias Dewi Banuwati.
Sesampainya di luar, Prabuanom
Jakapitana ditanyai Patih Sangkuni bagaimana keadaan di dalam kamar. Prabuanom
Jakapitana menjawab tidak terjadi apa-apa. Ia tidak ingin mengganggu Dewi
Banuwati lagi karena takut perkawinannya akan gagal seperti yang sudah-sudah.
PERKAWINAN PRABUANOM JAKAPITANA DENGAN DEWI BANUWATI
Tepat tengah hari, Prabu Salya
menggelar upacara pernikahan antara Prabuanom Jakapitana dan Dewi Banuwati.
Upacara ini disusul dengan pesta yang sangat meriah. Banyak sekali tamu undangan
yang hadir dari berbagai negeri sahabat. Prabuanom Jakapitana kemudian membawa
Dewi Banuwati berkeliling ibu kota Mandraka dengan mengendarai Gajah
Murdaningkung yang dikemudikan Mirahdinebak.
Raden Permadi merasa sedih karena
mengetahui Dewi Banuwati hanya pura-pura tersenyum gembira saat duduk di
punggung Gajah Murdaningkung. Namun, perasaan sedihnya kemudian sirna saat
pandangan matanya tertuju pada Dewi Bratajaya yang duduk di kursi tamu bersama
Dewi Erawati. Raden Permadi heran mengapa dirinya bisa mencintai banyak wanita
lebih dari satu secara sekaligus. Ia sangat mencintai Dewi Banuwati, namun
kepada Dewi Bratajaya juga perasaannya demikian mendalam. Bahkan, kepada Endang
Manuhara yang ditinggalkan di Padepokan Andongsumawi pun Raden Permadi merasa
sangat sayang.
Raden Permadi merasa namanya
sangat sesuai dengan sifatnya. Nama Perma bermakna “kasih sayang”, sedangkan Adi
artinya “berlebih”. Raden Permadi memang memiliki kasih sayang yang berlebih
dan melimpah ruah, sehingga ia bisa mencintai banyak wanita dalam waktu
bersamaan, tanpa mengurangi rasa sayangnya antara yang satu dengan lainnya.
PRABU JAYALENGKARA MENCURI KAIN RIMONG BATIK
Malam itu para tamu telah
tidur di kamar masing-masing. Prabu Jayalengkara menyusup masuk ke dalam istana
Mandraka dengan niat ingin menculik Dewi Banuwati yang diimpikannya. Namun, ia
salah masuk kamar di mana Dewi Bratajaya sedang beristirahat. Prabu
Jayalengkara terpikat pada kecantikan gadis itu dan seketika merasa bimbang. Ia
seolah lupa pada niatnya untuk menikahi Dewi Banuwati dan merasa lebih baik
menculik Dewi Bratajaya saja.
Perlahan tangan Prabu
Jayalengkara menggerayang hendak membungkam mulut Dewi Bratajaya. Tiba-tiba
Dewi Bratajaya terbangun dan menjerit keras. Prabu Jayalengkara ketakutan dan segera
kabur melarikan diri. Tanpa sadar, tangannya tak sengaja menarik kain rimong
batik yang tersampir di pundak Dewi Bratajaya.
Prabu Baladewa dan Prabu
Kresna terkejut mendengar jeritan sang adik dan buru-buru masuk ke dalam kamar.
Dewi Bratajaya mengadu bahwa baru saja ada maling masuk ke dalam kamarnya dan
mencuri kain rimong batik miliknya. Prabu Baladewa berkata biarlah kain itu
hilang yang penting Dewi Bratajaya baik-baik saja. Dewi Bratajaya menangis dan
merengek ingin kainnya kembali. Kain rimong batik tersebut adalah hasil karyanya
yang sangat ia banggakan, mana mungkin dibiarkan hilang begitu saja?
RADEN PERMADI DITUDUH SEBAGAI PENCURI RIMONG BATIK
Tiba-tiba Raden Permadi datang
karena mendengar suara ribut-ribut. Dewi Bratajaya melihat kain rimong batik
tersampir di pundak sepupunya itu dan ia pun menuduh Raden Permadi sebagai
pencurinya. Prabu Baladewa meminta Raden Permadi mengembalikan kain tersebut.
Raden Permadi heran tiba-tiba dituduh demikian. Karena kain rimong batik ini kenang-kenangan
dari Dewi Banuwati, maka ia menolak untuk menyerahkannya. Dewi Bratajaya pun menangis
dan membuat Prabu Baladewa semakin marah.
Prabu Baladewa hendak merebut
paksa kain rimong batik tersebut dari tangan Raden Permadi. Raden Wrekodara tiba-tiba
muncul membela adiknya. Prabu Kresna segera melerai dan berkata biarlah Dewi
Banuwati yang menjadi hakim dalam perselisihan ini.
Sungguh kebetulan Dewi
Banuwati keluar kamar meninggalkan Prabuanom Jakapitana yang tertidur pulas.
Datang pula kedua adiknya, yaitu Raden Burisrawa dan Raden Rukmarata yang juga mendengar
suara ribut-ribut. Prabu Baladewa lalu bertanya apakah benar kain rimong batik
yang dipakai Raden Permadi adalah pemberian Dewi Banuwati. Dewi Banuwati menjawab
benar. Ia lalu menunjukkan tanda tangannya di pojok kain tersebut.
RADEN PERMADI MENGALAHKAN SI PENCURI
Dewi Bratajaya merasa sangat malu.
Sungguh kebetulan motif kain rimong batik buatannya sama persis dengan buatan
Dewi Banuwati, sehingga ia salah paham dan menuduh Raden Permadi. Ia pun
bersumpah, barangsiapa bisa mengembalikan kain miliknya yang hilang, maka orang
itu akan menjadi suaminya. Ia tidak peduli meskipun sejak kecil sudah
dijodohkan dengan seseorang.
Raden Burisrawa yang diam-diam
jatuh cinta kepada Dewi Bratajaya segera melesat pergi mengejar si pencuri.
Raden Permadi tidak mau kalah. Ia pun ikut mengejar karena tidak ingin
perjodohannya dengan Dewi Bratajaya sampai batal.
Raden Burisrawa lebih dulu
berhasil menemukan Prabu Jayalengkara. Terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Burisrawa kalah dan jatuh pingsan terkena tendangan raja tersebut. Raden
Permadi maju menerjang. Ia bertarung sengit melawan Prabu Jayalengkara.
Keduanya sama-sama bersenjata keris, hingga akhirnya keris milik Raden Permadi
berhasil merobek perut Prabu Jayalengkara.
Setelah musuhnya tewas, Raden
Permadi pun memungut kain rimong batik dan membawanya kembali ke istana. Dewi
Bratajaya menerima kain tersebut dengan senang hati dan kini ia dapat tersenyum
kembali.
PRABUANOM JAKAPITANA BERGANTI NAMA MENJADI PRABU DURYUDANA
Tiba saatnya Prabuanom
Jakapitana memboyong Dewi Banuwati untuk tinggal di istana Kerajaan Hastina.
Sesampainya di sana, mereka disambut oleh Adipati Dretarastra dan Dewi Gandari
dengan pesta meriah. Kini, Prabuanom Jakapitana telah memiliki seorang
permaisuri dan sudah pantas baginya untuk menjadi raja secara penuh, bukan lagi
sebagai raja muda.
Maka, Resiwara Bisma pun
datang dari Padepokan Talkanda untuk melantik Prabuanom Jakapitana menjadi raja
penuh di Kerajaan Hastina. Jika dulu sewaktu kecil Prabuanom Jakapitana diberi
nama Raden Suyudana yang bermakna “petarung terbaik”, maka kini ia pun mengganti
namanya menjadi Prabu Duryudana, yang bermakna “petarung tak terkalahkan”. Maksudnya
ialah, seorang petarung terbaik bisa jadi pernah kalah, sedangkan petarung yang
tak terkalahkan sudah pasti dia yang terbaik. Demikianlah, Prabu Duryudana
ingin menghibur diri sendiri melalui nama barunya, karena ia sering kalah dalam
persaingan melawan para Pandawa.
Sementara itu, Mirahdinebak pamit
pulang ke Hutan Pringgabaya tanpa disertai gajah putih peliharaannya. Sesuai
janjinya, ia pun menyerahkan Gajah Murdaningkung untuk selamanya menjadi milik
Prabu Duryudana. Kini ia pulang sendiri dalam keadaan hamil, mengandung benih
Prabu Duryudana, akibat persetubuhan mereka beberapa waktu yang lalu.
Dewi Banuwati |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah perkawinan Prabu Duryudana dan Dewi Banuwati dalam Serat
Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi bersamaan dengan
perkawinan Adipati Karna dan Dewi Srutikanti, yaitu pada tahun Suryasengakala
694 yang ditandai dengan sengkalan “Muka angraras wiyat”, atau tahun
Candrasengkala 715 yang ditandai dengan sengkalan “Janma kaswareng barakan”.
Adapun dalam pedalangan, kedua kisah tersebut tidak terjadi dalam waktu yang
sama.
Untuk kisah kegagalan Prabu Duryudana menikahi Dewi Drupadi dapat
dibaca di sini
Untuk kisah kegagalan Prabu Duryudana menikahi Dewi Erawati dapat
dibaca di sini
Untuk kisah kegagalan Prabu Duryudana menikahi Dewi Srutikanti dapat
dibaca di sini
Romantis
BalasHapusTerima kasih
BalasHapusLalu anak Jokopitono dengan Mirahdinebak siapa namanya?
BalasHapus