Kisah ini menceritakan perkawinan Adipati Jayadrata dengan Dewi Dursilawati,
satu-satunya anggota Kurawa yang perempuan. Kelak Adipati Jayadrata akan
menjadi sekutu penting Prabu Duryudana dalam Perang Bratayuda.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita, dengan pengembangan seperlunya.
Kediri, 24 Desember 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Adipati Jayadrata |
DEWI DRUPADI TELAH MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI
Prabu Puntadewa di Kerajaan
Amarta dihadap Arya Wrekodara beserta si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Hadir pula Prabu Kresna Wasudewa dari Kerajaan Dwarawati yang datang berkunjung
dengan ditemani Arya Setyaki. Kedatangan Prabu Kresna adalah untuk menengok permaisuri
Kerajaan Amarta, yaitu Dewi Drupadi yang baru saja melahirkan bayi laki-laki.
Prabu Kresna juga bertanya di
mana keberadaan Raden Permadi (Arjuna), mengapa tidak terlihat dalam pertemuan?
Prabu Puntadewa menjawab bahwa adiknya tersebut belum pulang ke Kerajaan Amarta
sejak pernikahan Prabu Duryudana dengan Dewi Banuwati. Arya Wrekodara ikut
bicara menanggapi, bahwa antara Raden Permadi dengan Dewi Banuwati memang ada hubungan
asmara. Perkawinan antara Dewi Banuwati dengan Prabu Duryudana jelas membuat
adiknya itu sakit hati dan memilih pergi berkelana tidak jelas entah ke mana.
Prabu Puntadewa teringat bahwa
Raden Permadi dan Dewi Bratajaya sudah dijodohkan sejak kecil. Saat itu
mendiang Prabu Basudewa bersumpah dengan disaksikan Prabu Pandu dan Dewi Kunti,
bahwa kelak Raden Permadi dan Dewi Bratajaya jika sudah sama-sama dewasa
hendaknya menjadi suami-istri, demi mempererat hubungan kekeluargaan antara Wangsa
Saptaarga dengan Wangsa Kuntiboja. Untuk itu, Prabu Puntadewa pun mengusulkan
agar pernikahan antara Raden Permadi dan Dewi Bratajaya segera dilaksanakan secepatnya,
dan semoga ini bisa menjadi sarana bagi adiknya untuk melupakan Dewi Banuwati.
Prabu Kresna kurang setuju
jika mereka berdua disegerakan menikah. Meskipun Raden Permadi dan Dewi
Bratajaya sudah dijodohkan sejak kecil, namun alangkah baiknya mereka menikah
atas kemauan bersama, bukan atas dorongan orang tua. Lagipula Prabu Kresna
kurang berkenan apabila Raden Permadi menikah dengan Dewi Bratajaya hanya untuk
melupakan cintanya kepada Dewi Banuwati. Itu berarti adiknya hanya dijadikan
sebagai pelarian belaka, bukan dinikahi karena tulus hati.
Oleh sebab itu, Prabu Kresna
menyarankan agar perkawinan antara Raden Permadi dan Dewi Bratajaya
dilaksanakan nanti saja apabila keduanya sudah benar-benar siap lahir dan
batin.
ADIPATI JAYADRATA MELAMAR DEWI DRUPADI
Ketika Prabu Puntadewa dan
Prabu Kresna masih bercakap-cakap, tiba-tiba datang pemimpin Kadipaten
Banakeling dari Tanah Sindu, bernama Adipati Jayadrata. Ia datang untuk
menyampaikan keinginannya, yaitu memperistri Dewi Drupadi. Dulu ketika Prabu
Drupada menggelar sayembara memanah untuk memperebutkan Dewi Drupadi, Adipati
Jayadrata gagal karena tidak kuat mengangkat Busur Gandiwa yang menjadi syarat
sayembara. Ia kemudian pulang dengan perasaan malu.
Namun, di tengah jalan Adipati
Jayadrata mendengar berita bahwa Prabu Drupada mengubah sayembara tidak lagi adu
ketangkasan memanah, tetapi menjadi sayembara tanding melawan Arya Gandamana.
Adipati Jayadrata pun buru-buru kembali ke Kerajaan Pancala Selatan untuk
menantang Arya Gandamana. Akan tetapi, sesampainya di sana ternyata Arya
Gandamana telah gugur, dan Dewi Drupadi diboyong para Pandawa.
Peristiwa tersebut sudah
berlalu hampir dua tahun, tetapi perasaan kecewa Adipati Jayadrata belum juga
sembuh. Apalagi wajah cantik Dewi Drupadi saat menonton sayembara di tepi
gelanggang, selalu membayang-bayangi pikiran adipati dari Banakeling tersebut.
Maka, hari ini Adipati Jayadrata pun memberanikan diri datang ke istana
Indraprasta, meminta kepada Prabu Puntadewa untuk menceraikan Dewi Drupadi agar
kemudian bisa menjadi istrinya.
Prabu Puntadewa yang selalu
berprasangka baik menjawab tidak masalah jika ia harus melepaskan Dewi Drupadi.
Jangankan istri, sedangkan nyawa saja ia berikan apabila ada orang yang meminta
secara baik-baik. Akan tetapi, pernikahan antara dirinya dengan Dewi Drupadi
bukanlah murni atas usahanya sendiri, melainkan berkat kerja keras Arya
Wrekodara dalam mengalahkan Arya Gandamana. Maka, apabila Adipati Jayadrata
ingin menikahi Dewi Drupadi, sebaiknya serah terima dilakukan dengan Arya
Wrekodara, bukan dengan dirinya.
Adipati Jayadrata merasa
senang dan segera bertanya kepada Arya Wrekodara kapan kiranya serah terima
Dewi Drupadi bisa dilaksanakan. Arya Wrekodara menjawab hari ini juga, tetapi
tidak di dalam istana Indraprasta, melainkan di tengah alun alun. Ia meminta
serah terima disaksikan oleh para prajurit Banakeling yang berbadan kekar
dengan senjata lengkap. Adipati Jayadrata merasa heran mengapa ada syarat semacam
itu. Arya Wrekodara pun meyakinkan bahwa adat tradisi di Kerajaan Amarta memang
demikian adanya. Adipati Jayadrata merasa maklum kemudian keluar mempersiapkan
diri.
PRABU KRESNA MEMBERI NAMA PUTRA PRABU PUNTADEWA
Setelah Adipati Jayadrata
keluar, Prabu Puntadewa segera membubarkan pertemuan dan menyerahkan segala
urusan keamanan kepada Arya Wrekodara. Ia meminta jangan sampai ada pertumpahan
darah karena Adipati Jayadrata ini merupakan raja bawahan sekaligus kawan baik Prabu
Duryudana di Kerajaan Hastina. Jika sampai Adipati Jayadrata tewas, bisa-bisa
ini menjadi alasan Prabu Duryudana untuk memerangi Kerajaan Amarta. Arya
Wrekodara mengatakan dirinya tidak takut pada Kurawa. Prabu Puntadewa menjawab
ini bukan masalah takut atau berani, tetapi perang akan membawa kerugian bagi
rakyat jelata. Bagaimanapun juga Perang Bratayuda harus dihindari, meskipun
sudah diramalkan oleh para dewa.
Setelah membubarkan pertemuan,
Prabu Puntadewa pun mengajak Prabu Kresna masuk ke dalam kedaton untuk menengok
Dewi Drupadi dan bayinya. Sesampainya di dalam, Prabu Kresna sangat gembira
melihat keponakan barunya yang tampan dan mungil, dalam gendongan Dewi Drupadi.
Prabu Kresna segera menggendong
bayi tersebut dan bertanya siapa namanya. Prabu Puntadewa menjawab belum ada dan
meminta agar Prabu Kresna saja yang memberi nama. Prabu Kresna menyanggupi. Ia
berkata bahwa Dewi Drupadi berasal dari Kerajaan Pancala, sehingga dijuluki
pula sebagai Dewi Pancali. Oleh karena itu, akan sangat pantas apabila putranya
diberi nama Raden Pancawala.
Prabu Puntadewa dan Dewi
Drupadi menyambut baik nama pemberian Prabu Kresna atas putra mereka. Keduanya
lalu mengajak Prabu Kresna menikmati perjamuan. Prabu Kresna menjawab soal
perjamuan bisa ditunda nanti apabila Arya Wrekodara telah berhasil mengatasi
Adipati Jayadrata. Selain itu, Prabu Kresna juga ingin mencari keberadaan Raden
Permadi dan mengajaknya pulang ke Amarta.
ARYA WREKODARA MENAKLUKKAN ADIPATI JAYADRATA
Arya Wrekodara didampingi Arya
Setyaki dan Raden Gatutkaca telah berhadapan dengan Adipati Jayadrata di alun
alun. Adipati Jayadrata telah menyiapkan pasukan Banakeling dengan senjata
lengkap dan ia pun meminta agar Dewi Drupadi segera diserahkan kepadanya. Arya
Wrekodara menjawab, kakak iparnya itu pasti diserahkan tetapi Adipati Jayadrata
harus membayar tebusan, yaitu meninggalkan kepalanya di Kerajaan Amarta.
Adipati Jayadrata marah dan memerintahkan
pasukannya untuk menyerang. Arya Wrekodara menghadapi dengan mengerahkan
pasukan Amarta pula. Pertempuran sengit pun terjadi. Arya Setyaki dan Raden
Gatutkaca ikut membantu mengatasi musuh. Adipati Jayadrata akhirnya kalah dalam
pertarungan melawan Arya Wrekodara. Sebenarnya Arya Wrekodara ingin membunuh adipati
Banakeling tersebut tetapi teringat pada pesan sang kakak sulung, sehingga hanya
menghajarnya hingga babak belur saja.
Tiba-tiba dari angkasa turun
Batara Narada melerai Arya Wrekodara yang menyiksa Adipati Jayadrata. Prabu
Kresna dan Prabu Puntadewa buru-buru keluar istana untuk menyembah hormat kepada
dewa tersebut. Batara Narada datang untuk menjelaskan bahwa antara Arya
Wrekodara dan Adipati Jayadrata sesungguhnya masih bersaudara. Dahulu ketika
lahir ke dunia, tubuh Arya Wrekodara terbungkus oleh selaput keras yang terbuat
dari air ketubannya sendiri. Tidak ada satu senjata pun yang dapat merobek
bungkus tersebut. Setelah empat belas tahun berlalu, bungkus itu akhirnya dapat
dipecah oleh Gajah Sena yang dikirim para dewa. Selaput pembungkus itu lalu
dibawa Batara Narada ke Kadipaten Banakeling untuk diserahkan kepada Adipati Sapwani
dan Dewi Drata yang bertapa ingin memiliki putra. Demikianlah, Adipati
Jayadrata sesungguhnya berasal dari selaput pembungkus Arya Wrekodara tersebut.
Mendengar penjelasan dari
Batara Narada, Arya Wrekodara pun berpelukan dengan Adipati Jayadrata dan
meminta maaf karena tadi telah menghajarnya. Batara Narada lalu mengatakan
bahwa Adipati Jayadrata jangan lagi menginginkan Dewi Drupadi, karena sang dewi
bukanlah jodohnya. Adapun jodoh Adipati Jayadrata yang sebenarnya adalah
satu-satunya putri dalam keluarga Kurawa, yaitu Dewi Dursilawati. Untuk itu,
Adipati Jayadrata dipersilakan pergi ke Kerajaan Hastina jika ingin memiliki
istri, bukannya menyerang Kerajaan Amarta.
Adipati Jayadrata berterima
kasih atas petunjuk yang diberikan Batara Narada. Ia pun meminta maaf kepada
Prabu Puntadewa dan yang lain, kemudian undur diri meninggalkan Kerajaan
Amarta. Setelah keadaan tenang kembali, Prabu Kresna mengajak Arya Wrekodara pergi
mencari hilangnya Raden Permadi. Prabu Puntadewa pun melepas kepergian mereka
dengan harapan semoga sang adik bisa segera ditemukan.
PRABU DURYUDANA MENERIMA LAMARAN ADIPATI JAYADRATA
Adipati Jayadrata telah sampai
di istana Kerajaan Hastina dan menghadap Prabu Duryudana. Ia berterus terang
menyampaikan niatnya ingin menikah dengan Dewi Dursilawati. Prabu Duryudana
yang sudah lama berteman dengan Adipati Jayadrata langsung menerima lamaran itu.
Ia merasa senang apabila adiknya bisa menjadi istri adipati Banakeling tersebut.
Akan tetapi, Dewi Dursilawati
saat ini tidak berada di dalam istana karena hilang diculik seekor gajah putih.
Adipati Jayadrata heran mengapa bisa terjadi demikian. Prabu Duryudana pun
bercerita bahwa saat dirinya menikah dengan Dewi Banuwati beberapa waktu yang
lalu, ia mendapatkan seekor gajah putih bernama Gajah Murdaningkung dari Hutan
Pringgabaya sebagai syarat perkawinan. Pagi tadi Dewi Dursilawati merengek
ingin mencoba bagaimana rasanya mengendarai gajah putih tersebut. Arya
Dursasana pun menuntun Gajah Murdaningkung dan menyerahkannya kepada sang adik.
Begitu Dewi Dursilawati menaiki punggung si gajah putih, tiba-tiba hewan tersebut
bisa berbicara. Ternyata dia bukan Gajah Murdaningkung, melainkan penjelmaan seorang
musuh yang ingin membalas dendam kepada Prabu Duryudana. Segera gajah putih itu
pun berlari pergi dengan membawa Dewi Dursilawati di atas pungungnya.
Arya Dursasana sangat
ketakutan dan segera memeriksa ke kandang, ternyata Gajah Murdaningkung yang
asli masih ada. Ia pun mohon pamit kepada Prabu Duryudana untuk mengejar
perginya si gajah putih palsu dan merebut kembali Dewi Dursilawati. Arya
Kartawarma, Arya Srutayu, Arya Durmagati, dan para Kurawa lainnya ikut pergi
menemani sang kakak kedua.
Demikianlah, Prabu Duryudana
mengakhiri ceritanya. Ia dengan senang hati menerima Adipati Jayadrata sebagai
adik ipar, tetapi sayang sekali Dewi Dursilawati saat ini hilang dibawa lari
seekor gajah putih. Mendengar itu, Adipati Jayadrata pun mohon pamit untuk
menyusul Arya Dursasana dan yang lain demi merebut kembali calon istrinya.
RADEN PERMADI BERGURU KEPADA RESI MITREYA
Sementara itu, Raden Permadi
dan para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berada di
padepokan milik Resi Mitreya yang terletak di Gunung Mestri. Resi Mitreya ini
adalah suami dari Nyai Basusi, sedangkan Nyai Basusi adalah putri mendiang Resi
Basusara, yaitu patih Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Prabu Santanu.
Setelah perkawinan Prabu
Duryudana dengan Dewi Banuwati di Kerajaan Mandraka, Raden Permadi tidak pulang
ke Kerajaan Amarta, tetapi pergi berkelana hingga sampai ke Gunung Mestri. Di
gunung inilah ia bertemu Resi Mitreya yang sedang sibuk menghadapi gangguan
para raksasa hutan. Raden Permadi pun turun tangan membantu menumpas para
raksasa tersebut. Resi Mitreya berterima kasih atas bantuan Sang Panengah
Pandawa. Sejak itulah Raden Permadi tinggal di Gunung Mestri dan berguru
sejumlah ilmu pengetahuan baru kepada Resi Mitreya.
Hari itu tiba-tiba Raden
Permadi mendengar suara jeritan seorang perempuan yang samar-samar ia kenali.
Raden Permadi dan Resi Mitreya segera memeriksa dan ternyata Dewi Dursilawati
sedang duduk di atas punggung seekor gajah putih yang berlari kencang.
RADEN PERMADI MENOLONG DEWI DURSILAWATI
Raden Permadi segera melesat
menerjang si gajah putih dan menyambar tubuh sepupunya. Dewi Dursilawati pun berhasil
diturunkan dari punggung hewan tersebut. Gajah putih itu sangat marah dan
menubruk Raden Permadi. Terjadilah perkelahian di antara mereka. Raden Permadi
terdesak oleh kekuatan si gajah putih. Ia lalu mengheningkan cipta mengerahkan
ilmu Angin Garuda, membuat si gajah putih terhempas jauh entah ke mana.
Dewi Dursilawati berterima
kasih banyak atas bantuan Raden Permadi. Ia pun bercerita dari awal hingga
akhir. Pada mulanya ia merengek ingin merasakan seperti apa duduk di atas punggung
Gajah Murdaningkung. Atas izin Prabu Duryudana, Arya Dursasana pun pergi ke
kandang dan mengambil gajah tersebut. Tak disangka, yang ia ambil justru Gajah
Murdaningkung palsu. Begitu Dewi Dursilawati menaikinya, gajah putih tersebut
langsung berontak dan membawanya kabur. Di sepanjang jalan, si gajah putih
merayu Dewi Dursilawati dengan mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah penjelmaan
Prabu Jayasengara dari Kerajaan Tirtakandaka. Tujuan utamanya menculik Dewi
Dursilawati adalah untuk membalas kematian Prabu Jayalengkara raja Nrancangpura
yang merupakan adik kandung Prabu Jayasengara. Adapun kematian Prabu
Jayalengkara terjadi di Kerajaan Mandraka ketika ia berusaha menculik Dewi
Banuwati beberapa waktu yang lalu.
Demikianlah, Prabu Jayasengara
menjelma sebagai Gajah Murdaningkung palsu untuk menculik Dewi Dursilawati agar
Prabu Duryudana sakit hati, tetapi ia justru benar-benar jatuh cinta kepada
perempuan Kurawa tersebut. Hingga akhirnya Raden Permadi dan Resi Mitreya muncul
membebaskan sang putri. Dewi Dursilawati pun sangat berterima kasih atas
pertolongan mereka.
RADEN PERMADI DIKEROYOK PARA KURAWA
Raden Permadi dan Resi Mitreya
lalu mengantarkan Dewi Dursilawati pulang ke Kerajaan Hastina. Di tengah jalan
mereka bertemu Arya Dursasana dan para Kurawa lainnya yang sedang mengejar si
gajah putih untuk merebut adik mereka. Arya Dursasana pun menuduh Raden Permadi
telah menjelma sebagai gajah putih untuk menculik Dewi Dursilawati. Ia juga menyebut
Resi Mitreya pasti guru baru Raden Permadi yang telah mengajarkan bagaimana
caranya menjelma menjadi binatang.
Dewi Dursilawati menjelaskan
kepada sang kakak bahwa Raden Permadi dan Resi Mitreya justru telah menolong
dirinya dan mengusir si gajah putih. Arya Dursasana tidak percaya dan menuduh
Dewi Dursilawati telah terkena pengaruh sihir Resi Mitreya sehingga membela
Raden Permadi. Arya Dursasana lalu memerintahkan adik-adiknya untuk mengeroyok kedua
orang itu. Keduanya pun membela diri. Terjadilah pertempuran di mana para
Kurawa tidak mampu mengalahkan Resi Mitreya dan Raden Permadi.
Tidak lama kemudian datanglah
Adipati Jayadrata bersama pasukan Banakeling. Mereka segera membantu para
Kurawa untuk menangkap Raden Permadi dan Resi Mitreya. Namun, bala bantuan yang
baru datang ini juga dibuat porak poranda oleh hujan panah yang dilepaskan
Raden Permadi. Arya Dursasana, Adipati Jayadrata, dan yang lain akhirnya
memutuskan mundur untuk melapor kepada Prabu Duryudana.
RADEN PERMADI DAN RESI MITREYA DIMASUKKAN KE DALAM PENJARA
Arya Dursasana dan Adipati
Jayadrata telah kembali ke hadapan Prabu Duryudana di istana Hastina. Arya
Dursasana pun melaporkan bahwa penculik Dewi Dursilawati yang berwujud gajah
putih ternyata penjelmaan Raden Permadi. Patih Sangkuni menanggapi bahwa hal
ini sangat masuk akal karena si gajah putih mengaku ingin membalas dendam
kepada Prabu Duryudana, dan tentunya ini berkaitan dengan soal Dewi Banuwati.
Prabu Duryudana sangat marah karena hasutan Patih Sangkuni, dan ia pun
memercayai laporan Arya Dursasana.
Resi Druna adalah yang tidak percaya
pada laporan tersebut karena ia tahu Raden Permadi tidak memiliki ilmu mengubah
wujud menjadi binatang. Arya Dursasana menjawab saat ini Raden Permadi sudah
memiliki guru baru bernama Resi Mitreya. Ia yakin pasti pendeta tua itulah yang
telah mengajarkan cara berubah wujud menjadi gajah putih.
Patih Sangkuni memanas-manasi
Resi Druna bahwa dulu Raden Permadi pernah dibangga-banggakan sebagai murid
terbaik Padepokan Sokalima, ternyata sekarang mendua dan berguru kepada orang
lain. Celakanya, sang guru baru ternyata jauh lebih sakti daripada guru yang
lama. Ia yakin pasti sebentar lagi Raden Permadi akan menjadi murid durhaka
yang berani melawan Resi Druna.
Resi Druna sangat kesal
mendengar hasutan Patih Sangkuni. Tidak lama kemudian Raden Permadi dan Resi
Mitreya pun datang bersama Dewi Dursilawati. Prabu Duryudana menyambut dengan
marah-marah dan memerintahkan agar mereka berdua dijebloskan ke dalam penjara.
Dewi Dursilawati menjelaskan bahwa semua ini salah paham, dan penculik yang sebenarnya
adalah Prabu Jayasengara, raja Tirtakandaka. Orang itulah yang menjelma sebagai
gajah putih dan membawa dirinya kabur. Justru Raden Permadi yang telah
membebaskan dirinya dan mengalahkan Prabu Jayasengara.
Prabu Duryudana tidak percaya,
bahkan ganti memarahi Dewi Dursilawati. Ia menuduh adiknya itu telah jatuh
cinta kepada Raden Permadi sehingga membela sedemikian rupa. Ia melarang Dewi
Dursilawati berhubungan dengan Raden Permadi, karena harus segera menikah
dengan Adipati Jayadrata dan ini tidak boleh dibantah.
Dewi Dursilawati menjawab
dirinya sama sekali tidak jatuh cinta kepada Raden Permadi yang sudah
dianggapnya seperti adik sendiri. Ini semua bukan soal asmara, tetapi soal
keadilan. Ia tidak keberatan menikah dengan Adipati Jayadrata jika memang ini
menjadi keputusan sang kakak sulung. Akan tetapi, ia ingin menuntut keadilan
untuk Raden Permadi dan Resi Mitreya yang menjadi korban fitnah.
Prabu Duryudana marah-marah
hendak memukul Dewi Dursilawati. Pada saat itulah Dewi Banuwati muncul dan
segera membawa Dewi Dursilawati masuk ke dalam.
Resi Druna kemudian bertanya
kepada Raden Permadi apakah dirinya masih dianggap sebagai guru. Jika masih,
maka Raden Permadi tidak boleh melawan saat diperintahkan untuk masuk penjara.
Raden Permadi menyatakan bahwa dirinya selalu menganggap Resi Druna sebagai
guru utama dan ia pun siap apabila dijebloskan ke dalam penjara. Maka, para
Kurawa segera menangkap Raden Permadi dan membawanya menuju penjara. Melihat itu,
Resi Mitreya dan para panakawan pun menyerahkan diri untuk ikut ditangkap masuk
penjara demi menemani Raden Permadi.
PRABU JAYASENGARA MENYERANG KERAJAAN HASTINA
Prabu Duryudana telah
menetapkan hari perkawinan antara Dewi Dursilawati dengan Adipati Jayadrata. Segala
sesuatunya telah dipersiapkan. Namun, sang pengantin wanita masih mengurung
diri di dalam kamar. Ia menolak menikah dengan laki-laki pilihan kakak
sulungnya apabila Raden Permadi belum dibebaskan.
Ketika para tamu mulai
berdatangan, tiba-tiba muncul seekor gajah putih yang diikuti pasukan hewan berbagai
jenis sedemikian banyaknya menyerang Kerajaan Hastina. Gajah putih tersebut
tidak lain adalah penjelmaan Prabu Jayasengara yang datang bersama segenap
pasukan Tirtakandaka untuk membalas kekalahannya tempo hari.
Prabu Duryudana dan para
Kurawa pun kalang kabut karena mendapat serangan mendadak dari pasukan binatang
tersebut. Persiapan pernikahan menjadi porak poranda. Dewi Banuwati segera
berlari ke penjara dan memaksa prajurit penjaga untuk mengeluarkan Raden
Permadi dan Resi Mitreya.
Begitu dirinya bebas, Raden
Permadi segera terjun menghadapi amukan si gajah putih. Ia melepaskan panah bermantra
yang membuat gajah putih itu kembali ke wujud aslinya, yaitu Prabu Jayasengara.
Begitu pula dengan hewan-hewan lainnya, semuanya telah kembali ke wujud manusia
berkat Aji Pengabaran yang dikerahkan Resi Mitreya.
Raden Permadi lalu bertarung
melawan Prabu Jayasengara. Dalam wujud manusia, kekuatan Prabu Jayasengara berkurang
banyak. Tidak lama kemudian, ia pun tewas terkena tikaman Keris Pulanggeni
milik Raden Permadi.
Para prajurit Tirtakandaka
mengamuk atas kematian raja mereka dan maju mengeroyok Raden Permadi. Pada saat
itulah datang Arya Wrekodara dan Prabu Kresna yang sedang dalam perjalanan
mencari adik mereka. Arya Wrekodara segera membantu Raden Permadi menerjang
para prajurit Tirtakandaka tersebut. Mereka pun kocar-kacir akibat amukan sang
Panenggak Pandawa. Sebagian tewas di tempat, dan sebagian lagi kabur melarikan
diri.
RESI MITREYA MENGUTUK ARYA DURSASANA
Prabu Duryudana meminta maaf
kepada Raden Permadi dan Resi Mitreya karena dirinya terburu nafsu telah
memercayai laporan palsu Arya Dursasana. Raden Permadi bisa memaafkan, tetapi
Resi Mitreya terlanjur marah atas fitnah yang diucapkan Kurawa nomor dua
tersebut. Resi Mitreya pun mengutuk Arya Dursasana yang tidak dapat mengenali kebenaran,
maka kelak akan mati dalam wujud yang susah dikenali. Setelah mengutuk
demikian, Resi Mitreya pun bergegas pulang ke Gunung Mestri.
Prabu Kresna, Arya Wrekodara,
dan Raden Permadi juga mohon pamit kepada Prabu Duryudana untuk kembali ke
Kerajaan Amarta. Prabu Duryudana menahan mereka agar tinggal sementara waktu demi
menyaksikan pernikahan Adipati Jayadrata dengan Dewi Dursilawati.
Demikianlah, karena Raden
Permadi telah dipulihkan nama baiknya, Dewi Dursilawati pun bersedia keluar
kamar untuk menikah dengan Adipati Jayadrata. Upacara pernikahan yang
seharusnya berlangsung meriah, kini dilaksanakan secara sederhana saja, karena
segala persiapan telah rusak akibat serangan mendadak pasukan binatang tadi.
Dewi Dursilawati |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Kisah perkawinan Adipati Jayadrata dan Dewi Dursilawati dalam
Serat Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita terjadi pada tahun
Suryasengakala 695 yang ditandai dengan sengkalan “Yaksa Rudra angoyak langit”,
atau tahun Candrasengkala 716 yang ditandai dengan sengkalan “Angrasa tunggal
wangsa”.
Untuk kisah lahirnya Adipati Jayadrata dapat dibaca di sini
Untuk kisah kegagalan Adipati Jayadrata menikahi Dewi Drupadi dapat
dibaca di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar