Kisah ini menceritakan tentang Kyai Semar yang berubah menjadi tampan,
bernama Bambang Dewakasimpar. Juga dikisahkan awal mula Raden Arjuna memanggil
“kakang” kepada Kyai Semar dan juga perkawinan antara dirinya dengan Dewi
Sulastri, yang kelak melahirkan Raden Sumitra.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan)
karya Ki Tristuti Suryasaputra yang dipadukan dengan ringkasan pentas Wayang
Orang Panca Budaya (Bantul), dengan sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 25 Maret 2017
Heri Purwanto
Untuk daftar judul
lakon wayang lainnya, klik di sini
------------------------------
ooo ------------------------------
Bambang Dewakasimpar |
PRABU TEJABIRAWA MELAMAR DEWI SUTIRAGEN
Tersebutlah sebuah negeri
bernama Kerajaan Pulorajapeti yang dipimpin raja bernama Prabu Sasrasudarma.
Raja ini memiliki tiga orang anak bernama Dewi Sutiragen, Raden Sucitra, dan
Dewi Sulastri yang ketiganya sudah sama-sama dewasa. Pada suatu hari datang
seorang raja bernama Prabu Tejabirawa dari Kerajaan Bandakasapta yang ingin meminang
Dewi Sutiragen sebagai istrinya. Dewi Sutiragen yang tidak menyukai tingkah
laku Prabu Tejabirawa menolak lamaran tersebut. Penolakan ini membuat Prabu
Tejabirawa marah dan mengepung Kerajaan Pulorajapeti.
Prabu Sasrasudarma beserta Raden
Sucitra segera memimpin pasukan untuk menghadapi pengepungan tersebut. Pertempuran
sengit pun terjadi. Prabu Tejabirawa dan juga adiknya yang bernama Patih
Sarabirawa ternyata sangat sakti. Prabu Sasrasudarma dan Raden Sucitra terdesak
menghadapi kekuatan mereka. Melihat ayah dan adiknya hampir kalah, Dewi
Sutiragen pun mendatangi medan perang untuk melerai yang sedang bertempur.
Dewi Sutiragen berkata bahwa
dirinya bersedia menerima lamaran Prabu Tejabirawa namun dengan syarat harus dibuatkan
jalan raya yang lurus tanpa berbelok, yang menghubungkan Kerajaan Pulorajapeti
dengan Kerajaan Bandakasapta. Prabu Tejabirawa menerima syarat tersebut dan
segera mohon pamit berangkat untuk mewujudkannya.
Setelah Prabu Tejabirawa dan
Patih Sarabirawa pergi, Prabu Sasrasudarma bertanya apakah Dewi Sutiragen
benar-benar bersedia menikah dengan Prabu Tejabirawa apabila jalan lurus
tersebut dapat diwujudkan. Dewi Sutiragen menjawab dirinya terpaksa menerima
pinangan Prabu Tejabirawa, meskipun tidak menyukai raja sombong tersebut. Biarlah
dirinya saja yang menderita, asalkan bukan Prabu Sasrasudarma dan juga anggota
keluarga lainnya yang menjadi korban.
Prabu Sasrasudarma terharu mendengar
jawaban putri sulungnya. Ia segera mengutus Raden Sucitra agar pergi mencari bala
bantuan untuk membebaskan Kerajaan Pulorajapeti dari ancaman Prabu Tejabirawa.
Ia paham Dewi Sutiragen hanya mencari-cari alasan untuk menolak lamaran raja
tersebut. Maka, apabila Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa kembali menyerang
Kerajaan Pulorajapeti karena kecewa, Prabu Sasrasudarma sudah mempunyai jago
untuk menghadapi mereka.
Raden Sucitra mematuhi
perintah sang ayah dan segera mohon pamit melaksanakan tugas.
Sementara itu, Prabu
Tejabirawa dan Patih Sarabirawa mengerahkan kesaktian mereka untuk membangun jalan
raya lurus yang membentang dari istana Kerajaan Pulorajapeti menuju Kerajaan
Bandakasapta. Sungguh luar biasa kesaktian kakak beradik ini. Mereka membangun
jalan dengan menggunakan ilmu sihir. Apabila melewati sungai atau lautan, mereka
membangun jembatan; dan apabila melewati gunung atau bukit, mereka pun menggali
gua sehingga jalan tersebut benar-benar lurus tanpa berbelok. Adapun para
prajurit Bandakasapta berjalan di depan mereka, untuk menggusur rumah penduduk
ataupun menghabisi siapa saja yang dianggap menghalangi jalur jalan raya
tersebut.
Prabu Tejabirawa |
PRABU PUNTADEWA MENDAPAT LAPORAN TENTANG PRABU TEJABIRAWA YANG
MEMBANGUN JALAN
Prabu Puntadewa di Kerajaan
Amarta memimpin pertemuan dengan dihadap adik-adiknya, yaitu Arya Wrekodara,
Raden Arjuna, Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Mereka sedang membicarakan
tentang Kyai Semar yang akhir-akhir ini lebih banyak mengurung diri di dalam
rumahnya di Desa Karangkadempel. Meskipun Kyai Semar hanyalah seorang rakyat
jelata biasa, namun Prabu Puntadewa sangat sayang dan hormat kepadanya. Kyai
Semar sudah mengabdi sebagai pengasuh anak-cucu Resi Manumanasa secara
turun-temurun hingga para Pandawa. Kyai Semar juga dianggap sebagai lambang
suara rakyat kecil, di mana segala ucapan dan keluhannya selalu didengar dan
dilaksanakan oleh Prabu Puntadewa.
Raden Arjuna menyebut sang
kakak sulung terlalu berlebihan dalam memerhatikan Kyai Semar. Menurutnya, Kyai
Semar adalah titisan Batara Ismaya (kakak Batara Guru) sehingga tidak perlu
dikhawatirkan keadaannya. Justru sebaliknya, Kyai Semar-lah yang harus
memerhatikan para majikan. Raden Arjuna menyebut Kyai Semar mungkin hanya letih
karena terlalu sering mengikuti dirinya berkelana dan sekarang ingin berlibur
mengambil cuti untuk beberapa waktu.
Ketika perundingan sedang
berlangsung, tiba-tiba Patih Tambakganggeng datang menghadap. Ia melaporkan
tentang adanya sejumlah prajurit raksasa dari Kerajaan Bandakasapta, yang dipimpin
Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa, telah memasuki wilayah Kerajaan Amarta,
tepatnya di Desa Karangkadempel. Kedatangan mereka adalah untuk membangun
sebuah jalan raya lurus tanpa berbelok. Para prajurit Bandakasapta sibuk
menggusur dan mengusir para penduduk desa, sedangkan Prabu Tejabirawa dan Patih
Sarabirawa menciptakan jalan raya dengan menggunakan ilmu sihir mereka.
Mendengar laporan itu, Prabu
Puntadewa segera memerintahkan Arya Wrekodara dan Raden Arjuna untuk mengambil
tindakan demi melindungi rakyat. Keduanya pun mohon pamit berangkat, dengan
didampingi Patih Tambakganggeng dan Raden Gatutkaca.
Prabu Puntadewa |
PRABU TEJABIRAWA MENGHASUT RADEN ARJUNA AGAR BERGABUNG DENGANNYA
Arya Wrekodara dan Raden
Arjuna bersama pasukan Amarta telah sampai di Desa Karangkadempel. Mereka
segera menghalau para prajurit Bandakasapta yang sedang melakukan penggusuran.
Pertempuran pun terjadi. Para prajurit Bandakasapta itu dapat dipukul mundur
oleh pihak Amarta.
Prabu Tejabirawa mendapat akal
untuk memecah kekuatan pasukan Amarta. Ia pun mendekati Raden Arjuna dan
pura-pura mengajak berteman. Raden Arjuna curiga dan hendak meringkus raja
tersebut. Namun, Prabu Tejabirawa dengan cekatan mengungkit soal Dewi Banuwati,
mantan kekasih Sang Panengah Pandawa tersebut. Raden Arjuna terkejut dan
bertanya dari mana Prabu Tejabirawa tahu soal dirinya pernah memiliki hubungan dengan
Dewi Banuwati di masa lalu.
Prabu Tejabirawa menjawab hal itu
tidak penting, karena yang paling penting adalah bagaimana caranya Raden Arjuna
bisa mendapatkan Dewi Banuwati. Raden Arjuna merasa bimbang karena dalam hati
ia memang masih mencintai sepupunya itu yang kini telah menjadi istri Prabu
Duryudana di Kerajaan Hastina. Prabu Tejabirawa menjawab itu soal mudah.
Membangun jalan raya yang lurus dari Kerajaan Pulorajapeti saja bisa ia
lakukan, apalagi hanya soal merebut Dewi Banuwati dari tangan Prabu Duryudana.
Prabu Tejabirawa berjanji akan menyihir pikiran Prabu Duryudana agar membenci
dan menceraikan istrinya itu, sehingga Raden Arjuna bisa menikahinya.
Raden Arjuna tertarik dan
bertanya apa yang bisa ia lakukan sebagai imbal balik. Prabu Tejabirawa pun
berkata bahwa ia meminta bantuan Raden Arjuna untuk memukul mundur pasukan
Amarta dan mengusir Kyai Semar dari rumahnya karena akan dilalui jalan raya
yang ia dibangun. Raden Arjuna setuju. Ia pun melepaskan panah ke udara sambil
membaca mantra. Tiba-tiba muncul angin topan yang menderu dan menerbangkan para
prajurit Amarta meninggalkan Desa Karangkadempel.
Arya Wrekodara heran melihat
adiknya yang tiba-tiba berubah pikiran dan kini menjadi teman Prabu Tejabirawa.
Ia mencoba melawan namun tubuhnya ikut terlempar oleh angin topan yang
dikerahkan Raden Arjuna tersebut.
Arya Wrekodara |
KYAI SEMAR MENINGGALKAN DESA KARANGKADEMPEL
Setelah pasukan Amarta
berhamburan diterjang angin, Raden Arjuna lalu masuk ke rumah Kyai Semar untuk
memintanya segera pergi. Ia berkata bahwa rumah Kyai Semar akan digusur karena
dilewati jalur jalan raya yang sedang dibangun Prabu Tejabirawa untuk menghubungkan
Kerajaan Pulorajapeti dengan Kerajaan Bandakasapta.
Saat itu Kyai Semar sedang
duduk termenung memikirkan istrinya yang telah lama hilang, yaitu Dewi
Kanastren. Ia pun heran melihat Raden Arjuna tiba-tiba datang membela orang
asing. Ia menasihati Raden Arjuna agar kembali pada tugasnya sebagai kesatria, yaitu
melindungi seluruh rakyat dan setiap jengkal wilayah Kerajaan Amarta, bukannya justru
membela musuh yang ingin merusak negaranya. Raden Arjuna tidak peduli dan tetap
meminta Kyai Semar pergi. Ia berjanji akan memberikan desa lain sebagai tempat
tinggal asalkan Kyai Semar bersedia pergi dari Desa Karangkadempel. Kyai Semar
berkata bahwa ia tidak butuh desa yang baru, melainkan hanya ingin Raden Arjuna
kembali ke jalan yang benar, tidak lagi membela musuh yang hendak menginjak-injak
kedaulatan Kerajaan Amarta.
Raden Arjuna marah dan
menakut-nakuti Kyai Semar menggunakan panah yang siap dilepaskan. Ia berkata
bahwa dirinya telah memiliki segalanya, yaitu wajah yang tampan, ilmu kesaktian
yang tinggi, beberapa istri yang cantik serta rukun, serta kekayaan yang cukup.
Ia merasa sudah tidak perlu memiliki pengasuh segala. Dirinya sudah dewasa, sudah
tidak membutuhkan saran dan nasihat dari Kyai Semar yang hanya seorang rakyat
jelata.
Kyai Semar prihatin melihat
perlakuan Raden Arjuna kepadanya. Ia merasa sangat sedih karena ucapannya sudah
tidak lagi didengar oleh majikan yang paling ia sayangi itu. Kyai Semar pun
mengheningkan cipta kemudian tubuhnya melesat terbang ke angkasa. Raden Arjuna
penasaran dan segera mengejar ke mana pengasuhnya itu pergi.
Setelah Kyai Semar dan Raden
Arjuna meninggalkan Desa Karangkadempel, Prabu Tejabirawa segera memerintahkan
para prajuritnya untuk melanjutkan pembongkaran rumah. Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong berusaha menghalangi tetapi jumlah pasukan Bandakasapta terlalu banyak.
Ketiga panakawan itu pun kabur melarikan diri.
Para prajurit Bandakasapta beramai-ramai
hendak merobohkan rumah Kyai Semar tetapi gagal. Padahal, rumah tersebut
hanyalah gubuk kayu biasa tetapi ternyata sulit sekali dirobohkan.
Kyai Semar |
KYAI SEMAR DIUBAH MENJADI TAMPAN
Kyai Semar melesat terbang hingga
sampai di Kahyangan Awang-Awang Kumitir, tempat leluhur para dewa, yaitu
Sanghyang Padawenang bersemayam. Sanghyang Padawenang pun menyambut putranya
itu dan bertanya mengapa tiba-tiba datang berkunjung ke kahyangan. Kyai Semar menjawab
bahwa dirinya sudah jenuh menjadi pengasuh para Pandawa. Ucapannya tidak lagi
didengarkan dan ia kini merasa telah tersisih. Rupanya Raden Arjuna hanya
menganggap para panakawan sebagai penghibur belaka, bukannya sebagai pengasuh
yang bisa memberikan nasihat-nasihat kebaikan.
Sanghyang Padawenang
menasihati Kyai Semar agar jangan mudah berputus asa. Dulu ketiga putra telah
diatur pembagian perannya. Batara Guru si bungsu bertugas memimpin kahyangan
sebagai raja para dewa. Batara Antaga bertugas sebagai pengasuh kaum raksasa dengan
nama Kyai Togog, untuk mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Sementara itu,
Batara Ismaya sebagai Kyai Semar bertugas membimbing kaum kesatria agar tidak
jatuh ke dalam kesesatan.
Sanghyang Padawenang
mengingatkan Kyai Semar bahwa para Pandawa ditakdirkan menjadi para kesatria
pembela kebenaran yang kelak berperan penting dalam menumpas angkara murka di
muka bumi. Jika saat ini Raden Arjuna berbuat khilaf, maka sudah menjadi tugas
Kyai Semar untuk mengembalikannya ke jalan yang benar. Justru apabila Raden
Arjuna dibiarkan tetap khilaf, maka hal ini akan sangat berbahaya. Raden Arjuna
memiliki kesaktian luar biasa, jangan sampai ia disalahgunakan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab.
Kyai Semar memahami maksud
Sanghyang Padawenang. Ia pun meminta wujudnya diubah menjadi kesatria tampan
demi untuk menyadarkan Raden Arjuna. Ia ingin Raden Arjuna sadar dari
kesombongan bahwa ada yang lebih tampan dan sakti daripada dirinya. Sanghyang
Padawenang mengabulkan permintaan putranya itu. Wujud Kyai Semar pun diubah
menjadi kesatria tampan, dan diberi nama Bambang Dewakasimpar. Makna dari nama
itu ialah, dewa yang tersisih.
Bambang Dewakasimpar alias
Kyai Semar berterima kasih atas bantuan Sanghyang Padawenang. Ia lalu mohon
restu dan segera pamit undur diri meninggalkan Kahyangan Awang-Awang Kumitir.
Sanghyang Wenang |
BAMBANG DEWAKASIMPAR MENAKLUKKAN RADEN ARJUNA
Bambang Dewakasimpar telah
turun kembali ke dunia di mana ia bertemu Nala Gareng, Petruk, dan Bagong yang
berlarian tak tentu arah. Ia pun bertanya mengapa mereka bertiga kabur
meninggalkan Kerajaan Amarta. Ketiga panakawan itu heran dari mana Bambang
Dewakasimpar tahu bahwa mereka berasal dari Kerajaan Amarta. Tidak hanya itu,
Bambang Dewakasimpar juga berkata bahwa mereka bertiga mulai sekarang tidak
perlu lagi mengabdi kepada para Pandawa, tetapi lebih baik mengabdi kepada
dirinya saja.
Nala Gareng, Petruk, dan
Bagong berunding lalu mereka pun sepakat menjadikan Bambang Dewakasimpar
sebagai majikan yang baru. Tidak lama kemudian Raden Arjuna datang untuk
mencari Kyai Semar. Ia heran bercampur marah melihat ketiga panakawan kini
mengabdi pada majikan baru yang tidak dikenal dan tidak jelas asal usulnya.
Petruk mewakili
saudara-saudaranya menjawab bahwa terserah mereka mau mengabdi pada siapa.
Salah sendiri Raden Arjuna lebih suka menuruti hawa nafsu, tidak lagi
menghargai para panakawan. Para panakawan diperlakukan hanya sebagai penghibur
belaka, sebagai benda yang tidak punya perasaan. Kini ada Bambang Dewakasimpar
yang tidak kalah tampan dibanding Raden Arjuna bersedia melindungi mereka,
tentunya mereka pun dengan senang hati mengabdi kepadanya.
Raden Arjuna marah dan
menantang Bambang Dewakasimpar bertarung. Apa gunanya memiliki wajah tampan tapi
kalau tidak memiliki kesaktian yang cukup. Bambang Dewakasimpar pun menerima
tantangan itu. Mereka lalu bertarung sengit disaksikan ketiga panakawan. Raden
Arjuna terkejut melihat kesaktian lawannya. Lama-lama ia merasa terdesak dan akhirnya
mengaku kalah.
Bambang Dewakasimpar
menasihati Raden Arjuna agar jangan bersikap sombong merasa paling tampan, paling
sakti, paling kuat, paling pintar, paling terhormat, karena di atas langit
masih ada langit. Raden Arjuna mohon maaf telah berbuat khilaf karena didorong
hawa nafsu. Ia pun bersedia mengabdi kepada Bambang Dewakasimpar. Bambang
Dewakasimpar menerima pengabdian Raden Arjuna dan menjadikannya sebagai
panakawan, bersaudara dengan Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Arjuna merasa sangat
malu. Namun, sebagai pihak yang kalah ia tidak dapat membantah dan mau tidak
mau harus menerima keputusan Bambang Dewakasimpar dengan lapang dada.
Para panakawan |
BAMBANG DEWAKASIMPAR BERTEMU RADEN SUCITRA
Bambang Dewakasimpar dan para
panakawan melanjutkan perjalanan. Mereka lalu bertemu Raden Sucitra, putra
Prabu Sasrasudarma yang ditugasi mencari jago untuk menghadapi Prabu Tejabirawa
dan Patih Sarabirawa. Bambang Dewakasimpar bertanya mengapa kedua orang itu
harus dikalahkan. Raden Sucitra pun menceritakan semua dari awal hingga akhir,
sampai pada cerita tentang kakaknya yang bernama Dewi Sutiragen mengajukan
syarat kepada Prabu Tejabirawa agar dibuatkan jalan lurus yang menghubungkan
Kerajaan Pulorajapeti dan Kerajaan Bandakasapta.
Bambang Dewakasimpar mendengar
dengan seksama dan ia pun bersedia menjadi jago Kerajaan Pulorajapeti
menghadapi Prabu Tejabirawa. Namun, ia meminta imbalan Dewi Sutiragen harus
menjadi istrinya. Raden Sucitra tidak berani memutuskan, tetapi jika memang
Bambang Dewakasimpar mampu mengalahkan Prabu Tejabirawa, maka ia akan membantu
meminta ayahnya untuk mengabulkan hal itu.
Bambang Dewakasimpar
menyanggupi. Mereka lalu berangkat bersama-sama menuju tempat Prabu Tejabirawa
dan pasukannya yang masih tertahan di Desa Karangkadempel.
Raden Sucitra |
BAMBANG DEWAKASIMPAR MENGALAHKAN PRABU TEJABIRAWA
Prabu Tejabirawa dan Patih
Sarabirawa masih sibuk berusaha merobohkan rumah Kyai Semar di Desa
Karangkadempel. Tidak lama kemudian Bambang Dewa Kasimpar datang menantang
mereka. Terjadilah pertempuran di mana Prabu Tejabirawa dan Patih Sarabirawa tidak
mampu mengatasi kesaktian Bambang Dewakasimpar. Mereka pun bertempur dengan sengit
hingga wujud masing-masing berubah. Bambang Dewakasimpar kembali menjadi Kyai
Semar, sedangkan Prabu Tejabirawa berubah menjadi Kyai Togog, dan Patih
Sarabirawa menjadi Bilung Sarahita.
Kyai Semar bertanya mengapa
Kyai Togog (kakaknya) menyamar sebagai raja segala. Kyai Togog pun berkata
bahwa dirinya sudah bosan menjadi pengasuh para raksasa. Mereka lebih suka
menuruti hawa nafsu, menolak segala nasihat dan petuah yang ia berikan. Kyai
Togog merasa tidak ada gunanya lagi punya suara tetapi tidak didengarkan. Lebih
baik menjadi raja saja, biar bisa merasakan bagaimana nikmatnya memerintah,
bukannya diperintah orang. Ia juga menyebut Kyai Semar jauh lebih bagus
nasibnya karena mengasuh kaum kesatria. Mereka adalah ahli tapa yang cinta pada
kebenaran, bukannya mengumbar nafsu pribadi seperti kaum raksasa.
Kyai Semar berkata bahwa Kyai
Togog hanyalah iri tanpa mengetahui yang sebenarnya terjadi. Menjadi pamong
para kesatria jauh lebih sulit karena yang diasuh adalah para ahli tapa, dan
itu berarti Kyai Semar harus lebih rajin bertapa pula. Yang diasuh ahli puasa,
maka Kyai Semar harus rajin berpuasa pula demi menjadi contoh bagi mereka,
sehingga nasihatnya tidak dianggap sebagai nasihat semu. Kyai Togog jauh lebih
bagus nasibnya karena yang diasuh para raksasa. Apabila tidak dapat dibina maka
tinggal dibinasakan saja.
Kyai Togog merasa ucapan
adiknya ada benarnya juga. Selama ini ia kesal karena nasihat-nasihatnya tidak
didengar oleh kaum raksasa. Ia pun mengubah diri menjadi raja supaya bisa
memerintah, bukan lagi diperintah. Namun, ternyata menjadi raja tidak seperti
yang ia bayangkan. Tanggung jawabnya sangat besar dan kerjanya siang malam.
Lebih baik menjadi panakawan saja, menyuarakan kebaikan meskipun tidak
didengar.
Kyai Semar menjelaskan bahwa
Kyai Togog tidak perlu berkecil hati karena memang demikianlah tugasnya di muka
bumi. Kyai Togog adalah simbol hati nurani yang selalu berbisik tentang kebaikan.
Itulah sebabnya Kyai Togog bisa berada di mana-mana. Kadang ia mengasuh raja
ini, kadang ia muncul untuk mengasuh raja yang lain. Demikianlah, setiap
manusia walaupun seorang penjahat sekalipun pasti memiliki hati nurani. Hanya
saja, suara hati nurani para penjahat seringkali tidak didengar. Orang yang
pertama kali berbuat jahat pasti ada rasa penyesalan. Namun, semakin sering ia
berbuat jahat, semakin kebal perasaannya, karena memang ia sudah tidak bisa
lagi mendengar bisikan hati nuraninya. Sama seperti nasib Kyai Togog. Semakin
jahat raja raksasa yang diasuhnya, maka semakin kebal pula mereka terhadap
nasihat kebaikan.
Kyai Togog dapat menerima
penjelasan adiknya. Ia lalu mohon pamit untuk kemudian pergi meninggalkan Desa
Karangkadempel bersama Bilung Sarahita.
Kyai Togog |
KYAI SEMAR MELAMAR DEWI SUTIRAGEN
Raden Arjuna sangat terkejut
melihat wujud asli Bambang Dewakasimpar ternyata adalah penjelmaan Kyai Semar.
Ia pun meminta maaf tadi telah berbuat kasar kepada pamongnya itu, karena
terdorong oleh nafsu ingin memiliki Dewi Banuwati seperti yang dijanjikan Prabu
Tejabirawa kepadanya. Ia berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan kasarnya
dan bersedia mendengaran nasihat-nasihat dari Kyai Semar.
Kyai Semar berkata bahwa tiada
gunanya Raden Arjuna menginginkan Dewi Banuwati yang sudah bersuami. Di dunia
ini masih banyak perempuan cantik yang masih gadis dan belum terikat oleh orang
lain. Ia lalu bertanya kepada Raden Sucitra tentang perjanjian di awal tadi,
yaitu menyerahkan Dewi Sutiragen kepadanya. Raden Sucitra agak ragu-ragu karena
wujud asli Bambang Dewakasimpar yang tampan ternyata adalah Kyai Semar yang
buruk rupa. Namun, karena sudah terlanjur berjanji, mau tidak mau ia pun
mengantarkan Kyai Semar menuju Kerajaan Pulorajapeti.
Sesampainya di hadapan Prabu
Sasrasudarma, Raden Sucitra bercerita panjang lebar tentang kehebatan Bambang
Dewakasimpar dalam mengalahkan Prabu Tejabirawa dan Patih Sasrabirawa. Kini
Bambang Dewakasimpar telah kembali ke wujud aslinya, yaitu Kyai Semar dan ia
pun datang ke Pulorajapeti untuk meminta Dewi Sutiragen sebagai imbalan.
Prabu Sasrasudarma marah-marah
menyebut Kyai Semar sebagai manusia lancang yang tidak melihat dirinya seperti
apa. Kyai Semar hanyalah seorang tua bertubuh bulat gemuk, berwajah jelek, dan
juga dari kalangan rakyat jelata tetapi berani malamar putrinya. Kyai Semar pun
bertanya yang hendak menjalani rumah tangga itu Prabu Sasrasudarma ataukah Dewi
Sutiragen? Lamaran Kyai Semar ini ditujukan kepada Dewi Sutiragen, maka biarlah
dia saja yang menjawab bersedia atau tidak.
Prabu Sasrasudarma pun
memanggil Dewi Sutiragen untuk menanyainya apakah bersedia menjadi istri Kyai
Semar atau tidak. Sungguh di luar dugaan, ternyata putrinya itu menjawab
bersedia dengan senang hati. Kyai Semar senang mendengarnya. Ia pun berkata
kepada Prabu Sasrasudarma bahwa Dewi Sutiragen adalah penjelmaan Dewi
Kanastren, yaitu istrinya yang telah lama hilang.
Prabu Sasrasudarma merasa
sangat malu dan ia pun mengakui bahwa Dewi Sutiragen memang bukan putri
kandungnya, tetapi putri angkat yang dipersaudarakan dengan kedua anaknya yang
lain, yaitu Raden Sucitra dan Dewi Sulastri. Dewi Sutiragen pun berkata bahwa
dirinya memang benar memiliki nama asli Dewi Kanastren, istri Kyai Semar yang
sudah lama menghilang dari Desa Karangkadempel.
Prabu Sasrasudarma |
RADEN ARJUNA MENIKAHI DEWI SULASTRI
Dewi Kanastren mohon pamit
kepada Prabu Sasrasudarma dan ia berterima kasih banyak atas segala kasih
sayang yang diberikan oleh ayah angkatnya itu selama ini. Prabu Sasrasudarma
merasa sangat kehilangan, begitu pula dengan Raden Sucitra dan Dewi Sulastri
yang selama ini telah menganggap Dewi Kanastren sebagai kakak kandung. Dewi
Sulastri bahkan menangis dan ingin diajak serta apabila Dewi Kanastren pulang
ke Desa Karangkadempel. Ia ingin agar selalu berada di dekat kakaknya tersebut.
Dewi Kanastren mendapat akal.
Ia pun mengusulkan agar Dewi Sulastri menjadi istri Raden Arjuna saja. Dengan cara
demikian, maka adiknya itu bisa selalu berada dekat dengannya, karena Desa
Karangkadempel dan Kasatrian Madukara sama-sama berada di dalam wilayah
Kerajaan Amarta.
Melihat wajah Dewi Sulastri
yang cantik jelita, Raden Arjuna pun menyatakan setuju pada usulan Dewi
Kanastren tersebut. Maka, ia segera melamar gadis itu kepada ayahnya. Prabu
Sasrasudarma sudah sering mendengar berita tentang kehebatan Raden Arjuna namun
baru kali ini bisa bertemu dengannya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia pun
merestui Raden Arjuna menjadi suami putri bungsunya.
Demikianlah, Prabu
Sasrasudarma mengadakan upacara pernikahan antara Raden Arjuna dengan Dewi
Sulastri. Setelah satu bulan berlalu, Raden Arjuna memboyong Dewi Sulastri
menuju Kesatrian Madukara. Raden Sucitra yang tidak bisa jauh dengan adiknya
juga menyatakan ikut serta dan ingin mengabdi di Kesatrian Madukara. Raden
Arjuna pun menerima pengabdian kakak iparnya itu dan menjadikannya sebagai
patih.
Karena Raden Arjuna telah
menikah dengan Dewi Sulastri yang merupakan adik angkat Dewi Kanastren, maka
mulai hari itu ia pun memanggil Kyai Semar dengan sebutan “kakang”.
Raden Arjuna |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah kelahiran Kyai Togog, Kyai Semar, dan Batara Guru dapat
dibaca di sini
Untuk kisah awal pertemuan Kyai Semar dengan Dewi Kanastren dapat
dibaca di sini
Mantap ceritanya.penuh kisah dan hikmah lahir dan batin
BalasHapusterimakasih sudah membuat blog ini.
BalasHapusMakasihh cerita dan penjelasannya....
BalasHapusTerima kasih, semoga cerita-cerita ini bisa terus dilestarikan.. Amiin..
BalasHapus