Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Wisanggeni, yaitu putra Raden
Arjuna yang lahir dari Batari Dresanala, putri Batara Brahma. Bambang
Wisanggeni ini adalah putra Pandawa yang sangat istimewa, tidak terkalahkan
karena adakalanya menjadi tempat Sanghyang Padawenang bersemayam.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari dongeng bapak yang saya
padukan dengan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan
sedikit pengembangan seperlunya.
Kediri, 13 Desember 2017
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini
Bambang Wisanggeni. |
------------------------------
ooo ------------------------------
BATARA BRAHMA TELAH MENGAMBIL RADEN ARJUNA SEBAGAI MENANTU
Di Kahyangan Jonggringsalaka,
Batara Guru sedang memimpin pertemuan para dewa yang dihadiri Batara Narada,
Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, Batara Indra, dan Batara Panyarikan.
Dalam pertemuan itu Batara Guru bertanya kepada Batara Brahma mengapa cukup lama
tidak datang menghadap. Batara Brahma menjelaskan bahwa ia baru saja menikahkan
putrinya yang bernama Batari Dresanala dengan Pandawa nomor tiga, yaitu Raden
Arjuna.
Batara Guru bertanya bagaimana
ceritanya Raden Arjuna bisa menikah dengan bidadari. Jasa apa yang telah ia perbuat
sehingga bisa menjadi suami Batari Dresanala. Batara Brahma pun bercerita,
awalnya ia mempunyai murid bernama Prabu Setaketu dari Kerajaan Selapura. Prabu
Setaketu ini dari luar tampak sangat berbakti dan mematuhi segala petunjuk yang
diberikan Batara Brahma, namun di dalam hati menyimpan maksud lain. Hingga pada
suatu hari Prabu Setaketu menunjukkan watak aslinya. Ia berkhianat menjebak
Batara Brahma masuk ke dalam perangkapnya. Rupanya Prabu Setaketu adalah pemuja
Batara Kala yang ingin menyenangkan dewa sesembahannya itu. Batara Brahma sendiri
berhasil meloloskan diri namun kesaktiannya banyak berkurang karena perangkap Prabu
Setaketu. Dalam pelariannya itu, Batara Brahma bertemu Raden Arjuna yang sedang
berkelana. Ia pun meminta bantuan Pandawa nomor tiga tersebut untuk menghadapi
Prabu Setaketu.
Raden Arjuna menyanggupi. Ia
lalu menghadang Prabu Setaketu yang datang mengejar Batara Brahma. Mereka
berdua lalu bertarung sengit. Setelah lama bertanding, Raden Arjuna berhasil
menewaskan Prabu Setaketu. Batara Brahma sangat berterima kasih. Sebagai ungkapan
syukur, ia pun menikahkan Raden Arjuna dengan putrinya yang bernama Batari
Dresanala. Demikianlah kisahnya mengapa Batara Brahma lama tidak menghadap ke
Kahyangan Jonggringsalaka. Batara Guru memaklumi dan ia pun merestui perkawinan
Raden Arjuna dengan Batari Dresanala, semoga kelak mendapat keturunan manusia
utama yang memiliki kesaktian istimewa.
Batara Guru. |
BATARI DURGA MELAMAR BATARI DRESANALA UNTUK PRABU DEWASRANI
Ketika para dewa sedang
mengucapkan selamat kepada Batara Brahma yang mendapatkan menantu baru, tiba-tiba
Batari Durga datang bersama putranya yang bernama Prabu Dewasrani, raja
Tunggulmalaya. Batari Durga datang menghadap Batara Guru untuk menyampaikan
maksud Prabu Dewasrani yang ingin menikah dengan Batari Dresanala. Untuk itu,
ia pun memohon kepada Batara Guru agar merestui perjodohan mereka.
Batara Guru berkata bahwa
keinginan Prabu Dewasrani tersebut sudah terlambat karena Batari Dresanala telah
menikah dengan Panengah Pandawa, yaitu Raden Arjuna. Untuk itu, ia menyarankan
agar Prabu Dewasrani memilih bidadari yang lain saja sebagai istri. Prabu
Dewasrani menolak karena ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Batari Dresanala
dan tidak bersedia jika diganti dengan bidadari lainnya.
Batari Durga pun membela
putranya. Ia bertanya mengapa Batara Guru lebih mendukung Raden Arjuna yang
bukan siapa-siapa, dan mengorbankan keinginan putra sendiri. Batari Durga
mengingatkan suaminya itu adalah raja para dewa, tentunya memiliki kuasa tanpa
batas. Batara Guru bahkan berhak untuk menceraikan Batari Dresanala dengan
Raden Arjuna, lalu menikahkannya dengan Prabu Dewasrani.
Batara Narada menyela ikut
bicara. Ia mengingatkan bahwa memisahkan dua orang yang sudah menikah bukanlah
perbuatan terpuji. Batara Guru adalah raja para dewa, tentunya harus tetap berbuat
adil dan bijaksana, bukan justru berbuat seenaknya. Batari Dresanala sudah
menikah dengan Raden Arjuna, dan mereka tidak boleh dipisahkan begitu saja.
Batari Durga memotong
pembicaraan Batara Narada dan ia semakin gencar merayu Batara Guru. Sambil
menangis-nangis ia berkata bahwa Batara Guru sudah melupakan kewajiban sebagai
ayah. Sejak kecil Prabu Dewasrani berada dalam asuhan Batari Durga tanpa sekali
pun Batara Guru menjenguk atau menujukkan tanggung jawabnya sebagai ayah. Dalam
hal ini Batari Durga tidak menyesal. Yang ia sesali hanyalah Batara Guru rela
melihat anaknya patah hati padahal bisa memberikan bantuan dengan mengandalkan
kekuasaannya.
Bujuk rayu Batari Durga telah
menyentuh perasaan Batara Guru. Ia pun memutuskan akan membantu Prabu Dewasrani
mendapatkan Batari Dresanala. Batara Brahma lalu diperintah untuk menceraikan
Batari Dresanala dengan Raden Arjuna. Apabila Batari Dresanala sudah terlanjur
mengandung, maka janin dalam rahimnya harus digugurkan.
Batara Brahma terkejut
mendengar perintah itu. Ia pun memohon agar Batara Guru tidak memberikan tugas
berat seperti ini. Namun, Batara Guru justru marah karena tugas ringan seperti
itu disebut berat. Ia sudah membulatkan tekad untuk mengabulkan keinginan Prabu
Dewasrani, maka Batara Brahma tidak perlu mengarang-ngarang alasan segala. Ia
memerintahkan Batara Brahma agar secepatnya mengusir Raden Arjuna dari
Kahyangan Daksinageni dan menyerahkan Batari Dresanala kepada Prabu Dewasrani.
Jika tidak, maka Batara Guru sendiri yang akan bertindak. Batara Brahma tidak
berani membantah lagi. Ia pun mohon pamit meninggalkan Kahyangan
Jonggringsalaka. Batari Durga berterima kasih kepada sang suami, lalu mohon
pamit pula untuk mengikuti Batara Brahma bersama Prabu Dewasrani.
Sepeninggal mereka, Batara
Narada mengaku sangat kecewa melihat Batara Guru yang termakan bujuk rayu
Batari Durga, sehingga bersikap tidak adil kepada Raden Arjuna dan Batari
Dresanala. Batara Guru tidak peduli dan memaki Batara Narada yang terlalu
banyak mencampuri urusan rumah tangganya. Batara Brahma adalah putra Batara
Guru, dan Batari Dresanala adalah cucunya. Maka, Batara Guru merasa berhak
menikahkan Batari Dresanala dengan laki-laki yang ia kehendaki. Apabila Batara
Narada berani menentang, maka ia tidak segan-segan memecat sepupunya itu dari jabatan
kamituwa Kahyangan Jonggringsalaka.
Batara Narada menjawab dirinya
tidak takut dipecat. Bahkan, ia sendiri yang menyatakan mundur dan melepaskan
jabatan daripada melayani raja dewa yang tidak adil. Usai berkata demikian,
Batara Narada pun pergi meninggalkan pertemuan.
Batara Guru mencurigai Batara
Narada akan melakukan pemberontakan. Maka, ia pun memerintahkan Batara Sambu,
Batara Bayu, dan para putranya yang lain agar mengejar dan menangkap Batara
Narada. Apabila Batara Narada bersedia meminta maaf, maka ia bisa kembali memperoleh
jabatannya sebagai kamituwa Kahyangan Jonggringsalaka. Namun, apabila Batara
Narada melawan, maka putra-putranya diberi wewenang untuk berbuat kasar
seperlunya. Batara Sambu dan yang lain merasa perintah ini sangat berat, namun
mereka tidak berani membantah.
Batari Durga. |
BATARA NARADA DILINDUNGI PARA PUTRA BATARA ISMAYA
Batara Narada yang bergegas
meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka tiba-tiba dikejar oleh putra-putra
Batara Ismaya, antara lain Batara Kamajaya, Batara Surya, Batara Yamadipati,
dan Batara Temburu. Para dewa itu bertanya mengapa Batara Narada meninggalkan
pertemuan dengan wajah marah. Batara Narada pun menjelaskan dari awal hingga
akhir, terutama soal ketidakadilan Batara Guru terhadap Raden Arjuna, karena
termakan bujuk rayu Batari Durga.
Batara Kamajaya dan
saudara-saudaranya ikut kesal mendengar cerita tersebut. Mereka lalu menyatakan
ikut bergabung dengan Batara Narada, meskipun harus kehilangan jabatan. Batara
Narada senang mendengarnya. Hari ini ia berniat melaporkan ketidakadilan Batara
Guru pada leluhur para dewa, yaitu Sanghyang Padawenang di Kahyangan
Awang-awang Kumitir. Para putra Batara Ismaya tersebut diminta untuk ikut
menemani.
Tiba-tiba Batara Sambu, Batara
Indra, Batara Bayu, Batara Asmara, Batara Cakra, dan Batara Mahadewa datang
membawa pasukan dorandara untuk mengepung Batara Narada dan kawan-kawan. Mereka
membawa perintah Batara Guru agar menangkap Batara Narada. Apabila Batara
Narada bersedia meminta maaf, maka mereka akan berbuat sopan. Namun, apabila
Batara Narada melawan, mereka pun terpaksa menggunakan kekerasan.
Batara Narada semakin marah
mendengar hal itu. Batara Kamajaya pun meminta Batara Narada tidak perlu
mendengarkan mereka. Jika para putra Batara Guru menggunakan kekerasan, maka
putra-putra Batara Ismaya siap menghadapi. Batara Sambu marah mendengarnya dan
memerintahkan pasukan dorandar untuk maju menyerang.
Demikianlah, perang saudara
antara para dewa pun terjadi. Batara Narada merasa berhutang budi kepada para
putra Batara Ismaya. Dengan berat hati ia pun meloloskan diri untuk pergi ke Kahyangan
Awang-awang Kumitir. Sementara itu, Batara Kamajaya dan para saudara bertempur
sekuat tenaga melawan para putra Batara Guru dan pasukannya, hingga akhirnya
mereka semua tertangkap karena jumlah lawan jauh lebih banyak.
Batara Kamajaya. |
BATARA NARADA MENGHADAP SANGHYANG PADAWENANG
Batara Narada yang terbang
secepat kilat akhirnya sampai di Kahyangan Awang-awang Kumitir. Di sana ia
menghadap Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa. Kepada Sanghyang Padawenang,
Batara Narada melaporkan apa yang terjadi di Kahyangan Jonggringsalaka, yaitu
bagaimana Batara Guru menyalahgunakan kekuasaan dengan lebih mementingkan
urusan pribadi. Akibat bujuk rayu Batari Durga, Batara Guru tega berlaku kurang
adil kepada Raden Arjuna dan Batari Dresanala dengan cara menceraikan mereka
berdua yang sudah resmi menikah.
Sanghyang Padawenang menerima
laporan Batara Narada. Ia lalu bertanya apa yang telah dilakukan Batara Narada
sebagai kamituwa kahyangan, apakah sudah berusaha menasihati Batara Guru untuk
bertindak benar? Batara Narada tidak berani menjawab karena takut menyombongkan
diri. Sanghyang Padawenang tentunya dapat melihat sendiri apa yang telah
terjadi dengan pandangan saktinya. Sanghyang Padawenang membenarkan hal itu
bahwa dirinya memang dapat melihat Batara Guru telah berbuat tidak adil.
Sanghyang Padawenang lalu berkata
bahwa Batari Dresanala saat ini telah mengandung putra Raden Arjuna. Melalui
janin dalam perut bidadari tersebut, ia berniat memberikan hukuman atas
kesalahan Batara Guru. Ia pun memerintahkan Batara Narada untuk mengawasi bayi itu
apabila sudah lahir, sedangkan dirinya sendiri yang akan melindungi si bayi.
Batara Narada gembira mendengarnya dan berterima kasih atas bantuan Sanghyang
Padawenang yang sudi turun gunung. Kedua dewa itu lalu berangkat menuju
Kahyangan Daksinageni.
Sanghyang Padawenang. |
BATARA BRAHMA MENCERAIKAN RADEN ARJUNA DAN BATARI DRESANALA
Sementara itu, Batara Brahma
telah sampai di tempat tinggalnya, yaitu Kahyangan Daksinageni. Batari Dresanala
dan Raden Arjuna menyambut kedatangannya. Batara Brahma tampak gugup. Namun,
demi menjalankan perintah Batara Guru, ia terpaksa berbohong bahwa Raden Arjuna
harus segera pulang ke Kerajaan Amarta, karena Batari Dresanala diminta Batara
Guru untuk menjadi pelengkap barisan bidadari Kahyangan Jonggringsalaka yang
jumlahnya sakethi kurang sawiji atau
99.999 orang.
Raden Arjuna merasa curiga
namun dipendamnya dalam hati. Ia lalu mohon pamit kepada Batara Brahma dan
Batari Dresanala untuk pergi meninggalkan Kahyangan Daksinageni. Batari
Dresanala tidak tega melepas kepergian sang suami, namun ayahnya tampak memaksa
agar mereka segera berpisah. Dengan berat hati akhirnya Batari Dresanala pun
mempersilakan Raden Arjuna pergi.
Sepeninggal Raden Arjuna,
barulah Batara Brahma berterus terang bahwa Batara Guru menghendaki Batari
Dresanala bercerai dengan suaminya itu, karena akan dinikahkan dengan Prabu
Dewasrani raja Tunggulmalaya. Batari Dresanala tidak bersedia karena cintanya
hanya untuk Raden Arjuna seorang. Batara Brahma membujuk putrinya itu bahwa
Prabu Dewasrani jauh lebih pantas sebagai suami daripada Raden Arjuna. Prabu
Dewasrani seorang raja yang belum menikah, sedangkan Raden Arjuna hanyalah
pangeran biasa tetapi sudah mempunyai banyak istri. Apa gunanya dimadu dengan
sedemikian banyak perempuan? Bukankah lebih baik putrinya itu menjadi
permaisuri tunggal seorang raja muda yang tampan rupawan bernama Prabu
Dewasrani?
Batari Dresanala menjawab
hatinya sudah tertambat kepada Raden Arjuna. Jangankan menjadi istri yang
dimadu dengan banyak wanita, sedangkan menjadi pelayan Raden Arjuna pun ia
bersedia. Apa gunanya ia menjadi permaisuri raja Tunggulmalaya tetapi hatinya
selalu merindukan suami pertama? Lagipula, dalam rahimnya telah bersemayam
janin buah cinta antara dirinya dengan Raden Arjuna.
Batara Brahma. |
BATARA BRAHMA MEMAKSA BATARI DRESANALA MELAHIRKAN DINI
Batara Brahma marah mendengar
jawaban putrinya itu. Ia menyebut putrinya sebagai bidadari bodoh yang tak tahu
diuntung. Ia pun memukul Batari Dresanala hingga jatuh pingsan. Melihat
putrinya roboh tak sadarkan diri, Batara Brahma menyesal namun sudah kepalang
tanggung. Tugasnya harus dilaksanakan sampai tuntas. Ia berniat mengeluarkan
secara paksa janin dalam kandungan putrinya tersebut.
Pada saat itulah Sanghyang
Padawenang datang tanpa menampakkan diri. Ia segera masuk menyusup ke dalam
rahim Batari Dresanala. Sementara itu, Batara Brahma tampak mengheningkan cipta
sambil meraba perut putrinya. Ia lalu mengerahkan kesaktian untuk menggugurkan kandungan
Batari Dresanala. Namun, si janin bukannya mati tetapi justru bertambah besar
karena mendapat perlindungan dari Sanghyang Padawenang. Semakin Batara Brahma
memaksa janin itu keluar, ukuran si janin justru semakin bertambah besar. Dalam
sekejap usia kandungan Batari Dresanala sudah sama dengan kandungan berusia
sembilan bulan yang siap dilahirkan.
Batara Brahma heran dan
menduga pasti ada dewa lain yang berusaha menggagalkan rencananya. Namun, ia
sama sekali tidak menduga bahwa Sanghyang Padawenang yang turun langsung
melindungi janin putrinya. Bagaimanapun juga ilmu kesaktian Sanghyang
Padawenang jauh di atas Batara Brahma, sehingga Batara Brahma tidak dapat
merasakan kehadirannya.
Batara Brahma tidak peduli
entah siapa dewa yang ikut campur. Ia pun memijat perut putrinya agar janin
yang sudah matang itu keluar. Kali ini Sanghyang Padawenang ikut mendorong
sehingga bayi tersebut pun keluar dari rahim Batari Dresanala. Batara Brahma
lalu memungut bayi tersebut yang ternyata berkelamin laki-laki. Ia melihat
cucunya itu sangat tampan hingga membuat hatinya bergetar tidak tega untuk
membunuhnya.
Pada saat itulah Batari Durga
datang bersama Prabu Dewasrani. Mereka berdua datang untuk menjemput dan
memboyong Batari Dresanala. Batara Brahma tidak berani menolak. Ia pun mempersilakan
apabila putrinya dibawa pergi. Prabu Dewasrani berterima kasih lalu mengangkat
tubuh Batari Dresanala yang masih pingsan dan pergi meninggalkan Kahyangan
Daksinageni bersama ibunya.
Batara Narada. |
BAYI PUTRA BATARI DRESANALA TUMBUH DEWASA DALAM SEKEJAP
Setelah Batari Durga dan Prabu
Dewasrani pergi membawa putrinya, Batara Brahma kembali bimbang memandang si
bayi yang ada dalam gendongannya. Menurut perintah Batara Guru, bayi tersebut
harus dibunuh. Akan tetapi, Batara Brahma tidak tega jika harus mengambil nyawa
cucunya yang tampan tersebut. Berkali-kali ia mencoba mencekik leher si bayi
namun diurungkan di tengah jalan.
Setelah berpikir keras sambil
meneteskan air mata, Batara Brahma akhirnya teringat peristiwa dua puluh tahun
silam. Kala itu kahyangan diserang Patih Sekiputantra utusan Prabu Kalapracona
yang melamar Batari Supraba. Para dewa mengambil anak Arya Wrekodara yang masih
bayi dan menceburkannya ke dalam Kawah Candradimuka. Bayi tersebut bukannya
mati, tetapi justru berubah menjadi dewasa dalam waktu singkat, dan kemudian diberi
nama Raden Gatutkaca.
Teringat pada peristiwa
tersebut, Batara Brahma seolah mendapat gagasan. Ia pun membawa cucunya ke
Gunung Jamurdipa, di mana Kawah Candradimuka berada. Ia berkata kepada si bayi,
apabila nasibnya sama seperti Raden Gatutkaca, maka cucunya itu akan tetap
hidup dan keluar dari Kawah Candradimuka dengan selamat. Namun, apabila tidak
selamat, maka Batara Brahma meminta maaf terpaksa membunuh cucunya sendiri.
Usai berkata demikian, Batara Brahma pun melemparkan bayi dalam gendongannya ke
arah Kawah Candradimuka.
Sanghyang Padawenang yang
masih mengawasi diam-diam ikut terjun ke dalam kawah dan kemudian bersatu ke
dalam diri si bayi. Berkat kekuasaan Sanghyang Padawenang, bayi itu tidak mati
di dalam kawah, tetapi tubuhnya berkembang menjadi seorang pemuda belia. Kawah
Candradimuka tersebut kemudian menyala berkobar-kobar. Apinya membumbung tinggi
hingga ke langit luas. Dari dalam kobaran api tersebut keluarlah seorang remaja
yang langsung melompat menerjang Batara Brahma.
Batara Brahma jatuh
terjengkang. Ia heran bercampur gembira karena cucunya ternyata selamat dan
tumbuh dewasa seperti yang dulu dialami Raden Gatutkaca. Namun, ia kemudian
teringat pada perintah Batara Guru. Mau tidak mau ia terpaksa harus membunuh
cucunya tersebut. Akan tetapi, pemuda yang dihadapinya sudah mendapat kesaktian
dari Sanghyang Padawenang. Batara Brahma pun tidak dapat mengalahkannya, justru
ia yang dibuat lari tunggang langgang karena terdesak oleh remaja tersebut.
Batari Dresanala. |
BATARA NARADA MEMBERI NAMA ANAK DEWI DRESANALA
Batara Narada yang mengintai
dari jauh kagum menyaksikan wujud si pemuda yang berbadan kurus tetapi tampan
dan penuh keberanian. Mata pemuda itu tampak berkilat-kilat seperti api yang
menyala. Wajahnya pun kemerah-merahan, penuh dengan semangat keberanian.
Melihat Batara Narada
mendekat, pemuda itu bersiap-siap hendak menyerangnya. Namun, Batara Narada
berhasil menyabarkannya dengan cara mengaku sebagai kakek si pemuda. Pemuda itu
lalu bertanya siapa ia yang sebenarnya. Batara Narada menjawab, bahwa pemuda
itu adalah putra Raden Arjuna dengan Batari Dresanala. Sekarang ia sudah
dewasa, maka pantas apabila memiliki nama penggilan. Karena pemuda itu tampak
penuh semangat seperti api yang berkobar-kobar, maka Batara Narada pun
memberinya nama, Bambang Wisanggeni.
Pemuda itu senang mendengar
nama pemberian Batara Narada untuknya. Mulai hari itu, ia pun memakai nama
Bambang Wisanggeni.
Bambang Wisanggeni. |
BAMBANG WISANGGENI MELAWAN PARA PUTRA BATARA GURU
Tiba-tiba para putra Batara
Guru datang mengepung Batara Narada dan Bambang Wisanggeni. Mereka adalah
Batara Sambu, Batara Bayu, Batara Indra, Batara Asmara, Batara Cakra, dan
Batara Mahadewa yang membawa pasukan dorandara. Mereka berniat menangkap Batara
Narada sekaligus membunuh cucu Batara Brahma sesuai perintah Batara Guru.
Melihat itu, Batara Narada
segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni agar meminta mereka mengembalikan
ayah dan ibunya. Apabila para dewa itu menolak, maka Bambang Wisanggeni boleh
memukuli mereka. Bambang Wisanggeni yang mengira Batara Narada benar-benar
kakeknya segera bertindak mematuhi perintah tersebut. Ia pun meminta kepada para
dewa itu agar mengembalikan ayah dan ibunya. Para dewa tersebut tidak
tahu-menahu. Tanpa banyak bicara, Bambang Wisanggeni pun menerjang ke arah
mereka.
Batara Sambu dan adik-adiknya
tidak menyangka si pemuda begitu berani. Mereka berusaha menangkap pemuda itu,
namun Bambang Wisanggeni ternyata begitu gesit dan lincah. Tidak seorang pun
dewa yang berhasil menangkapnya. Sebaliknya, justru Bambang Wisanggeni yang
beberapa kali berhasil melayangkan pukulan dan tendangan ke arah para dewa
tersebut.
Batara Sambu merasa malu
dicundangi anak remaja tak dikenal. Karena semakin terdesak, ia pun mengajak
adik-adiknya mundur, kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka. Melihat pihak lawan
mundur, Batara Narada segera berbisik kepada Bambang Wisanggeni agar mengejar
mereka. Karena para dewa itu tidak dapat mengembalikan ayah dan ibunya, maka
Bambang Wisanggeni sebaiknya bertanya kepada raja para dewa yang bernama Batara
Guru. Bambang Wisanggeni pun bertanya seperti apa ciri-ciri raja para dewa
tersebut. Batara Narada menjawab, raja para dewa memiliki empat lengan.
Bambang Wisanggeni
menyanggupi. Ia lalu melesat terbang mengejar para dewa yang kabur tadi.
Batara Sambu. |
BAMBANG WISANGGENI MENGEJAR BATARA GURU
Di Kahyangan Jonggringsalaka,
Batara Guru menerima Batara Brahma yang menghadap dan melaporkan bahwa ia telah
menceraikan Raden Arjuna dan Batari Dresanala, namun tidak berhasil membunuh
anak mereka. Begitu si bayi yang dilahirkan Batari Dresanala diceburkan ke
dalam Kawah Candradimuka, bukannya mati tetapi justru tumbuh menjadi remaja
yang sangat sakti. Batara Brahma tidak mampu menghadapinya dan memilih kabur
melarikan diri.
Batara Guru tidak percaya
mendengar laporan itu. Ia menuduh Batara Brahma mengarang alasan karena tidak
tega membunuh cucu sendiri. Tiba-tiba Batara Sambu, Batara Bayu, dan yang lain
datang menghadap dalam keadaan babak belur. Mereka melapor baru saja dikalahkan
oleh seorang anak remaja berbadan kurus tetapi sangat sakti. Pemuda itu konon
bernama Bambang Wisanggeni.
Batara Guru termangu-mangu.
Kali ini ia tidak bisa lagi untuk tidak percaya. Ia yakin ada dewa sepuh yang melindungi
Bambang Wisanggeni. Batara Sambu menjawab dewa itu pastilah Batara Narada.
Batara Guru menjawab tidak mungkin, karena menurut firasatnya, dewa pelindung
itu tentunya lebih sepuh dibanding Batara Narada. Seketika Batara Guru pun
gemetar karena yakin bahwa dewa yang melindungi Bambang Wisanggeni pastilah
ayahnya, yaitu Sanghyang Padawenang. Berpikir demikian, Batara Guru merasa
takut sekaligus malu. Ia pun memilih kabur daripada bertemu Sanghyang
Padawenang.
Tak disangka, Bambang
Wisanggeni sudah berada di tempat itu. Sesuai pesan Batara Narada, Bambang
Wisanggeni pun meminta Batara Guru agar mengembalikan ayah dan ibunya. Batara
Guru tidak menjawab, tetapi kabur dan bersembunyi di balik awan. Namun, Bambang
Wisanggeni sudah berada di sampingnya dan bertanya di mana ayah ibunya berada.
Batara Guru terkejut dan meluncur
ke bawah untuk bersembunyi di dalam lautan. Akan tetapi, Bambang Wisanggeni
mampu menyusul pula ke dalam lautan. Batara Guru kembali kabur dan bersembunyi
di dalam gunung. Bambang Wisanggeni datang dan mengangkat gunung tersebut.
Batara Guru semakin ketakutan. Ia merasa perlu meminta bantuan para Pandawa dan
segera terbang menuju Kerajaan Amarta.
Prabu Puntadewa. |
BATARA GURU MEMINTA BANTUAN PARA PANDAWA
Di Kerajaan Amarta, Prabu
Puntadewa dihadap para adik, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna, Raden Nakula,
Raden Sadewa, serta para putra, yaitu Raden Pancawala, Raden Antareja, Raden
Gatutkaca, Raden Antasena, dan Raden Abimanyu. Hadir pula Prabu Kresna Wasudewa
yang datang berkunjung dari Kerajaan Dwarawati.
Dalam pertemuan itu, Prabu
Kresna bertanya kepada Raden Arjuna mengapa lama tidak terlihat. Raden Arjuna
menjawab, dirinya beberapa bulan yang lalu dimintai tolong Batara Brahma untuk
mengalahkan musuhnya yang bernama Prabu Setaketu dari Kerajaan Selapura.
Setelah Raden Arjuna menang, Batara Brahma sangat berterima kasih dan
menyerahkan putrinya yang bernama Batari Dresanala sebagai istri Panengah
Pandawa tersebut. Prabu Kresna memuji Raden Arjuna, apabila berkelana pasti
mendapat istri baru.
Tiba-tiba Batara Guru datang.
Para Pandawa dan hadirin lainnya segera menyembah, kecuali Arya Wrekodara dan
Raden Antasena yang hanya memberi salam, sesuai watak mereka yang apa adanya.
Batara Guru berkata dirinya sedang dalam kesulitan karena ada pemuda yang
mengacau di Kahyangan Jonggringsalaka. Pemuda ini bukan pemuda sembarangan tetapi
ada semacam kekuatan gaib berdiri di belakangnya. Itulah sebabnya Batara Guru
datang ke Kerajaan Amarta adalah untuk meminta bantuan para Pandawa agar
meringkus pengacau tersebut.
Prabu Puntadewa prihatin
mendengarnya dan segera memerintahkan Arya Wrekodara untuk segera bertindak. Arya
Wrekodara merasa aneh apa sebabnya remaja itu mengacau Kahyangan
Jonggringsalaka, mengapa Batara Guru tidak menjelaskan di awal? Prabu Puntadewa
menegur Arya Wrekodara agar menjaga sopan santun. Jika tidak mau berangkat,
maka dirinya sendiri yang akan menghadapi pengacau tersebut. Arya Wrekodara
yang seumur hidup tidak berani membantah kakak sulungnya itu segera terdiam dan
siap menjalankan perintah.
Arya Wrekodara. |
BAMBANG WISANGGENI MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA
Tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut di luar. Patih Tambakganggeng datang melapor bahwa ada anak muda
kurus tetapi sangat sakti mengamuk di halaman istana, mencari Batara Guru.
Prabu Puntadewa mengulangi perintah agar Arya Wrekodara segera bertindak. Arya
Wrekodara pun berangkat disertai ketiga putranya.
Sesampainya di luar, Arya
Wrekodara segera menangkap Bambang Wisanggeni. Namun, pemuda itu dengan lincah
meloloskan diri dan balas memukul. Meskipun Bambang Wisanggeni berbadan kurus
tetapi pukulannya sangat mantap, dan tepat mengenai titik kelemahan Arya
Wrekodara yang terletak di pelipis kanan. Arya Wrekodara merasa pusing dan
mundur ke belakang.
Raden Antareja tidak terima
ayahnya disakiti dan segera maju menyerang Bambang Wisanggeni. Namun, ia juga
tidak mampu mengalahkan pemuda tersebut. Raden Antareja menyembur Bambang
Wisanggeni menggunakan ludah berbisa, namun justru berbalik mengenai dirinya
sendiri.
Raden Gatutkaca maju
menyerang. Ia terbang ke angkasa lalu menukik ke bawah untuk menyambar tubuh
Bambang Wisanggeni. Akan tetapi, ia ternyata tidak mampu mengangkat tubuh
Bambang Wisanggeni yang jauh lebih kecil darinya itu. Raden Gatutkaca berusaha
sekuat tenaga mengangkat tubuh Bambang Wisanggeni tetapi pemuda itu sedikit pun
tidak bergerak. Bahkan, Bambang Wisanggeni justru balik menangkap tangan Raden
Gatutkaca dan membanting tubuh lawannya itu ke tanah.
Bambang Wisanggeni melihat
Arya Wrekodara dan kedua putranya telah kalah. Kini tinggal putra ketiga yang
masih berdiri, bernama Raden Antasena. Bambang Wisanggeni mendatanginya dan
bertanya apa mau bertarung seperti yang lain. Raden Antasena hanya tertawa dan
berkata dirinya tidak sama seperti ayah dan kedua kakaknya. Raden Antasena
tidak mau melaksanakan perintah raja secara membabi buta. Untuk itu, ia merasa
perlu menyaring terlebih dulu, apakah perintah tersebut benar atau tidak.
Meskipun Prabu Puntadewa seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana, tetapi
tetap saja ia seorang manusia yang bisa berbuat khilaf.
Raden Antasena lalu bertanya
mengapa Bambang Wisanggeni mengacau Kahyangan Jonggringsalaka. Bambang
Wisanggeni berkata ia ingin mencari ayah dan ibunya. Menurut keterangan dari
kakeknya, raja dewa berlengan empat mengetahui keberadaan kedua orang tuanya
itu. Namun, dewa berlengan empat yang bernama Batara Guru itu tidak mau
menjawab dan memilih kabur, membuat Bambang Wisanggeni terpaksa mengejar ke
mana pun ia pergi.
Raden Antasena lalu bertanya
siapa nama ayah dan ibu Bambang Wisanggeni, barangkali ia bisa membantu. Pemuda
itu menjawab, ayahnya bernama Raden Arjuna, sedangkan ibunya bernama Batari
Dresanala. Raden Antasena gembira dan berkata bahwa Raden Arjuna adalah
pamannya, dan itu berarti Bambang Wisanggeni adalah adik sepupunya. Ia lalu
menggandeng tangan Bambang Wisanggeni dan mengajaknya masuk ke dalam istana
Indraprasta.
Raden Antasena. |
BAMBANG WISANGGENI BERTEMU RADEN ARJUNA
Di dalam istana, Prabu Kresna
sedang mengobati luka-luka Arya Wrekodara, Raden Antareja, dan Raden Gatutkaca.
Raden Antasena kemudian datang bersama Bambang Wisanggeni. Prabu Puntadewa segera
menanyai pemuda itu, mengapa mengamuk mengejar Batara Guru. Bambang Wisanggeni
pun bercerita, bahwa ia disuruh kakeknya yang bernama Batara Narada untuk
menanyakan perihal kedua orang tuanya kepada raja dewa yang berlengan empat. Raden
Antasena lalu menambahkan, bahwa Bambang Wisanggeni adalah putra Raden Arjuna
dan Batari Dresanala.
Batara Guru menyela bahwa
Batara Narada bukanlah kakek Bambang Wisanggeni, tetapi yang benar dirinyalah
kakek buyut pemuda itu. Pada saat itulah Batara Narada datang dan mengatakan
bahwa Batara Guru tidak layak disebut sebagai kakek buyut karena memerintahkan
untuk membunuh cicitnya sendiri.
Prabu Kresna dan Prabu
Puntadewa segera menengahi kedua dewa yang sedang berselisih itu. Batara Narada
lalu menceritakan semua dari awal hingga akhir, bahwa Batara Guru terkena bujuk
rayu Batari Durga hingga tega memisahkan Raden Arjuna dan Batari Dresanala,
serta memerintahkan pembunuhan terhadap Bambang Wisanggeni.
Kyai Semar hadir pula karena
mendengar ribut-ribut di istana Indraprasta. Sebagai kakak kandung Batara Guru,
ia ikut menegur adiknya itu karena telah berbuat tidak adil, melakukan khilaf,
memisahkan sepasang suami-istri yang saling mencintai, demi memenangkan kepentingan
anaknya yang bernama Prabu Dewasrani.
Batara Guru tertunduk lesu dan
menyadari kekeliruannya. Sebagai raja dewa ia telah berbuat salah, mementingkan
urusan pribadi dan melanggar hak orang lain. Ia pun meminta maaf kepada semua
yang ada di situ, terutama kepada Raden Arjuna dan Bambang Wisanggeni.
Melihat Batara Guru telah meminta
maaf secaara tulus, Sanghyang Padawenang pun keluar dari tubuh Bambang
Wisanggeni. Semua orang segera menghaturkan sembah kepada leluhur para dewa
tersebut. Sanghyang Padawenang berkata bahwa Bambang Wisanggeni adalah lambang
pemberontak, maksudnya di sini adalah pemberontak yang memperjuangkan keadilan
karena penguasa yang seharusnya mengayomi justru berbuat tidak adil. Apabila
Batara Guru kembali berbuat lalim dan melanggar hukum keadilan, maka Sanghyang
Padawenang akan kembali menitis kepada Bambang Wisanggeni demi menegakkan
kebenaran.
Usai berkata demikian,
Sanghyang Padawenang pun musnah dari pandangan. Batara Guru sekali lagi meminta
maaf kepada Batara Narada dan juga para Pandawa. Sebaliknya, Batara Narada juga
meminta maaf karena berani memberontak kepada Batara Guru. Kedua dewa itu lalu
saling berpelukan dan melupakan dendam di antara mereka.
Batara Guru kemudian berkata
pada Raden Arjuna bahwa Batari Dresanala berada di Kerajaan Tunggulmalaya,
yaitu negeri yang dipimpin Prabu Dewasrani, putranya. Usai berkata demikian, ia
dan Batara Narada pun kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.
Raden Arjuna prihatin
sekaligus bahagia melihat nasib putranya yang lahir dari Batari Dresanala kini telah
tumbuh dewasa dalam sekejap. Ia pun memeluk Bambang Wisanggeni dan mengajak
pemuda itu bersama-sama menuju Kerajaan Tunggulmalaya.
Raden Arjuna. |
RADEN ARJUNA MEMBEBASKAN BATARI DRESANALA
Di Kerajaan Tunggulmalaya,
Prabu Dewasrani tampak sibuk merayu Batari Dresanala agar bersedia menjadi
istrinya. Namun, Batari Dresanala selalu menolak dengan segala alasan. Merasa
tidak sabar lagi, Prabu Dewasrani pun berusaha memaksa dan memerkosa Batari
Dresanala. Ia begitu berani bertindak demikian karena merasa mendapat dukungan
dari Batara Guru.
Tiba-tiba muncul Raden Arjuna
menerjang Prabu Dewasrani. Keduanya lalu bertarung seru, sementara Bambang
Wisanggeni menolong Batari Dresanala. Meskipun Bambang Wisanggeni sudah dewasa,
namun naluri keibuan Batari Dresanala dapat mengenali kalau pemuda itu adalah
putra kandungnya. Ia pun menangis dan memeluk Bambang Wisanggeni dengan erat.
Sementara itu, Prabu Dewasrani
terluka parah menghadapi kesaktian Raden Arjuna. Batari Durga datang dan
mengamuk atas keadaan putranya itu. Karena Batari Durga turun tangan, Kyai
Semar pun maju menghadapi. Batari Durga merasa segan karena tidak pernah menang
melawan kakak iparnya tersebut. Ia pun memilih kabur dengan menggendong tubuh
Prabu Dewasrani.
Raden Arjuna bersyukur bisa
berkumpul kembali dengan Batari Dresanala, apalagi sekarang putra mereka telah
lahir dan tumbuh dewasa. Mereka lalu bersama-sama pulang ke Kerajaan Amarta
dengan disertai para panakawan. Di tengah jalan tiba-tiba muncul Batara Brahma
yang meminta maaf karena telah berbuat jahat kepada mereka. Itu semua ia
lakukan karena takut melanggar perintah Batara Guru. Sungguh beruntung, mereka
semua baik-baik saja karena mendapat perlindungan Yang Mahakuasa.
Raden Arjuna, Batari Dresanala,
dan Bambang Wisanggeni berkata hal ini tidak perlu dipermasalahkan. Yang
terpenting semuanya telah berakhir dengan bahagia. Batara Brahma bersyukur
mendengarnya. Ia pun ikut menyertai kepergian mereka menuju Kerajaan Amarta.
Prabu Dewasrani. |
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
CATATAN : Dalam kisah di atas, saya memunculkan peran Sanghyang
Padawenang sebagai sosok pelindung Bambang Wisanggeni sejak awal.
Untuk kisah kelahiran Raden Gatutkaca yang juga diceburkan ke dalam
Kawah Candradimuka dapat dibaca di sini
<3 <3 <3
BalasHapuskisah "Wisanggeni Lahir" berlanjut ke kisah apa?
BalasHapuswisanggeni krama, wisanggeni gugat. terakhir kresna duta, dmna wisanggeni & antasena, antareja tidak boleh ikut perang baratayudha. dan menjadi tumbal untuk kemenangan pandawa, dgn cara memusnahkan batari durga & batara kala.
HapusMenurut cerita orang tua dan nenek saya,saya lahir pas ada pertunjukan wayang kulit,dengan judul:Lahirnya wisangeni..
Hapusseru ceritanya
BalasHapusSiapa nama anak wisanggeni bung
BalasHapusWisanggeni adalah dewa penutup. .. mati sebelum menikah.
HapusKalau sanggit pedalangan, umumnya wisanggeni punya istri dewi mustikawati dan punya anak bernama wisantara yg pertama keluar di lakon jumenengan parikesit bersama cucu2 pendawa lain seperti danurwenda, jayasena, sasikirana, pancakusuma dll
HapusLumayan sanggitnya, ada pertempuran antar dewa, jika dilakukan dlm pagelaran sore sdh rame perang hehehe👍👍
BalasHapusDari kisah diatas bahwa dalam keluarga besar bisa tercerai berai karena mengikuti hawa nafsu ego pribadi
BalasHapus