Kisah ini menceritakan tentang pemberontakan Raden Antareja yang tidak
setuju atas pengangkatan Raden Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan Amarta.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber pagelaran wayang
kulit dengan dalang Ki Anom Suroto, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 04 Agustus 2018
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini
Raden Antareja kroda. |
------------------------------
ooo ------------------------------
PATIH SANGKUNI BERNIAT MENGHASUT RADEN ANTAREJA
Di Kerajaan Hastina, Prabu
Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri para menteri dan punggawa, antara
lain Danghyang Druna, Patih Sangkuni, Adipati Karna, dan Raden Kartawarma.
Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang negara saingan, yaitu Kerajaan
Amarta yang sekarang memiliki senapati baru, yaitu Arya Gatutkaca.
Patih Sangkuni bercerita bahwa
tiga bulan yang lalu dirinya telah menghasut Prabu Boma Narakasura agar merebut
jabatan senapati tersebut. Apabila Prabu Boma berhasil menduduki jabatan
sebagai senapati Kerajaan Amarta, maka kelak saat meletus Perang Bratayuda, tentu
ia akan menggiring pasukan Pandawa untuk berbalik memihak Kurawa. Dengan
demikian, para Pandawa akan kehilangan kekuatan karena bala tentaranya berada
di bawah kendali Prabu Boma Narakasura.
Akan tetapi, dalam usahanya
tersebut Prabu Boma dikalahkan Arya Gatutkaca yang menerima anugerah dewata
berupa Wahyu Topeng Waja. Meskipun demikian, Prabu Boma sempat melapor kepada
Patih Sangkuni tentang dirinya yang mencoba memanas-manasi Raden Antareja agar membenci
pengangkatan Arya Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan Amarta.
Prabu Duryudana senang
mendengar cerita itu. Meskipun Prabu Boma gagal mendapatkan kedudukan senapati
Kerajaan Amarta, namun masih ada Raden Antareja sebagai bahan untuk
menggerogoti kekuatan para Pandawa. Patih Sangkuni merasa ini sudah saatnya menambah
hasutan terhadap Raden Antareja agar memberontak kepada Kerajaan Amarta.
Apabila terjadi perang antara Raden Antareja melawan Arya Gatutkaca, maka para
Kurawa yang akan mendapat keuntungan. Tidak peduli siapa yang mati, apakah
Raden Antareja, ataukah Arya Gatutkaca, tetap saja pihak Pandawa yang rugi.
Syukur-syukur apabila keduanya mati bersama, tentu itu lebih baik.
Prabu Duryudana semakin senang
mendengar rencana ini. Patih Sangkuni pun mohon pamit berangkat ke Kesatrian
Jangkarbumi dengan ditemani para Kurawa.
PATIH SANGKUNI MENGHASUT RADEN ANTAREJA
Di Kesatrian Jangkarbumi,
Raden Antareja menerima kunjungan adik sepupu yang paling dikasihinya, yaitu
Bambang Irawan. Belum sempat mereka bertanya kabar melepas rindu, tiba-tiba
Patih Sangkuni datang pula. Raden Antareja dan Bambang Irawan pun menyembah
hormat kepadanya.
Patih Sangkuni berkata bahwa
ia mendapat kabar tentang pengangkatan Raden Gatutkaca sebagai senapati
Kerajaan Amarta yang baru, menggantikan Arya Wrekodara yang kini lebih fokus
menangani urusan pengadilan. Selain itu, ada pula berita lain yang ia dengar, bahwa
Raden Antareja tidak menghadiri pelantikan adiknya tersebut. Patih Sangkuni pun
bertanya mengapa bisa demikian?
Raden Antareja menjawab, ini
masalah pribadi yang tidak perlu orang lain tahu. Lagipula mengapa Patih
Sangkuni bisa tahu jika dirinya tidak ikut menghadiri upacara pelantikan Raden
Gatutkaca? Patih Sangkuni menjawab, berita absennya Raden Antareja sudah tersebar
luas dan menjadi bahan pembicaraan rakyat ibu kota Indraprasta, hingga tersebar
pula ke mancanegara. Banyak sekali yang menyayangkan pelantikan ini.
Orang-orang Indraprasta umumnya lebih setuju apabila Raden Antareja yang
menjadi senapati Kerajaan Amarta, bukan Raden Gatutkaca.
Raden Antareja menjawab, itu
semua hanya salah paham. Pelantikan Raden Gatutkaca sudah melalui banyak
pertimbangan para sesepuh. Meskipun usia Raden Antareja lebih tua, namun Raden
Gatutkaca lebih dulu mengabdi sebagai punggawa di Kerajaan Amarta. Itu artinya,
pengalaman adiknya tersebut jauh lebih banyak dibanding dirinya.
Patih Sangkuni berkata, siapa
yang lebih dulu menjadi punggawa bukan ukuran untuk menetapkan siapa yang lebih
berhak naik pangkat. Kenaikan pangkat di Kerajaan Amarta sepertinya berbeda
dengan kenaikan pangkat di Kerajaan Hastina. Apabila di Kerajaan Hastina,
kenaikan pangkat ditentukan oleh prestasi dan seberapa besar jasa terhadap
negara. Jadi, bukan hanya ditentukan oleh siapa yang lebih dulu menjadi punggawa.
Dulu ketika Patih Gandamana diberhentikan dari jabatannya, Prabu Pandu menunjuk
Arya Suman sebagai patih yang baru. Padahal, saat itu ada Arya Banduwangka,
Arya Bargawa, dan Arya Bilawa yang lebih dulu mengabdi sebagai punggawa sebelum
Arya Suman.
Raden Antareja tersentuh
hatinya mendengar penuturan Patih Sangkuni. Namun, ia berusaha tegar bahwa
dirinya mengikuti keputusan para Pandawa, terutama harus mematuhi sang ayah
pula, yaitu Arya Wrekodara. Patih Sangkuni menjawab, patuh kepada orang tua itu
wajib hukumnya, tetapi jangan membabi buta. Perlu dilihat dulu, perintah orang tua
seperti apa, apakah sudah adil atau belum? Apalagi sudah banyak yang tahu bahwa
Raden Gatutkaca adalah putra kesayangan Arya Wrekodara. Raden Gatutkaca adalah
satu-satunya anak yang ditunggui Arya Wrekodara saat lahir, sedangkan kelahiran
Raden Antareja dan Raden Antasena sama sekali tidak diperhatikan.
Raden Antareja membenarkan
ucapan Patih Sangkuni. Ia merasa dirinya memang diperlakukan kurang adil
dibanding Raden Gatutkaca yang selalu diperhatikan sang ayah. Namun, ia sama
sekali tidak bisa melawan ketidakadilan ini. Patih Sangkuni berkata, Raden
Antareja jangan berkecil hati. Dirinya dan para Kurawa siap memberikan bantuan kepada
Raden Antareja agar bisa merebut jabatan senapati Kerajaan Amarta.
RADEN ANTASENA MENGUNJUNGI RADEN ANTAREJA
Ketika Raden Antareja sedang
mendengarkan penuturan Patih Sangkuni, tiba-tiba datang adik bungsunya, yaitu
Raden Antasena. Setelah saling beramah tamah, Raden Antasena pun menyampaikan
maksud kedatangannya berkunjung ke Kesatrian Jangkarbumi adalah untuk menengok
keadaan kakak sulungnya itu.
Tiga bulan yang lalu saat
Raden Gatutkaca dilantik menjadi senapati, hanya Raden Antareja yang tidak
hadir menyaksikan. Raden Sadewa adalah orang yang terakhir bertemu Raden
Antareja, yang mengawal dirinya saat menjadi duta ke Kerajaan Dwarawati
menjemput Prabu Kresna. Raden Sadewa menjelaskan, Raden Antareja merasa kurang
enak badan setelah bertanding melawan Prabu Boma Narakasura. Itu sebabnya ia
pamit pulang ke Kesatrian Jangkarbumi, tidak ikut menghadiri upacara pelantikan
di Kerajaan Amarta.
Hari demi hari berlalu. Sudah
tiga bulan Raden Antareja tidak pernah lagi menghadiri pertemuan di Kerajaan
Amarta. Raden Antasena merasa cemas dan ia pun datang ke Kesatrian Jangkarbumi
untuk menjenguk kakak sulungnya itu. Namun, ternyata ia melihat Raden Antareja baik-baik
saja dan menerima kunjungan tamu agung dari Kerajaan Hastina. Raden Antasena
pun mengabarkan bahwa Raden Gatutkaca saat ini sudah menjadi senapati Kerajaan
Amarta dengan gelar Arya Gatutkaca. Alangkah baiknya jika Raden Antareja datang
untuk mengucapkan selamat kepadanya.
Raden Antareja menolak saran
Raden Antasena. Ia merasa tidak ada gunanya mengucapkan selamat kepada Arya
Gatutkaca, karena itu sama artinya dengan mendukung ketidakadilan. Raden
Antasena kini paham Raden Antareja tidak pernah menghadap ke Kerajaan Amarta adalah
karena sakit hati. Ia pun bertanya bagian mana yang tidak adil menurut kakaknya
itu.
Raden Antareja menjawab,
dirinya lebih tua secara usia. Soal kesaktian pun tidak kalah dibanding Arya
Gatutkaca. Berkali-kali mereka bertanding hasilnya selalu imbang. Pengangkatan Arya
Gatutkaca sebagai senapati tentu saja membuat ia kecewa. Ini semua karena ayah
mereka, yaitu Arya Wrekodara yang pilih kasih. Sejak bayi, Arya Gatutkaca
selalu ditunggui sang ayah, sedangkan Raden Antareja dan Raden Antasena diumbar
tidak diperhatikan.
Raden Antasena menjawab,
dirinya sama sekali tidak merasa diperlakukan tidak adil. Soal ayah mereka lebih
dekat dengan Arya Gatutkaca dianggap wajar. Itu karena jarak Kerajaan
Pringgadani dan Amarta tidak jauh. Lagipula sejak menikah dengan Arya
Wrekodara, Dewi Arimbi setia mengikuti tinggal di Kesatrian Jodipati. Maka,
pantas jika kelahiran Arya Gatutkaca ditunggui sang ayah. Lain halnya dengan
Dewi Nagagini dan Dewi Urangayu yang tinggal bersama ayah masing-masing. Wajar
jika Raden Antareja dan Raden Antasena tidak ditunggui Arya Wrekodara saat
kelahiran mereka. Raden Antasena merasa ini bukan suatu masalah besar.
Raden Antareja kurang setuju.
Baginya, ini adalah masalah penting. Arya Wrekodara ayah mereka kini menjabat
sebagai jaksa agung Kerajaan Amarta. Sebagai jaksa agung wajib hukumnya
bertindak adil. Namun, ternyata sikap Arya Wrekodara pilih kasih. Arya
Gatutkaca lebih disayang daripada anak-anak yang lain. Perjalanan karier Arya
Gatutkaca lebih mulus dan lancar dibanding Raden Antareja apalagi Raden
Antasena yang diumbar menjadi anak jalanan.
Raden Antasena menjawab tidak
benar demikian. Arya Gatutkaca meskipun lebih muda daripada Raden Antareja,
namun ia lebih dulu menjadi punggawa, sehingga memiliki pengalaman dan jasa
lebih banyak. Ia tidak setuju jika ayah mereka disebut tidak adil. Raden
Antasena ingin mengajak Raden Antareja pergi ke Kesatrian Jodipati untuk
meminta maaf kepada Arya Wrekodara atas tuduhan ini.
Patih Sangkuni ikut bicara,
namun ia dimaki Raden Antasena sebagai penghasut. Ia yakin kakak sulungnya
memiliki pikiran seperti ini pasti karena hasutan Patih Sangkuni yang licik.
Patih Sangkuni menjawab dirinya hanya menegaskan saja. Soal ketidakadilan yang
dirasakan Raden Antareja sudah tertanam di hati sebelum dirinya datang ke
Jangkarbumi.
Raden Antareja memarahi Raden
Antasena yang bersikap tidak sopan kepada tamunya. Ia pun menjawab tegas bahwa
dirinya tidak bersedia meminta maaf ke Kesatrian Jodipati menemui sang ayah.
Raden Antasena menjawab tidak masalah kakaknya bersikap demikian. Urusan ini
biarlah ayah mereka yang menyelesaikan. Usai berkata demikian, Raden Antasena
pun mohon pamit meninggalkan Kesatrian Jangkarbumi.
Setelah Raden Antasena pergi,
Patih Sangkuni memberi tahu Raden Antareja agar mencegah adik bungsunya itu jangan
sampai pulang ke Kesatrian Jodipati. Jika rencana pemberontakan Raden Antareja
bocor, maka pihak Kerajaan Amarta akan bersiap siaga. Untuk itu, lebih baik
Raden Antasena ditangkap hidup atau mati sebelum mencapai Kerajaan Amarta ataupun
Kesatrian Jodipati.
Raden Antareja menerima saran
Patih Sangkuni. Karena ambisinya yang besar, ia pun melupakan rasa persaudaraan.
Ia bertanya kepada Bambang Irawan pilih ikut bersamanya ataukah bergabung dengan
para Pandawa. Bambang Irawan sejak kecil sudah akrab lahir batin dengan Raden
Antareja. Maka, ia pun menyatakan ikut mendukung pemberontakan kakaknya itu.
Raden Antareja senang dan memerintahkan Bambang Irawan agar menangkap Raden
Antasena.
RADEN ANTASENA MELOLOSKAN DIRI DARI JANGKARBUMI
Bambang Irawan berangkat
bersama para Kurawa mengejar Raden Antasena. Begitu bertemu yang dicari, para
Kurawa segera mengepung pemuda itu. Raden Antasena tentu saja menolak dibawa
kembali ke Kesatrian Jangkarbumi. Para Kurawa yang terdiri atas Arya Dursasana,
Raden Kartawarma, Raden Srutayu, Raden Srutayuda, dan yang lain maju mengeroyok
Raden Antasena. Namun, tidak seorang pun dari mereka yang mampu mengalahkan
pemuda itu. Justru merekalah yang dibuat kocar-kacir menghadapi kesaktian Raden
Antasena yang tersembunyi di balik sikap polosnya.
Bambang Irawan yang mengemban
amanat dari Raden Antareja segera maju menyerang Raden Antasena. Karena yang
bertindak adalah sepupu sendiri, Raden Antasena pun tidak melawan. Sambil menghindar,
ia menasihati Bambang Irawan agar tidak ikut-ikutan memberontak seperti Raden
Antareja. Bambang Irawan tidak peduli. Yang ia tahu hanyalah Raden Antareja dan
dirinya sudah bersaudara akrab sejak kecil. Apa yang menjadi cita-cita Raden
Antareja, menjadi cita-citanya pula.
Karena tidak dapat mengalahkan
Raden Antasena, Bambang Irawan pun menghunus keris dan menyerang sepupunya itu.
Raden Antasena sedih karena Bambang Irawan melupakan persaudaraan di antara
mereka. Ia pun menangkis serangan keris tersebut dan tanpa sengaja memukul dada
Bambang Irawan hingga jatuh pingsan.
Melihat adik kesayangannya tak
sadarkan diri, Raden Antareja marah dan menyerang Raden Antasena. Raden
Antasena semakin sedih karena persaudaraan mereka dianggap sudah tidak berlaku.
Raden Antareja menjawab, yang namanya saudara adalah yang saling mendukung.
Bambang Irawan adalah satu-satunya saudara karena sudah menyatakan dukungan
terhadap dirinya. Raden Antasena yang telah memukul Bambang Irawan pun
ditantang untuk memukul dirinya.
Raden Antasena menolak. Ia
berkata bahwa tadi tangannya memukul Bambang Irawan adalah karena tidak
sengaja. Jika Raden Antareja hendak membalas, maka ia bersedia menerima pukulan
tanpa melawan sedikit pun. Raden Antareja pun memukul Raden Antasena dengan
keras. Raden Antasena hanya tersenyum tanpa bergerak. Raden Antareja
tersinggung merasa disepelekan. Kemarahannya memuncak dan matanya pun memerah.
Tidak lama kemudian wajah Raden Antareja berubah menjadi naga dengan lidah
menjulur mengerikan.
Raden Antasena terkejut
melihat perubahan wujud kakaknya. Ia segera melompat jauh, meloloskan diri
karena menduga kakaknya itu sudah kerasukan setan.
RADEN ABIMANYU MENCARI HILANGNYA ARYA GATUTKACA
Sementara itu, Raden Abimanyu
dan para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berjalan
untuk mencari hilangnya Arya Gatutkaca yang meninggalkan Kerajaan Amarta tanpa
pamit. Dalam perjalanannya itu, mereka bertemu Raden Antareja dan para Kurawa
yang mengejar Raden Antasena.
Raden Abimanyu pun menyapa
Raden Antareja dengan penuh hormat. Namun, Raden Antareja menjawab dengan ketus
karena hasutan Patih Sangkuni yang mengingatkan dirinya, bahwa Raden Abimanyu
adalah sepupu kesayangan Arya Gatutkaca. Para Pandawa semuanya pilih kasih.
Arya Wrekodara lebih menyayangi Arya Gatutkaca dibanding Raden Antareja, sama
seperti Raden Arjuna pun lebih menyayangi Raden Abimanyu daripada Bambang
Irawan.
Mendengar hasutan itu, Raden
Antareja kembali mengamuk dengan wajah berubah mirip naga. Raden Abimanyu pun
diserangnya tiba-tiba. Raden Abimanyu berusaha membela diri. Keduanya lalu bertarung
sengit, hingga akhirnya Raden Abimanyu terluka oleh bisa yang disemburkan Raden
Antareja. Untungnya Raden Antasena muncul dan langsung menyambar tubuh
sepupunya itu.
Raden Antasena membawa lari tubuh
Raden Abimanyu dan berhasil lolos dari kejaran Raden Antareja bersama para
Kurawa.
ARYA GATUTKACA BERGURU KEPADA BATARA GURITNA
Arya Gatutkaca yang
dicari-cari sudah satu bulan ini berguru kepada Batara Guritna di tepi samudera
utara. Sebagai senapati baru di Kerajaan Amarta ia merasa ilmunya masih kurang
sehingga memutuskan untuk pergi bertapa, dan akhirnya didatangi dewa tersebut. Batara
Guritna adalah putra Batara Tantra, sedangkan Batara Tantra adalah putra Batara
Sumarma, dan Batara Sumarma adalah putra Batara Bayu.
Meskipun seorang dewa, namun
Batara Guritna dahulu kala pernah berguru kepada leluhur para Pandawa, yaitu
Resi Manumanasa, sang pendiri Padepokan Saptaarga. Kini ia pun mewariskan ilmu
yang ia dapatkan itu kepada keturunan ketujuh Resi Manumanasa, yaitu Arya
Gatutkaca. Meskipun hanya satu bulan, namun Arya Gatutkaca sudah menyerap
hampir semua ilmu yang diajarkan Batara Guritna kepadanya.
Tiba-tiba Raden Antasena menemukan
tempat itu. Ia datang sambil menggendong tubuh Raden Abimanyu yang terluka
parah. Arya Gatutkaca sangat terkejut dan marah melihat adik sepupu
kesayangannya mengalami nasib seperti ini. Ia bertanya kepada Raden Antasena
siapa yang telah melukai Raden Abimanyu. Raden Antasena pun bercerita apa
adanya, bahwa kakak mereka, yaitu Raden Antareja telah hilang kesadaran karena
hasutan Patih Sangkuni. Kini Raden Antareja berniat memberontak untuk merebut
kedudukan senapati Kerajaan Amarta.
Arya Gatutkaca marah
mendengarnya. Ia tidak keberatan jika jabatannya sebagai senapati diambil Raden
Antareja. Yang membuatnya marah adalah mengapa Raden Antareja melupakan
persaudaraan hingga melukai Raden Abimanyu hingga seperti ini.
Batara Guritna pun memeriksa
luka Raden Abimanyu. Sambil membaca mantra ia mengusap dada pemuda itu. Sungguh
ajaib, luka Raden Abimanyu sembuh seketika dan ia pun siuman dari pingsan. Arya
Gatutkaca memeluk sepupunya itu dan berterima kasih atas pertolongan Batara
Guritna.
Arya Gatutkaca kemudian mohon
pamit kepada Batara Guritna untuk kembali ke Kerajaan Amarta. Sebagai senapati
angkatan bersenjata, ia merasa ini adalah kewajibannya untuk memadamkan
pemberontakan Raden Antareja. Batara Guritna merestui dan ikut mendoakan semoga
muridnya itu meraih kemenangan.
Setelah Arya Gatutkaca dan
kedua saudaranya pergi, Batara Guritna tiba-tiba didatangi Batara Narada yang
turun dari kahyangan. Batara Guritna pun menyembah hormat kepadanya. Batara
Narada berkata bahwa ia membawa perintah dari Batara Guru, yaitu Batara Guritna
ditugaskan untuk menitis kepada Arya Gatutkaca sebagai penambah kesaktian dan
kebijaksanaan pemuda tersebut. Kelak jika sudah meletus Perang Bratayuda, maka
Batara Guritna boleh kembali lagi ke kahyangan.
Batara Guritna menerima
perintah dengan senang hati. Ia pun mohon pamit menyusul Arya Gatutkaca menuju
Kerajaan Amarta.
BATARA NARADA MENEMUI RESI ANOMAN
Setelah Batara Guritna pergi,
Batara Narada melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kendalisada di Gunung
Kundalini. Di padepokan tersebut bersemayam pendeta wanara putih yang ternama
di zaman kuno, yaitu Resi Anoman.
Melihat Batara Narada datang,
Resi Anoman pun menyembah hormat. Batara Narada mengingatkan apa yang menjadi
tugas Resi Anoman di Gunung Kundalini. Resi Anoman menjawab dirinya tidak lupa,
yaitu menjaga penjara gaib yang berisi roh Prabu Rahwana. Batara Narada pun
berkata bahwa Resi Anoman telah lalai dalam tugasnya, sehingga roh Prabu
Rahwana berhasil meloloskan diri.
Resi Anoman tidak percaya. Ia
pun pergi memeriksa penjara gaib yang berada di bawah Gunung Kundalini.
Ternyata benar, roh Prabu Rahwana sudah tidak ada di sana. Ia sangat menyesal
dan kecewa pada diri sendiri yang telah lengah. Batara Narada menghibur Resi
Anoman jangan berkecil hati. Ia pun memberikan petunjuk bahwa roh Prabu Rahwana
saat ini sedang mengamuk di Kerajaan Amarta. Resi Anoman berterima kasih. Ia lalu
mohon pamit berangkat menangkap kembali roh raja angkara murka tersebut.
RADEN ANTAREJA MENGAMUK DI KERAJAAN AMARTA
Sementara itu di Kerajaan
Amarta, Prabu Puntadewa dihadap para adik, yaitu Arya Wrekodara, Raden Arjuna,
Raden Nakula, dan Raden Sadewa. Mereka juga menerima kunjungan Prabu Kresna
dari Kerajaan Dwarawati yang mendengar kabar tentang hilangnya Arya Gatutkaca.
Raden Abimanyu berangkat mencari namun belum kembali pula membawa hasil.
Tiba-tiba datang para
panakawan melaporkan Raden Antareja yang menginginkan jabatan senapati. Raden
Antareja tampaknya sudah lupa diri hingga tega melukai Raden Abimanyu
menggunakan semburan bisa. Entah bagaimana nasib Raden Abimanyu saat ini, para
panakawan tidak mengetahui karena dibawa kabur Raden Antasena.
Arya Wrekodara marah mendengar
laporan itu. Tiba-tiba di luar istana terdengar suara ribut-ribut, rupanya
Raden Antareja telah datang dan mengamuk menghadapi para prajurit dan punggawa.
Patih Tambakganggeng, Arya Andakasumilir, Patih Gagakbaka, Arya
Dandangminangsi, Arya Podangbinorehan, Patih Sucitra, Patih Surata, tidak ada
seorang pun yang mampu mengatasi amukan Raden Antareja.
Arya Wrekodara maju menghadang
putra sulungnya itu. Ia memarahi Raden Antareja yang sudah gila karena membuat
keributan di negeri sendiri. Raden Antareja menjawab, dirinya menjadi gila adalah
karena sikap ayahnya yang pilih kasih, lebih menyayangi Arya Gatutkaca
dibanding para putra yang lain. Arya Wrekodara marah dituduh demikian. Ia
berniat memukul Raden Antareja, namun Arya Gatutkaca tiba-tiba muncul melerai.
PERTARUNGAN ARYA GATUTKACA DAN RADEN ANTAREJA
Arya Gatutkaca memohon kepada
Arya Wrekodara agar mundur, biar dirinya saja yang memadamkan pemberontakan
Raden Antareja. Raden Antareja bertanya apakah Arya Gatutkaca hendak membalas
dendam karena dirinya telah melukai Raden Abimanyu? Arya Gatutkaca menjawab,
dirinya tidak perlu membalas dendam karena Raden Abimanyu telah sembuh berkat
pertolongan Batara Guritna. Oleh sebab itu, tidak ada lagi yang perlu
dipersoalkan.
Tidak lama kemudian, Raden
Abimanyu pun datang bersama Raden Antasena. Raden Antareja melihat sepupunya
itu baik-baik saja pertanda sudah sembuh dari semburan bisa miliknya. Arya
Gatutkaca lalu berkata, apabila Raden Antareja memang menginginkan kedudukan
sebagai senapati Kerajaan Amarta, maka dirinya ikhlas menyerahkan jabatan
tersebut. Sebagai sesama putra Pandawa sungguh memalukan apabila bertarung
hanya demi memperebutkan jabatan.
Raden Antareja marah merasa
direndahkan. Ia tidak butuh belas kasihan Arya Gatutkaca. Yang ingin ia
tunjukkan adalah, orang-orang harus melihat bahwa dirinya lebih pantas dan
lebih berhak menduduki jabatan senapati dibanding adiknya itu. Untuk itu,
mereka berdua harus bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih sakti. Arya
Gatutkaca menjawab, menjadi senapati tidak cukup hanya bermodalkan kesaktian,
tetapi juga perlu memiliki kebijaksanaan.
Raden Antareja marah merasa
dinasihati dan ia pun menyerang adiknya itu. Arya Gatutkaca menghindar tanpa
membalas. Raden Antareja semakin kesal dan semakin gencar menyerang. Karena
Arya Gatutkaca terus-menerus menghindar, maka ia pun berbalik dan berniat menyerang
Raden Abimanyu. Melihat itu, Arya Gatutkaca bergerak mencegah. Kali ini ia
tidak dapat menghindar terus, namun perlu untuk membalas demi melindungi adik
sepupunya.
Maka, terjadilah pertarungan
sengit antara dua bersaudara tersebut. Kesaktian yang baru dipelajari dari
Batara Guritna kini digunakan Arya Gatutkaca untuk melawan Raden Antareja.
Setelah bertarung cukup lama, Raden Antareja akhirnya terdesak mundur. Ia pun
melakukan kroda dan seketika wajahnya berubah menjadi seperti naga dengan lidah
menjulur mengerikan. Dalam wujud tersebut, kekuatan Raden Antareja meningkat
sepuluh kali lipat dibanding sebelumnya.
Kali ini ganti Arya Gatutkaca
yang terdesak oleh kesaktian sang kakak. Semakin lama serangan Raden Antareja
semakin dahsyat. Berkali-kali ia menyemburkan bisa, namun masih dapat dihindari
Arya Gatutkaca yang bergerak dengan cepat. Meskipun demikian, lama-lama Arya
Gatutkaca merasa letih juga dan bisa-bisa kehabisan tenaga.
Pada saat itulah Batara
Guritnda datang dan ia melihat muridnya dalam bahaya. Sesuai petunjuk Batara
Narada, ia pun masuk ke dalam tubuh Arya Gatutkaca, menyatu jiwa raga dengan
muridnya itu. Seketika Arya Gatutkaca seperti mendapat kekuatan baru. Ia pun
balas mengimbangi Raden Antareja dengan melakukan kroda pula. Dari punggung
Arya Gatutkaca tiba-tiba muncul sepasang sayap yang membentang lebar.
Arya Gatutkaca dan Raden
Antareja kembali melanjutkan pertarungan. Yang satu bersayap seperti garuda,
dan yang satu berwajah naga dengan mulut menyemburkan bisa. Pertarungan ini
sungguh dahsyat dan mengerikan, bagaikan seekor burung elang bergulat melawan
ular besar. Prabu Kresna dan para Pandawa sampai terheran-heran melihat
perubahan wujud mereka berdua.
Lama-lama Raden Antareja
terdesak menghadapi kesaktian Arya Gatutkaca. Sesaat ia lengah dan berhasil
diringkus Arya Gatutkaca. Pada saat itulah Resi Anoman muncul dan tangannya
ikut menjambak rambut Raden Antareja. Mulutnya komat-kamit membaca mantra.
Raden Antareja merasa kesakitan dan dari mulutnya keluar asap yang berubah
menjadi sosok raja raksasa menyeramkan. Ia adalah roh Prabu Rahwana.
Resi Anoman dengan cekatan
menghajar roh Prabu Rahwana yang telah kabur dari penjara gaib Gunung Kundalini
dan selama ini merasuki pikiran Raden Antareja. Roh Prabu Rahwana kewalahan dan
akhirnya berhasil ditangkap Resi Anoman untuk kemudian dibawa pulang ke
Padepokan Kendalisada.
RADEN ANTAREJA MEMINTA HUKUMAN
Setelah roh Prabu Rahwana
keluar dari tubuhnya, Raden Antareja merasa lemas tak berdaya. Wajahnya kini
kembali seperti sediakala, tidak lagi seperti naga. Arya Gatutkaca pun kembali
ke wujud semula, tidak lagi bersayap seperti garuda. Ia lalu memeluk kakaknya
itu dan meminta maaf atas pertarungan yang keras tadi. Raden Antareja balas
memeluk dan meminta maaf atas kejahatannya memberontak pada negara.
Prabu Kresna dan para Pandawa
mendatangi Arya Gatutkaca dan Raden Antareja. Melihat itu, Patih Sangkuni dan
para Kurawa merasa kecewa. Mereka lalu berhamburan karena diterjang Arya
Wrekodara sebagai pelampiasan rasa kesal.
Setelah keadaan tenang, Prabu
Puntadewa pun menawarkan jabatan wakil senapati kepada Raden Antareja. Namun,
Raden Antareja menolak jabatan itu. Dirinya sungguh sangat malu telah melakukan
pemberontakan seperti ini, dan menyebabkan banyak orang terluka. Jika memang
jabatan wakil senapati perlu ada, biarlah Raden Abimanyu saja yang lebih pantas
mendudukinya.
Para Pandawa senang melihat
Raden Antareja telah menyesali perbuatannya. Mereka pun tidak menjatuhkan
hukuman karena pemberontakan itu terjadi karena Raden Antareja dirasuki roh
Prabu Rahwana dan juga karena mendapat hasutan Patih Sangkuni. Namun demikian,
Raden Antareja tetap merasa bersalah dan minta dijatuhi hukuman. Arya Wrekodara
selaku jaksa agung mengusulkan agar Raden Antareja dihukum berpuasa untuk
menghilangkan pengaruh buruk dalam pikirannya. Prabu Puntadewa setuju dan
memutuskan Raden Antareja harus berpuasa selama seratus hari dan dilarang
keluar meninggalkan Kesatrian Jangkarbumi. Raden Antareja pun menerima hukuman
itu dengan senang hati, demi untuk menebus kejahatannya pada negara.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Untuk kisah kelahiran Raden Gatutkaca bisa dibaca di sini.
Untuk kisah kemunculan pertama Raden Antareja mencari ayahnya bisa
dibaca di sini.
Untuk kisah kemunculan pertama Raden Antasena mencari ayahnya bisa
dibaca di sini.
Wuiiih... Sae sanget kang..
BalasHapusMugi kathah ingkang maos..
Kersane nambah wawasan..
Matursuwun kang..saking cerito niki saget di pendet hikmahipun sing apik di agem sing olo di buang..tegese mboten pareng iri lan dengki ingkang pun ginaris dening gusti namung jabatan utowo bondo dunyo ampun sampek perang sauadara nopo maneh soal warisan niku ampung sanget..kudu tansah narimo ing pandum lan kudu adhang adhang tetesing embun narimo peparinge gusti..
BalasHapusApik ceritanya..
BalasHapusSayangnya Anantareja, Anantasena dan Wisanggeni hanyalah tokoh ciptaan pujangga jawa, sehingga tidak ikut perang bharatayuda.
BalasHapus