Senin, 06 Oktober 2014

Palindriya Seda

Kisah ini menceritakan kelahiran Dewi Tumpak, yaitu anak hasil perselingkuhan Dewi Soma dengan Raden Raditya, yang dilanjutkan dengan kematian Dewi Soma dan Prabu Palindriya. Setelah itu, Kerajaan Medang Kamulan lalu dipimpin oleh penjelmaan Batara Wisnu yang memakai gelar Prabu Satmata.

Kisah ini disusun dari sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.


Kediri, 06 Oktober 2014

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU PALINDRIYA MENERIMA SURAT DARI DEWI SOMA

Prabu Palindriya di Kerajaan Medang Kamulan dihadap putranya yang lahir dari Dewi Landep, yaitu Raden Wukir, serta para putra lainnya yang lahir dari selir. Mereka membicarakan tentang Prabu Watugunung yang kini sudah bertakhta di Kerajaan Gilingwesi dan menjadikan kerajaan tersebut lebih maju dan makmur, serta tunduk kepada Medang Kamulan.

Tiba-tiba datang tiga orang putra Prabu Palindriya dari Dewi Soma, yaitu Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra. Prabu Palindriya sangat terharu menerima mereka karena sudah dua puluh tahun lebih tidak bertemu, yaitu sejak peristiwa Dewi Soma melabrak perselingkuhannya dengan Dewi Basundari dulu. Prabu Palindriya pun memperkenalkan ketiga putranya itu kepada para putra lainnya yang tinggal di istana.

Raden Anggara kemudian menyerahkan surat dari sang ibu kepada Prabu Palindriya. Surat itu berisi permohonan maaf Dewi Soma atas tindakan kasarnya dulu sehingga rumah tangga mereka menjadi berantakan. Dewi Soma menyatakan ingin kembali bersatu seperti dulu, dan ia mengundang Prabu Palindriya untuk berkunjung ke Padepokan Pantireja.

Setelah membaca surat itu, Prabu Palindriya pun mengheningkan cipta untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata saat ini Dewi Soma sedang mengandung anak hasil perselingkuhan dengan laki-laki lain, tetapi Prabu Palindriya tidak mengetahui siapa laki-laki tersebut. Tujuan Dewi Soma mengundang Prabu Palindriya datang ke Padepokan Pantireja adalah agar bisa bersetubuh dengannya, sehingga anak dalam kandungan tersebut bisa disamarkan sebagai anaknya.

Prabu Palindriya pun mengatakan terus terang kepada Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra bahwa ibu mereka saat ini sedang mengandung hasil perselingkuhan. Apabila anak dalam kandungan itu kelak lahir laki-laki, maka Prabu Palindriya bersedia mengakuinya sebagai anak sendiri. Namun, jika yang lahir adalah anak perempuan, maka Prabu Palindriya tidak sudi mengakuinya. Setelah mendapat pesan demikian, Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra pun mohon pamit kembali ke Padepokan Pantireja.

DEWI SOMA MELAHIRKAN BAYI PEREMPUAN

Di Padepokan Pantireja, Dewi Soma menerima kedatangan ketiga putranya yang menyampaikan pesan dari Prabu Palindriya tersebut. Mendengar laporan itu, Dewi Soma merasa khawatir jangan-jangan yang dilahirkannya nanti adalah bayi perempuan sehingga tidak mendapatkan pengakuan dari Prabu Palindriya. Adapun anak dalam kandungan tersebut sesungguhnya adalah hasil perselingkuhan Dewi Soma dengan Prabu Watugunung saat masih bernama Raden Raditya dulu.

Beberapa bulan kemudian, Dewi Soma ternyata melahirkan bayi perempuan. Apa yang ia khawatirkan kini telah menjadi kenyataan. Dewi Soma yang kebingungan lalu mencari akal. Ia melihat ada sebuah pancuran yang terbuat dari batu cadas berukuran kecil seperti kelamin bayi laki-laki. Dewi Soma pun mengambil pancuran tersebut dan menempelkannya pada kelamin bayi perempuan itu. Ia lalu berdoa memohon kemurahan dewata, sehingga kelamin palsu itu pun berubah wujud menjadi seperti asli dan menyatu sempurna dengan kelamin si bayi perempuan.

KEMATIAN DEWI SOMA DAN PRABU PALINDRIYA

Prabu Palindriya menerima kabar bahwa Dewi Soma telah melahirkan bayi laki-laki, dan ia pun bergegas pergi ke Padepokan Pantireja. Sesampainya di sana, ia disambut dengan ramah oleh Dewi Soma dan diajak rujuk kembali untuk membina rumah tangga seperti dulu lagi.

Sesuai janjinya, Prabu Palindriya pun menerima bayi itu sebagai anak sendiri. Ia lalu memangku bayi tersebut dan memberinya nama Raden Saniscara, serta mendoakannya supaya tumbuh menjadi anak yang selalu sehat dan selamat dari segala macam niat jahat. Akibat doa tersebut, kelamin palsu pada bayi Saniscara tiba-tiba terlepas dan kembali menjadi pancuran batu cadas.

Prabu Palindriya sangat marah begitu mengetahui ternyata bayi yang dipangkunya adalah bayi perempuan. Ia kecewa bukan karena Dewi Soma telah berselingkuh dengan pria lain, karena dirinya lebih dulu berselingkuh dengan Dewi Basundari. Yang membuatnya sangat murka adalah Dewi Soma sudah berbohong dengan mengubah kelamin bayi itu dari perempuan menjadi laki-laki. Ia pun memungut pancuran batu cadas tersebut dan melemparkannya tepat mengenai dahi Raden Anggara hingga jatuh pingsan. Tidak puas sampai di sini, ia lalu mengangkat bayi perempuan itu dan hendak membantingnya ke tanah. Akan tetapi, Raden Buda dengan cekatan merebutnya dan membawa bayi itu lari meninggalkan Pantireja.

Prabu Palindriya kemudian menyerang Dewi Soma namun dihalangi oleh Raden Sukra. Akibatnya, Raden Sukra pun ikut dipukul pula hingga jatuh pingsan oleh ayahnya itu. Dewi Soma yang ketakutan dan merasa bersalah akhirnya memilih bunuh diri. Melihat istri pertamanya itu mati, kemarahan Prabu Palindriya berubah menjadi penyesalan dan ia pun pergi meninggalkan Pantireja.

Raden Anggara dan Raden Sukra telah siuman dari pingsan dan mereka menangisi kematian sang ibu. Setelah menguburkan jenazah Dewi Soma, mereka berdua lalu pergi ke hutan dan berhasil menemukan Raden Buda yang bersembunyi di situ dengan si bayi perempuan. Raden Buda sangat berduka mendengar kematian Dewi Soma namun tidak berani kembali ke Padepokan Pantireja. Ketiga bersaudara itu sepakat untuk tetap bersembunyi di hutan sampai keadaan benar-benar aman. Adapun adik kecil mereka, yaitu si bayi perempuan lalu diberi nama Dewi Tumpak, sebagai pengingat bahwa semasa bayi alat kelaminnya pernah ditumpangi pancuran batu cadas menjadi kelamin laki-laki palsu.

Sementara itu, Prabu Palindriya yang kembali ke istana Medang Kamulan akhirnya jatuh sakit akibat amarah yang meluap tadi. Setelah dirawat beberapa hari, penyakitnya justru bertambah parah. Akhirnya, ia pun meninggal dunia karena darahnya berhenti mengalir.

Raden Wukir lalu mengirim kabar ke Kerajaan Gilingwesi untuk memberi tahu Prabu Watugunung perihal peristiwa duka tersebut. Prabu Watugunung sangat prihatin mendengarnya dan ia pun segera datang ke istana Medang Kamulan untuk memimpin upacara pemakaman sang ayah.

BATARA WISNU MENJADI RAJA BERGELAR PRABU SATMATA

Setelah Prabu Watugunung pulang ke Kerajaan Gilingwesi, tiba-tiba datang seorang pendeta bernama Resi Satmata yang meminta takhta Medang Kamulan untuk didudukinya. Tentu saja Raden Wukir dan para adik menolaknya dan mereka pun bersatu melawan pendeta tersebut. Pertempuran sengit terjadi di mana Resi Satmata berhasil mengalahkan mereka semua.

Resi Satmata tidak lain adalah penjelmaan Batara Wisnu yang mendapat perintah dari Batara Guru untuk menjadi raja di Medang Kamulan demi menjaga ketertiban Pulau Jawa. Raden Wukir dan adik-adiknya menyatakan tunduk dan merelakan takhta warisan sang ayah diduduki pendeta tersebut. Resi Satmata kemudian dinobatkan sebagai raja, bergelar Prabu Satmata.

Akan tetapi, Prabu Satmata kemudian tertarik melihat kecantikan Dewi Sriyuwati (saudari kandung Raden Wukir) dan ingin menikahinya. Raden Wukir dan para adik tidak setuju dan berani menentang hal itu, karena Dewi Sriyuwati adalah calon istri Batara Guru. Namun, Prabu Satmata tidak peduli dan tetap menikahi Dewi Sriyuwati. Lagipula, Dewi Sriyuwati sendiri juga menerima cinta Prabu Satmata.

Perkawinan tersebut membuat Raden Wukir dan adik-adiknya yang berjumlah dua puluh enam tidak sudi lagi mengabdi kepada Prabu Satmata. Namun demikian, mereka tidak ada yang berani melawan karena pernah merasakan kehebatan Prabu Satmata. Akhirnya, para putra Prabu Palindriya itu pun memilih pindah ke Kerajaan Gilingwesi, mengabdi kepada sang kakak, yaitu Prabu Watugunung.

RADEN WUKIR MENJADI PATIH SUWELACALA

Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi menyambut baik kedatangan saudara-saudaranya tersebut. Ia sangat kesal mengetahui adanya seorang pendeta yang tidak jelas asalnya tiba-tiba saja berani menduduki takhta Medang Kamulan. Raden Wukir dan para adik pun dipersilakan untuk menetap di Kerajaan Gilingwesi saja. Bahkan, Raden Wukir lalu diangkat sebagai menteri utama, bergelar Patih Suwelacala.

Prabu Watugunung juga mengangkat adik-adiknya dari selir sebagai punggawa Kerajaan Gilingwesi dan memberi mereka gelar Arya. Misalnya, Raden Kurantil menjadi Arya Kurantil, Raden Julungwangi menjadi Arya Julungwangi, Raden Prangbakat menjadi Arya Prangbakat, dan sebagainya. Inilah awal mula adanya gelar Arya di Pulau Jawa.

BEGAWAN RADI MENCIPTAKAN HARI TUJUH

Sementara itu, Begawan Radi di Padepokan Andongdadapan berniat menciptakan nama-nama hari yang baru. Jika dulu Empu Sengkala telah menciptakan hari lima yang terdiri atas Sri, Kala, Brahma, Wisnu, Guru yang kemudian diubah oleh Begawan Radi menjadi hari Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, maka sekarang Begawan Radi berniat menciptakan hari tujuh sebagai rangkapan hari lima tersebut.

Begawan Radi pun mengambil nama-nama anggota keluarga Prabu Palindriya untuk menciptakan hari tujuh tersebut, yaitu:
  • Radite, diambil dari nama Raden Raditya, yaitu putra Prabu Palindriya dengan Dewi Sinta atau Dewi Basundari. Raden Raditya ini tidak lain adalah nama Prabu Watugunung semasa muda.
  • Soma, diambil dari nama Dewi Soma, yaitu istri pertama Prabu Palindriya.
  • Anggara, diambil dari nama Raden Anggara, yaitu putra sulung Prabu Palindriya dengan Dewi Soma.
  • Buda, diambil dari nama Raden Buda, yaitu putra kedua Prabu Palindriya dengan Dewi Soma.
  • Respati, diambil dari nama Raden Respati, yaitu nama kecil Prabu Palindriya.
  • Sukra, diambil dari nama Raden Sukra, yaitu putra ketiga Prabu Palindriya dengan Dewi Soma.
  • Saniscara, diambil dari nama pemberian Prabu Palindriya untuk bayi berkelamin palsu yang dilahirkan Dewi Soma.

Begawan Radi lalu mempersembahkan nama-nama ketujuh hari itu kepada Prabu Watugunung serta cara pemakaiannya yang dirangkapkan dengan hari lima atau pasaran. Misalnya, jika hari ini Radite Legi, maka besok adalah Soma Pahing, dan lusa adalah Anggara Pon. Dengan demikian, setelah tiga puluh lima hari berlalu, maka akan kembali lagi menjadi Radite Legi. Adapun umur tiga puluh lima hari ini kemudian disebut dengan istilah Selapan.

BEGAWAN RADI KEMBALI MENJADI BATARA SURYA


Setelah mempersembahkan hasil pemikirannya itu, Begawan Radi lalu berpamitan kepada Prabu Watugunung untuk meninggalkan Pulau Jawa. Ia pun mengungkapkan jati dirinya, bahwa ia sesungguhnya adalah penjelmaan Batara Surya yang turun untuk mengajarkan penanggalan kepada masyarakat.

Kedatangan Begawan Radi pertama kali di Pulau Jawa adalah pada masa pemerintahan Sri Maharaja Dewahesa di Kerajaan Gilingaya yang sekarang sudah berganti nama menjadi Gilingwesi tersebut. Sri Maharaja Dewahesa berputra Sri Maharaja Kanwa, kemudian berputra Dewi Sriganarti, yang menikah dengan Prabu Kandihawa, kemudian berputra Prabu Palindriya, dan kemudian berputra Prabu Watugunung. Dengan demikian, keberadaan Batara Surya sebagai Begawan Radi sudah lama sekali, yaitu sebanyak lima angkatan sejak Sri Maharaja Dewahesa.

Prabu Watugunung sangat sedih jika harus berpisah dengan sang guru yang sudah banyak memberikan pelajaran kepadanya itu, namun sama sekali tidak kuasa untuk mencegahnya. Begawan Radi pun memberikan pesan terakhir supaya Prabu Watugunung mencari saudara-saudaranya yang lahir dari Dewi Soma dan menjadikan mereka bertiga sebagai pandita kerajaan di Andongdadapan menggantikan dirinya. Setelah berpesan demikian, Begawan Radi lalu berubah wujud menjadi Batara Surya dan terbang kembali menuju kahyangan tempat tinggalnya.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





2 komentar:

  1. beda banget dengan versi jogja di mana anak anak prabu paliindriyo itu adalah anak dari prabu watugunung sendiri, jadi di sini mreka yg 26 itu adalah saudara prabu watugunung.........

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Bambang, mau juga dong kisah yg versi Jogya, linknya kemana? Maturnuwun Mas Bambang

      Hapus