Rabu, 15 Oktober 2014

Watugunung Krama

Kisah ini menceritakan tentang usaha Prabu Watugunung memperistri Dewi Tumpak dengan syarat harus menikahi pula delapan ratus orang Putri Domas. Akan tetapi, setelah syarat itu terpenuhi justru perasaan Prabu Watugunung beralih kepada Dewi Sinta yang tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri. Inilah kisah perkawinan antara ibu dan anak dalam legenda masyarakat Jawa.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 15 Oktober 2014

Heri Purwanto 

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Watugunung.

PRABU WATUGUNUNG MENEMUKAN KETIGA KAKAKNYA

Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi dihadap Patih Suwelacala dan para arya. Tidak lama kemudian datang Arya Kurantil dan Arya Kuningan yang melaporkan bahwa keduanya telah berhasil menemukan Raden Anggara, Raden Buda, dan Raden Sukra yang bersembunyi di hutan sejak kematian ibu mereka (Dewi Soma). Prabu Watugunung sangat gembira menyambut kehadiran ketiga kakak tirinya itu dan segera mengangkat mereka sebagai pendeta kerajaan untuk menggantikan kedudukan Begawan Radi yang telah kembali ke kahyangan sebagai Batara Surya. Maka, sejak saat itu ketiganya pun mengubah gelar masing-masing menjadi Begawan Anggara, Begawan Buda, dan Begawan Sukra, serta mendapat tempat tinggal di Andongdadapan, Gadingmawukir, dan Medangagung.

Setelah saudara-saudaranya berkumpul, Prabu Watugunung lalu memutuskan untuk menyerang Prabu Satmata yang telah menduduki takhta Kerajaan Medang Kamulan. Patih Suwelacala dan para arya diperintahkan untuk menghimpun pasukan, lalu berangkat menuju negeri peninggalan ayah mereka itu.

KERAJAAN GILINGWESI MENAKLUKKAN MEDANG KAMULAN

Prabu Watugunung dan pasukan Gilingwesi telah sampai di Kerajaan Medang Kamulan, namun mereka terheran-heran karena Prabu Satmata ternyata sudah tidak lagi bertakhta di sana. Para prajurit yang berjaga menceritakan bahwa Prabu Satmata telah mendapat teguran keras dari Batara Guru karena berani menikahi Dewi Sriyuwati. Beberapa hari yang lalu Batara Narada datang membawa pesan Batara Guru kepada Prabu Satmata supaya menceraikan Dewi Sriyuwati atau diasingkan dari Medang Kamulan jika menolak. Ternyata Prabu Satmata memilih hukuman pengasingan daripada menceraikan istrinya. Dewi Sriyuwati sendiri juga memilih ikut pergi untuk menyertai suaminya tersebut.

Setelah kepergian Prabu Satmata dan Dewi Sriyuwati, takhta Kerajaan Medang Kamulan menjadi kosong tanpa raja. Bahkan, Dewi Landep (ibu kandung Dewi Sriyuwati dan Patih Suwelacala) juga ikut pergi, yaitu pulang ke tempat tinggal ayahnya (Batara Anantaboga) di Kahyangan Saptapratala.

Menyadari hal itu, Prabu Watugunung sangat gembira karena berhasil menaklukkan Kerajaan Medang Kamulan tanpa harus menumpahkan darah setetes pun. Maka, sejak saat itu Medang Kamulan pun resmi menjadi daerah bawahan Kerajaan Gilingwesi.

RESI SATMATA BERKELANA MENEBUS DOSA

Sementara itu, Prabu Satmata yang menjalani hukuman pengasingan kembali memakai gelar Resi Satmata dan mendirikan padepokan di Hutan Kuyana. Meskipun pada awalnya ia berani melawan perintah Batara Guru, namun lama-lama ia merasa bimbang juga karena telah merebut calon istri ayahnya itu. Akhirnya, pada suatu malam ia pun meninggalkan Dewi Sriyuwati yang sedang tidur untuk berkelana sendiri demi menebus dosa.

Dalam pengembaraannya itu, Resi Satmata berpindah-pindah dari satu padepokan ke padepokan lain. Dari Hutan Kuyana ia pindah ke Hutan Lodaya, kemudian ke Kabareyan, dan setelah itu ke Parangtritis di pesisir selatan Pulau Jawa.

PRABU WATUGUNUNG MELAMAR DEWI TUMPAK

Pada suatu hari Prabu Watugunung pergi ke Padepokan Andongdadapan mengunjungi ketiga kakak tirinya, yaitu Begawan Anggara, Begawan Buda, dan Begawan Sukra. Di tempat itu ia melihat adik perempuan ketiga begawan, yaitu Dewi Tumpak yang kini telah berusia lima belas tahun. Putri bungsu peninggalan Dewi Soma itu telah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik, dan membuat Prabu Watugunung jatuh hati kepadanya.

Prabu Watugunung berterus terang ingin menjadikan Dewi Tumpak sebagai istrinya. Rupanya tiada seorang pun yang tahu kalau hubungan mereka sebenarnya adalah ayah dan anak, karena Dewi Tumpak tidak lain merupakan putri hasil perselingkuhan Prabu Watugunung semasa muda dengan mendiang Dewi Soma.

Dewi Tumpak sendiri mengira dirinya adalah anak kandung Prabu Palindriya yang lahir dari Dewi Soma, dan ia pernah mendengar bahwa Prabu Watugunung juga merupakan putra Prabu Palindriya, tetapi lahir dari Dewi Basundari. Maka, dengan segala cara ia pun berusaha menolak lamaran dari orang yang dikira kakak tirinya itu. Karena Prabu Watugunung tetap memaksa, Dewi Tumpak akhirnya bersedia dijadikan istri asalkan dimadu dengan delapan ratus orang putri sebagai selir. Kedelapan ratus putri itu disebut dengan istilah Putri Domas, dan mereka harus berasal dari negeri di seberang lautan.

PRABU WATUGUNUNG MENGIRIM PARA ARYA KE NEGERI SEBERANG


Prabu Watugunung menyanggupi syarat yang diajukan Dewi Tumpak tersebut. Sungguh kebetulan hari itu datang seorang pendeta dari negeri seberang bernama Danghyang Suktina yang ingin mengabdi kepada Prabu Watugunung. Pendeta itu mengaku kehilangan istrinya dan ia mendapat petunjuk dari dewata supaya mengabdi di Kerajaan Gilingwesi jika ingin bertemu lagi dengan istrinya tersebut.

Karena Danghyang Suktina berasal dari seberang lautan, Prabu Watugunung pun memintanya untuk membantu mencarikan delapan ratus orang Putri Domas dari sana. Danghyang Suktina mengusulkan bahwa cara yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah dengan membantu kerepotan pihak lain. Saat ini Kerajaan Kistina yang terletak di Semenanjung Malaya sedang dikepung musuh. Prabu Darta raja Kistina memiliki adik perempuan bernama Dewi Darti yang sangat cantik dan diinginkan banyak raja. Akan tetapi, tidak satu pun lamaran itu yang diterima oleh Dewi Darti, sehingga para raja dengan sukarela kembali ke negeri mereka masing-masing.

Namun demikian, ada seorang raja raksasa bernama Prabu Grawa dari Kerajaan Malawa yang tetap bertahan dan mendirikan perkemahan untuk mengepung Kerajaan Kistina dan memaksa Dewi Darti menjadi istrinya. Prabu Darta tidak mampu menghadapi kesaktian Prabu Grawa sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah mengulur waktu sampai datangnya bala bantuan. Berdasarkan peristiwa itu, Danghyang Suktina pun menyarankan kepada Prabu Watugunung supaya membantu Prabu Darta mengalahkan Prabu Grawa, sehingga Prabu Darta pasti akan berterima kasih dan siap membantu mengumpulkan delapan ratus orang Putri Domas.

Prabu Watugunung menerima saran Danghyang Suktina tersebut dan segera memerintahkan adik-adiknya, yaitu para arya yang dipimpin Arya Kurantil untuk berangkat menuju Kerajaan Kistina di Semenanjung Malaya.

PARA ARYA MENGAMANKAN KERAJAAN KISTINA

Arya Kurantil dan adik-adiknya telah sampai di Kerajaan Kistina dan langsung bertempur menghadapi pasukan Prabu Grawa. Perang ramai pun terjadi. Prabu Grawa sendiri akhirnya tewas di tangan Arya Kurantil, sedangkan menteri utamanya yang bernama Patih Santakya menyerah kalah.

Prabu Darta bertanya kepada Patih Santakya mengapa Prabu Grawa bersikeras ingin menikahi Dewi Darti, padahal para raja yang lain secara sukarela bersedia pulang ke negeri masing-masing setelah lamaran mereka ditolak. Patih Santakya menceritakan bahwa rajanya itu telah menculik putri Kerajaan Prawastina yang bernama Dewi Pratima untuk dijadikan istri. Akan tetapi, Dewi Pratima bersedia dinikahi asalkan dimadu dengan sepupunya yang bernama Dewi Darti. Itulah sebabnya Prabu Grawa bersikeras ingin menikahi Dewi Darti, semata-mata hanya demi untuk memenuhi persyaratan yang diajukan Dewi Pratima.

Prabu Darta sangat terkejut mendengar cerita itu karena Dewi Pratima tidak lain adalah sepupunya sendiri, dan ia pernah berniat menjadikannya sebagai istri. Tak disangka, Dewi Pratima tiba-tiba hilang diculik orang dan ternyata si penculik adalah Prabu Grawa raja raksasa dari Malawa tersebut.

PRABU DARTA MENIKAHI DEWI PRATIMA

Patih Santakya kembali ke perkemahan untuk menjemput Dewi Pratima, kemudian menyerahkannya kepada Prabu Darta. Arya Kurantil menyarankan agar Prabu Darta melanjutkan niatnya untuk menikahi Dewi Pratima sebagai permaisuri. Maka, Prabu Darta pun mengirim lamaran kepada pamannya, yaitu Prabu Angrayoda di Kerajaan Prawastina, yang merupakan ayah dari Dewi Pratima.

Patih Santakya dan segenap bala tentara raksasa yang masih tersisa menyatakan takluk kepada para arya. Arya Kurantil selaku pimpinan pun mengangkat Patih Santakya sebagai raja baru di Kerajaan Malawa, tetapi dengan syarat harus tunduk kepada perintah Prabu Watugunung di Kerajaan Gilingwesi. Patih Santakya mematuhi syarat tersebut. Maka, ia pun dilantik sebagai raja dengan bergelar Prabu Santakya.

Sementara itu, Prabu Angrayoda di Kerajaan Prawastina sangat bahagia mendengar kabar bahwa putrinya yang hilang ternyata telah ditemukan dalam keadaan selamat di Kerajaan Kistina, dan ia pun menerima lamaran Prabu Darta. Maka, pada hari yang telah ditentukan, diadakanlah upacara pernikahan antara Prabu Darta dengan Dewi Pratima, yang dihadiri para arya dari Kerajaan Gilingwesi dan Prabu Santakya dari Kerajaan Malawa.

PARA ARYA MENGUMPULKAN PUTRI DOMAS

Setelah pernikahan Prabu Darta dan Dewi Pratima tersebut, para arya lalu menyampaikan permasalahan yang sedang dihadapi Prabu Watugunung, yaitu ingin menikahi Putri Domas yang berjumlah delapan ratus orang dari negeri seberang. Dengan senang hati, Prabu Darta, Prabu Angrayoda, dan Prabu Santakya pun mengumpulkan delapan ratus orang putri cantik dari negeri masing-masing. Bahkan, Prabu Darta juga mempersembahkan adiknya, yaitu Dewi Darti untuk dinikahkan pula dengan Prabu Watugunung.

Setelah lengkap terkumpul delapan ratus orang Putri Domas ditambah dengan Dewi Darti, para arya pun mohon pamit kembali ke Pulau Jawa. Prabu Darta, Prabu Angrayoda, dan Prabu Santakya mengantar kepergian mereka sampai ke pelabuhan.

ARYA PRANGBAKAT BERTEMU DEWI SINTA

Para arya berlayar meninggalkan Semenanjung Malaya dan akhirnya sampai di Pulau Jawa. Arya Kurantil selaku pimpinan segera memerintahkan Arya Prangbakat supaya berangkat lebih dulu untuk menyampaikan laporan kepada Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala.

Arya Prangbakat pun berangkat seorang diri namun ia tersesat sampai ke Hutan Nastuti. Di hutan itu ia melihat sebuah podok yang dihuni seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita itu tidak lain adalah Dewi Basundari yang dulu pernah menjelma menjadi Prabu Sintawaka dan dikalahkan oleh Prabu Watugunung saat masih bernama Patih Selacala.

Kecantikan Dewi Basundari membuat Arya Prangbakat berniat jahat ingin mengganggunya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul banjir besar yang menerjang dirinya. Arya Prangbakat pun minta tolong memohon ampun dan berjanji tidak berani lagi berpikiran jahat kepada Dewi Basundari. Tiba-tiba saja banjir besar itu pun surut dan meresap ke dalam bumi.

Arya Prangbakat menyampaikan sembah hormat kepada wanita di hadapannya itu. Dewi Basundari lalu memperkenalkan dirinya sebagai Dewi Sinta, yaitu nama yang dulu dipakai saat menjadi permaisuri di Kerajaan Medang Kamulan. Arya Prangbakat tiba-tiba mempunyai niat ingin mempersembahkan Dewi Sinta kepada rajanya, karena hanya Prabu Watugunung yang pantas menjadi suami wanita secantik dia. Kebetulan Dewi Sinta sendiri juga sudah jenuh hidup menyepi tanpa kawan di tepi hutan, sehingga ia pun bersedia dibawa ke Kerajaan Gilingwesi.

Untuk mengenang peristiwa banjir ajaib yang telah melanda dirinya, Arya Prangbakat pun mengganti nama Hutan Nastuti menjadi Hutan Roban, di mana “rob” berarti “banjir”.

PRABU WATUGUNUNG MENIKAHI DEWI SINTA

Arya Prangbakat telah sampai di Kerajaan Gilingwesi untuk menyampaikan laporan kemenangan di Semenanjung Malaya kepada Prabu Watugunung dan Patih Suwelacala, sekaligus ia mempersembahkan Dewi Sinta yang ditemukannya di Hutan Roban tadi. Prabu Watugunung sangat senang mendengar laporan tersebut, namun ia jauh lebih senang lagi saat menerima kehadiran Dewi Sinta. Melihat kecantikan Dewi Sinta, seketika ia pun lupa kepada niatnya untuk memperistri Dewi Tumpak.

Pada dasarnya Dewi Sinta memang seorang bidadari putri Batara Anantaboga, sehingga wujudnya selalu awet muda dan cantik sepanjang masa. Ia sama sekali tidak tahu kalau Prabu Watugunung adalah anak kandungnya sendiri yang lama hilang sejak berusia dua tahun. Sebaliknya, Prabu Watugunung juga sudah lupa kepada wajah ibu kandungnya itu, dan yang ia ingat hanyalah ibunya bernama Dewi Basundari.

Sementara itu, Patih Suwelacala telah memimpin upacara penyambutan untuk menjemput rombongan Arya Kurantil yang membawa Dewi Darti dan Putri Domas. Sesampainya di Kerajaan Gilingwesi, Prabu Watugunung pun menikahi kesemua putri itu, sekaligus menikahi Dewi Tumpak pula. Dengan demikian, dalam peristiwa itu ia telah memperistri delapan ratus tiga orang wanita secara sekaligus.

Dengan demikian, Prabu Watugunung telah menikahi anak kandungnya sendiri, yaitu Dewi Tumpak, serta menikahi ibu kandungnya pula, yaitu Dewi Sinta. Akan tetapi, Dewi Sinta telah menjadi istri yang paling disayanginya, sehingga Dewi Tumpak, Dewi Darti, dan para Putri Domas hanya dibuatkan istana saja tetapi tidak pernah diajak berhubungan badan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kembali ke: daftar isi





3 komentar: