Kisah ini menceritakan berdirinya Kerajaan Mandraka yang dipimpin oleh Raden Kardana, bergelar Prabu Mandrakusuma, menantu Arya Sriati. Juga dikisahkan pelantikan Raden Wasanta menjadi raja Gajahoya, bergelar Prabu Pratipa. Adapun Raden Kardana adalah leluhur Prabu Salya, sedangkan Raden Wasanta adalah leluhur Resiwara Bisma.
Kisah ini adalah perbaikan dari postingan sebelumnya yang berjudul sama, dan saya susun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra serta kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan sedikit pengembangan.
KERAJAAN GUJULAHA DIANCAM RAJA SIWANDAPURA
Prabu Partawijaya di Kerajaan Gujulaha dihadap putra mahkota yaitu Raden Partana beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Srenggabadra dan Resi Sabdamuni. Mereka sedang membicarakan berita tentang negeri tetangga, yaitu Kerajaan Mandrapura yang telah hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura raja Siwandapura.
Menurut kabar yang beredar, Prabu Bahlikasura adalah murid Batara Kala yang ingin menyebarkan agama Kala di Tanah Hindustan. Ia memaksa raja-raja sekitarnya supaya mau mengikuti dirinya, yaitu memuja Batara Kala. Jika raja tersebut menurutinya, maka dia akan diperlakukan dengan baik. Namun, jika raja tersebut menolak, maka negerinya akan hancur diserang pasukan Siwandapura.
Demikianlah, Kerajaan Mandrapura yang dipimpin Prabu Barandana dengan tegas menolak mengikuti agama Kala. Prabu Bahlikasura marah dan menyerang negeri tersebut. Konon kabarnya saat ini Kerajaan Mandrapura sudah hancur, rata dengan tanah. Prabu Barandana tewas di tangan Prabu Bahlikasura, begitu pula dengan seluruh anggota keluarganya, kecuali sang putra mahkota yang bernama Raden Kardana. Entah bagaimana nasib Raden Kardana saat ini tiada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.
Ketika Prabu Partawijaya sedang membicarakan berita tersebut, tiba-tiba datanglah utusan Prabu Bahlikasura yang bernama Patih Balawara menyampaikan surat dari rajanya. Prabu Partawijaya menerima surat itu dan membaca isinya. Surat tersebut berisi ajakan Prabu Bahlikasura kepada Prabu Partawijaya supaya ikut memuja Batara Kala. Prabu Partawijaya dengan tegas menolak ajakan tersebut. Bagaimanapun juga seluruh rakyat Gujulaha akan tetap teguh memegang agamanya, yaitu memuja Tuhan Yang Mahakuasa sesuai ajaran agama Wisnu. Atas penolakan itu, Patih Balawara pun undur diri dan mengancam bahwa pasukan Siwandapura saat ini sudah bersiaga untuk menggempur Kerajaan Gujulaha.
Prabu Partawijaya tidak gentar atas ancaman tersebut. Ia pun memerintahkan Patih Srenggabadra untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi peperangan yang sebentar lagi akan meletus.
PRABU PARTAWIJAYA MENGUNGSI KE TANAH JAWA
Patih Balawara telah kembali ke induk pasukan untuk melaporkan penolakan Prabu Partawijaya kepada Prabu Bahlikasura di perkemahan. Prabu Bahlikasura marah mendengar penolakan tersebut. Ia pun memerintahkan pasukan Siwandapura maju menggempur Kerajaan Gujulaha saat ini juga.
Di lain pihak, Prabu Partawijaya dan pasukannya telah bersiaga. Begitu kedua pasukan bertemu, pertempuran sengit pun terjadi. Banyak prajurit yang tewas di pihak Gujulaha. Bahkan, Resi Sabdamuni juga ikut terbunuh di tangan pendeta Kerajaan Siwandapura yang bernama Resi Logitasa.
Prabu Partawijaya merasa ngeri melihat kekuatan pasukan musuh. Ia pun memutuskan untuk mengungsi ke Tanah Jawa, meminta bantuan Kerajaan Wirata. Begitu perintah diumumkan, Patih Srenggabadra segera mengumpulkan sisa-sisa prajurit yang selamat. Bersama-sama mereka mengikuti Prabu Partawijaya beserta anak dan istrinya berlayar meninggalkan Kerajaan Gujulaha yang kini telah jatuh ke tangan musuh.
ARYA SRIATI DIUTUS MENYELIDIKI CAHAYA DI HUTAN KELING
Sementara itu di Kerajaan Wirata, Prabu Basukiswara mendapat laporan dari penduduk di sekitar Hutan Keling, bahwa dari dalam hutan tersebut memancar cahaya teja tegak lurus ke angkasa yang berwarna merah, putih, kuning, dan hitam. Prabu Basukiswara sangat penasaran dan memerintahkan Arya Sriati untuk berangkat memeriksa ke sana.
Dalam perjalanan menuju ke Hutan Keling, Arya Sriati berjumpa adiknya, yaitu Resi Manumadewa yang hendak pergi ke Kerajaan Wirata untuk mengunjunginya. Arya Sriati menjelaskan bahwa dirinya sedang mengemban tugas dari Prabu Basukiswara untuk menyelidiki Hutan Keling. Resi Manumadewa tertarik mendengarnya dan ia pun memutuskan untuk ikut menyertai kepergian sang kakak.
ARYA SRIATI BERTEMU RADEN KARDANA
Arya Sriati dan Resi Manumadewa kini telah sampai di Hutan Keling. Sesuai dengan laporan masyarakat, ternyata benar bahwa hutan tersebut memang memancarkan cahaya teja empat warna yang tegak lurus ke angkasa. Dengan hati-hati kedua putra Resi Manumanasa itu pun masuk ke dalam hutan mencari sumber cahaya.
Sesampainya di dalam hutan, mereka melihat seorang pemuda bertapa sambil menggenggam sebutir mutiara. Pemuda itu tampak lusuh dengan pakaian compang-camping. Rupanya cahaya teja yang memancar ke angkasa berasal dari mutiara yang digenggam oleh pemuda itu. Arya Sriati dan Resi Manumadewa tampak terkesan dan mencoba membangunkan pemuda tersebut.
Pemuda itu bangun dan memberi hormat kepada Arya Sriati dan Resi Manumadewa. Kedua pihak pun saling memperkenalkan diri. Ternyata pemuda itu adalah Raden Kardana, pelarian dari Kerajaan Mandrapura. Ia menceritakan bahwa negerinya kini hancur dan orang tuanya tewas akibat serbuan Prabu Bahlikasura dari Kerajaan Siwandapura. Ia pun melarikan diri dan mendapatkan petunjuk dari dewata supaya pergi bertapa ke Tanah Jawa.
Sesampainya di Tanah Jawa, Raden Kardana bertapa di Hutan Keling. Setelah tujuh hari tujuh malam tiba-tiba Batara Indra datang menemuinya. Batara Indra menghadiahkan mutiara pusaka Retna Dumilah yang bisa memancarkan cajaya teja empat warna. Daya kekuatan mutiara tersebut adalah jika dicium oleh Raden Kardana, maka Raden Kardana tidak akan merasa haus dan lapar. Batara Indra juga memberikan petunjuk agar Raden Kardana melanjutkan bertapa karena tidak lama lagi akan ada utusan dari Kerajaan Wirata yang akan menjadi sarana kemuliaannya.
Arya Sriati terkesan mendengar penuturan Raden Kardana. Ia pun mengaku bahwa dirinya memang utusan Prabu Basukiswara dari Kerajaan Wirata. Raden Kardana merasa senang dan memohon kepada Arya Sriati supaya diantarkan menghadap kepada Prabu Basukiswara. Ia ingin mempersembahkan mutiara Retna Dumilah kepada raja Wirata tersebut.
Arya Sriati dan Resi Manumadewa berunding sejenak, lalu mereka pun sepakat mengabulkan permintaan Raden Kardana. Ketiganya lalu bersama-sama pergi meninggalkan Hutan Keling menuju ke Kerajaan Wirata.
BATARA SAKRI MENOLONG MERTUANYA
Sementara itu, Prabu Partawijaya dan rombongannya yang mengungsi meninggalkan Kerajaan Gujulaha telah sampai di Tanah Jawa. Mereka tetap dikejar-kejar pasukan Siwandapura yang dipimpin oleh Arya Pinggala. Di tengah jalan, Prabu Partawijaya bertemu menantunya, yaitu Batara Sakri yang sedang berjalan ditemani Janggan Smara.
Batara Sakri segera membantu kesulitan sang mertua. Ia menghadang Arya Pinggala dan pasukannya, sehingga terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Arya Pinggala akhirnya tewas di tangan Batara Sakri. Melihat pemimpinnya terbunuh, para prajurit Siwandapura ketakutan dan melarikan diri.
Prabu Partawijaya sangat berterima kasih atas bantuan sang menantu. Ia menjelaskan bahwa saat ini Kerajaan Gujulaha telah hancur diserang musuh dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin Prabu Bahlikasura. Oleh karena itu, Prabu Partawijaya sekeluarga pun pergi mengungsi sekaligus meminta perlindungan Kerajaan Wirata.
Batara Sakri prihatin mendengarnya. Ia ganti bercerita bahwa saat ini istrinya, yaitu Dewi Sati sedang menderita sakit paru-paru yang kadang disertai batuk darah. Ia pun pergi mencari tanaman obat dengan ditemani Janggan Smara. Setelah menemukan tanaman obat yang dimaksud, mereka berniat pulang ke Gunung Saptaarga, hingga akhirnya bertemu rombongan mertuanya tersebut di tengah jalan.
Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti sangat prihatin mendengar keadaan putri mereka. Rombongan dari Gujulaha itu lalu dibagi menjadi dua. Dewi Sruti dan para wanita berangkat menyertai Batara Sakri ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Dewi Sati, sedangkan Prabu Partawijaya, Raden Partana, Patih Srenggabadra, dan para prajurit melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Wirata.
Batara Sakri sendiri berjanji akan segera menyusul ke Wirata setelah mengantarkan tanaman obat untuk Dewi Sati. Prabu Partawijaya berterima kasih dan mereka lalu berpisah sesuai tujuan masing-masing.
PRABU BASUKISWARA MELANTIK RADEN WASANTA MENJADI RAJA GAJAHOYA
Sementara itu, Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata menerima kunjungan Raden Wasanta dari Kerajaan Gajahoya. Raden Wasanta adalah putra mendiang Prabu Hastimurti, yaitu kakak sepupu Prabu Basukiswara yang telah lama meninggal dalam pertempuran melawan Prabu Daneswara raja Medang Kamulan. Sepeninggal Prabu Hastimurti, Kerajaan Gajahoya dipegang oleh mertua sekaligus pamannya, yaitu Resi Basunanda. Kini Raden Wasanta datang ke Wirata untuk mengabarkan bahwa kakeknya, yaitu Resi Basunanda telah meninggal dunia.
Prabu Basukiswara sangat terkejut dan prihatin mendengar berita tersebut. Ia lalu mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah Resi Basunanda. Setelah dirasa cukup, Prabu Basukiswara lalu menetapkan Raden Wasanta sebagai raja Gajahoya yang baru dan hendaknya tetap tunduk kepada Kerajaan Wirata. Raden Wasanta mematuhi dan ia pun dilantik dengan gelar Prabu Pratipa.
Prabu Basukiswara juga menunjuk putra Resi Basunanda, yaitu Patih Basundara agar menggantikan ayahnya menjadi pendeta penasihat Prabu Pratipa, dengan bergelar Resi Basundara. Adapun kedudukan patih di Gajahoya hendaknya dipegang oleh putra Resi Basundara yang bernama Raden Basusara. Demikianlah keputusan Prabu Basukiswara.
PRABU PARTAWIJAYA DAN RADEN KARDANA TIBA DI WIRATA
Setelah pelantikan Prabu Pratipa usai, Prabu Basukiswara menerima kedatangan Prabu Partawijaya beserta rombongannya. Prabu Partawijaya mengisahkan bahwa Kerajaan Gujulaha dan beberapa negara tetangga di Tanah Hindustan saat ini sudah jatuh ke tangan Prabu Bahlikasura, seorang pemuja Batara Kala dari Kerajaan Siwandapura. Prabu Basukiswara sangat prihatin mendengarnya dan ia pun berjanji akan melindungi Prabu Partawijaya dari kejaran musuh tersebut.
Tidak lama kemudian datang pula Arya Sriati bersama Raden Kardana dan Resi Manumadewa. Arya Sriati menyampaikan hasil penyelidikannya terhadap cahaya teja yang memancar dari Hutan Keling, ternyata berasal dari mutiara pusaka milik Raden Kardana. Ia adalah pelarian dari Kerajaan Mandrapura yang negerinya juga hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura.
Prabu Basukiswara semakin marah mendengar ulah Prabu Bahlikasura. Ia pun berjanji akan melindungi Raden Kardana di Kerajaan Wirata. Raden Kardana sangat berterima kasih dan segera mempersembahkan mutiara Retna Dumilah supaya menjadi pusaka Kerajaan Wirata.
Prabu Basukiswara sangat berkenan menerimanya dan ia pun membalas terima kasih dengan menganugerahkan Hutan Keling kepada Raden Kardana supaya dibuka menjadi kerajaan baru di sana.
PRABU BAHLIKASURA MENYERANG KERAJAAN WIRATA
Prabu Bahlikasura telah mendapat laporan bahwa Prabu Partawijaya dan Raden Kardana berlindung di Kerajaan Wirata. Ia pun berangkat mengejar dengan membawa pasukan lengkap dari Kerajaan Siwandapura. Meskipun ia datang dengan alasan ingin menangkap Prabu Partawijaya dan Raden Kardana, namun tujuan yang sebenarnya adalah ingin menaklukkan dan menjajah Kerajaan Wirata.
Di lain pihak, Prabu Basukiswara sudah bersiaga. Ia memerintahkan Patih Wasita dan Arya Manungkara untuk menyambut serangan tersebut. Prabu Pratipa dan pasukan Gajahoya juga ikut membantu. Pasukan gabungan ini masih ditambah dengan Batara Sakri yang juga datang bersama para murid Padepokan Gunung Saptaarga.
Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Bahlikasura tidak menyangka ternyata kekuatan Kerajaan Wirata sedemikian besarnya. Satu persatu para punggawa Kerajaan Siwandapura berguguran. Antara lain, Ditya Kalakunjana tewas di tangan Putut Supalawa, Ditya Gajahsinga tewas di tangan Arya Sriati, Garuda Otgawa tewas di tangan Batara Sakri, Patih Balawara tewas di tangan Patih Wasita, sedangkan Resi Logitasa tewas di tangan Resi Manumadewa.
Prabu Bahlikasura mengamuk dan hampir saja berhasil menangkap Prabu Partawijaya. Arya Manungkara maju menghadapinya. Pertarungan sengit pun terjadi. Arya Manungkara tampak kewalahan dan hampir saja kalah di tangan raja Siwandapura tersebut. Melihat itu, Prabu Pratipa segera maju membantu. Kali ini Prabu Bahlikasura ganti terdesak kalah. Ketika ia lengah, tiba-tiba Arya Manungkara maju kembali dan mengusapkan Minyak Manihara ke tubuhnya. Seketika raja Siwandapura itu pun berubah menjadi arca batu.
PRABU BASUKISWARA MEMBEBASKAN PRABU BAHLIKASURA
Prabu Basukiswara memerintahkan Arya Manungkara untuk memulihkan wujud Prabu Bahlikasura supaya bisa ditanyai. Arya Manungkara segera mengoleskan Minyak Muksala, membuat arca batu di hadapannya seketika berubah kembali menjadi Prabu Bahlikasura.
Prabu Basukiswara sangat kesal kepada Prabu Bahlikasura dan berniat menjadikannya sebagai tawanan yang harus ditebus mahal oleh anggota keluarganya di Kerajaan Siwandapura. Prabu Pratipa tiba-tiba ikut bicara dan memintakan pengampunan untuk Prabu Bahlikasura. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Prabu Basukiswara membebaskan raja Siwandapura tersebut, dengan syarat tidak lagi mengganggu Prabu Partawijaya dan Raden Kardana yang kini menjadi bagian dari Kerajaan Wirata.
Prabu Bahlikasura mematuhi syarat tersebut lalu ia pun undur diri meninggalkan Kerajaan Wirata. Prabu Pratipa juga mohon pamit kembali ke Kerajaan Gajahoya. Ia menolak undangan perjamuan dari Prabu Basukiswara untuk merayakan kemenangan perang.
PRABU PRATIPA BERSAHABAT DENGAN PRABU BAHLIKASURA
Dalam perjalanan pulang ke Gajahoya, Prabu Pratipa ditemui Prabu Bahlikasura yang berterima kasih atas pembelaannya tadi. Prabu Pratipa sendiri mengaku kurang suka terhadap Prabu Basukiswara sehingga ia pun membela Prabu Bahlikasura. Bagaimanapun juga usia Prabu Pratipa lebih tua daripada Prabu Basukiswara, tetapi karena silsilah ia harus memanggil “paman” kepadanya dan tunduk kepada raja Wirata tersebut. Ia bercita-cita suatu saat nanti Kerajaan Gajahoya harus bisa merdeka dan tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata.
Prabu Bahlikasura menyatakan siap membantu Prabu Pratipa. Kedua raja itu lalu menjalin persahabatan. Prabu Bahlikasura mengaku memiliki seorang anak perempuan bernama Dewi Sunanda yang ingin dipersembahkannya sebagai istri Prabu Pratipa. Untuk itu, Prabu Pratipa pun diundang berkunjung ke Kerajaan Siwandapura. Prabu Pratipa dengan senang hati menerima perjodohan tersebut. Ia lebih dulu mengajak Prabu Bahlikasura singgah di Kerajaan Gajahoya, kemudian mereka bersama-sama berlayar menuju Siwandapura.
RADEN KARDANA MENDIRIKAN KERAJAAN MANDRAKA
Atas izin Prabu Basukiswara, Hutan Keling kini telah dibuka menjadi sebuah negeri baru yang dipimpin Raden Kardana, dengan gelar Prabu Mandrakusuma. Negeri baru tersebut menjadi bawahan Kerajaan Wirata dan diberi nama Kerajaan Mandraka, yaitu meniru nama Mandrapura, negeri tempat asal Prabu Mandrakusuma.
Prabu Basukiswara juga mengatur perjodohan antara Prabu Mandrakusuma dengan putri sulung Arya Siati yang bernama Dewi Artati. Adapun adik Dewi Artati yang bernama Raden Artadriya ditunjuk sebagai patih di Kerajaan Mandraka, bergelar Patih Artadriya. Tidak hanya itu, Prabu Basukiswara juga mengangkat Arya Sriati sebagai pendeta yang mendampingi Prabu Mandrakusuma. Maka, sejak saat itu Arya Sriati pun berganti nama menjadi Resi Srimanasa.
Prabu Basukiswara juga terkesan melihat kehebatan adik bungsu Arya Sriati, yaitu Resi Manumadewa yang ikut berjuang menghadapi pasukan Siwandapura. Ia pun menawarkan jabatan punggawa menggantikan kedudukan Arya Sriati kepada Resi Manumadewa. Dengan senang hati, Resi Manumadewa menerima tawaran tersebut. Maka, sejak hari itu Resi Manumadewa menjadi punggawa Kerajaan Wirata, dengan gelar Arya Srimadewa.
PRABU PARTAWIJAYA MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA
Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Partawijaya mohon pamit meninggalkan Kerajaan Wirata. Ia sangat berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan Prabu Basukiswara kepada rombongannya yang datang mengungsi meminta perlindungan. Prabu Basukiswara tidak keberatan sama sekali mengingat persahabatan antara kedua negara, yaitu Wirata dan Gujulaha.
Prabu Partawijaya, Raden Partana, dan Patih Srenggabadra pun undur diri. Namun demikian, mereka tidak kembali ke Kerajaan Gujulaha, melainkan pergi ke Gunung Saptaarga bersama Batara Sakri. Prabu Partawijaya ingin lekas-lekas menjenguk dan melihat keadaan putrinya, yaitu Dewi Sati yang kini menderita sakit paru-paru.
kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya
Kisah ini adalah perbaikan dari postingan sebelumnya yang berjudul sama, dan saya susun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra serta kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 04 Februari 2016
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
Raden Kardana, pendiri Kerajaan Mandraka. |
KERAJAAN GUJULAHA DIANCAM RAJA SIWANDAPURA
Prabu Partawijaya di Kerajaan Gujulaha dihadap putra mahkota yaitu Raden Partana beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Srenggabadra dan Resi Sabdamuni. Mereka sedang membicarakan berita tentang negeri tetangga, yaitu Kerajaan Mandrapura yang telah hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura raja Siwandapura.
Menurut kabar yang beredar, Prabu Bahlikasura adalah murid Batara Kala yang ingin menyebarkan agama Kala di Tanah Hindustan. Ia memaksa raja-raja sekitarnya supaya mau mengikuti dirinya, yaitu memuja Batara Kala. Jika raja tersebut menurutinya, maka dia akan diperlakukan dengan baik. Namun, jika raja tersebut menolak, maka negerinya akan hancur diserang pasukan Siwandapura.
Demikianlah, Kerajaan Mandrapura yang dipimpin Prabu Barandana dengan tegas menolak mengikuti agama Kala. Prabu Bahlikasura marah dan menyerang negeri tersebut. Konon kabarnya saat ini Kerajaan Mandrapura sudah hancur, rata dengan tanah. Prabu Barandana tewas di tangan Prabu Bahlikasura, begitu pula dengan seluruh anggota keluarganya, kecuali sang putra mahkota yang bernama Raden Kardana. Entah bagaimana nasib Raden Kardana saat ini tiada seorang pun yang mengetahui keberadaannya.
Ketika Prabu Partawijaya sedang membicarakan berita tersebut, tiba-tiba datanglah utusan Prabu Bahlikasura yang bernama Patih Balawara menyampaikan surat dari rajanya. Prabu Partawijaya menerima surat itu dan membaca isinya. Surat tersebut berisi ajakan Prabu Bahlikasura kepada Prabu Partawijaya supaya ikut memuja Batara Kala. Prabu Partawijaya dengan tegas menolak ajakan tersebut. Bagaimanapun juga seluruh rakyat Gujulaha akan tetap teguh memegang agamanya, yaitu memuja Tuhan Yang Mahakuasa sesuai ajaran agama Wisnu. Atas penolakan itu, Patih Balawara pun undur diri dan mengancam bahwa pasukan Siwandapura saat ini sudah bersiaga untuk menggempur Kerajaan Gujulaha.
Prabu Partawijaya tidak gentar atas ancaman tersebut. Ia pun memerintahkan Patih Srenggabadra untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi peperangan yang sebentar lagi akan meletus.
PRABU PARTAWIJAYA MENGUNGSI KE TANAH JAWA
Patih Balawara telah kembali ke induk pasukan untuk melaporkan penolakan Prabu Partawijaya kepada Prabu Bahlikasura di perkemahan. Prabu Bahlikasura marah mendengar penolakan tersebut. Ia pun memerintahkan pasukan Siwandapura maju menggempur Kerajaan Gujulaha saat ini juga.
Di lain pihak, Prabu Partawijaya dan pasukannya telah bersiaga. Begitu kedua pasukan bertemu, pertempuran sengit pun terjadi. Banyak prajurit yang tewas di pihak Gujulaha. Bahkan, Resi Sabdamuni juga ikut terbunuh di tangan pendeta Kerajaan Siwandapura yang bernama Resi Logitasa.
Prabu Partawijaya merasa ngeri melihat kekuatan pasukan musuh. Ia pun memutuskan untuk mengungsi ke Tanah Jawa, meminta bantuan Kerajaan Wirata. Begitu perintah diumumkan, Patih Srenggabadra segera mengumpulkan sisa-sisa prajurit yang selamat. Bersama-sama mereka mengikuti Prabu Partawijaya beserta anak dan istrinya berlayar meninggalkan Kerajaan Gujulaha yang kini telah jatuh ke tangan musuh.
ARYA SRIATI DIUTUS MENYELIDIKI CAHAYA DI HUTAN KELING
Sementara itu di Kerajaan Wirata, Prabu Basukiswara mendapat laporan dari penduduk di sekitar Hutan Keling, bahwa dari dalam hutan tersebut memancar cahaya teja tegak lurus ke angkasa yang berwarna merah, putih, kuning, dan hitam. Prabu Basukiswara sangat penasaran dan memerintahkan Arya Sriati untuk berangkat memeriksa ke sana.
Dalam perjalanan menuju ke Hutan Keling, Arya Sriati berjumpa adiknya, yaitu Resi Manumadewa yang hendak pergi ke Kerajaan Wirata untuk mengunjunginya. Arya Sriati menjelaskan bahwa dirinya sedang mengemban tugas dari Prabu Basukiswara untuk menyelidiki Hutan Keling. Resi Manumadewa tertarik mendengarnya dan ia pun memutuskan untuk ikut menyertai kepergian sang kakak.
ARYA SRIATI BERTEMU RADEN KARDANA
Arya Sriati dan Resi Manumadewa kini telah sampai di Hutan Keling. Sesuai dengan laporan masyarakat, ternyata benar bahwa hutan tersebut memang memancarkan cahaya teja empat warna yang tegak lurus ke angkasa. Dengan hati-hati kedua putra Resi Manumanasa itu pun masuk ke dalam hutan mencari sumber cahaya.
Sesampainya di dalam hutan, mereka melihat seorang pemuda bertapa sambil menggenggam sebutir mutiara. Pemuda itu tampak lusuh dengan pakaian compang-camping. Rupanya cahaya teja yang memancar ke angkasa berasal dari mutiara yang digenggam oleh pemuda itu. Arya Sriati dan Resi Manumadewa tampak terkesan dan mencoba membangunkan pemuda tersebut.
Pemuda itu bangun dan memberi hormat kepada Arya Sriati dan Resi Manumadewa. Kedua pihak pun saling memperkenalkan diri. Ternyata pemuda itu adalah Raden Kardana, pelarian dari Kerajaan Mandrapura. Ia menceritakan bahwa negerinya kini hancur dan orang tuanya tewas akibat serbuan Prabu Bahlikasura dari Kerajaan Siwandapura. Ia pun melarikan diri dan mendapatkan petunjuk dari dewata supaya pergi bertapa ke Tanah Jawa.
Sesampainya di Tanah Jawa, Raden Kardana bertapa di Hutan Keling. Setelah tujuh hari tujuh malam tiba-tiba Batara Indra datang menemuinya. Batara Indra menghadiahkan mutiara pusaka Retna Dumilah yang bisa memancarkan cajaya teja empat warna. Daya kekuatan mutiara tersebut adalah jika dicium oleh Raden Kardana, maka Raden Kardana tidak akan merasa haus dan lapar. Batara Indra juga memberikan petunjuk agar Raden Kardana melanjutkan bertapa karena tidak lama lagi akan ada utusan dari Kerajaan Wirata yang akan menjadi sarana kemuliaannya.
Arya Sriati terkesan mendengar penuturan Raden Kardana. Ia pun mengaku bahwa dirinya memang utusan Prabu Basukiswara dari Kerajaan Wirata. Raden Kardana merasa senang dan memohon kepada Arya Sriati supaya diantarkan menghadap kepada Prabu Basukiswara. Ia ingin mempersembahkan mutiara Retna Dumilah kepada raja Wirata tersebut.
Arya Sriati dan Resi Manumadewa berunding sejenak, lalu mereka pun sepakat mengabulkan permintaan Raden Kardana. Ketiganya lalu bersama-sama pergi meninggalkan Hutan Keling menuju ke Kerajaan Wirata.
BATARA SAKRI MENOLONG MERTUANYA
Sementara itu, Prabu Partawijaya dan rombongannya yang mengungsi meninggalkan Kerajaan Gujulaha telah sampai di Tanah Jawa. Mereka tetap dikejar-kejar pasukan Siwandapura yang dipimpin oleh Arya Pinggala. Di tengah jalan, Prabu Partawijaya bertemu menantunya, yaitu Batara Sakri yang sedang berjalan ditemani Janggan Smara.
Batara Sakri segera membantu kesulitan sang mertua. Ia menghadang Arya Pinggala dan pasukannya, sehingga terjadilah pertempuran sengit di antara mereka. Arya Pinggala akhirnya tewas di tangan Batara Sakri. Melihat pemimpinnya terbunuh, para prajurit Siwandapura ketakutan dan melarikan diri.
Prabu Partawijaya sangat berterima kasih atas bantuan sang menantu. Ia menjelaskan bahwa saat ini Kerajaan Gujulaha telah hancur diserang musuh dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin Prabu Bahlikasura. Oleh karena itu, Prabu Partawijaya sekeluarga pun pergi mengungsi sekaligus meminta perlindungan Kerajaan Wirata.
Batara Sakri prihatin mendengarnya. Ia ganti bercerita bahwa saat ini istrinya, yaitu Dewi Sati sedang menderita sakit paru-paru yang kadang disertai batuk darah. Ia pun pergi mencari tanaman obat dengan ditemani Janggan Smara. Setelah menemukan tanaman obat yang dimaksud, mereka berniat pulang ke Gunung Saptaarga, hingga akhirnya bertemu rombongan mertuanya tersebut di tengah jalan.
Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti sangat prihatin mendengar keadaan putri mereka. Rombongan dari Gujulaha itu lalu dibagi menjadi dua. Dewi Sruti dan para wanita berangkat menyertai Batara Sakri ke Gunung Saptaarga untuk menjenguk Dewi Sati, sedangkan Prabu Partawijaya, Raden Partana, Patih Srenggabadra, dan para prajurit melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Wirata.
Batara Sakri sendiri berjanji akan segera menyusul ke Wirata setelah mengantarkan tanaman obat untuk Dewi Sati. Prabu Partawijaya berterima kasih dan mereka lalu berpisah sesuai tujuan masing-masing.
PRABU BASUKISWARA MELANTIK RADEN WASANTA MENJADI RAJA GAJAHOYA
Sementara itu, Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata menerima kunjungan Raden Wasanta dari Kerajaan Gajahoya. Raden Wasanta adalah putra mendiang Prabu Hastimurti, yaitu kakak sepupu Prabu Basukiswara yang telah lama meninggal dalam pertempuran melawan Prabu Daneswara raja Medang Kamulan. Sepeninggal Prabu Hastimurti, Kerajaan Gajahoya dipegang oleh mertua sekaligus pamannya, yaitu Resi Basunanda. Kini Raden Wasanta datang ke Wirata untuk mengabarkan bahwa kakeknya, yaitu Resi Basunanda telah meninggal dunia.
Prabu Basukiswara sangat terkejut dan prihatin mendengar berita tersebut. Ia lalu mengheningkan cipta untuk mendoakan arwah Resi Basunanda. Setelah dirasa cukup, Prabu Basukiswara lalu menetapkan Raden Wasanta sebagai raja Gajahoya yang baru dan hendaknya tetap tunduk kepada Kerajaan Wirata. Raden Wasanta mematuhi dan ia pun dilantik dengan gelar Prabu Pratipa.
Prabu Basukiswara juga menunjuk putra Resi Basunanda, yaitu Patih Basundara agar menggantikan ayahnya menjadi pendeta penasihat Prabu Pratipa, dengan bergelar Resi Basundara. Adapun kedudukan patih di Gajahoya hendaknya dipegang oleh putra Resi Basundara yang bernama Raden Basusara. Demikianlah keputusan Prabu Basukiswara.
PRABU PARTAWIJAYA DAN RADEN KARDANA TIBA DI WIRATA
Setelah pelantikan Prabu Pratipa usai, Prabu Basukiswara menerima kedatangan Prabu Partawijaya beserta rombongannya. Prabu Partawijaya mengisahkan bahwa Kerajaan Gujulaha dan beberapa negara tetangga di Tanah Hindustan saat ini sudah jatuh ke tangan Prabu Bahlikasura, seorang pemuja Batara Kala dari Kerajaan Siwandapura. Prabu Basukiswara sangat prihatin mendengarnya dan ia pun berjanji akan melindungi Prabu Partawijaya dari kejaran musuh tersebut.
Tidak lama kemudian datang pula Arya Sriati bersama Raden Kardana dan Resi Manumadewa. Arya Sriati menyampaikan hasil penyelidikannya terhadap cahaya teja yang memancar dari Hutan Keling, ternyata berasal dari mutiara pusaka milik Raden Kardana. Ia adalah pelarian dari Kerajaan Mandrapura yang negerinya juga hancur akibat serangan Prabu Bahlikasura.
Prabu Basukiswara semakin marah mendengar ulah Prabu Bahlikasura. Ia pun berjanji akan melindungi Raden Kardana di Kerajaan Wirata. Raden Kardana sangat berterima kasih dan segera mempersembahkan mutiara Retna Dumilah supaya menjadi pusaka Kerajaan Wirata.
Prabu Basukiswara sangat berkenan menerimanya dan ia pun membalas terima kasih dengan menganugerahkan Hutan Keling kepada Raden Kardana supaya dibuka menjadi kerajaan baru di sana.
PRABU BAHLIKASURA MENYERANG KERAJAAN WIRATA
Prabu Bahlikasura telah mendapat laporan bahwa Prabu Partawijaya dan Raden Kardana berlindung di Kerajaan Wirata. Ia pun berangkat mengejar dengan membawa pasukan lengkap dari Kerajaan Siwandapura. Meskipun ia datang dengan alasan ingin menangkap Prabu Partawijaya dan Raden Kardana, namun tujuan yang sebenarnya adalah ingin menaklukkan dan menjajah Kerajaan Wirata.
Di lain pihak, Prabu Basukiswara sudah bersiaga. Ia memerintahkan Patih Wasita dan Arya Manungkara untuk menyambut serangan tersebut. Prabu Pratipa dan pasukan Gajahoya juga ikut membantu. Pasukan gabungan ini masih ditambah dengan Batara Sakri yang juga datang bersama para murid Padepokan Gunung Saptaarga.
Pertempuran besar pun terjadi. Prabu Bahlikasura tidak menyangka ternyata kekuatan Kerajaan Wirata sedemikian besarnya. Satu persatu para punggawa Kerajaan Siwandapura berguguran. Antara lain, Ditya Kalakunjana tewas di tangan Putut Supalawa, Ditya Gajahsinga tewas di tangan Arya Sriati, Garuda Otgawa tewas di tangan Batara Sakri, Patih Balawara tewas di tangan Patih Wasita, sedangkan Resi Logitasa tewas di tangan Resi Manumadewa.
Prabu Bahlikasura mengamuk dan hampir saja berhasil menangkap Prabu Partawijaya. Arya Manungkara maju menghadapinya. Pertarungan sengit pun terjadi. Arya Manungkara tampak kewalahan dan hampir saja kalah di tangan raja Siwandapura tersebut. Melihat itu, Prabu Pratipa segera maju membantu. Kali ini Prabu Bahlikasura ganti terdesak kalah. Ketika ia lengah, tiba-tiba Arya Manungkara maju kembali dan mengusapkan Minyak Manihara ke tubuhnya. Seketika raja Siwandapura itu pun berubah menjadi arca batu.
PRABU BASUKISWARA MEMBEBASKAN PRABU BAHLIKASURA
Prabu Basukiswara memerintahkan Arya Manungkara untuk memulihkan wujud Prabu Bahlikasura supaya bisa ditanyai. Arya Manungkara segera mengoleskan Minyak Muksala, membuat arca batu di hadapannya seketika berubah kembali menjadi Prabu Bahlikasura.
Prabu Basukiswara sangat kesal kepada Prabu Bahlikasura dan berniat menjadikannya sebagai tawanan yang harus ditebus mahal oleh anggota keluarganya di Kerajaan Siwandapura. Prabu Pratipa tiba-tiba ikut bicara dan memintakan pengampunan untuk Prabu Bahlikasura. Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Prabu Basukiswara membebaskan raja Siwandapura tersebut, dengan syarat tidak lagi mengganggu Prabu Partawijaya dan Raden Kardana yang kini menjadi bagian dari Kerajaan Wirata.
Prabu Bahlikasura mematuhi syarat tersebut lalu ia pun undur diri meninggalkan Kerajaan Wirata. Prabu Pratipa juga mohon pamit kembali ke Kerajaan Gajahoya. Ia menolak undangan perjamuan dari Prabu Basukiswara untuk merayakan kemenangan perang.
PRABU PRATIPA BERSAHABAT DENGAN PRABU BAHLIKASURA
Dalam perjalanan pulang ke Gajahoya, Prabu Pratipa ditemui Prabu Bahlikasura yang berterima kasih atas pembelaannya tadi. Prabu Pratipa sendiri mengaku kurang suka terhadap Prabu Basukiswara sehingga ia pun membela Prabu Bahlikasura. Bagaimanapun juga usia Prabu Pratipa lebih tua daripada Prabu Basukiswara, tetapi karena silsilah ia harus memanggil “paman” kepadanya dan tunduk kepada raja Wirata tersebut. Ia bercita-cita suatu saat nanti Kerajaan Gajahoya harus bisa merdeka dan tidak lagi menjadi bawahan Kerajaan Wirata.
Prabu Bahlikasura menyatakan siap membantu Prabu Pratipa. Kedua raja itu lalu menjalin persahabatan. Prabu Bahlikasura mengaku memiliki seorang anak perempuan bernama Dewi Sunanda yang ingin dipersembahkannya sebagai istri Prabu Pratipa. Untuk itu, Prabu Pratipa pun diundang berkunjung ke Kerajaan Siwandapura. Prabu Pratipa dengan senang hati menerima perjodohan tersebut. Ia lebih dulu mengajak Prabu Bahlikasura singgah di Kerajaan Gajahoya, kemudian mereka bersama-sama berlayar menuju Siwandapura.
RADEN KARDANA MENDIRIKAN KERAJAAN MANDRAKA
Atas izin Prabu Basukiswara, Hutan Keling kini telah dibuka menjadi sebuah negeri baru yang dipimpin Raden Kardana, dengan gelar Prabu Mandrakusuma. Negeri baru tersebut menjadi bawahan Kerajaan Wirata dan diberi nama Kerajaan Mandraka, yaitu meniru nama Mandrapura, negeri tempat asal Prabu Mandrakusuma.
Prabu Basukiswara juga mengatur perjodohan antara Prabu Mandrakusuma dengan putri sulung Arya Siati yang bernama Dewi Artati. Adapun adik Dewi Artati yang bernama Raden Artadriya ditunjuk sebagai patih di Kerajaan Mandraka, bergelar Patih Artadriya. Tidak hanya itu, Prabu Basukiswara juga mengangkat Arya Sriati sebagai pendeta yang mendampingi Prabu Mandrakusuma. Maka, sejak saat itu Arya Sriati pun berganti nama menjadi Resi Srimanasa.
Prabu Basukiswara juga terkesan melihat kehebatan adik bungsu Arya Sriati, yaitu Resi Manumadewa yang ikut berjuang menghadapi pasukan Siwandapura. Ia pun menawarkan jabatan punggawa menggantikan kedudukan Arya Sriati kepada Resi Manumadewa. Dengan senang hati, Resi Manumadewa menerima tawaran tersebut. Maka, sejak hari itu Resi Manumadewa menjadi punggawa Kerajaan Wirata, dengan gelar Arya Srimadewa.
PRABU PARTAWIJAYA MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA
Keadaan kini telah aman kembali. Prabu Partawijaya mohon pamit meninggalkan Kerajaan Wirata. Ia sangat berterima kasih atas segala bantuan yang diberikan Prabu Basukiswara kepada rombongannya yang datang mengungsi meminta perlindungan. Prabu Basukiswara tidak keberatan sama sekali mengingat persahabatan antara kedua negara, yaitu Wirata dan Gujulaha.
Prabu Partawijaya, Raden Partana, dan Patih Srenggabadra pun undur diri. Namun demikian, mereka tidak kembali ke Kerajaan Gujulaha, melainkan pergi ke Gunung Saptaarga bersama Batara Sakri. Prabu Partawijaya ingin lekas-lekas menjenguk dan melihat keadaan putrinya, yaitu Dewi Sati yang kini menderita sakit paru-paru.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar