Selasa, 02 Februari 2016

Parasara Lahir

Kisah ini menceritakan kelahiran Bambang Parasara putra Batara Sakri dan Dewi Sati, yang kelak menjadi Resi Parasara, yaitu leluhur para Pandawa dan Kurawa. Kisah dilanjutkan dengan menyerahnya sisa-sisa pengikut Resi Dwapara kepada Resi Manumanasa.

Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan. Kisah ini saya sajikan untuk memperbaiki postingan terdahulu, di mana kisah perkawinan Batara Sakri dan kelahiran Bambang Parasara pernah saya jadikan satu cerita.


Kediri, 02 Februari 2016

Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------

BATARA SAKRI MENINGGALKAN KERAJAAN GUJULAHA

Prabu Partawijaya di Kerajaan Gujulaha dihadap pangeran mahkota Raden Partana beserta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Srenggabadra dan Resi Sabdamuni. Mereka sedang membicarakan putri Sang Prabu yaitu Dewi Sati yang kini sedang mengandung setelah menikah dengan Batara Sakri.

Tiba-tiba Dewi Sati datang menghadap dalam keadaan menangis. Ia bercerita bahwa suaminya telah pergi dari istana. Awal mulanya ialah Batara Sakri mengaku tidak betah tinggal di istana dan ingin kembali ke Gunung Saptaarga. Batara Sakri sangat menyesal telah bertengkar dengan ayahnya, yaitu Resi Satrukem sebelum menikah dulu. Waktu itu Batara Sakri disuruh Resi Satrukem mencari istri bidadari untuk menggenapi tradisi keluarga, namun ia menolak karena jika menikah dengan bidadari maka ujung-ujungnya hanya tinggal di padepokan saja. Batara Sakri pun menyatakan bahwa dirinya ingin menikah dengan putri raja supaya bisa tinggal di istana.

Jawaban tersebut membuat Resi Satrukem tersinggung dan mengusir Batara Sakri. Kini Batara Sakri telah mewujudkan cita-citanya bisa menikah dengan putri raja, namun ternyata ia tidak betah tinggal di istana. Batara Sakri sangat menyesal telah menyinggung perasaan ayahnya dan ingin pulang ke Gunung Saptaarga untuk meminta maaf kepada Resi Satrukem. Ia pun mengajak Dewi Sati tinggal di padepokan dan menetap di sana untuk selamanya. Namun, Dewi Sati menolak. Ia mengaku tidak mungkin meninggalkan segala kemewahan yang dimilikinya sejak kecil. Hal ini membuat mereka berdua bertengkar. Batara Sakri kecewa karena Dewi Sati sebagai seorang istri tidak patuh kepada suami.

Karena dalam pertengkaran tersebut tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Batara Sakri memilih pergi meninggalkan istana.

Kini Dewi Sati menyesal karena tidak mematuhi sang suami. Ia pun merengek mengajak sang ayah untuk mengantarkannya menyusul Batara Sakri ke Gunung Saptaarga. Prabu Partawijaya berusaha menyabarkan putrinya itu. Ia memaklumi bahwa dirinya terlalu memanjakan Dewi Sati sejak kecil sehingga setelah menikah kurang bisa membawa diri sebagai istri yang baik. Ia pun berjanji akan mengantarkan putrinya itu menyusul ke Gunung Saptaarga tetapi nanti bila sudah melahirkan.

Namun, Dewi Sati menolak. Ia tidak mau menunda-nunda lagi. Semakin lama dirinya berpisah dengan Batara Sakri justru membuat dirinya semakin bertambah sedih karena merasa berdosa kepada suami. Ia meminta saat ini juga sang ayah mengantarkannya pergi ke Gunung Saptaarga. Prabu Partawijaya yang sangat menyayangi putrinya itu tidak bisa menolak lagi. Ia pun meminta Resi Sabdamuni membuatkan jamu penguat kandungan agar perjalanan ke Tanah Jawa nanti tidak membahayakan janin yang berada di dalam rahim Dewi Sati. Resi Sabdamuni mematuhi dan segera berangkat mempersiapkan ramuan.

Setelah dirasa cukup, Prabu Partawijaya pun membubarkan pertemuan kemudian berpamitan kepada sang permaisuri Dewi Sruti bahwa dirinya akan berangkat ke Tanah Jawa untuk mengantarkan putri mereka.

PRABU PARTAWIJAYA BERSELISIH DENGAN PRABU SADAKA

Prabu Partawijaya dan Dewi Sati telah berlayar ke Tanah Jawa dan mendarat di pelabuhan yang menjadi wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Mereka pun bertemu Prabu Maheswara dan Patih Nindyabawa yang  kebetulan sedang meninjau suasana perdagangan di pelabuhan. Terjadilah salah paham di mana Prabu Maheswara mengira Prabu Partawijaya adalah raja dari tanah seberang yang hendak menyerang Medang Kamulan. Namun, begitu melihat keadaan Dewi Sati yang sedang hamil, Prabu Maheswara pun menyadari kekeliruannya.

Prabu Partawijaya mengaku hendak pergi ke Gunung Saptaarga untuk menyusul menantunya, yaitu Batara Sakri. Prabu Maheswara merasa senang begitu mendengar Prabu Partawijaya ternyata besan Resi Satrukem. Ia sendiri juga mengaku memiliki hubungan baik dengan Padepokan Ratawu di Gunung Saptaarga karena dulu semasa muda dan masih bernama Raden Artaetu pernah berguru kepada Resi Manumanasa. Prabu Partawijaya pun menjelaskan bahwa dirinya juga murid Resi Manumanasa. Seketika suasana tegang pun mencair menjadi keakraban di antara kedua raja tersebut.

Tiba-tiba datanglah sebuah kapal besar yang mendarat di pelabuhan. Dari kapal itu turun Prabu Sadaka dan Patih Warsita dari Kerajaan Magada di tanah seberang. Prabu Partawijaya bertanya ada urusan apa sahabatnya itu datang ke Pulau Jawa. Prabu Sadaka mengaku hendak menyerang Gunung Saptaarga demi membalaskan kematian gurunya, yaitu Resi Dwapara.

Prabu Partawijaya berusaha menasihati Prabu Sadaka, bahwa Resi Manumanasa adalah pendeta berbudi luhur yang difitnah oleh Resi Dwapara. Masalah dendam ini sebaiknya tidak perlu dilanjutkan lagi. Bahkan, Prabu Partawijaya mengajak Prabu Sadaka untuk ikut serta berguru kepada Resi Manumanasa. Prabu Sadaka tidak peduli mendapat nasihat demikian dan memutuskan untuk tetap menyerang Gunung Saptaarga. Prabu Partawijaya bertekad akan menghalangi serangan itu karena Resi Manumanasa sudah menjadi gurunya. Ia tidak peduli lagi meskipun Prabu Sadaka adalah kawan lamanya. Prabu Maheswara pun demikian. Maka, meletuslah pertempuran di pelabuhan tersebut, yaitu antara pasukan Magada melawan pasukan Medang Kamulan dan Gujulaha.

Pasukan Magada yang jumlahnya lebih sedikit akhirnya tercerai berai. Prabu Sadaka bahkan terpisah dari pasukannya. Ia pun menyambar Dewi Sati dan menaikkannya ke atas kereta lalu membawanya kabur. Sementara itu, Patih Warsita memerintahkan sisa-sisa pasukannya yang masih hidup untuk naik kembali ke atas kapal dan berlayar meninggalkan pelabuhan.

Prabu Partawijaya sangat gugup melihat Dewi Sati diculik Prabu Sadaka. Ia pun bergegas mengejar dengan ditemani Prabu Maheswara.

BATARA SAKRI MEMOHON MAAF KEPADA AYAHNYA

Sementara itu, Batara Sakri telah sampai di Gunung Saptaarga dan langsung bersujud mencium kaki ayahnya, yaitu Resi Satrukem. Ia memohon maaf karena dulu telah menyinggung perasaan sang ayah, yaitu berkata tidak mau menikah dengan bidadari karena ujung-ujungnya hanya hidup di padepokan saja. Kini ia telah mewujudkan cita-citanya tersebut, yaitu menikahi seorang putri raja. Akan tetapi, hidup di istana ternyata tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Ia merasa tinggal di padepokan jauh lebih menentramkan hati.

Resi Satrukem senang mendengar penuturan putranya. Namun, bagaimanapun juga Batara Sakri telah berumah tangga, sehingga akan lebih baik jika hidup mandiri bersama istri. Ia pun memutuskan untuk mengajak Batara Sakri pergi ke Kerajaan Gujulaha untuk menjemput Dewi Sati dan memboyongnya ke Gunung Saptaarga. Batara Sakri mematuhi saran sang ayah. Mereka lalu berangkat bersama-sama dengan ditemani Janggan Smara.

DEWI SATI MELAHIRKAN BAYI LAKI-LAKI

Ketika perjalanan mereka sampai di Hutan Parasara, tiba-tiba terdengar suara wanita meminta tolong. Batara Sakri terkejut karena mengenali suara itu adalah suara Dewi Sati. Ia heran mengapa tiba-tiba istrinya itu ada di Tanah Jawa. Tanpa membuang waktu, ia segera melesat ke arah datangnya suara dan kemudian melihat Dewi Sati berada di atas kereta yang melaju kencang dengan dikendarai Prabu Sadaka.

Batara Sakri menghadang kereta tersebut dan menyerang Prabu Sadaka. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Sementara itu, Resi Satrukem dan Janggan Smara menolong Dewi Sati dan menurunkannya dari atas kereta. Dewi Sati merintih kesakitan dan merasa dirinya akan segera melahirkan. Janggan Smara dengan terampil segera membantu Dewi Sati. Perlahan-lahan, Dewi Sati pun melahirkan seorang bayi laki-laki di tengah hutan tersebut.

Di sisi lain, Batara Sakri telah menewaskan Prabu Sadaka. Ia segera mendatangi Dewi Sati dan memeluk istrinya itu. Tidak lama kemudian datang pula Prabu Partawijaya dan Prabu Maheswara yang mengejar Prabu Sadaka. Mereka sangat gembira melihat Dewi Sati selamat dan telah melahirkan bayi yang sehat pula.

Resi Satrukem mengusulkan agar Batara Sakri memberi nama putranya yang baru lahir itu Bambang Parasara, sebagai pengingat bahwa ia dilahirkan di tengah Hutan Parasara. Batara Sakri menerima usulan sang ayah. Ia pun menetapkan nama Bambang Parasara sebagai nama putranya tersebut. Bersama-sama mereka lantas berangkat menuju ke Gunung Saptaarga.

PATIH WARSITA BERTEMU PRABU DRUMANASA

Sementara itu, Patih Warsita dan sisa-sisa pasukan Magada yang berlayar pulang bertemu kapal besar berbendera Kerajaan Madenda. Ia mengenali penumpang kapal tersebut adalah Prabu Drumanasa, sahabat Prabu Sadaka saat dulu sama-sama belajar kepada Resi Dwapara. Ia juga melihat Wasi Druwasa, putra mendiang Resi Dwapara ikut serta dalam kapal tersebut.

Prabu Drumanasa raja Madenda ini adalah putra dari Prabu Wagirata yang merupakan sepupu Resi Dwapara. Ia dulu pernah menemani Resi Dwapara saat memperebutkan Dewi Nilawati di Gunung Pujangkara melawan Resi Satrukem. Kini ia bersama-sama Wasi Druwasa berangkat ke Tanah Jawa untuk menyerang Gunung Saptaarga demi membalaskan kematian Resi Dwapara.

Mendengar tujuan Prabu Drumanasa tersebut, Patih Warsita merasa senang dan ia pun memutar kembali kapalnya untuk ikut bergabung dalam penyerangan ini.

PRABU BASUKISWARA BERGURU KEPADA RESI MANUMANASA

Resi Manumanasa di Gunung Saptaarga sedang menerima kunjungan Prabu Basukiswara yang didampingi Patih Wasita dan Arya Manungkara. Kedatangan Prabu Basukiswara ini adalah untuk berguru kepada pendeta agung yang masih terhitung pamannya tersebut. Resi Manumanasa mengabulkan niat Prabu Basukiswara dengan senang hati, dan mengajarinya ilmu kebatinan serta ilmu sangkan paraning dumadi.

Resi Manumanasa juga memperkenalkan Prabu Partawijaya raja Gujulaha kepada Prabu Basukiswara. Kedua raja itu pun langsung akrab dan saling menjalin persaudaraan. Prabu Basukiswara juga memberikan ucapan selamat atas pernikahan Batara Sakri dan Dewi Sati, serta kelahiran putra mereka yang diberi nama Bambang Parasara.

PRABU DRUMANASA MENYERAH KEPADA RESI MANUMANASA

Tidak lama kemudian datanglah pasukan Prabu Drumanasa yang membuat kekacauan di kaki Gunung Saptaarga. Resi Manumanasa segera memerintahkan Putut Supalawa si kera putih untuk menghadapi mereka, namun jangan sampai menimbulkan kematian. Prabu Basukiswara juga memerintahkan Patih Wasita dan Arya Manungkara supaya ikut membantu.

Pertempuran pun terjadi. Putut Supalawa berhasil menangkap hidup-hidup Wasi Druwasa dan membawanya naik ke puncak Gunung Saptaarga. Di sisi lain Arya Manungkara juga berhasil menangkap Prabu Drumanasa, sedangkan Patih Wasita berhasil meringkus Patih Warsita. Ketiga pengacau itu pun dihadapkan kepada Resi Manumanasa.

Resi Manumanasa mengampuni ketiga orang itu karena mengetahui kalau mereka masih dalam pengaruh buruk mendiang Resi Dwapara. Prabu Drumanasa, Wasi Druwasa, dan Patih Warsita kagum melihat kebesaran hati Resi Manumanasa dan mereka pun memohon supaya diterima sebagai murid agar dapat menghilangkan pengaruh ilmu sesat yang pernah diajarkan Resi Dwapara dulu. Resi Manumanasa dengan senang hati menerima mereka bertiga. Suasana ketegangan pun kini berubah menjadi keakraban dan tiada lagi dendam di antara mereka.

PRABU PARTAWIJAYA BERBESAN DENGAN PATIH WARSITA

Sementara itu, Dewi Sruti di Kerajaan Gujulaha menerima surat dari Prabu Partawijaya bahwa Dewi Sati telah melahirkan bayi laki-laki. Tanpa membuang-buang waktu, ia pun mengajak Raden Partana untuk berangkat ke Gunung Saptaarga saat itu juga.

Sesampainya di Gunung Saptaarga, Dewi Sruti dan Raden Partana sangat bahagia melihat bayi Bambang Parasara. Tidak hanya itu, Dewi Sruti juga kagum melihat keagungan Resi Manumanasa. Ia pun meminta izin kepada sang suami agar diperbolehkan ikut berguru di Gunung Saptaarga. Prabu Partawijaya segera menyampaikan hal itu kepada Resi Manumanasa. Ternyata, Resi Manumanasa tidak membeda-bedakan antara murid laki-laki dan perempuan. Menurutnya, mencari ilmu wajib dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang jenis kelamin. Prabu Partawijaya dan Dewi Sruti senang mendengarnya. Maka, sejak saat itu Dewi Sruti pun menjadi murid Resi Manumanasa dan belajar bersama-sama Prabu Basukiswara, Prabu Drumanasa, Wasi Druwasa, dan Patih Warsita.

Setelah pelajaran selesai, Resi Manumanasa mempersilakan murid-muridnya kembali ke negeri masing-masing. Prabu Basukiswara kembali ke Wirata, sedangkan Prabu Drumanasa kembali ke Madenda. Sementara itu, Wasi Druwasa dipersilakan untuk menduduki Padepokan Tegalbamban bekas peninggalan ayahnya (Resi Dwapara). Sejak hari itu, Wasi Druwasa pun berganti gelar menjadi Resi Druwasa.

Patih Warsita juga dipersilakan untuk kembali ke Kerajaan Magada. Karena Prabu Sadaka telah tewas di tangan Batara Sakri dan tidak memiliki ahli waris, maka Patih Warsita dipersilakan untuk menjadi raja di Magada. Maka, sejak hari itu Patih Warsita pun berganti gelar menjadi Prabu Warsita.

Untuk menjalin persaudaraan, Prabu Partawijaya mengajak Prabu Warsita berbesan. Kebetulan Prabu Warsita memiliki anak perempuan bernama Dewi Sutiksna dan hendaknya ia dinikahkan dengan Raden Partana, putra bungsu Prabu Partawijaya. Prabu Warsita sangat gembira menyambut ajakan tersebut. Ia pun berjanji sesampainya di Magada akan segera mempersiapkan pernikahan tersebut.

Demikianlah, keadaan kini kembali tenteram dan damai. Resi Manumanasa telah berhasil mengubah sikap permusuhan dari para pengikut mendiang Resi Dwapara menjadi sebuah persaudaraan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya











Tidak ada komentar:

Posting Komentar