Minggu, 14 Februari 2016

Manumanasa - Satrukem Muksa

Kisah ini menceritakan Resi Manumanasa dan Resi Satrukem muksa menjadi dewa dengan dijemput langsung oleh Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa. Sanghyang Padawenang lalu menugasi Janggan Smara menjadi pengasuh Bambang Parasara dan keturunannya kelak. Janggan Smara pun memakai nama baru, yaitu Kyai Semar, sedangkan bayangannya diubah pula menjadi manusia bernama Bagong.

Kisah ini disusun dan diolah dengan sejumlah pengembangan berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dan merupakan perbaikan dari kisah yang pernah saya posting sebelumnya dengan judul yang sama.


Kediri, 14 Februari 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU BASUKISWARA MENGIRIM BANTUAN KE KERAJAAN MANDRAKA

Prabu Basukiswara di Kerajaan Wirata dihadap Patih Wasita, Arya Srimadewa, dan Arya Manungkara. Ketika mereka sedang membicarakan masalah pemerintahan, tiba-tiba datang utusan dari Kerajaan Mandraka, yaitu Patih Artadriya yang mengabarkan bahwa negerinya sedang diserang musuh. Prabu Mandrakusuma raja Mandraka didatangi raja raksasa dari Kerajaan Imaimantaka, bernama Prabu Mityakarda yang ingin merebut istrinya, yaitu Dewi Artati. Karena kekuatan pihak raksasa sangat besar, Prabu Mandrakusuma terdesak dan menutup rapat-rapat gerbang benteng Kerajaan Mandraka. Ia lalu mengutus Patih Artadriya untuk meminta bantuan kepada Kerajaan Wirata.

Prabu Basukiswara sangat marah mendengar berita ini. Ia segera teringat bahwa Prabu Mityakarda adalah putra Resi Martikawata yang dulu pernah menyatakan tunduk kepada Kerajaan Wirata. Menanggapi masalah tersebut, Prabu Basukiswara pun mengustus Arya Manungkara untuk membawa pasukan Wirata membantu kesulitan Prabu Mandrakusuma. Arya Manungkara segera mohon pamit berangkat bersama Patih Artadriya menuju Kerajaan Mandraka.

PRABU MERCUKALAKRESNA MENANGKAP ARYA MANUNGKARA

Di luar benteng Kerajaan Mandraka, pasukan raksasa Imaimantaka sedang bersiaga di bawah pimpinan Prabu Mityakarda. Hadir pula penasihat raja yang bernama Kyai Togog dan Bilung. Berbeda dengan ayahnya (Resi Martikawata) yang bijaksana, Prabu Mityakarda ini bersifat angkara murka. Ia ingin menaklukkan negeri-negeri di Tanah Jawa menjadi jajahan Kerajaan Imaimantaka. Yang menjadi sasaran pertama adalah Kerajaan Mandraka, dengan alasan ingin merebut Dewi Artati, istri Prabu Mandrakusuma.

Sebenarnya tujuan Prabu Mityakarda menggempur Kerajaan Mandraka adalah supaya Prabu Mandrakusuma meminta bantuan Kerajaan Wirata. Dengan demikian, Kerajaan Imaimantaka mendapatkan alasan untuk memerangi Kerajaan Wirata. Bagaimanapun juga, Prabu Mityakarda ingin membalas dendam atas kematian mertua sekaligus pamannya, yaitu Prabu Hiranyaka raja Manimantaka yang dulu tewas di tangan Prabu Basukiswara.

Siasat Prabu Mityakarda kini menjadi kenyataan. Arya Manungkara dan pasukan Wirata telah datang dan segera menggempur perkemahan para raksasa Imaimantaka. Pertempuran sengit pun terjadi. Arya Manungkara dengan mengandalkan Minyak Manihara berhasil mengubah banyak prajurit raksasa menjadi arca batu.

Prabu Mityakarda segera terjun ke medan tempur menghadapi kakak ipar Prabu Basukiswara tersebut. Pertarungan sengit terjadi di antara mereka. Prabu Mityakarda tidak menyangka ternyata Arya Manungkara sangat sakti dan membuatnya terdesak kewalahan. Ketika raja raksasa itu hampir saja diubah menjadi patung batu oleh lawannya, tiba-tiba datang bala bantuan dari Kerajaan Dwarawatiprawa, yaitu Prabu Mercukalakresna beserta pasukannya (Prabu Mercukalakresna dan Prabu Mityakarda adalah sama-sama menantu Prabu Hiranyaka).

Prabu Mercukalakresna dan Prabu Mityakarda bekerja sama mengeroyok Arya Manungkara. Keadaan kini berbalik. Arya Manungkara terdesak dan pusaka Minyak Manihara di tangannya dapat direbut oleh Prabu Mercukalakresna. Dengan cekatan, Prabu Mercukalakresna segera mengusapkan Minyak Manihara ke tubuh Arya Manungkara. Ibarat senjata makan tuan, Arya Manungkara pun seketika berubah menjadi patung batu.

Patih Artadriya ngeri melihat Arya Manungkara telah dikalahkan. Ia pun memerintahkan pasukan Wirata dan Mandraka supaya mundur masuk ke dalam benteng.

RESI MANUMANASA DAN RESI SATRUKEM MENJADI DEWA

Sementara itu, Resi Manumanasa dan putra sulungnya, yaitu Resi Satrukem di Gunung Saptaarga bertapa siang dan malam untuk mencapai kesempurnaan. Pertapaan mereka ini menyebabkan Kahyangan Suralaya berguncang dan para bidadara-bidadari merasa tidak kuat menahan hawa panas yang dipancarkan oleh ayah dan anak tersebut.

Sanghyang Padawenang, leluhur para dewa sangat berkenan menyaksikan tapa brata tersebut dan ia pun turun ke Gunung Saptaarga untuk membangunkan Resi Manumanasa dan Resi Satrukem. Keduanya terbangun dan segera menyampaikan sembah hormat kepada sang leluhur para dewa.

Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menjemput Resi Manumanasa dan Resi Satrukem menjadi dewa yang bersatu dengan dirinya. Resi Manumanasa pun diberi nama baru, yaitu Batara Prawa, sedangkan Resi Satrukem diberi nama Batara Darma. Keduanya lalu masuk bersatu ke dalam cahaya gemilang yang dipancarkan Sanghyang Padawenang dan mencapai muksa.

ASAL-USUL BAGONG DAN KUNCUNG SEMAR

Ketika Sanghyang Padawenang hendak kembali ke Kahyangan Awang-Awang Kumitir, muncul Janggan Smara yang tidak lain adalah penjelmaan Batara Ismaya, putranya sendiri. Janggan Smara bersiap hendak ikut memasuki cahaya gemilang tersebut, namun dicegah oleh Sanghyang Padawenang.

Sanghyang Padawenang menjelaskan bahwa belum waktunya Janggan Smara kembali ke kahyangan karena masih banyak tugas yang harus ia kerjakan di dunia, yaitu mengasuh Bambang Parasara yang saat ini masih berusia dua tahun beserta anak keturunannya kelak. Bahkan, kakak Batara Ismaya yang bernama Batara Antaga pun kini telah menjalankan tugasnya sebagai pengasuh para raksasa dengan nama Kyai Togog. Adapun yang menjadi rekan kerja Kyai Togog adalah hawa nafsunya sendiri yang telah mewujud menjadi manusia, bernama Bilung Sarawita.

Janggan Smara mematuhi perintah Sanghyang Padawenang untuk mengasuh Bambang Parasara dan keturunannya kelak, namun ia meminta diberi kawan pula. Sanghyang Padawenang pun berkata bahwa teman Janggan Smara adalah bayangannya sendiri. Seketika bayangan Janggan Smara pun berubah menjadi manusia bertubuh bulat pendek, bermata lebar, dan memakai rambut gombak. Sanghyang Padawenang memberi nama orang itu Bagong dan menjadikannya sebagai rekan Janggan Smara dalam menjalankan tugasnya.

Bagong bersifat polos seperti anak kecil, sebagai perlambang bahwa Janggan Smara akan selalu awet muda dan panjang umur karena ia harus mengasuh Bambang Parasara dan keturunannya, sampai lahir titisan Batara Wisnu yang akan memelihara ketertiban dunia. Kelak Janggan Smara akan bekerja sama dengan titisan Batara Wisnu tersebut untuk menumpas angkara murka melalui sebuah perang besar yang disebut Bratayuda Jayabinangun.

Sanghyang Padawenang lalu memberikan sebuah pusaka berupa permata kepada Janggan Smara. Permata ini bernama Manik Astagina yang memiliki delapan macam khasiat, yaitu tidak merasa lapar, tidak merasa kantuk, tidak tergoda birahi, tidak merasa sedih, tidak merasa letih, tidak terkena penyakit, tidak merasa panas, dan tidak merasa dingin. Sanghyang Padawenang mengikat permata pusaka tersebut pada ubun-ubun Janggan Smara sehingga membentuk semacam kuncung.

Sanghyang Padawenang kemudian musnah dari pandangan, disusul turun hujan deras berbau harum membasahi Gunung Saptaarga dan sekitarnya. Janggan Smara lalu mengganti namanya menjadi Kyai Semar, sedangkan Bagong dijadikan sebagai anak angkatnya. Ia lalu turun gunung menuju Kerajaan Wirata untuk mengabarkan perihal muksanya Resi Manumanasa dan Resi Satrukem menjadi dewa, sedangkan Bagong diperintahkan untuk menjaga Bambang Parasara.

KYAI SEMAR BERTEMU ARYA SRIMADEWA

Dalam perjalanan menuju Kerajaan Wirata, Kyai Semar bertemu pasukan Wirata yang dipimpin Arya Srimadewa (putra bungsu Resi Manumanasa, atau adik Resi Satrukem). Mereka pun saling bertanya kabar masing-masing. Arya Srimadewa sangat terkejut mendengar ayah dan kakaknya telah muksa. Ia ingin sekali melayat ke Gunung Saptaarga, namun dirinya sedang mengemban tugas dari Prabu Basukiswara untuk membebaskan Kerajaan Mandraka dari kepungan musuh. Ternyata berita kekalahan Arya Manungkara telah sampai di Kerajaan Wirata.

Kyai Semar prihatin mendengar berita itu. Ia pun menyarankan agar Arya Srimadewa lebih dulu menyelesaikan tugasnya, barulah nanti mengunjungi Gunung Saptaarga. Arya Srimadewa menurut. Mereka lalu bersama-sama bergerak menuju Kerajaan Mandraka.

ARYA SRIMADEWA MENGALAHKAN PARA RAKSASA

Arya Srimadewa dan pasukan Wirata telah sampai di Kerajaan Mandraka dan menggempur perkemahan para raksasa. Pertempuran kembali terjadi dan kali ini berlangsung lebih sengit daripada sebelumnya, karena pasukan yang dibawa Arya Srimadewa jauh lebih banyak daripada yang dibawa Arya Manungkara kemarin.

Prabu Mercukalakresna dan Prabu Mityakarda maju bersama mengeroyok Arya Srimadewa. Menghadapi kedua raja raksasa tersebut, Arya Srimadewa merasa terdesak kewalahan. Ia pun mundur kemudian mengheningkan cipta mengerahkan angin topan yang membuat kedua raja tersebut beserta seluruh pasukan mereka terhempas jauh entah ke mana.

Kyai Togog dan Bilung yang tidak ikut terlempar oleh angin topan tampak berjalan mendekati Kyai Semar. Mereka pun saling bertanya kabar. Kyai Togog telah mendapat tugas dari Sanghyang Padawenang untuk mengasuh para raksasa, sedangkan Kyai Semar mendapat tugas untuk mengasuh para kesatria. Kyai Togog lalu mohon pamit pergi bersama Bilung, namun sebelumnya ia sempat menyerahkan pusaka Minyak Manihara dan Minyak Muksala kepada Kyai Semar. Kedua minyak pusaka itu telah direbut oleh Prabu Mercukalakresna dari tangan Arya Manungkara, dan hendaknya dikembalikan kepada pemiliknya.

RESI SRIMANASA DAN ARYA SRIMADEWA MELAYAT KE GUNUNG SAPTAARGA

Kyai Semar telah mengembalikan wujud Arya Manungkara menjadi manusia menggunakan Minyak Muksala. Prabu Mandrakusuma dan Resi Srimanasa juga muncul dari dalam benteng dan berterima kasih atas bantuan Arya Srimadewa yang telah berhasil mengusir musuh dari Kerajaan Mandraka.

Kyai Semar lalu menyampaikan berita bahwa Resi Manumanasa dan Resi Satrukem telah muksa menjadi dewa, yang kini bergelar Batara Prawa dan Batara Darma. Semua orang terkejut mendengarnya, terutama Resi Srimanasa, yaitu putra kedua Resi Manumanasa. Resi Srimanasa segera mengajak Arya Srimadewa untuk bersama-sama melayat ke Gunung Saptaarga. Prabu Mandrakusuma dan Patih Artadriya ikut menyertai, sedangkan Arya Manungkara pulang ke Kerajaan Wirata untuk mengabarkan berita duka ini kepada Prabu Basukiswara.

Sesampainya di Gunung Saptaarga, Resi Srimanasa dan Arya Srimadewa segera mengadakan upacara pemuliaan untuk ayah dan kakak mereka yang telah muksa. Setelah masa berkabung usai, mereka berunding untuk menyatukan para cucu Resi Manumanasa agar menjadi satu keluarga. Maka, Resi Srimanasa pun menjodohkan putranya, yaitu Patih Artadriya dengan Dewi Manuhara, putri Arya Srimadewa. Prabu Mandrakusuma bersama Kyai Semar dan Bagong menjadi saksi dan ikut bergembira menyambut keputusan ini.


------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------


kisah sebelumnya ; daftar isi ; kisah selanjutnya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar