Kisah ini menceritakan Dewi Gendari melahirkan segumpal daging yang
kemudian pecah menjadi seratus potong dan diruwat oleh Bagawan Abyasa menjadi
seratus Kurawa. Juga diceritakan lahirnya Raden Bima, putra kedua Parabu Pandu
yang terbungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Kisah ditutup dengan awal
persahabatan antara Prabu Pandu dengan Prabu Tremboko, serta lahirnya Raden
Arimba dan Dewi Arimbi. Kelak Dewi Arimbi akan menjadi jodoh Raden Bima.
Kisah ini saya olah dengan sumber utama dari kitab Mahabharata karya
Resi Wyasa, dengan memasukkan unsur-unsur cerita pedalangan Jawa, serta
beberapa dari Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita.
Kediri, 21 Mei 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Adipati Dretarastra |
DEWI GENDARI MELAHIRKAN GUMPALAN DAGING
Dewi Gendari, istri Adipati
Dretarastra di Gajahoya sudah dua tahun mengandung tapi belum juga melahirkan.
Ia sudah meminta sarana kepada Bagawan Abyasa, namun mertuanya itu hanya
memberi nasihat supaya bersabar. Bagawan Abyasa meramalkan bahwa yang dikandung
Dewi Gendari adalah seratus orang anak, maka kehamilannya pun memakan waktu
lebih lama daripada kehamilan wanita lain pada umumnya yang hanya sembilan
bulan.
Namun, Adipati Dretarastra
sebagai suami sudah hilang kesabarannya dan bertanya itu yang dikandung Dewi Gendari
apa benar bayi ataukah penyakit? Dewi Gendari sangat tersinggung. Ia pun masuk
ke dalam kamar dan memukuli perutnya sendiri sekeras-kerasnya. Karena
terus-menerus dipukuli, janin dalam rahim Dewi Gendari akhirnya keluar. Namun
anehnya, janin tersebut tidak berwujud bayi, melainkan berwujud segumpal daging
berwarna merah yang bisa mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas.
Dewi Gendari heran bercampur
ngeri. Ia pun mengangkat gumpalan daging itu dan membantingnya ke lantai dengan
perasaan sangat kecewa. Daging itu pun hancur berantakan menjadi
potongan-potongan kecil. Dewi Gendari kemudian jatuh terduduk dan menjerit
keras.
Adipati Dretarastra dan Arya
Suman segera masuk ke dalam kamar karena mendengar suara jeritan. Mereka
melihat Dewi Gendari menangis sedih dan bercerita bahwa dirinya baru saja
melahirkan segumpal daging yang kemudian dibantingnya dan kini hancur
berantakan. Arya Suman melihat banyak potongan daging berserakan di lantai yang
semuanya mengembang dan mengempis seperti bernapas. Ia segera mengumpulkan
semua daging-daging kecil tersebut dan setelah dihitung ternyata berjumlah
seratus potong.
Adipati Dretarastra meminta
maaf telah menyinggung perasaan istrinya dan ia pun segera memanggil tabib
untuk merawat Dewi Gendari, serta memerintahkan Arya Suman untuk melaporkan
peristiwa ini kepada Prabu Pandu di istana Hastina. Arya Suman pun mohon pamit
berangkat melaksanakan perintah.
KERAJAAN HASTINA DISERANG PASUKAN RAKSASA PRINGGADANI
Prabu Pandu di Kerajaan
Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Raden
Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka. Mereka sedang
membahas tentang Dewi Gendari yang sudah dua tahun mengandung tetapi belum juga
melahirkan. Prabu Pandu mendapatkan firasat buruk dan ia berniat mengajak
Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura pergi ke Kadipaten Gajahoya untuk menjenguk
Dewi Gendari.
Namun, belum sempat mereka
berangkat, tiba-tiba datang seorang raksasa yang mengaku bernama Raden Baka,
adik Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Kedatangan Raden Baka adalah
untuk menantang Prabu Pandu demi membalaskan kekalahan leluhurnya, yaitu Prabu
Kuramba dan Prabu Rambana di tangan Resi Manumanasa.
Prabu Kuramba adalah raja
pertama Pringgadani yang pernah mengacau Kahyangan Suralaya karena ingin memperistri
bidadari. Ia akhirnya tewas di tangan Resi Manumanasa yang saat itu masih
bernama Raden Kaniyasa selaku jago para dewa. Sepeninggal Prabu Kuramba,
Kerajaan Pringgadani dipimpin putranya yang bernama Prabu Rambana. Ia datang
menyerang Kerajaan Wirata untuk membalas kematian ayahnya. Namun, Prabu Rambana
ini akhirnya menyerah kalah kepada Raden Kaniyasa dan menjadi sekutu Prabu
Basupati, raja Wirata saat itu. Kerajaan Wirata dan Pringgadani pun menjadi
sahabat turun-temurun, hingga akhirnya kini dipimpin oleh Prabu Tremboko.
Namun demikian, Raden Baka masih
menyimpan dendam atas kekalahan leluhurnya di tangan Raden Kaniyasa alias Resi
Manumanasa, yang tidak lain adalah leluhur Prabu Pandu Dewanata. Itulah sebabnya
ia pun membawa pasukan Pringgadani untuk menyerang Kerajaan Hastina, demi
membalaskan kekalahan para leluhurnya tersebut.
Patih Gandamana maju menjawab
tantangan Raden Baka. Ia siap mewakili Prabu Pandu untuk menjadi lawan Raden
Baka. Nanti, jika dirinya tewas, barulah Raden Baka bisa menghadapi Prabu Pandu
secara langsung. Raden Baka pun setuju dan segera keluar istana untuk
mempersiapkan pasukan.
PATIH GANDAMANA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN PRINGGADANI
Raden Baka telah kembali ke
induk pasukannya dan bersiap-siaga menghadapi pihak Hastina. Tidak lama
kemudian datanglah Patih Gandamana beserta Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan
Arya Bilawa dengan membawa pasukan Hastina. Begitu kedua pihak bertemu,
meletuslah pertempuran sengit di antara mereka.
Lewat tengah hari, para raksasa
Pringgadani mulai terdesak dan banyak yang tewas. Raden Baka sendiri kewalahan menghadapi
kesaktian Patih Gandamana. Akhirnya, ia pun memerintahkan sisa-sisa pasukannya
mundur meninggalkan Kerajaan Hastina dan mengancam kelak akan datang lagi untuk
membalas kekalahan.
Setelah keadaan kembali
tenang, Arya Suman datang dan segera melapor kepada Prabu Pandu bahwa kakaknya,
yaitu Dewi Gendari telah melahirkan segumpal daging yang bisa bernapas. Prabu
Pandu sangat terkejut mendengarnya. Ia pun mengajak Resiwara Bisma dan Raden
Yamawidura berangkat menjenguk ke Gajahoya sebagaimana telah direncanakan tadi.
Adapun Patih Gandamana diperintahkan untuk tetap siaga dan waspada menjaga
keamanan Kerajaan Hastina.
RADEN YAMAWIDURA MENJEMPUT BAGAWAN ABYASA
Prabu Pandu, Resiwara Bisma,
Raden Yamawidura, serta Arya Suman telah sampai di Kadipaten Gajahoya. Adipati
Dretarastra yang sedang menunggu di samping tempat tidur Dewi Gendari,
menyambut mereka dan menceritakan apa yang telah terjadi, bahwa sang istri
telah melahirkan segumpal daging yang kini pecah menjadi seratus potong.
Resiwara Bisma, Prabu Pandu,
dan Raden Yamawidura heran melihat seratus potongan daging tersebut tampak mengembang
dan mengempis seperti sedang bernapas. Resiwara Bisma menyarankan agar Adipati
Dretarastra meminta bantuan sang ayah untuk meruwat daging-daging kecil
tersebut. Mendengar itu, Prabu Pandu segera memerintahkan Raden Yamawidura
untuk pergi ke Gunung Saptaarga, menjemput Bagawan Abyasa.
Raden Yamawidura mematuhi dan
segera berangkat bersama para panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk,
dan Bagong.
BAGAWAN ABYASA BERANGKAT KE KADIPATEN GAJAHOYA
Sesampainya di Gunung
Saptaarga, Raden Yamawidura dan para panakawan segera menghadap Bagawan Abyasa.
Kepada sang ayah, Raden Yamawidura menceritakan tentang kakak iparnya, yaitu
Dewi Gendari yang telah melahirkan segumpal daging yang bisa bernapas. Daging
itu kini pecah menjadi seratus potongan kecil yang masing-masing tetap
mengembang dan mengempis.
Raden Yamawidura menyampaikan
tujuan kedatangannya adalah diutus Prabu Pandu untuk meminta kesediaan Bagawan
Abyasa meruwat keseratus potongan daging tersebut. Bagawan Abyasa menyatakan
bersedia, meskipun dalam hati mendapat firasat bahwa seratus potong daging
tersebut akan berubah menjadi manusia normal, namun selalu bermusuhan dengan
anak-anak Prabu Pandu. Meskipun demikian, Bagawan Abyasa sebagai orang tua
tidak boleh pilih kasih dan harus tetap bersikap adil terhadap semua
keturunannya.
Raden Yamawidura, Bagawan
Abyasa, dan para panakawan lalu berangkat menuju Kadipaten Gajahoya. Di tengah
jalan mereka dihadang para raksasa sisa-sisa pengikut Raden Baka. Terjadilah
pertarungan di mana Raden Yamawidura berhasil menumpas habis semua penghadang
tersebut.
BAGAWAN ABYASA MERUWAT SERATUS POTONG DAGING
Sesampainya di Kadipaten
Gajahoya, Bagawan Abyasa segera bekerja memasukkan seratus potongan daging yang
dilahirkan Dewi Gendari itu masing-masing ke dalam sebuah periuk. Dengan
demikian terdapat seratus periuk yang masing-masing ditutup dengan selembar
daun talas. Bagawan Abyasa lalu mengadakan upacara sesaji dan membaca mantra di
hadapan seratus periuk tersebut.
Setelah upacara sesaji
selesai, Bagawan Abyasa berpesan kepada Adipati Dretarastra agar menunggui
seratus periuk itu selama tiga puluh lima hari. Jika Tuhan Yang Mahakuasa
mengizinkan, maka keseratus potongan daging dalam periuk akan berubah menjadi bayi
normal. Arya Suman menawarkan dirinya saja yang menunggui periuk-periuk itu,
sedangkan Adipati Dretarastra sebaiknya mendampingi Dewi Gendari yang masih
terguncang karena peristiwa ini.
Bagawan Abyasa mempersilakan
Arya Suman jika ingin menunggui seratus periuk tersebut. Ia lalu berpesan agar kelak
anak-anak Adipati Dretarastra yang berjumlah seratus hendaknya disebut para
Kurawa, yang bermakna “anak-anak Kuru”, yaitu nama Adipati Dretarastra saat
masih muda. Sementara itu, Prabu Pandu yang telah diramalkan mendiang Resi
Druwasa akan memiliki lima orang anak, hendaknya kelima putranya itu disebut
para Pandawa, yang bermakna “anak-anak Pandu”.
Adipati Dretarastra dan Prabu
Pandu berterima kasih atas segala bantuan sang ayah. Bagawan Abyasa lalu undur
diri kembali ke Gunung Saptaarga dengan ditemani Raden Yamawidura dan para
panakawan.
LAHIRNYA RADEN BIMA PUTRA KEDUA PRABU PANDU
Tiga puluh empat hari setelah
peristiwa itu, Prabu Pandu berunding dengan kedua istrinya, yaitu Dewi Kunti
dan Dewi Madrim di istana Hastina. Hari itu Raden Puntadewa (putra pertama
Prabu Pandu) telah berusia dua tahun, maka sudah saatnya ia memiliki seorang
adik. Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang dulu
telah ditanam di dalam rahimnya agar menjadi seorang bayi.
Sekitar tiga tahun yang lalu telah
terjadi peristiwa, yaitu Prabu Pandu memanah sepasang kijang yang sedang kawin
di Hutan Pramuwana. Ternyata kedua kijang itu adalah penjelmaan Resi Kindama
dan Rara Dremi. Sebelum tewas, Resi Kindama sempat mengutuk Prabu Pandu akan
bernasib celaka apabila bersetubuh dengan wanita.
Kutukan tersebut membuat Prabu
Pandu sangat gelisah. Bukan kematian yang membuatnya takut, tetapi rasa
khawatir jangan-jangan selama hidup tidak memiliki keturunan. Untungnya, pada
suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa buah Mangga Pertanggajiwa.
Daging buah mangga dari kahyangan tersebut digunakan untuk menyerap saripati
benih dari dalam tubuh Prabu Pandu. Dewi Kunti dan Dewi Madrim lalu menelan
potongan daging mangga itu agar tertanam di dalam perut mereka. Dewi Kunti
menelan tiga potong, sedangkan Dewi Madrim menelan dua potong. Sungguh ajaib,
potongan-potongan mangga itu tidak ikut keluar bersama kotoran tetapi mampu
menempel di dalam perut mereka berdua. Dengan cara demikian, Prabu Pandu dapat
memiliki keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya tersebut.
Prabu Pandu kemudian meminta
Dewi Kunti mengundang dewa kebijaksanaan agar membantu mematangkan benih di
dalam rahimnya. Maka, Dewi Kunti pun mengundang Batara Darma menggunakan Aji
Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan. Batara Darma pun hadir dan
mematangkan benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti. Hanya dalam sehari
saja, Dewi Kunti melahirkan bayi tampan yang diberi nama Raden Puntadewa.
Kini, Raden Puntadewa telah
berusia dua tahun dan Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti untuk mematangkan
benih yang kedua. Ia ingin memiliki putra kedua yang gagah perkasa agar bisa
melindungi kakaknya yang bijaksana dan menjaga keamanan negara. Maka, Dewi
Kunti pun membaca mantra sambil membayangkan sosok Batara Bayu. Sekejap
kemudian datanglah Batara Bayu, seorang dewa yang bertubuh gagah dan tinggi
besar, turun dari kahyangan menemui mereka.
Prabu Pandu pun memohon kepada
Batara Bayu agar mematangkan benihnya yang sudah lama ditanam dalam rahim Dewi
Kunti. Batara Bayu bersedia dan segera mengerahkan kesaktiannya. Benih Prabu
Pandu tersebut disatukannya dengan benih Dewi Kunti. Seketika Dewi Kunti pun
mengandung. Sama seperti yang sebelumnya, Dewi Kunti hanya mengandung selama
satu hari saja dan langsung membesar, siap untuk dilahirkan.
Demikianlah, Dewi Kunti pun
melahirkan seorang bayi pada hari itu juga tanpa kesakitan. Namun anehnya, bayi
itu lahir dalam keadaan terbungkus semacam selaput keras. Prabu Pandu berusaha
merobek bungkus tersebut namun tidak berhasil. Batara Bayu menjelaskan bahwa
Pandawa yang nomor dua ini memang ditakdirkan harus menjalani tapa brata sejak
bayi di dalam bungkusnya. Kelak jika waktunya sudah tiba, akan ada makhluk yang
dikirim dewata untuk membuka bungkus tersebut. Prabu Pandu dan Dewi Kunti
diminta untuk bersabar menunggu meski harus bertahun-tahun lamanya, karena
kelak putra mereka itu akan keluar dari dalam bungkus dalam keadaan sakti mandraguna
dan memiliki keperkasaan di atas rata-rata manusia. Prabu Pandu pun diminta
untuk meletakkan bayi berbungkus tersebut di tengah Hutan Mandalasana. Setelah
berpesan demikian, Batara Bayu lalu terbang kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu dan Dewi Kunti
merasa tidak tega meletakkan putra kedua mereka itu di tengah hutan, namun mau
tidak mau perintah dewa harus dilaksanakan. Prabu Pandu pun memberi nama putra
keduanya itu, Raden Bima, yang bermakna “dahsyat mengerikan”. Ia lalu
menggendong bayi berbungkus itu dan membawanya pergi menuju Hutan Mandalasana.
LAHIRNYA RADEN SUYUDANA PUTRA SULUNG ADIPATI DRETARASTRA
Esok harinya, tepat tiga puluh
lima hari sejak Bagawan Abyasa meruwat seratus potongan daging yang dilahirkan
Dewi Gendari. Hari itu tiba-tiba langit di Kerajaan Hastina gelap gulita karena
tertutup mendung tebal dengan disertai petir yang menyambar-nyambar. Suasana
semakin mencekam karena terdengar pula suara lolongan anjing hutan yang
bersahut-sahutan.
Prabu Pandu, Resiwara Bisma,
dan Raden Yamawidura datang mengunjungi Adipati Dretarastra di Kadipaten
Gajahoya. Hari itu satu periuk telah pecah dan dari dalamnya keluar seorang
bayi laki-laki. Arya Suman segera menggendong bayi tersebut dan menyerahkannya
kepada Dewi Gendari.
Raden Yamawidura melihat
pertanda buruk berupa langit gelap dengan disertai suara petir bersahutan dan
lolongan anjing hutan yang mengiringi lahirnya bayi ini. Ia yakin kelak si bayi
akan menjadi sumber malapetaka dunia. Untuk itu, Raden Yamawidura menyarankan
agar bayi ini segera dibunuh sebelum terlambat.
Arya Suman menyebut usulan Raden
Yamawidura sangat tidak masuk akal. Jika benar suara petir dan lolongan anjing
hutan itu adalah pertanda buruk, belum tentu semuanya berhubungan dengan
lahirnya bayi ini. Dalam satu hari entah ada berapa bayi yang lahir di Kerajaan
Hastina, bisa jadi suara-suara itu berhubungan dengan salah satu dari mereka.
Arya Suman bertanya apakah Raden Yamawidura akan membunuh semua bayi yang lahir
di hari ini demi mencegah peristiwa buruk yang belum tentu terjadi di masa
depan dan mungkin hanya sebatas ramalan saja.
Prabu Pandu merasa ucapan Arya
Suman benar, namun Raden Yamawidura juga tidak salah. Maka, ia pun menyerahkan
keputusan sepenuhnya kepada Adipati Dretarastra selaku ayah si bayi. Adipati
Dretarsatra merasa bimbang. Ia menggendong putra sulungnya itu dan hendak
mencekiknya. Tiba-tiba bayi itu menangis karena melihat tangan ayahnya
bergerak. Adipati Dretarastra sangat gembira ketika menyadari ternyata anaknya
itu tidak buta seperti dirinya. Ia pun menyatakan tidak akan membunuh bayi
tersebut. Bahkan, ia bersumpah akan membunuh siapa saja yang berani menyakiti
putranya.
Karena Adipati Dretarastra
sudah memutuskan demikian, Raden Yamawidura tidak berani mendesak lagi. Adipati
Dretarastra lalu memberi nama putra sulungnya itu, Raden Suyudana, yang
bermakna “unggul dalam perang”. Ini sebagai sindiran bahwa si anak telah menang
atas Raden Yamawidura yang berniat membunuhnya.
LAHIRNYA SEMBILAN PULUH SEMBILAN KURAWA
Demikianlah, setelah Raden
Bima lahir pada hari pertama dan Raden Suyudana lahir pada hari kedua, Kerajaan
Hastina kembali berbahagia atas lahirnya bayi laki-laki pada hari ketiga yang
tercipta dari potongan daging dalam periuk. Bayi laki-laki itu selalu
tertawa-tawa sejak dikeluarkan dari dalam periuk. Adipati Dretarastra pun
memberi nama putra keduanya itu, Raden Dursasana.
Pada hari berikutnya, kembali
lahir seorang bayi laki-laki dalam periuk, yang diberi nama Raden Surtayu.
Kemudian pada esok harinya, lahir lagi bayi laki-laki yang diberi nama Raden
Durmagati.
Demikianlah, setiap hari lahir
bayi laki-laki putra Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari yang tercipta dari
potongan daging dalam periuk. Ada yang dalam sehari lahir satu bayi, ada pula
yang langsung lahir dua bayi sekaligus, dan semuanya berkelamin laki-laki.
Hingga pada akhirnya, lahirlah seorang bayi perempuan sebagai penutup. Adipati
Dretarastra memberi nama anak bungsunya itu, Dewi Dursilawati.
Kini, anak-anak Adipati
Dretarastra telah genap berjumlah seratus bayi yang semuanya tercipta dari
seratus potongan daging dalam periuk. Keseratus bayi tersebut disebut dengan
istilah Sata Kurawa, atau Kurawa Seratus.
PRABU TREMBOKO MENYERAH KEPADA PRABU PANDU
Prabu Pandu ikut berbahagia
atas kelahiran para keponakannya. Ia pun mengadakan pesta syukuran di alun alun
Kerajaan Hastina, sehingga seluruh rakyat dapat ikut bersuka ria atas kelahiran
para Kurawa tersebut. Hanya Raden Yamawidura saja, satu-satunya orang yang
tidak ikut menghadiri pesta syukuran itu. Ia lebih suka berkemah di Hutan
Mandalasana untuk menunggui Raden Bima, yaitu bayi berbungkus yang dilahirkan
Dewi Kunti beberapa waktu lalu.
Pada hari ketujuh pesta
syukuran di Kerajaan Hastina tiba-tiba keadaan berubah menjadi kacau karena
datangnya serangan pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani yang dipimpin langsung
oleh Prabu Tremboko. Kedatangan Prabu Tremboko adalah untuk membalaskan
kekalahan adiknya, yaitu Raden Baka di tangan Patih Gandamana.
Prabu Pandu segera terjun ke
medan pertempuran demi melindungi rakyatnya. Terjadilah pertarungan antara
dirinya melawan raja raksasa Pringgadani tersebut. Dalam pertarungan itu Prabu
Pandu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad, di mana ia berhasil menancapkan tubuh
Prabu Tremboko di dalam tanah hingga sebatas dada.
Prabu Tremboko mengaku kalah
dan memohon ampun atas kelancangannya menyerang Kerajaan Hastina. Ia mengaku
ini semua karena hasutan Raden Baka yang ingin membalaskan kekalahan leluhur Kerajaan
Pringgadani. Prabu Pandu melihat sorot mata Prabu Tremboko memancarkan rasa
penyesalan. Ia pun terkesan dan segera membebaskan raja raksasa bertubuh tinggi
besar tersebut.
Tidak lama kemudian muncul
seorang emban raksasa yang datang dari Pringgadani. Emban raksasa itu mengabarkan
bahwa hari ini permaisuri Prabu Tremboko, yaitu Dewi Hadimba telah melahirkan
dua bayi sekaligus, yang satu laki-laki, dan yang satunya perempuan. Prabu
Tremboko sangat bahagia mendengarnya. Ia menyesal telah menuruti hasutan Raden
Baka sehingga berangkat menyerang Kerajaan Hastina dan meninggalkan istrinya
yang sedang hamil tua.
Prabu Pandu ikut berbahagia
atas kelahiran putra dan putri Prabu Tremboko. Ia pun mengajak Prabu Tremboko
mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Prabu Tremboko sangat terharu melihat
kebaikan hati Prabu Pandu. Ia pun memohon agar diterima sebagai murid raja
Hastina tersebut. Prabu Pandu mengabulkan permintaan Prabu Tremboko. Namun
demikian, ia menyuruh Prabu Tremboko memanggil “kakang” saja, dan tidak perlu
memanggil “guru” kepadanya.
Prabu Tremboko sangat berterima
kasih. Sebagai bukti ketulusannya, ia meminta agar Prabu Pandu memberikan nama
untuk kedua anaknya yang baru lahir. Prabu Pandu pun memberikan nama yang mirip
dengan leluhur Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu Kuramba. Anak laki-laki Prabu
Tremboko hendaknya diberi nama Raden Arimba, sedangkan yang perempuan hendaknya
diberi nama Dewi Arimbi. Prabu Pandu juga memberikan restu semoga mereka berdua
kelak menjadi pribadi-pribadi yang berbudi luhur, meskipun berwujud raksasa dan
raksasi.
Prabu Tremboko lagi-lagi
berterima kasih kepada Prabu Pandu. Ia lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan
Pringgadani dan mengundang Prabu Pandu untuk berkunjung ke sana. Prabu Pandu
berjanji kelak pasti akan mengunjungi sahabat barunya tersebut.
Sementara itu, Raden Baka yang
melihat dari jauh merasa kecewa karena kakaknya kini bersahabat dengan musuh.
Ia pun bertekad tidak mau pulang ke Pringgadani dan ingin pindah ke negeri lain
untuk membangun kekuatan di sana.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
sangat bermanfaat , untuk lierasi peserta didik , mudah mudahan ada generasi yg masih mempertahankan budaya bangsa
BalasHapus