Sabtu, 21 Mei 2016

Kurawa Lahir



Kisah ini menceritakan Dewi Gendari melahirkan segumpal daging yang kemudian pecah menjadi seratus potong dan diruwat oleh Bagawan Abyasa menjadi seratus Kurawa. Juga diceritakan lahirnya Raden Bima, putra kedua Parabu Pandu yang terbungkus dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Kisah ditutup dengan awal persahabatan antara Prabu Pandu dengan Prabu Tremboko, serta lahirnya Raden Arimba dan Dewi Arimbi. Kelak Dewi Arimbi akan menjadi jodoh Raden Bima.

Kisah ini saya olah dengan sumber utama dari kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan memasukkan unsur-unsur cerita pedalangan Jawa, serta beberapa dari Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.

Kediri, 21 Mei 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Adipati Dretarastra

DEWI GENDARI MELAHIRKAN GUMPALAN DAGING

Dewi Gendari, istri Adipati Dretarastra di Gajahoya sudah dua tahun mengandung tapi belum juga melahirkan. Ia sudah meminta sarana kepada Bagawan Abyasa, namun mertuanya itu hanya memberi nasihat supaya bersabar. Bagawan Abyasa meramalkan bahwa yang dikandung Dewi Gendari adalah seratus orang anak, maka kehamilannya pun memakan waktu lebih lama daripada kehamilan wanita lain pada umumnya yang hanya sembilan bulan.

Namun, Adipati Dretarastra sebagai suami sudah hilang kesabarannya dan bertanya itu yang dikandung Dewi Gendari apa benar bayi ataukah penyakit? Dewi Gendari sangat tersinggung. Ia pun masuk ke dalam kamar dan memukuli perutnya sendiri sekeras-kerasnya. Karena terus-menerus dipukuli, janin dalam rahim Dewi Gendari akhirnya keluar. Namun anehnya, janin tersebut tidak berwujud bayi, melainkan berwujud segumpal daging berwarna merah yang bisa mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas.

Dewi Gendari heran bercampur ngeri. Ia pun mengangkat gumpalan daging itu dan membantingnya ke lantai dengan perasaan sangat kecewa. Daging itu pun hancur berantakan menjadi potongan-potongan kecil. Dewi Gendari kemudian jatuh terduduk dan menjerit keras.

Adipati Dretarastra dan Arya Suman segera masuk ke dalam kamar karena mendengar suara jeritan. Mereka melihat Dewi Gendari menangis sedih dan bercerita bahwa dirinya baru saja melahirkan segumpal daging yang kemudian dibantingnya dan kini hancur berantakan. Arya Suman melihat banyak potongan daging berserakan di lantai yang semuanya mengembang dan mengempis seperti bernapas. Ia segera mengumpulkan semua daging-daging kecil tersebut dan setelah dihitung ternyata berjumlah seratus potong.

Adipati Dretarastra meminta maaf telah menyinggung perasaan istrinya dan ia pun segera memanggil tabib untuk merawat Dewi Gendari, serta memerintahkan Arya Suman untuk melaporkan peristiwa ini kepada Prabu Pandu di istana Hastina. Arya Suman pun mohon pamit berangkat melaksanakan perintah.

KERAJAAN HASTINA DISERANG PASUKAN RAKSASA PRINGGADANI

Prabu Pandu di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka. Mereka sedang membahas tentang Dewi Gendari yang sudah dua tahun mengandung tetapi belum juga melahirkan. Prabu Pandu mendapatkan firasat buruk dan ia berniat mengajak Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura pergi ke Kadipaten Gajahoya untuk menjenguk Dewi Gendari.

Namun, belum sempat mereka berangkat, tiba-tiba datang seorang raksasa yang mengaku bernama Raden Baka, adik Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Kedatangan Raden Baka adalah untuk menantang Prabu Pandu demi membalaskan kekalahan leluhurnya, yaitu Prabu Kuramba dan Prabu Rambana di tangan Resi Manumanasa.

Prabu Kuramba adalah raja pertama Pringgadani yang pernah mengacau Kahyangan Suralaya karena ingin memperistri bidadari. Ia akhirnya tewas di tangan Resi Manumanasa yang saat itu masih bernama Raden Kaniyasa selaku jago para dewa. Sepeninggal Prabu Kuramba, Kerajaan Pringgadani dipimpin putranya yang bernama Prabu Rambana. Ia datang menyerang Kerajaan Wirata untuk membalas kematian ayahnya. Namun, Prabu Rambana ini akhirnya menyerah kalah kepada Raden Kaniyasa dan menjadi sekutu Prabu Basupati, raja Wirata saat itu. Kerajaan Wirata dan Pringgadani pun menjadi sahabat turun-temurun, hingga akhirnya kini dipimpin oleh Prabu Tremboko.

Namun demikian, Raden Baka masih menyimpan dendam atas kekalahan leluhurnya di tangan Raden Kaniyasa alias Resi Manumanasa, yang tidak lain adalah leluhur Prabu Pandu Dewanata. Itulah sebabnya ia pun membawa pasukan Pringgadani untuk menyerang Kerajaan Hastina, demi membalaskan kekalahan para leluhurnya tersebut.

Patih Gandamana maju menjawab tantangan Raden Baka. Ia siap mewakili Prabu Pandu untuk menjadi lawan Raden Baka. Nanti, jika dirinya tewas, barulah Raden Baka bisa menghadapi Prabu Pandu secara langsung. Raden Baka pun setuju dan segera keluar istana untuk mempersiapkan pasukan.

PATIH GANDAMANA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN PRINGGADANI

Raden Baka telah kembali ke induk pasukannya dan bersiap-siaga menghadapi pihak Hastina. Tidak lama kemudian datanglah Patih Gandamana beserta Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa dengan membawa pasukan Hastina. Begitu kedua pihak bertemu, meletuslah pertempuran sengit di antara mereka.

Lewat tengah hari, para raksasa Pringgadani mulai terdesak dan banyak yang tewas. Raden Baka sendiri kewalahan menghadapi kesaktian Patih Gandamana. Akhirnya, ia pun memerintahkan sisa-sisa pasukannya mundur meninggalkan Kerajaan Hastina dan mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas kekalahan.

Setelah keadaan kembali tenang, Arya Suman datang dan segera melapor kepada Prabu Pandu bahwa kakaknya, yaitu Dewi Gendari telah melahirkan segumpal daging yang bisa bernapas. Prabu Pandu sangat terkejut mendengarnya. Ia pun mengajak Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura berangkat menjenguk ke Gajahoya sebagaimana telah direncanakan tadi. Adapun Patih Gandamana diperintahkan untuk tetap siaga dan waspada menjaga keamanan Kerajaan Hastina.

RADEN YAMAWIDURA MENJEMPUT BAGAWAN ABYASA

Prabu Pandu, Resiwara Bisma, Raden Yamawidura, serta Arya Suman telah sampai di Kadipaten Gajahoya. Adipati Dretarastra yang sedang menunggu di samping tempat tidur Dewi Gendari, menyambut mereka dan menceritakan apa yang telah terjadi, bahwa sang istri telah melahirkan segumpal daging yang kini pecah menjadi seratus potong.

Resiwara Bisma, Prabu Pandu, dan Raden Yamawidura heran melihat seratus potongan daging tersebut tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas. Resiwara Bisma menyarankan agar Adipati Dretarastra meminta bantuan sang ayah untuk meruwat daging-daging kecil tersebut. Mendengar itu, Prabu Pandu segera memerintahkan Raden Yamawidura untuk pergi ke Gunung Saptaarga, menjemput Bagawan Abyasa.

Raden Yamawidura mematuhi dan segera berangkat bersama para panakawan, yaitu Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.

BAGAWAN ABYASA BERANGKAT KE KADIPATEN GAJAHOYA

Sesampainya di Gunung Saptaarga, Raden Yamawidura dan para panakawan segera menghadap Bagawan Abyasa. Kepada sang ayah, Raden Yamawidura menceritakan tentang kakak iparnya, yaitu Dewi Gendari yang telah melahirkan segumpal daging yang bisa bernapas. Daging itu kini pecah menjadi seratus potongan kecil yang masing-masing tetap mengembang dan mengempis.

Raden Yamawidura menyampaikan tujuan kedatangannya adalah diutus Prabu Pandu untuk meminta kesediaan Bagawan Abyasa meruwat keseratus potongan daging tersebut. Bagawan Abyasa menyatakan bersedia, meskipun dalam hati mendapat firasat bahwa seratus potong daging tersebut akan berubah menjadi manusia normal, namun selalu bermusuhan dengan anak-anak Prabu Pandu. Meskipun demikian, Bagawan Abyasa sebagai orang tua tidak boleh pilih kasih dan harus tetap bersikap adil terhadap semua keturunannya.

Raden Yamawidura, Bagawan Abyasa, dan para panakawan lalu berangkat menuju Kadipaten Gajahoya. Di tengah jalan mereka dihadang para raksasa sisa-sisa pengikut Raden Baka. Terjadilah pertarungan di mana Raden Yamawidura berhasil menumpas habis semua penghadang tersebut.

BAGAWAN ABYASA MERUWAT SERATUS POTONG DAGING

Sesampainya di Kadipaten Gajahoya, Bagawan Abyasa segera bekerja memasukkan seratus potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari itu masing-masing ke dalam sebuah periuk. Dengan demikian terdapat seratus periuk yang masing-masing ditutup dengan selembar daun talas. Bagawan Abyasa lalu mengadakan upacara sesaji dan membaca mantra di hadapan seratus periuk tersebut.

Setelah upacara sesaji selesai, Bagawan Abyasa berpesan kepada Adipati Dretarastra agar menunggui seratus periuk itu selama tiga puluh lima hari. Jika Tuhan Yang Mahakuasa mengizinkan, maka keseratus potongan daging dalam periuk akan berubah menjadi bayi normal. Arya Suman menawarkan dirinya saja yang menunggui periuk-periuk itu, sedangkan Adipati Dretarastra sebaiknya mendampingi Dewi Gendari yang masih terguncang karena peristiwa ini.

Bagawan Abyasa mempersilakan Arya Suman jika ingin menunggui seratus periuk tersebut. Ia lalu berpesan agar kelak anak-anak Adipati Dretarastra yang berjumlah seratus hendaknya disebut para Kurawa, yang bermakna “anak-anak Kuru”, yaitu nama Adipati Dretarastra saat masih muda. Sementara itu, Prabu Pandu yang telah diramalkan mendiang Resi Druwasa akan memiliki lima orang anak, hendaknya kelima putranya itu disebut para Pandawa, yang bermakna “anak-anak Pandu”.

Adipati Dretarastra dan Prabu Pandu berterima kasih atas segala bantuan sang ayah. Bagawan Abyasa lalu undur diri kembali ke Gunung Saptaarga dengan ditemani Raden Yamawidura dan para panakawan.

LAHIRNYA RADEN BIMA PUTRA KEDUA PRABU PANDU

Tiga puluh empat hari setelah peristiwa itu, Prabu Pandu berunding dengan kedua istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim di istana Hastina. Hari itu Raden Puntadewa (putra pertama Prabu Pandu) telah berusia dua tahun, maka sudah saatnya ia memiliki seorang adik. Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang dulu telah ditanam di dalam rahimnya agar menjadi seorang bayi.

Sekitar tiga tahun yang lalu telah terjadi peristiwa, yaitu Prabu Pandu memanah sepasang kijang yang sedang kawin di Hutan Pramuwana. Ternyata kedua kijang itu adalah penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi. Sebelum tewas, Resi Kindama sempat mengutuk Prabu Pandu akan bernasib celaka apabila bersetubuh dengan wanita.

Kutukan tersebut membuat Prabu Pandu sangat gelisah. Bukan kematian yang membuatnya takut, tetapi rasa khawatir jangan-jangan selama hidup tidak memiliki keturunan. Untungnya, pada suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa buah Mangga Pertanggajiwa. Daging buah mangga dari kahyangan tersebut digunakan untuk menyerap saripati benih dari dalam tubuh Prabu Pandu. Dewi Kunti dan Dewi Madrim lalu menelan potongan daging mangga itu agar tertanam di dalam perut mereka. Dewi Kunti menelan tiga potong, sedangkan Dewi Madrim menelan dua potong. Sungguh ajaib, potongan-potongan mangga itu tidak ikut keluar bersama kotoran tetapi mampu menempel di dalam perut mereka berdua. Dengan cara demikian, Prabu Pandu dapat memiliki keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya tersebut.

Prabu Pandu kemudian meminta Dewi Kunti mengundang dewa kebijaksanaan agar membantu mematangkan benih di dalam rahimnya. Maka, Dewi Kunti pun mengundang Batara Darma menggunakan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan. Batara Darma pun hadir dan mematangkan benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti. Hanya dalam sehari saja, Dewi Kunti melahirkan bayi tampan yang diberi nama Raden Puntadewa.

Kini, Raden Puntadewa telah berusia dua tahun dan Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang kedua. Ia ingin memiliki putra kedua yang gagah perkasa agar bisa melindungi kakaknya yang bijaksana dan menjaga keamanan negara. Maka, Dewi Kunti pun membaca mantra sambil membayangkan sosok Batara Bayu. Sekejap kemudian datanglah Batara Bayu, seorang dewa yang bertubuh gagah dan tinggi besar, turun dari kahyangan menemui mereka.

Prabu Pandu pun memohon kepada Batara Bayu agar mematangkan benihnya yang sudah lama ditanam dalam rahim Dewi Kunti. Batara Bayu bersedia dan segera mengerahkan kesaktiannya. Benih Prabu Pandu tersebut disatukannya dengan benih Dewi Kunti. Seketika Dewi Kunti pun mengandung. Sama seperti yang sebelumnya, Dewi Kunti hanya mengandung selama satu hari saja dan langsung membesar, siap untuk dilahirkan.

Demikianlah, Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi pada hari itu juga tanpa kesakitan. Namun anehnya, bayi itu lahir dalam keadaan terbungkus semacam selaput keras. Prabu Pandu berusaha merobek bungkus tersebut namun tidak berhasil. Batara Bayu menjelaskan bahwa Pandawa yang nomor dua ini memang ditakdirkan harus menjalani tapa brata sejak bayi di dalam bungkusnya. Kelak jika waktunya sudah tiba, akan ada makhluk yang dikirim dewata untuk membuka bungkus tersebut. Prabu Pandu dan Dewi Kunti diminta untuk bersabar menunggu meski harus bertahun-tahun lamanya, karena kelak putra mereka itu akan keluar dari dalam bungkus dalam keadaan sakti mandraguna dan memiliki keperkasaan di atas rata-rata manusia. Prabu Pandu pun diminta untuk meletakkan bayi berbungkus tersebut di tengah Hutan Mandalasana. Setelah berpesan demikian, Batara Bayu lalu terbang kembali ke kahyangan.

Prabu Pandu dan Dewi Kunti merasa tidak tega meletakkan putra kedua mereka itu di tengah hutan, namun mau tidak mau perintah dewa harus dilaksanakan. Prabu Pandu pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Bima, yang bermakna “dahsyat mengerikan”. Ia lalu menggendong bayi berbungkus itu dan membawanya pergi menuju Hutan Mandalasana.

LAHIRNYA RADEN SUYUDANA PUTRA SULUNG ADIPATI DRETARASTRA

Esok harinya, tepat tiga puluh lima hari sejak Bagawan Abyasa meruwat seratus potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari. Hari itu tiba-tiba langit di Kerajaan Hastina gelap gulita karena tertutup mendung tebal dengan disertai petir yang menyambar-nyambar. Suasana semakin mencekam karena terdengar pula suara lolongan anjing hutan yang bersahut-sahutan.

Prabu Pandu, Resiwara Bisma, dan Raden Yamawidura datang mengunjungi Adipati Dretarastra di Kadipaten Gajahoya. Hari itu satu periuk telah pecah dan dari dalamnya keluar seorang bayi laki-laki. Arya Suman segera menggendong bayi tersebut dan menyerahkannya kepada Dewi Gendari.

Raden Yamawidura melihat pertanda buruk berupa langit gelap dengan disertai suara petir bersahutan dan lolongan anjing hutan yang mengiringi lahirnya bayi ini. Ia yakin kelak si bayi akan menjadi sumber malapetaka dunia. Untuk itu, Raden Yamawidura menyarankan agar bayi ini segera dibunuh sebelum terlambat.

Arya Suman menyebut usulan Raden Yamawidura sangat tidak masuk akal. Jika benar suara petir dan lolongan anjing hutan itu adalah pertanda buruk, belum tentu semuanya berhubungan dengan lahirnya bayi ini. Dalam satu hari entah ada berapa bayi yang lahir di Kerajaan Hastina, bisa jadi suara-suara itu berhubungan dengan salah satu dari mereka. Arya Suman bertanya apakah Raden Yamawidura akan membunuh semua bayi yang lahir di hari ini demi mencegah peristiwa buruk yang belum tentu terjadi di masa depan dan mungkin hanya sebatas ramalan saja.

Prabu Pandu merasa ucapan Arya Suman benar, namun Raden Yamawidura juga tidak salah. Maka, ia pun menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Adipati Dretarastra selaku ayah si bayi. Adipati Dretarsatra merasa bimbang. Ia menggendong putra sulungnya itu dan hendak mencekiknya. Tiba-tiba bayi itu menangis karena melihat tangan ayahnya bergerak. Adipati Dretarastra sangat gembira ketika menyadari ternyata anaknya itu tidak buta seperti dirinya. Ia pun menyatakan tidak akan membunuh bayi tersebut. Bahkan, ia bersumpah akan membunuh siapa saja yang berani menyakiti putranya.

Karena Adipati Dretarastra sudah memutuskan demikian, Raden Yamawidura tidak berani mendesak lagi. Adipati Dretarastra lalu memberi nama putra sulungnya itu, Raden Suyudana, yang bermakna “unggul dalam perang”. Ini sebagai sindiran bahwa si anak telah menang atas Raden Yamawidura yang berniat membunuhnya.

LAHIRNYA SEMBILAN PULUH SEMBILAN KURAWA

Demikianlah, setelah Raden Bima lahir pada hari pertama dan Raden Suyudana lahir pada hari kedua, Kerajaan Hastina kembali berbahagia atas lahirnya bayi laki-laki pada hari ketiga yang tercipta dari potongan daging dalam periuk. Bayi laki-laki itu selalu tertawa-tawa sejak dikeluarkan dari dalam periuk. Adipati Dretarastra pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Dursasana.

Pada hari berikutnya, kembali lahir seorang bayi laki-laki dalam periuk, yang diberi nama Raden Surtayu. Kemudian pada esok harinya, lahir lagi bayi laki-laki yang diberi nama Raden Durmagati.

Demikianlah, setiap hari lahir bayi laki-laki putra Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari yang tercipta dari potongan daging dalam periuk. Ada yang dalam sehari lahir satu bayi, ada pula yang langsung lahir dua bayi sekaligus, dan semuanya berkelamin laki-laki. Hingga pada akhirnya, lahirlah seorang bayi perempuan sebagai penutup. Adipati Dretarastra memberi nama anak bungsunya itu, Dewi Dursilawati.

Kini, anak-anak Adipati Dretarastra telah genap berjumlah seratus bayi yang semuanya tercipta dari seratus potongan daging dalam periuk. Keseratus bayi tersebut disebut dengan istilah Sata Kurawa, atau Kurawa Seratus.

PRABU TREMBOKO MENYERAH KEPADA PRABU PANDU

Prabu Pandu ikut berbahagia atas kelahiran para keponakannya. Ia pun mengadakan pesta syukuran di alun alun Kerajaan Hastina, sehingga seluruh rakyat dapat ikut bersuka ria atas kelahiran para Kurawa tersebut. Hanya Raden Yamawidura saja, satu-satunya orang yang tidak ikut menghadiri pesta syukuran itu. Ia lebih suka berkemah di Hutan Mandalasana untuk menunggui Raden Bima, yaitu bayi berbungkus yang dilahirkan Dewi Kunti beberapa waktu lalu.

Pada hari ketujuh pesta syukuran di Kerajaan Hastina tiba-tiba keadaan berubah menjadi kacau karena datangnya serangan pasukan raksasa dari Kerajaan Pringgadani yang dipimpin langsung oleh Prabu Tremboko. Kedatangan Prabu Tremboko adalah untuk membalaskan kekalahan adiknya, yaitu Raden Baka di tangan Patih Gandamana.

Prabu Pandu segera terjun ke medan pertempuran demi melindungi rakyatnya. Terjadilah pertarungan antara dirinya melawan raja raksasa Pringgadani tersebut. Dalam pertarungan itu Prabu Pandu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad, di mana ia berhasil menancapkan tubuh Prabu Tremboko di dalam tanah hingga sebatas dada.

Prabu Tremboko mengaku kalah dan memohon ampun atas kelancangannya menyerang Kerajaan Hastina. Ia mengaku ini semua karena hasutan Raden Baka yang ingin membalaskan kekalahan leluhur Kerajaan Pringgadani. Prabu Pandu melihat sorot mata Prabu Tremboko memancarkan rasa penyesalan. Ia pun terkesan dan segera membebaskan raja raksasa bertubuh tinggi besar tersebut.

Tidak lama kemudian muncul seorang emban raksasa yang datang dari Pringgadani. Emban raksasa itu mengabarkan bahwa hari ini permaisuri Prabu Tremboko, yaitu Dewi Hadimba telah melahirkan dua bayi sekaligus, yang satu laki-laki, dan yang satunya perempuan. Prabu Tremboko sangat bahagia mendengarnya. Ia menyesal telah menuruti hasutan Raden Baka sehingga berangkat menyerang Kerajaan Hastina dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua.

Prabu Pandu ikut berbahagia atas kelahiran putra dan putri Prabu Tremboko. Ia pun mengajak Prabu Tremboko mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Prabu Tremboko sangat terharu melihat kebaikan hati Prabu Pandu. Ia pun memohon agar diterima sebagai murid raja Hastina tersebut. Prabu Pandu mengabulkan permintaan Prabu Tremboko. Namun demikian, ia menyuruh Prabu Tremboko memanggil “kakang” saja, dan tidak perlu memanggil “guru” kepadanya.

Prabu Tremboko sangat berterima kasih. Sebagai bukti ketulusannya, ia meminta agar Prabu Pandu memberikan nama untuk kedua anaknya yang baru lahir. Prabu Pandu pun memberikan nama yang mirip dengan leluhur Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu Kuramba. Anak laki-laki Prabu Tremboko hendaknya diberi nama Raden Arimba, sedangkan yang perempuan hendaknya diberi nama Dewi Arimbi. Prabu Pandu juga memberikan restu semoga mereka berdua kelak menjadi pribadi-pribadi yang berbudi luhur, meskipun berwujud raksasa dan raksasi.

Prabu Tremboko lagi-lagi berterima kasih kepada Prabu Pandu. Ia lalu mohon pamit kembali ke Kerajaan Pringgadani dan mengundang Prabu Pandu untuk berkunjung ke sana. Prabu Pandu berjanji kelak pasti akan mengunjungi sahabat barunya tersebut.

Sementara itu, Raden Baka yang melihat dari jauh merasa kecewa karena kakaknya kini bersahabat dengan musuh. Ia pun bertekad tidak mau pulang ke Pringgadani dan ingin pindah ke negeri lain untuk membangun kekuatan di sana.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------















1 komentar:

  1. sangat bermanfaat , untuk lierasi peserta didik , mudah mudahan ada generasi yg masih mempertahankan budaya bangsa

    BalasHapus