Kisah ini menceritakan Prabu Pandu meninggalkan Gunung Saptaarga untuk
kembali memimpin Kerajaan Hastina, di mana ia bertemu Raden Sucitra dari negeri
Atasangin. Selanjutnya Prabu Pandu membantu Raden Sucitra memenangkan sayembara
yang diadakan Raden Gandamana di Kerajaan Pancala. Setelah sayembara itu, Raden
Gandamana ikut mengabdi di Kerajaan Hastina sebagai patih, sedangkan Raden
Sucitra menjadi raja Pancala, bergelar Prabu Drupada.
Kisah ini saya susun dan saya olah sedemikian rupa dengan memadukan
sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan
buku Kempalan Balungan Pedhalangan karya Ki Suratno Guno Wihardjo.
Kediri, 13 Mei 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Raden Sucitra melawan Raden Gandamana dalam sayembara di Kerajaan Pancala. |
PATIH JAYAYATNA MENINGGAL DUNIA
Adipati Dretarastra di
Kerajaan Hastina sedang dihadap para menteri dan punggawa, yaitu Raden
Yamawidura, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, Arya Bilawa, dan Arya
Suman. Hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara Bisma. Dalam pertemuan itu mereka
membahas tentang Patih Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit beberapa
hari lalu.
Adipati Dretarastra meminta
izin kepada Resiwara Bisma untuk mengangkat patih baru di Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Adipati Dretarastra hanyalah raja wakil sehingga
tidak berwenang mengangkat patih, kecuali atas persetujuan raja yang sah, yaitu
Prabu Pandu Dewanata. Raden Yamawidura membenarkan pendapat Resiwara Bisma.
Dalam hal ini, Adipati Dretarastra hanya bisa mengajukan calon saja, sedangkan
yang berhak menyetujui pelantikannya adalah Prabu Pandu.
Arya Suman menyela ikut
bicara. Ia bertanya apakah yang boleh diajukan sebagai calon patih haruslah menteri
atau punggawa sepuh yang sudah lama mengabdi? Apakah punggawa muda yang baru
bergabung juga boleh diajukan sebagai patih jika memang memenuhi syarat? Apabila
hanya punggawa lama saja yang boleh diajukan, maka sudah tentu Arya Banduwangka
yang memiliki peluang paling besar.
Resiwara Bisma memahami arah
pembicaraan Arya Suman yang ingin mengajukan dirinya sendiri sebagai patih
Kerajaan Hastina. Maka, daripada berlarut-larut, ia pun menyerahkan keputusan kepada
Adipati Dretarastra untuk menentukan nama-nama calon patih, yang nantinya akan disampaikan
kepada Prabu Pandu di Gunung Saptaarga untuk mendapatkan persetujuan.
Ternyata Adipati Dretarastra menyetujui
usulan Arya Suman, bahwa jabatan patih tidak harus dipegang oleh punggawa lama,
tetapi punggawa yang baru pun berhak mendapatkan kesempatan apabila memang
memenuhi syarat. Maka, ia lantas memilih dua nama, yaitu Arya Banduwangka dan
Arya Suman sebagai calon patih baru yang menggantikan mendiang Patih Jayayatna.
Arya Banduwangka adalah senapati angkatan perang Hastina yang memiliki
kesaktian paling tinggi dibanding para punggawa lainnya, sedangkan Arya Suman
adalah punggawa baru namun memiliki kecerdasan luar biasa di atas rata-rata.
Demikianlah keputusan Adipati
Dretarastra. Raden Yamawidura pun diperintahkan untuk menyampaikan hal ini kepada
Prabu Pandu di Gunung Saptaarga agar mendapat pengesahan. Raden Yamawidura
menerima tugas tersebut lalu mohon pamit berangkat dengan ditemani seorang punggawa
muda, putra mendiang Patih Jayayatna yang bernama Arya Jayasemedi.
Setelah dirasa cukup, Adipati
Dretarastra pun membubarkan pertemuan. Ia masuk ke dalam kedaton menemui
istrinya, yaitu Dewi Gendari yang sedang hamil muda. Dewi Gendari meminta sang
suami mengusahakan Arya Suman agar terpilih menjadi patih. Namun, Adipati
Dretarastra mengaku hanya bisa memberikan jalan saja, karena keputusan sepenuhnya
tetap berada di tangan Prabu Pandu. Dalam hal ini ia merasa prihatin karena
sebagai putra sulung Bagawan Abyasa ternyata tidak memiliki wewenang apa-apa.
Ia pun berharap kelak putranya bisa lahir dalam keadaan sehat tanpa cacat,
sehingga tidak memiliki nasib seperti dirinya.
BATARA NARADA MENEMUI PRABU PANDU DI GUNUNG SAPTAARGA
Prabu Pandu di Gunung
Saptaarga sedang bersamadi bersama Bagawan Abyasa. Tiba-tiba dari angkasa turun
Batara Narada membangunkan anak dan ayah tersebut. Keduanya pun membuka mata
dan segera menyampaikan sembah hormat kepada Batara Narada.
Batara Narada datang ke Gunung
Saptaarga bukan untuk membebaskan Prabu Pandu dari kutukan Resi Kindama, tetapi
untuk menyampaikan pesan dari Batara Guru. Pesan tersebut berupa pilihan,
apakah Prabu Pandu dan kedua istrinya akan selamanya menyepi di Gunung Saptaarga
demi menebus dosa atas pembunuhan Resi Kindama dan Rara Dremi, ataukah kembali
ke Kerajaan Hastina untuk memimpin negara?
Prabu Pandu menimbang-nimbang
sejenak, kemudian menjawab dengan tegas bahwa ia ingin kembali memimpin
Kerajaan Hastina meskipun belum terbebas dari kutukan. Batara Narada bertanya
apa yang menjadi tujuan Prabu Pandu ingin kembali menjadi raja, apakah agar
bisa berkuasa dan memerintah rakyat seperti dulu lagi? Prabu Pandu pun menjawab,
bahwa ia sama sekali tidak menganggap takhta sebagai bentuk kekuasaan. Baginya,
seorang raja bukanlah majikan rakyat, tetapi justru pelayan rakyat. Ia ingin
kembali menjadi raja adalah demi untuk melayani dan membahagiakan seluruh
rakyat Hastina, bukan untuk berkuasa atas diri mereka.
Batara Narada lalu bertanya
apakah Prabu Pandu sudah tidak takut pada kutukan Resi Kindama, yaitu jika
bersetubuh dengan istrinya maka ia akan medapat celaka? Prabu Pandu menjawab
hidup dan mati adalah suratan takdir Yang Mahakuasa. Selama ini yang ia
takutkan bukanlah kematian, tetapi jangan-jangan seumur hidup tidak memiliki
keturunan. Sungguh beruntung, beberapa bulan yang lalu Resi Druwasa datang memberikan
sarana berupa Mangga Pertanggajiwa yang bisa digunakan untuk menanam benih
Prabu Pandu di dalam rahim kedua istrinya. Dengan cara demikian, Prabu Pandu
bisa mendapatkan keturunan tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Bahkan, berkat
sarana itu, Dewi Kunti telah melahirkan Raden Puntadewa dengan bantuan Batara
Darma.
Prabu Pandu kini tidak memiliki
rasa khawatir lagi. Soal kutukan Resi Kindama akan ia cegah sekuat tenaga
dengan cara puasa senggama. Sedangkan mengenai dosa atas pembunuhan Rara Dremi
akan ia tebus dengan cara membantu orang sebanyak-banyaknya dan melayani rakyat
sebaik-baiknya.
Batara Narada dan Bagawan
Abyasa terkesan mendengar jawaban Prabu Pandu. Batara Narada lalu mengabarkan
bahwa Kerajaan Hastina baru saja kehilangan menteri utamanya, yaitu Patih
Jayayatna yang meninggal dunia karena sakit. Adipati Dretarastra telah mengutus
Raden Yamawidura untuk menyampaikan dua nama, yaitu Arya Banduwangka dan Arya
Suman kepada Prabu Pandu untuk dipilih salah satu menjadi patih yang baru.
Namun demikian, Batara Narada memberikan petunjuk bahwa calon patih yang pantas
untuk menggantikan Patih Jayayatna bukanlah mereka, tetapi Raden Gandamana,
pangeran Kerajaan Pancala.
Prabu Pandu heran mengapa
Raden Gandamana yang harus menjadi patih Hastina, bukankah dia adalah pangeran
mahkota Kerajaan Pancala, putra dari Prabu Gandabayu? Batara Narada pun
menjelaskan bahwa pangeran mahkota Kerajaan Pancala yang sesungguhnya bernama
Raden Sucitra, yang saat ini sedang bertapa di kaki Gunung Saptaarga. Adapun
Raden Gandamana sudah mengetahui sejarah keluarganya dan ia tidak memiliki
keinginan menjadi raja Pancala. Oleh sebab itu, Batara Narada pun menugasi Prabu
Pandu untuk bisa mempertemukan Raden Sucitra dengan Prabu Gandabayu. Dengan demikian,
maka Raden Gandamana akan ikut mengabdi kepada Kerajaan Hastina.
Prabu Pandu mematuhi perintah tersebut.
Setelah dirasa cukup, Batara Narada segera undur diri kembali ke kahyangan.
PRABU PANDU BERTEMU RADEN SUCITRA
Prabu Pandu telah membulatkan
tekad untuk meninggalkan Gunung Saptaarga dan kembali ke Kerajaan Hastina.
Bagawan Abyasa pun memberikan restu semoga putranya itu selalu menjadi raja
yang baik, yang bisa membahagiakan rakyatnya, serta semoga Prabu Pandu bisa mengendalikan
nafsu birahi agar terhindar dari kutukan Resi Kindama. Prabu Pandu berterima
kasih kepada sang ayah, lalu mohon pamit berangkat bersama Dewi Kunti, Dewi
Madrim, dan para panakawan. Raden Puntadewa yang masih berusia tiga bulan pun
dibawa serta naik kereta.
Begitu sampai di kaki Gunung
Saptaarga, rombongan Prabu Pandu bertemu seorang laki-laki yang bertapa di
bawah pohon rindang. Laki-laki itu pasti yang bernama Raden Sucitra, sebagaimana
petunjuk dari Batara Narada. Prabu Pandu pun membangunkannya, dan ternyata
benar, ia mengaku bernama Sucitra dari negeri Atasangin di tanah seberang.
Prabu Pandu lalu bertanya
mengapa Raden Sucitra bertapa di kaki Gunung Saptaarga. Raden Sucitra bercerita
bahwa dirinya adalah putra mendiang Prabu Drupara dari Kerajaan Duhyapura.
Ketika Kerajaan Duhyapura hancur diserang Prabu Bahlika dari Sewandapura, Raden
Sucitra masih bayi dan diselamatkan oleh Resi Baradwaja (adik sepupu Prabu
Drupara). Resi Baradwaja lalu membesarkan Raden Sucitra bersama dengan putranya
yang bernama Bambang Kumbayana di negeri Atasangin.
Setelah dewasa, Raden Sucitra
diberi tahu Resi Baradwaja bahwa ketika Kerajaan Duhyapura runtuh diserang
musuh, harta pusaka negeri itu diselamatkan oleh Patih Suganda, yang kabarnya kini
membangun Kerajaan Pancala di Tanah Jawa. Resi Baradwaja pun memerintahkan Raden
Sucitra selaku ahli waris sah Kerajaan Duhyapura untuk meminta haknya kepada
Patih Suganda yang kini bergelar Prabu Gandabayu itu.
Maka, berangkatlah Raden
Sucitra ke Tanah Jawa. Namun, ia merasa bimbang karena tidak mungkin Prabu
Gandabayu menyerahkan takhta begitu saja kepada dirinya. Meskipun Prabu
Gandabayu adalah mantan bawahan Prabu Drupara, tapi Kerajaan Pancala adalah
hasil keringatnya sendiri, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada orang lain
semudah itu.
Karena bingung harus
meneruskan perjalanan ke Pancala ataukah pulang ke Atasangin, Raden Sucitra
akhirnya duduk bersamadi di pinggir jalan. Ia lalu didatangi Batara Narada yang
memberikan petunjuk bahwa dirinya akan mendapatkan kembali hak atas takhta apabila
mengabdi kepada seorang raja bernama Prabu Pandu Dewanata. Untuk itu, Batara
Narada pun memerintahkan Raden Sucitra agar bertapa di kaki Gunung Saptaarga.
Kelak, Prabu Pandu sendiri yang akan membangunkannya dari samadi.
Prabu Pandu terkesan mendengar
cerita Raden Sucitra. Ia pun menerima pengabdian laki-laki dari tanah seberang
itu dan mengajaknya bersama-sama menuju Kerajaan Hastina.
PRABU PANDU BERTEMU RADEN YAMAWIDURA
Dalam perjalanan menuju
Hastina, rombongan Prabu Pandu bertemu Raden Yamawidura dan Arya Jayasemedi
yang sedang dikeroyok puluhan orang bertopeng. Raden Sucitra segera turun
tangan membantu. Orang-orang bertopeng itu dapat ditumpas dan sisanya melarikan
diri.
Pada saat itulah muncul Arya
Suman yang mengaku hendak membantu Raden Yamawidura menghadapi para musuh
bertopeng. Raden Yamawidura curiga dari mana Arya Suman tahu kalau dirinya baru
saja dikeroyok orang-orang bertopeng. Apakah sejak tadi Arya Suman mengintip
dari kejauhan, ataukah jangan-jangan para penyerang bertopeng tadi adalah orang-orang
suruhan Arya Suman sendiri?
Arya Suman terkejut siasatnya
diketahui Raden Yamawidura. Sesungguhnya orang-orang bertopeng tadi adalah para
prajurit dari Kerajaan Gandaradesa yang menyamar sebagai perampok untuk
mengeroyok Raden Yamawidura dan Arya Jayasemedi. Nanti jika keduanya telah
terdesak barulah Arya Suman tampil sebagai pahlawan mengusir orang-orang
bertopeng itu. Dengan demikian, Raden Yamawidura akan merasa berhutang budi
kepadanya dan pasti akan meminta kepada Prabu Pandu agar dirinya saja yang
dijadikan sebagai patih, bukan Arya Banduwangka yang tidak punya jasa. Tak
disangka, siasat Arya Suman itu gagal total karena tiba-tiba muncul Raden
Sucitra bersama rombongan Prabu Pandu yang langsung membantu Raden Yamawidura.
Arya Suman berusaha membela
diri, sedangkan Raden Yamawidura mendesaknya agar mengakui kelicikannya. Prabu
Pandu pun melerai mereka berdua. Tidak penting siapa sebenarnya para perampok
bertopeng tadi, yang penting Raden Yamawidura tidak terluka. Prabu Pandu lalu
memperkenalkan Raden Sucitra sebagai saudara angkatnya, lalu mereka pun
bersama-sama melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Hastina.
DATANGNYA UNDANGAN SAYEMBARA DARI KERAJAAN PANCALA
Prabu Pandu dan rombongannya
telah sampai di Kerajaan Hastina. Mereka disambut bahagia oleh Resiwara Bisma
dan Adipati Dretarastra yang mendengar keputusan Prabu Pandu untuk kembali memimpin
negara. Adipati Dretarastra pun menyerahkan takhta kepada adiknya itu,
sedangkan ia kembali menduduki jabatannya sebagai raja bawahan di kotalama
Gajahoya.
Prabu Pandu berterima kasih
kepada sang kakak yang telah memimpin Kerajaan Hastina dengan baik selama dirinya
menyepi di Gunung Saptaarga. Adipati Dretarastra dan Resiwara Bisma lalu
menjelaskan perihal kematian Patih Jayayatna dan menyerahkan kepada Prabu Pandu
untuk memilih siapa yang menjadi penggantinya, apakah Arya Banduwangka yang
sakti, ataukah Arya Suman yang cerdas.
Prabu Pandu menjawab bahwa
dirinya telah mendapatkan petunjuk dari dewata, bahwa bukan mereka yang akan
menduduki jabatan patih. Sebentar lagi akan ada orang lain yang sama saktinya
dengan Arya Banduwangka, dan juga sama cerdasnya dengan Arya Suman. Orang
itulah yang akan dilantik sebagai patih Kerajaan Hastina oleh Prabu Pandu.
Tiba-tiba muncul seorang
punggawa yang mengaku berasal dari Kerajaan Pancala. Punggawa itu bernama Arya Drestaketu
yang membawa surat undangan dari rajanya, yaitu Prabu Gandabayu. Prabu Pandu
menerima surat tersebut dan membaca isinya, bahwa Prabu Gandabayu mengundang
para raja dan pangeran dari berbagai negeri untuk mengikuti sayembara tanding melawan
Raden Gandamana demi mendapatkan jodoh untuk Dewi Gandawati.
Prabu Pandu merasa ini adalah
kesempatan baginya untuk membantu Raden Sucitra mendapatkan haknya, sekaligus
menarik Raden Gandamana menjadi menteri utama Kerajaan Hastina. Maka, Prabu
Pandu pun menyanggupi undangan tersebut dan mempersilakan Arya Drestaketu
kembali ke negeri Pancala untuk melapor kepada rajanya.
Sepeninggal Arya Drestaketu,
Prabu Pandu lalu menjelaskan kepada Resiwara Bisma dan Adipati Dretarastra
bahwa melalui sayembara di negeri Pancala inilah, Kerajaan Hastina akan
mendapatkan seorang patih baru yang bijaksana, sakti, dan cerdas. Resiwara
Bisma dan Adipati Dretarastra pun menyetujui rencana Prabu Pandu jika itu
memang sudah menjadi kehendak dewata.
Maka, setelah dirasa cukup
Prabu Pandu pun mengajak Raden Sucitra berangkat menuju Kerajaan Pancala dengan
diiringi para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
RADEN GANDAMANA MENGALAHKAN PARA PELAMAR
Sementara itu di Kerajaan
Pancala, Raden Gandamana bertanding menghadapi para raja dan pangeran yang
bermaksud melamar Dewi Gandawati, kakaknya. Satu per satu para pelamar itu kalah
di tangan Raden Gandamana, termasuk Prabu Duskarta dari Kerajaan Madenda dan
Prabu Adireja dari Kerajaan Tunggulmanik.
Setelah para pelamar habis,
Prabu Gandabayu mendekati Raden Gandamana dan memintanya untuk menghentikan
sayembara. Di satu sisi Prabu Gandabayu kagum dan bangga melihat kesaktian
putranya itu, namun di sisi lain ia takut Dewi Gandawati menjadi perawan tua,
karena jangan-jangan di dunia ini tidak ada yang bisa memenangkan sayembara
tanding ini.
Raden Gandamana meminta sang
ayah untuk tetap tenang dan bersabar, karena ia mendapatkan firasat bahwa sebentar
lagi akan datang seorang laki-laki yang tepat untuk menjadi suami bagi kakaknya.
RADEN SUCITRA BERTANDING MELAWAN RADEN GANDAMANA
Rombongan Prabu Pandu akhirnya
sampai di Kerajaan Pancala dan mendaftarkan Raden Sucitra sebagai peserta
sayembara. Raden Gandamana pun mempersilakan Raden Sucitra naik ke panggung
untuk bertanding dengannya. Maka, terjadilah pertarungan sengit di antara
mereka. Kali ini Raden Gandamana merasa mendapatkan lawan yang kuat. Ia dapat
membandingkan bahwa kesaktian Raden Sucitra selaku murid Resi Baradwaja memang berada
di atas rata-rata para pelamar lainnya.
Setelah bertarung cukup lama,
tiba-tiba pandangan Raden Sucitra tertuju kepada Dewi Gandawati yang duduk di
samping ayah dan ibunya. Ternyata Dewi Gandawati juga memerhatikan Raden
Sucitra, sehingga saat mata mereka saling beradu pandang, seketika perasaan Raden
Sucitra bagaikan melayang di awang-awang. Akibatnya, Raden Sucitra menjadi
lengah dan tubuhnya tertangkap oleh Raden Gandamana. Sekejap kemudian, Raden
Gandamana pun melemparkan tubuh Raden Sucitra keluar dari gelanggang.
Prabu Pandu segera mendatangi Raden
Sucitra dan memintanya untuk kembali menantang Raden Gandamana. Raden Sucitra
mengaku tidak sanggup karena kesaktian Raden Gandamana berada di atas dirinya.
Prabu Pandu meminta Raden Sucitra lebih memusatkan perhatian kepada lawan dan
jangan melihat ke arah Dewi Gandawati. Prabu Pandu memintanya untuk berusaha dengan
sebaik-baiknya, tanpa terlena oleh hadiah apa yang akan didapatkannya nanti.
Raden Sucitra masih ragu-ragu
apakah dirinya bisa mengalahkan Raden Gandamana. Prabu Pandu lalu melepas
sumping di telinganya dan mengatakan bahwa ini adalah sumping pusaka pemberian
dewata. Barangsiapa memakai sumping tersebut maka kekuatannya akan meningkat
seratus kali lipat. Raden Sucitra sangat senang menerimanya. Ia pun memakai
sumping tersebut di telinga dan berangkat menantang Raden Gandamana dengan
penuh percaya diri.
Raden Gandamana senang melihat
lawannya bangkit kembali dengan penuh semangat. Keduanya lalu bertarung lagi dan
saling mengerahkan kesaktian. Pertarungan kali ini jauh lebih dahsyat. Raden
Sucitra seolah tidak takut mati dan dengan sekuat tenaga ia berhasil meringkus
Raden Gandamana hingga meringkuk di atas gelanggang.
Raden Gandamana pun mengaku
kalah dan menyatakan Raden Sucitra sebagai pemenang sayembara ini. Raden
Sucitra mengaku terus terang bahwa kemenangannya adalah berkat sumping pusaka yang
dipinjamkan oleh Prabu Pandu.
Prabu Pandu maju dan menjelaskan
bahwa itu hanyalah sumping biasa sebagai perhiasan telinga saja, sama sekali
bukan sumping pemberian dewa. Kemenangan Raden Sucitra semata-mata hanyalah
karena rasa percaya dirinya telah bangkit dan ia pun bertarung dengan lebih
terarah. Rasa percaya diri itulah yang membuat Raden Sucitra bersemangat dan mampu
mengalahkan Raden Gandamana.
RADEN SUCITRA MENJADI RAJA PANCALA
Prabu Gandabayu dan Dewi
Trilaksmi, serta Dewi Gandawati naik ke gelanggang untuk menyambut sang
pemenang. Prabu Gandabayu pun mengumumkan kepada segenap hadirin yang menonton bahwa
Raden Sucitra adalah menantunya, yaitu calon suami Dewi Gandawati. Tidak hanya
itu, Prabu Gandabayu juga berniat turun takhta menjadi pendeta dan mengangkat
Raden Gandamana sebagai raja Pancala yang baru.
Akan tetapi, Raden Gandamana
menolak kehendak sang ayah. Ia dengan tegas menyatakan bahwa takhta Kerajaan
Pancala hendaknya diberikan kepada Raden Sucitra saja. Ia pun menjelaskan bahwa
beberapa waktu yang lalu dirinya bertemu sang guru, yaitu Batara Bayu. Dalam
pertemuan itu, Batara Bayu menceritakan tentang sejarah Kerajaan Pancala kepada
Raden Gandamana. Pada mulanya, ada sebuah kerajaan di tanah seberang bernama
Duhyapura yang hancur diserang Prabu Bahlika dari Sewandapura. Prabu Drupara
raja Duhyapura tewas dalam serangan itu, namun putranya yang masih bayi, bernama
Raden Sucitra diselamatkan Resi Baradwaja. Adapun menteri utama Duhyapura yang
bernama Patih Suganda berhasil menyelamatkan harta pusaka negerinya dan pindah
ke Tanah Jawa.
Patih Suganda pun diterima
Prabu Basukiswara raja Wirata dan mendapatkan hadiah berupa Hutan Pancala
sebagai tempat tinggal. Hutan tersebut dibuka menjadi kerajaan yang baru, di
mana Patih Suganda menjadi raja di sana, bergelar Prabu Gandabayu. Mendengar
cerita tersebut, Raden Gandamana menyimpulkan bahwa Raden Sucitra lebih berhak
menjadi raja Pancala dibanding dirinya. Batara Bayu pun memberikan petunjuk
agar Raden Gandamana menggelar acara sayembara tanding memperebutkan Dewi
Gandawati. Dengan cara demikian, maka Raden Sucitra akan muncul di Kerajaan
Pancala dan bisa menjadi menantu Prabu Gandabayu.
Mendengar cerita tersebut,
Prabu Gandabayu sangat terkesan. Rupanya dewata telah mengatur pertemuan antara
dirinya dengan Raden Sucitra, putra mendiang majikannya dulu. Jika memang Raden
Gandamana selaku putra mahkota menolak menjadi raja, maka tiada salahnya jika Raden
Sucitra yang menduduki takhta Kerajaan Pancala. Hal ini dianggap wajar karena
Raden Sucitra telah resmi menjadi menantu Prabu Gandabayu, dan selain itu, ia
juga ahli waris sah dari Prabu Drupara, raja terakhir Duhyapura.
Raden Sucitra terharu
mendengar ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan hak atas takhta kepadanya.
Meskipun dirinya adalah putra Prabu Drupara, namun baginya, Kerajaan Pancala bukanlah
miliknya, tetapi pemberian sang mertua atas keikhlasan Raden Gandamana.
Maka, pada hari yang dianggap
baik dilangsungkanlah upacara pernikahan antara Raden Sucitra dan Dewi
Gandawati. Beberapa hari kemudian, Prabu Gandabayu turun takhta menjadi pendeta,
bergelar Begawan Suganda. Raden Sucitra pun dilantik sebagai raja Pancala yang
baru, bergelar Prabu Drupada.
Sementara itu, Patih Jayarana
juga mengundurkan diri dari jabatannya untuk mengikuti Begawan Suganda ke
pertapaan. Ia mengusulkan agar jabatannya sebagai patih diserahkan kepada Arya
Drestaketu saja. Prabu Drupada menerima usulan tersebut dan ia pun melantik
Arya Drestaketu sebagai patih yang baru untuk mendampingi dirinya.
RADEN GANDAMANA MENJADI PATIH KERAJAAN HASTINA
Satu bulan lamanya Prabu Pandu
tinggal di Kerajaan Pancala. Ia lalu mohon pamit kepada Prabu Drupada dan Dewi
Gandawati untuk kembali ke Kerajaan Hastina. Prabu Drupada sangat berterima
kasih atas segala bantuan yang diberikan raja Hastina tersebut. Ia berharap
semoga kelak keturunannya bisa menjadi satu keluarga dengan keturunan Prabu Pandu.
Prabu Pandu lalu bertanya
kepada Raden Gandamana apakah sudi jika mendampinginya sebagai patih di
Kerajaan Hastina. Tanpa banyak kata, Raden Gandamana langsung menyatakan
bersedia. Dulu pertama kali Raden Gandamana berkenalan dengan Prabu Pandu
adalah saat dirinya menjadi jago kahyangan menghadapi amukan Resi Jarwada dari
Padepokan Jajarsewu. Sejak saat itu Raden Gandamana mengagumi sifat bijaksana Prabu
Pandu dan ingin sekali menjadi pelayannya. Apalagi ditambah peristiwa yang baru
terjadi, di mana Prabu Pandu mampu membangkitkan semangat dan rasa percaya diri
Prabu Drupada hanya dengan menggunakan sumping biasa, hal ini membuat Raden
Gandamana semakin bertambah kagum kepadanya.
Prabu Drupada sebenarnya
membutuhkan bantuan Raden Gandamana untuk mendampinginya dalam memimpin
Kerajaan Pancala. Namun, Kerajaan Hastina jauh lebih besar dan lebih maju, tentunya
lebih membutuhkan menteri sebaik Raden Gandamana. Jika memang Raden Gandamana
sudah bertekad demikian, maka Prabu Drupada pun mengizinkan adik iparnya itu
mengabdi di Kerajaan Hastina.
Demikianlah, sesampainya di
Kerajaan Hastina, Prabu Pandu pun mengumumkan Raden Gandamana sebagai patih yang
baru untuk menggantikan mendiang Patih Jayayatna. Resiwara Bisma mendukung
keputusan itu karena ia telah mendengar kisah ketulusan Raden Gandamana yang menyerahkan
haknya atas takhta Pancala kepada Prabu Drupada. Begitu pula dengan Adipati
Dretarastra dan Raden Yamawidura, mereka pun setuju jika Prabu Pandu melantik
Raden Gandamana sebagai patih Kerajaan Hastina.
Para menteri dan punggawa,
seperti Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa juga
menyatakan dukungan mereka. Hanya Arya Suman seorang diri yang berani
menyatakan ketidaksetujuannya. Ia menyebut Raden Gandamana adalah orang Pancala,
mana pantas menjadi patih di Kerajaan Hastina? Namun, Raden Yamawidura segera
membalas pertanyaan itu, bahwa Arya Suman juga orang Gandaradesa, tapi mengapa
berani mencalonkan diri sebagai patih di Hastina?
Arya Suman seketika terdiam tidak
bisa menjawab. Ia hanya bisa menyimpan kekesalan dalam hati. Dirinya pun bertekad
suatu hari nanti harus bisa menyingkirkan Raden Gandamana dan merebut jabatan patih
Kerajaan Hastina.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar