Kisah ini menceritakan kelahiran putra pertama Prabu Pandu, yaitu Raden
Puntadewa yang merupakan sulung dari Pandawa Lima. Kisah diawali dengan Resi
Druwasa mengubah Raden Seta, putra Prabu Matsyapati menjadi tiga bayi, yang diberi
nama Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka. Kemudian dilanjutkan dengan
pelantikan Prabu Salya sebagai raja Mandraka, serta kisah awal mula negeri Awangga
menjadi bawahan Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan Serat Pedalangan karya Adipati
Mangkunagara VII, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Mei 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Batara Darma |
LAHIRNYA RADEN UTARA DAN RADEN WRATSANGKA
Prabu Matsyapati di Kerajaan
Wirata dihadap putra tunggalnya, yaitu Raden Seta, beserta para menteri dan
punggawa, antara lain Patih Kincaka, Arya Rupakinca, Arya Rajamala, dan Arya
Nirbita. Hadir pula seorang pendeta tua pengelana bernama Resi Druwasa yang merupakan
guru Prabu Matsyapati.
Resi Druwasa ini pernah
menjadi guru Dewi Kunti saat berkelana ke negeri Mandura dulu. Kali ini ia pun
berkelana ke negeri Wirata dan telah beberapa bulan lamanya menjadi guru bagi Prabu
Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Hari itu Prabu Matsyapati
telah menamatkan pelajarannya dan ia pun berterima kasih kepada Resi Druwasa.
Sebelum mereka berpisah, Prabu Matsyapati memohon untuk diberi sarana agar bisa
berputra lagi. Prabu Matsyapati mengeluh karena ia hanya memiliki seorang
putra, sedangkan kakaknya yaitu mendiang Dewi Durgandini telah memiliki banyak
anak dan cucu. Bahkan, dua orang cucunya, yaitu Adipati Dretarastra dan Prabu
Pandu juga telah berumah tangga.
Sementara itu, Prabu
Matsyapati hanya memiliki seorang putra saja, yaitu Raden Seta yang kini telah
berusia empat puluh tahun tetapi belum menikah, apalagi memiliki anak.
Sehari-hari ia hanya sibuk belajar dan berlatih meningkatkan kesaktian. Untuk
itu, Prabu Matsyapati pun memohon sarana kepada Resi Druwasa agar bisa berputra
lagi, sehingga silsilah Kerajaan Wirata dapat berkembang lebih banyak.
Resi Druwasa menyatakan
bersedia. Ia lalu meminta agar Prabu Matsyapati memanggil sang permaisuri Dewi
Sudaksina. Setelah Dewi Sudaksina hadir di pertemuan, Resi Druwasa pun
mengheningkan cipta sejenak, lalu menyampaikan ramalannya. Ramalan tersebut
berbunyi, Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina akan memiliki tambahan dua orang putra
lagi dan satu orang putri. Kedua putra tersebut akan tercipta jika Raden Seta
bersedia kembali menjadi bayi, sedangkan yang perempuan akan lahir secara
normal dari rahim Dewi Sudaksina beberapa puluh tahun lagi.
Prabu Matsyapati dan Dewi
Sudaksina lalu bertanya kepada Raden Seta apakah bersedia dikembalikan menjadi
bayi agar bisa memiliki adik. Raden Seta menyatakan bersedia namun dengan
syarat, ia tidak ingin kehilangan semua ilmu dan kesaktian yang telah ia
pelajari selama ini. Resi Druwasa menjelaskan apabila Raden Seta kembali
menjadi bayi, maka ia akan kehilangan kesaktiannya hanya untuk sementara saja. Kelak
setelah dewasa, hendaknya Raden Seta pergi bertapa ke Gunung Suhrini, maka
semua kesaktiannya akan kembali lagi seperti sediakala, bahkan semakin bertambah
banyak.
Mendengar penjelasan tersebut,
Raden Seta pun menyatakan siap dikembalikan menjadi bayi demi kebahagiaan ayah
dan ibunya. Resi Druwasa segera mengadakan sesaji dan membaca mantra.
Perlahan-lahan tubuh Raden Seta menyusut semakin kecil dan mengecil, hingga kembali
menjadi bayi. Kemudian bayi tersebut berubah menjadi tiga, yang masing-masing
berwarna putih, kuning, dan merah. Resi Druwasa lalu menyerahkan ketiga bayi tersebut
kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina.
Prabu Matsyapati dan Dewi
Sudaksina bahagia menerima ketiga bayi itu. Mereka berharap dengan lahirnya
ketiga bayi laki-laki ini, maka silsilah Kerajaan Wirata dapat berkembang lagi.
Bayi yang berkulit putih pun ditetapkan sebagai yang paling tua dan diberi nama
Raden Seta. Sementara itu, bayi yang berkulit kuning diberi nama Raden Utara,
sedangkan bayi yang berkulit merah diberi nama Raden Wratsangka.
Resi Druwasa kembali
mengheningkan cipta sambil mulutnya mengucapkan ramalan. Kelak beberapa puluh
tahun lagi Dewi Sudaksina akan mengandung dan melahirkan si anak bungsu. Anak
bungsu tersebut berkelamin perempuan dan berkulit hitam manis. Hendaknya Prabu Matsyapati
memberinya nama Dewi Utari yang kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Prabu Matsyapati penasaran dan
bertanya mengapa Dewi Utari harus lahir di masa depan, mengapa tidak saat ini
saja? Resi Druwasa pun menjelaskan bahwa Dewi Utari akan lahir ke dunia
bersamaan dengan kelahiran laki-laki yang akan menjadi jodohnya, yaitu Raden
Abimanyu, cucu Prabu Pandu Dewanata.
ARYA NIRBITA KEMBALI MENJADI BAYI
Tiba-tiba Arya Nirbita memberanikan
diri ikut bicara. Sejak bayi ia sudah ditinggal mati ayahnya, yaitu Raden
Setatama (saudara Dewi Sudaksina). Tidak lama kemudian ibunya yang bernama Dewi
Kandini juga ikut meninggal dunia. Setelah menjadi yatim piatu, Arya Nirbita
pun diasuh Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina untuk dibesarkan bersama-sama
dengan Raden Seta.
Sejak kecil Arya Nirbita dan
Raden Seta adalah kawan sepermainan. Hubungan mereka sudah seperti saudara
kandung. Kini Raden Seta telah kembali menjadi bayi dan berubah menjadi tiga.
Hal itu membuat Arya Nirbita merasa sedih dan kehilangan teman. Maka, ia pun
memohon kepada Prabu Matsyapati dan Dewi Sudaksina agar dirinya juga diubah
menjadi bayi, sehingga bisa menjadi kawan sepermainan Raden Seta dan kedua
adiknya tersebut.
Prabu Matsyapati lalu memohon
kepada Resi Druwasa agar mengabulkan keinginan keponakannya itu. Resi Druwasa
terkesan melihat ketulusan Arya Nirbita. Ia mengheningkan cipta sesaat dan
melihat gambaran di masa depan bahwa Raden Seta, Raden Utara, dan Raden
Wratsangka akan gugur semua dalam sebuah perang besar di Tegal Kurusetra,
sedangkan Arya Nirbita selamat. Bahkan, Arya Nirbita kemudian menjadi ahli
waris Kerajaan Wirata menggantikan Prabu Matsyapati. Resi Druwasa lalu membuka
mata namun tidak tega menyampaikan ramalan tersebut kepada Prabu Matsyapati dan
Dewi Sudaksina.
Tanpa banyak bicara, Resi
Druwasa lalu membaca mantra dan mengubah tubuh Arya Nirbita kembali menjadi
bayi. Ia kemudian menyerahkan bayi tersebut kepada Prabu Matsyapati dan Dewi
Sudaksina untuk diasuh bersama-sama dengan Raden Seta, Raden Utara, dan Raden
Wratsangka. Setelah itu, Resi Druwasa mohon pamit kepada mereka berdua. Ia
berkata bahwa ini mungkin adalah pertemuan yang terakhir bagi mereka. Setelah berkata
demikian, pendeta tua itu pun lenyap dari pandangan, pergi entah ke mana.
PRABU MATSYAPATI MENDAPAT UNDANGAN KE MANDRAKA
Tidak lama kemudian datanglah
utusan dari Kerajaan Mandraka, bernama Arya Tuhayata yang menghadap Prabu
Matsyapati. Arya Tuhayata menyampaikan berita duka bahwa rajanya, yaitu Prabu
Mandrapati telah meninggal dunia. Sang putra mahkota, yaitu Raden Narasoma akan
dilantik sebagai raja yang baru, namun menunggu restu dari Prabu Matsyapati
selaku sesepuh para raja di Tanah Jawa.
Prabu Matsyapati sangat
terkejut dan bersedih mendengar berita duka tersebut. Bagaimanapun juga
hubungan antara Kerajaan Wirata dan Mandraka sudah terjalin sekian lama.
Bahkan, raja pertama Mandraka, yaitu Prabu Kardana Mandrakusuma adalah mantan
punggawa Kerajaan Wirata pada masa pemerintahan Prabu Basukiswara.
Tanpa membuang-buang waktu,
Prabu Matsyapati pun berpamitan kepada Dewi Sudaksina. Mengenai pesta syukuran atas
lahirnya Raden Seta, Raden Utara, dan Raden Wratsangka dapat ditunda nanti
setelah ia kembali dari Kerajaan Mandraka. Selama kepergiannya nanti, urusan
Kerajaan Wirata diserahkan kepada Patih Kincaka dan Arya Rajamala. Setelah
dirasa cukup, Prabu Matsyapati lalu berangkat dengan dikawal Arya Rupakinca.
KERAJAAN MANDRAKA DISERANG KERAJAAN AWANGGA
Sementara itu, di Kerajaan
Mandraka sedang terjadi pertempuran. Awal mulanya ialah seorang raksasa dari
Kerajaan Awangga yang bernama Patih Taksana datang untuk melamar Dewi Madrim menjadi
permaisuri rajanya yang bernama Prabu Rudraksa. Raden Narasoma selaku tuan
rumah menjelaskan bahwa saat ini Kerajaan Mandraka sedang berkabung karena
meninggalnya Prabu Mandrapati. Lagipula Dewi Madrim sudah menjadi istri Prabu
Pandu, sehingga tidak mungkin diserahkan kepada Prabu Rudraksa.
Patih Taksana mengaku sudah
mendapatkan kewenangan penuh dari Prabu Rudraksa. Ia pun meminta Raden Narasoma
agar menceraikan Dewi Madrim dengan Prabu Pandu supaya bisa diboyong ke
Kerajaan Awangga. Raden Narasoma marah terhadap sikap lancang Patih Taksana.
Namun, Patih Tuhayana berusaha menyabarkannya. Sang Patih pun meminta Raden
Narasoma untuk tetap menunggui jenazah Prabu Mandrapati, sedangkan dirinya yang
maju menghadapi Patih Taksana.
Maka, tidak lama kemudian
terjadilah pertempuran antara pasukan Awangga melawan pasukan Mandraka. Dalam
pertempuran itu Patih Tuhayana tewas digigit lehernya oleh Patih Taksana.
Raden Narasoma sangat marah
dan hampir saja terjun ke medan perang. Namun, tiba-tiba datang pasukan Hastina
yang dipimpin Adipati Dretarastra yang langsung membantu pihak Mandraka. Patih
Taksana meremehkan Adipati Dretarastra yang tunanetra. Namun, begitu terpegang
oleh lawan, tubuh Patih Taksana langsung hancur menjadi abu terkena Aji
Leburgeni milik raja wakil dari Hastina tersebut.
RADEN NARASOMA DILANTIK MENJADI PRABU SALYA
Keadaan kini telah aman
kembali. Adipati Dretarastra datang bersama Dewi Gendari dan Arya Suman dari
Kerajaan Hastina untuk menyampaikan belasungkawa atas meninggalnya Prabu
Mandrapati. Ia memohon maaf atas ketidakhadiran Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan
Dewi Madrim karena mereka bertiga sedang menjalani masa penyepian di Gunung
Saptaarga, demi untuk menghilangkan kutukan Resi Kindama.
Raden Narasoma mengaku sudah
mendengar peristiwa tersebut. Ia memaklumi jika mereka bertiga tidak bisa hadir
di Kerajaan Mandraka. Tidak lama kemudian datang pula rombongan Prabu
Matsyapati dari Wirata, rombongan Prabu Gandabayu dari Pancala, serta rombongan
Prabu Kuntiboja dari Mandura.
Setelah semua tamu lengkap,
Raden Narasoma pun memimpin upacara pemakaman Prabu Mandrapati Naradenta.
Upacara tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelantikan dirinya sebagai raja
yang baru menggantikan sang ayah, dengan bergelar Prabu Salyapati Somadenta.
Upacara pelantikan tersebut dipimpin oleh Prabu Matsyapati selaku sesepuh para
raja di Tanah Jawa.
Demikianlah, kini Prabu Salya
telah resmi menduduki takhta Kerajaan Mandraka. Ia kemudian mengangkat Arya
Tuhayata sebagai patih yang baru untuk menggantikan Patih Tuhayana yang telah
gugur dalam pertempuran kemarin.
Setelah beberapa hari, Prabu
Matsyapati, Prabu Kuntiboja, Prabu Gandabayu, dan Adipati Dretarastra mohon
pamit kembali ke negeri masing-masing. Adipati Dretarastra tidak langsung
pulang ke Kerajaan Hastina, melainkan berniat singgah terlebih dulu ke Gunung
Saptaarga untuk menjenguk ayah dan adiknya di sana.
RESI DRUWASA MENGUNJUNGI GUNUNG SAPTAARGA
Sementara itu, Resi Druwasa
yang telah meninggalkan Kerajaan Wirata, kini datang mengunjungi Gunung
Saptaarga. Bagawan Abyasa, Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim pun
menyambut kedatangan pendeta tua pengelana tersebut. Lebih-lebih Dewi Kunti
sangat menaruh hormat kepada Resi Druwasa yang pernah menjadi gurunya tersebut.
Kyai Semar pun menjelaskan hubungan
silsilah Resi Druwasa dengan Bagawan Abyasa. Dahulu kala, pendiri padepokan di
Gunung Saptaarga, yaitu Resi Manumanasa memiliki kakak perempuan bernama Dewi
Kaniraras yang menikah dengan Empu Kanomayasa di Kerajaan Wirata. Setelah Empu
Kanomayasa meninggal karena kecelakaan kerja, Dewi Kaniraras pun menjadi istri
Prabu Durapati di Kerajaan Duhyapura. Dari perkawinan itu lahirlah Resi
Dwapara.
Resi Dwapara kemudian berguru
kepada Resi Manumanasa, namun kemudian ia berkhianat setelah kalah bersaing melawan
sepupunya, yaitu Resi Satrukem (putra Resi Manumanasa) dalam memperebutkan Dewi
Nilawati. Resi Dwapara kemudian menjadi menantu pamannya yang lain, yaitu Arya
Paridarma (adik bungsu Resi Manumanasa) di Desa Gandara (sekarang menjadi
Kerajaan Gandaradesa). Dari perkawinan itu lahirlah Resi Druwasa.
Resi Dwapara yang selalu
memusuhi Resi Manumanasa dan berusaha ingin membunuhnya, akhirnya tewas sendiri
di tangan Resi Satrukem. Sementara itu, putranya yaitu Resi Druwasa bertobat
dan menjadi murid Resi Manumanasa. Resi Druwasa pun dikaruniai umur panjang sehingga
bisa hidup sampai saat ini dan berkelana mengunjungi berbagai negeri untuk
membagi-bagikan ilmunya.
Demikianlah, silsilah Resi
Druwasa terhitung sebagai sepupu Batara Sakri (putra Resi Satrukem), sehingga
Bagawan Abyasa pun memanggil “eyang” kepadanya. Hari itu, Resi Druwasa datang
ke Gunung Saptaarga untuk berpamitan karena sudah tiba saatnya ia meninggalkan
dunia fana. Ia selalu teringat masa mudanya yang berwatak jahat karena setiap
hari dihasut oleh ayahnya (Resi Dwapara) untuk memusuhi keluarga Resi
Manumanasa. Namun, berkat kesabaran Resi Manumanasa dalam mendidiknya, sedikit
demi sedikit watak jahat Resi Druwasa luntur dan kini ia pun menjadi pendeta
tua yang welas asih dan selalu berusaha membantu siapa saja yang kekurangan.
RESI DRUWASA MEMBERIKAN SARANA BERPUTRA KEPADA PRABU PANDU
Resi Druwasa telah berubah
watak dari seorang jahat menjadi welas asih adalah sejak berguru di Gunung
Saptaarga. Maka, ia ingin Gunung Saptaarga menjadi tempat baginya untuk
melepaskan jiwa dan memasuki alam baka. Namun demikian, ia mendapat perintah
dari dewata untuk memberikan sarana kepada Prabu Pandu agar bisa berputra.
Rupanya Resi Druwasa telah mendengar tentang peristiwa Prabu Pandu memanah dua
ekor kijang penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi, sehingga mendapat kutukan akan
bernasib celaka apabila bersetubuh dengan istrinya. Tentu saja hal ini
menyebabkan Prabu Pandu tidak akan bisa memiliki keturunan seumur hidupnya.
Untuk itu, Resi Druwasa pun
datang dengan membawa sebutir Mangga Pertanggajiwa, yaitu buah makanan para
dewa. Buah mangga tersebut akan dijadikan sebagai sarana agar Prabu Pandu bisa memiliki
keturunan. Caranya, Resi Druwasa terlebih dulu mengupas mangga tersebut dan memisahkan
dagingnya dari biji. Setelah itu, ia bersamadi mengheningkan cipta untuk
menyerap saripati air mani dari dalam tubuh Prabu Pandu. Saripati air mani
tersebut keluar dalam wujud cahaya dan ditanam dalam daging Mangga
Pertanggajiwa.
Resi Druwasa meramalkan kelak
Dewi Kunti akan melahirkan tiga putra, sedangkan Dewi Madrim melahirkan dua
putra sebagai penutup. Maka, Resi Druwasa pun membelah daging mangga yang sudah
bercampur dengan saripati benih Prabu Pandu itu menjadi lima. Yang tiga potong
diserahkan kepada Dewi Kunti, sedangkan yang dua potong diserahkan kepada Dewi
Madrim. Kedua permaisuri itu pun menelan semua potongan daging mangga jatah
mereka masing-masing sampai habis.
Demikianlah, kelima potong daging
Mangga Pertanggajiwa tersebut digunakan untuk menanam benih Prabu Pandu di
dalam perut Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Dengan demikian, Prabu Pandu dapat
memiliki putra tanpa harus menyentuh kedua istrinya. Akan tetapi, benih Prabu
Pandu itu baru bisa menjadi janin apabila bertemu dengan benih dalam rahim Dewi
Kunti ataupun Dewi Madrim. Mengenai caranya, hanya dewa yang dapat
melakukannya. Untuk itu, Resi Druwasa pun menyarankan agar Dewi Kunti
mengerahkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan seperti yang pernah
ia ajarkan dulu.
Resi Druwasa juga berpesan agar
Dewi Kunti menjaga jarak umur kelahiran ketiga putranya. Setelah ketiga putra
Dewi Kunti lahir, maka silakan ia mengajarkan ajian tersebut kepada Dewi
Madrim. Mereka tidak perlu khawatir karena potongan daging mangga tersebut akan
tertanam di dalam perut masing-masing dan tidak ikut keluar bersama kotoran. Prabu
Pandu dan kedua istrinya kagum mendengarnya, dan menyatakan patuh terhadap
nasihat Resi Druwasa. Resi Druwasa tersenyum lalu tiba-tiba arwahnya keluar
meninggalkan raga. Sekejap kemudian, jasad pendeta tua itu ikut musnah, bersatu
dengan alam semesta.
Bagawan Abyasa prihatin
melihatnya. Ia lalu memimpin upacara penghormatan untuk mengantarkan arwah sepupu
kakeknya itu agar memasuki alam baka dengan tenang dan bahagia.
KELAHIRAN RADEN PUNTADEWA
Setelah upacara penghormatan
arwah Resi Druwasa selesai, Prabu Pandu mengajak Dewi Kunti memasuki sanggar
pemujaan. Di dalam tempat itu, Prabu Pandu meminta Dewi Kunti menggunakan Aji
Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan untuk mengundang datangnya dewa.
Dewi Kunti bertanya dewa siapa yang akan diundang datang. Prabu Pandu ingin
memiliki putra sulung yang berwatak adil bijaksana agar kelak dapat memimpin
kerajaan dengan sebaik-baiknya. Maka, ia pun meminta agar Batara Darma yang
diundang hadir.
Dewi Kunti mematuhi dan segera
membaca mantra ajian tersebut sambil membayangkan Batara Darma, dewa kebijaksanaan.
Tidak lama kemudian Batara Darma pun hadir dan bertanya ada keperluan apa
dirinya didatangkan. Dewi Kunti memohon agar benih yang ada dalam rahimnya
dapat dipersatukan dengan benih Prabu Pandu yang telah ditanam dalam potongan daging
Mangga Pertanggajiwa, agar bisa menjadi janin. Batara Darma menyatakan bersedia.
Dengan kekuasaannya, benih Prabu Pandu dapat bersatu dengan benih dalam rahim Dewi
Kunti menjadi janin, sehingga Dewi Kunti pun mengandung pada saat itu juga.
Tidak hanya itu, Batara Darma juga
mematangkan kandungan Dewi Kunti sehingga bertambah besar dalam waktu sekejap.
Hari itu juga, Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa kesakitan
sedikit pun. Batara Darma memberikan restu kepada bayi tersebut, kemudian ia
lenyap, kembali ke kahyangan.
Prabu Pandu sangat bersyukur
atas kelahiran putra pertamanya. Ia pun menggendong bayi laki-laki berwajah
tampan itu dan memberinya nama, Raden Puntadewa. Nama ini sebagai pengingat
bahwa dirinya dapat berputra berkat bantuan dewata.
DEWI GENDARI MENELAN BIJI MANGGA PERTANGGAJIWA
Tidak lama kemudian, datanglah
Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman mengunjungi Gunung Saptaarga.
Mereka mengabarkan perihal kematian Prabu Mandrapati dan juga pelantikan Raden
Narasoma sebagai Prabu Salya, raja Mandraka yang baru. Bagawan Abyasa, Prabu
Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Madrim terkejut dan prihatin mendengar berita ini.
Lebih-lebih Dewi Madrim sangat sedih karena tidak bisa menghadiri pemakaman
ayahnya. Karena terlalu berduka, istri kedua Prabu Pandu itu pun jatuh pingsan
dan segera dibawa masuk ke dalam oleh Dewi Kunti.
Dewi Gendari dan Arya Suman merasa
heran melihat Dewi Kunti menggendong seorang bayi laki-laki. Prabu Pandu pun
menjelaskan bahwa dirinya memang telah dikutuk Resi Kindama, namun tetap bisa
berputra berkat sarana dari Resi Druwasa. Namun sayangnya, Resi Druwasa baru
saja meninggal dunia.
Arya Suman pun berbisik kepada
kakaknya untuk meminta sarana pula agar bisa segera berputra. Dewi Gendari pun
memohon kepada Bagawan Abyasa agar diberi sarana. Bagawan Abyasa lalu memungut
biji Mangga Pertanggajiwa dan memberinya restu agar menjadi obat penyubur
kandungan menantunya itu. Dewi Gendari pun menerima biji mangga tersebut dan
segera menelannya. Bagawan Abyasa lalu berpesan kepada Adipati Dretarastra agar
nanti setelah pulang ke Hastina agar segera melakukan hubungan badan dengan
Dewi Gendari yang kini dalam keadaan subur. Adipati Dretarastra tersipu malu
dan mematuhi nasihat ayahnya.
KERAJAAN AWANGGA MENJADI BAWAHAN HASTINA
Tidak lama kemudian datanglah Prabu
Rudraksa dari Kerajaan Awangga yang berniat merebut Dewi Madrim menjadi istrinya.
Prabu Pandu pun maju menghadapi raja raksasa tersebut. Dalam pertempuran itu,
Prabu Rudraksa akhirnya tewas terkena panah Mustikajamus yang dilepaskan Prabu
Pandu.
Melihat rajanya tewas, para
prajurit raksasa merinding ketakutan. Tiba-tiba salah seorang raksasa berpakaian
pangeran maju memberi hormat kepada Prabu Pandu. Ia mengaku sebagai putra Prabu
Rudraksa yang bernama Raden Kalakarna. Raksasa muda itu memohon ampun atas
kesalahan ayahnya dan ia pun bersedia menerima hukuman dari Prabu Pandu.
Prabu Pandu terkesan melihat
sikap sopan Raden Kalakarna. Ia pun mengizinkan raksasa muda itu kembali ke
negerinya dan menjadi pemimpin di sana. Namun demikian, mulai saat ini Awangga
harus menjadi negeri bawahan Kerajaan Hastina. Raden Kalakarna mematuhi dan
bersedia melaksanakan keputusan tersebut. Prabu Pandu merasa puas dan
mempersilakan Raden Kalakarna beserta pasukannya pulang ke Awangga dengan
membawa serta jasad Prabu Rudraksa.
Setelah keadaan kembali
tenang, Adipati Dretarastra, Dewi Gendari, dan Arya Suman pun mohon pamit
kembali ke Kerajaan Hastina. Di sepanjang jalan, Arya Suman berpikir bagaimana
caranya agar dapat menyingkirkan putra Prabu Pandu yang ternyata lahir lebih
dulu dibanding putra kakaknya.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar