Kisah ini menceritakan Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi Bagawan
Abyasa, sedangkan Raden Pandu dilantik menjadi raja Hastina menggantikan
dirinya. Kisah dilanjutkan dengan awal mula Raden Suman (yang kelak menjadi
Patih Sengkuni) menetap di Hastina, serta kisah Prabu Pandu mendapatkan kutukan
setelah memanah dua ekor kijang penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi.
Kisah ini saya olah berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan kitab Mahabharata karya Resi
Wyasa, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 02 Mei 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Pandu Dewanata |
RADEN PANDU MENJADI RAJA HASTINA
Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan
Hastina dihadap para menteri dan punggawa, antara lain Resiwara Bisma, Patih
Jayayatna, Resi Krepa, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hari
itu Sang Prabu merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai raja sementara. Dulu ia bersedia menduduki takhta Hastina adalah
karena dipaksa Resiwara Bisma untuk mewakili adiknya yang mati muda, yaitu
mendiang Prabu Citrawirya. Selain itu, Prabu Kresna Dwipayana juga menikahi
kedua janda adiknya tersebut, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Ia menyatakan
bersedia menjadi raja, tetapi hanya sementara saja, yaitu sampai putra-putra
hasil perkawinan mereka telah dewasa dan dianggap mampu untuk memimpin Kerajaan
Hastina.
Kini ketiga putra Prabu Kresna
Dwipayana yang lahir dari Dewi Ambika dan Dewi Ambalika telah dewasa, yaitu
Raden Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden Yamawidura. Prabu Kresna
Dwipayana lalu memanggil mereka bertiga agar ikut bergabung dalam pertemuan
tersebut, untuk menerima keputusan siapa yang berhak menjadi raja.
Ketiga pangeran tersebut telah
hadir. Prabu Kresna Dwipayana lalu meminta pendapat Resiwara Bisma selaku ahli
waris sah Kerajaan Hastina, tentang siapa di antara mereka yang pantas menjadi
raja. Resiwara Bisma menjelaskan bahwa Raden Dretarastra adalah putra sulung
Prabu Kresna Dwipayana, namun sayangnya, ia menderita cacat tunanetra sejak
lahir. Oleh sebab itu, Resiwara Bisma mengusulkan agar Raden Pandu saja yang
dilantik sebagai raja baru di Kerajaan Hastina.
Raden Dretarastra tertunduk
kecewa mendengar usulan Resiwara Bisma. Namun, ia menyadari bahwa dirinya
memang memiliki kekurangan. Akhirnya, ia pun setuju jika Raden Pandu yang
diangkat sebagai raja. Sebaliknya, Raden Pandu merasa tidak enak hati kepada
sang kakak. Ia memohon kepada Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma agar Raden
Dretarastra saja yang diangkat sebagai raja.
Raden Yamawidura si bungsu
dipersilakan ikut bicara. Ia mencoba bersikap adil dengan menguraikan alasan
mengapa Resiwara Bisma tidak setuju jika Raden Dretarastra yang menjadi raja.
Menurut Raden Yamawidura, seorang raja yang tunanetra sangat mudah untuk
dihasut pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan. Bahkan, seorang raja yang
memiliki penglihatan sehat saja masih dapat tertipu oleh laporan palsu, apalagi
seorang raja yang tidak dapat melihat secara langsung. Memang benar, andaikan
Raden Dretarastra menjadi raja, ia akan dilindungi oleh Resiwara Bisma, Patih
Jayayatna, Resi Krepa, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak mungkin setiap hari
setiap malam mereka selalu berada di sisi raja. Yang dikhawatirkan adalah
munculnya orang licik yang bisa menyampaikan laporan palsu pada saat raja sedang
sendirian.
Setelah mendengar uraian dari
Raden Yamawidura tersebut, semua orang kini merasa jelas duduk perkaranya.
Raden Dretarastra pun menyatakan rela dan senang jika adiknya yang dilantik.
Lagipula kehebatan Raden Pandu sudah terbukti, antara lain pernah menjadi jago
dewa menumpas Prabu Nagapaya, kemudian mengamankan Kerajaan Sriwedari dan
Singgela, hingga memenangkan sayembara pilih di Kerajaan Mandura.
Karena semua pihak sudah
menyatakan setuju, Prabu Kresna Dwipayana pun menetapkan Raden Pandu sebagai
raja yang baru di Kerajaan Hastina menggantikan dirinya. Raden Pandu tidak
dapat menolak lagi. Ia pun menyatakan bersedia menerima keputusan tersebut.
Maka, pada hari itu pula Raden
Pandu Dewayana dilantik menjadi raja, bergelar Prabu Pandu Dewanata. Adapun
Prabu Kresna Dwipayana kembali menjadi pendeta di Gunung Saptaarga, bergelar
Bagawan Abyasa.
Kini, Prabu Pandu telah resmi
menjadi raja. Ia pun memberikan kedudukan kepada sang kakak, yaitu Raden
Dretarastra sebagai raja bawahan di kota lama Hastina, yaitu Gajahoya. Raden
Dretarastra menerima keputusan tersebut, dan ia pun bergelar Adipati
Dretarastra.
DEWI GENDARI MEMINTA BANTUAN ADIKNYA
Pelantikan Prabu Pandu sebagai
raja Hastina membuat Dewi Gendari sangat kecewa. Kini ia telah merasakan
kekecewaan sebanyak dua kali. Pertama, ia kecewa karena gagal menjadi istri
Prabu Pandu dan justru diserahkan kepada Adipati Dretarastra yang buta. Kedua,
ia kecewa karena suaminya gagal menjadi raja.
Untuk mengobati kekecewaannya,
Dewi Gendari pun mengirimkan surat kepada adiknya, yaitu Raden Suman yang telah
menjadi raja di Gandaradesa, bergelar Prabu Trigantalpati. Dalam surat tersebut
ia meminta bantuan sang adik agar mengusahakan suaminya, atau mungkin keturunannya
kelak supaya bisa menjadi raja Hastina. Jika tidak, maka Dewi Gendari merasa
lebih baik mati saja.
Prabu Trigantalpati sejak
kecil sangat menyayangi kakaknya itu. Setelah membaca surat tersebut, ia pun
mengolah akal bagaimana caranya untuk bisa menetap di Kerajaan Hastina, agar
bisa menyingkirkan Prabu Pandu dan keturunannya. Prabu Trigantalpati lalu
mengirim surat kepada seorang raja bernama Prabu Suwelaraja di Kerajaan
Surasrata. Surat tersebut ditulisnya sendiri, namun seolah-olah ditulis oleh
Dewi Kunti.
PRABU SUWELARAJA MENYERANG KERAJAAN HASTINA
Prabu Suwelaraja di Kerajaan
Surasrata dulu ikut melamar Dewi Kunti di Kerajaan Mandura, namun ia tidak
terpilih dan juga kalah dalam pertarungan melawan Raden Narasoma. Hari itu
ketika sedang duduk sendirian, tiba-tiba datang seorang dayang yang mengaku
diutus Dewi Kunti dari Kerajaan Hastina untuk menyampaikan surat. Prabu
Suwelaraja menerima surat itu dan membaca isinya dengan penasaran. Surat
tersebut berisi kekecewaan Dewi Kunti menjadi istri Prabu Pandu di Hastina,
padahal sebenarnya ia ingin menjadi istri Prabu Suwelaraja. Dewi Kunti juga
menyesal mengapa dulu tidak memilih Prabu Suwelaraja dalam sayembara, sehingga
akhirnya kini jatuh ke tangan Prabu Pandu yang tidak disukainya. Surat tersebut
ditutup pula dengan permintaan Dewi Kunti agar Prabu Suwelaraja merebutnya dari
tangan Prabu Pandu, atau ia memilih bunuh diri saja.
Prabu Suwelaraja tergetar
perasaannya setelah membaca surat tersebut. Ia tidak menyadari bahwa surat itu sesungguhnya
palsu belaka dan merupakan tulisan Prabu Trigantalpati. Dayang yang membawa
surat itu juga bukan orang Hastina, melainkan orang Gandaradesa. Namun, Prabu
Suwelaraja terlanjur percaya dan tanpa pikir panjang, ia pun berangkat menyerang
Kerajaan Hastina dengan membawa pasukan besar.
PRABU TRIGANTALPATI MENGABDI KE HASTINA
Prabu Pandu di Kerajaan
Hastina terkejut karena tiba-tiba negerinya diserang Prabu Suwelaraja dari
Kerajaan Surasrata. Pertempuran sengit pun terjadi. Pada saat itulah tiba-tiba
datang Prabu Trigantalpati bersama kedua adiknya, yaitu Raden Anggajaksa dan
Raden Sarabasanta. Mereka membawa pasukan Gandaradesa yang langsung bergabung
dengan pihak Hastina untuk menghancurkan pasukan Surasrata.
Demikianlah, Prabu
Trigantalpati berhasil mengadu domba Kerajaan Hastina dengan Surasrata,
kemudian ia tampil sebagai pahlawan. Dalam perang tersebut, ia dan kedua
adiknya berhasil membunuh Prabu Suwelaraja dan menghadapkan mayatnya kepada
Prabu Pandu.
Prabu Pandu berterima kasih
atas bantuan pihak Gandaradesa, sehingga keadaan Hastina kini menjadi aman
kembali. Ia pun berniat memberikan hadiah kepada Prabu Trigantalpati atas
jasa-jasanya tersebut. Namun, Prabu Trigantalpati meminta hadiah yang aneh,
yaitu ia ingin diterima mengabdi sebagai punggawa di Kerajaan Hastina. Ia
mengaku tidak bisa jauh dari kakaknya, yaitu Dewi Gendari, yang kini menjadi
istri Adipati Dretarastra. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam suka dan
duka, sehingga Prabu Trigantalpati merasa tidak bisa hidup jika tidak melihat
Dewi Gendari setiap hari.
Prabu Pandu terkesan melihat
kesetiaan Prabu Trigantalpati kepada Dewi Gendari. Sebaliknya, Raden Yamawidura
merasa curiga. Sungguh aneh jika Prabu Trigantalpati yang sudah menjadi raja di
Gandaradesa tiba-tiba ingin meninggalkan takhta dan memilih menjadi punggawa di
Hastina. Raden Yamawidura pun meminta Prabu Pandu agar lebih bijak dalam
bersikap dan tidak buru-buru mengabulkan permintaan Prabu Trigantalpati yang
aneh tersebut.
Prabu Trigantalpati tidak mau
kalah. Ia pun menangis di hadapan Prabu Pandu dan mengatakan bahwa bisa berada
di dekat Dewi Gendari adalah kebahagiaan paling besar dalam hidupnya. Baginya,
duduk di atas takhta Gandaradesa tidak ada artinya jika hidupnya jauh dari sang
kakak.
Adipati Dretarastra yang hadir
di tempat itu pun menjelaskan bahwa setiap hari istrinya selalu bercerita
tentang Prabu Trigantalpati. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama dan saling
menyayangi sehingga tidak bisa hidup berjauhan satu sama lain. Maka, Adipati
Dretarastra pun berlawanan pendapat dengan Raden Yamawidura. Ia meminta agar
Prabu Pandu mengabulkan keinginan Prabu Trigantalpati menjadi punggawa Kerajaan
Hastina.
Prabu Pandu akhirnya menerima
saran dari kakaknya. Ia pun menerima Prabu Trigantalpati sebagai punggawa di
Kerajaan Hastina. Tidak hanya itu, ia juga memberikan sebidang tanah di daerah Plasajenar
sebagai tempat tinggal Prabu Trigantalpati. Adapun letak Plasajenar berdekatan
dengan kota lama Gajahoya, tempat tinggal Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari,
sehingga Prabu Trigantalpati bisa setiap saat bertemu dengan kakaknya tersebut.
Prabu Trigantalpati sangat
berterima kasih. Ia pun mengangkat kedua adiknya sebagai raja wakil di
Gandaradesa, dengan gelar Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta. Prabu
Trigantalpati sendiri mulai saat itu tinggal di Plasajenar sebagai punggawa
Kerajaan Hastina, dan ia kembali memakai nama lama, yaitu Arya Suman.
Sementara itu, Raden
Yamawidura merasa kecewa dalam hati. Namun, karena Prabu Pandu sudah memutuskan
demikian, ia tidak kuasa menentang lagi. Dalam hatinya muncul firasat bahwa
Arya Suman kelak akan menjadi sumber kekacauan di Kerajaan Hastina.
PRABU PANDU MELINDUNGI PELARIAN DARI MALAKA
Pada suatu hari Prabu Pandu
pergi bertamasya bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim mengunjungi hutan wisata
Pramuwana yang dulu dibangun oleh Prabu Kresna Dwipayana (Bagawan Abyasa). Yang
ikut bersama mereka adalah Arya Banduwangka dengan membawa sedikit prajurit
serta para panakawan.
Di tengah jalan, Prabu Pandu
bertemu seorang laki-laki berpakaian compang-camping yang mengaku bernama
Nakoda Darwa. Laki-laki itu mengaku baru saja mendapatkan musibah bertubi-tubi.
Prabu Pandu merasa kasihan dan memberinya makan. Namun, Nakoda Darwa tidak
selera karena ia sedang bersedih hati setelah kehilangan anak gadisnya.
Nakoda Darwa bercerita bahwa
dirinya berasal dari Kerajaan Malaka di tanah seberang. Pada suatu hari ia
memergoki istrinya berselingkuh dengan Raden Sadrasa, putra raja Malaka. Nakoda
Darwa pun mengamuk dan berkelahi dengan Raden Sadrasa. Dalam perkelahian itu,
Raden Sadrasa tewas, sedangkan istri Nakoda Darwa bunuh diri karena malu.
Prabu Dasarna raja Malaka
sangat marah mendengar putranya tewas. Ia pun memerintahkan agar Nakoda Darwa
dihukum mati atas dosa-dosanya. Nakoda Darwa ketakutan dan ia pun melarikan
diri bersama putrinya yang bernama Rara Dremi ke Tanah Jawa.
Akan tetapi, sesampainya di
Tanah Jawa, Nakoda Darwa justru mendapatkan musibah. Anak gadisnya tiba-tiba
hilang karena diculik oleh seorang pendeta bernama Resi Kindama. Kini Nakoda
Darwa terlunta-lunta seorang diri dengan keadaan memprihatinkan. Di satu sisi
ia dikejar-kejar pasukan Malaka, dan di sisi lain ia bingung mencari keberadaan
Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat kasihan
melihat keadaan Nakoda Darwa. Ia pun berjanji akan melindungi laki-laki itu dan
siap membantu mencari anak gadisnya sampai ketemu.
NAKODA DARWA MENINGGAL DUNIA
Tidak lama kemudian, datang
pula pasukan Malaka yang dipimpin seorang punggawa bernama Arya Wirawangsa.
Kedatangan mereka adalah untuk menangkap Nakoda Darwa dan membawanya kembali ke
Kerajaan Malaka. Prabu Pandu menjelaskan bahwa Nakoda Darwa kini berada dalam
perlindungan Kerajaan Hastina. Lagipula, Nakoda Darwa membunuh pangeran Malaka
itu karena istrinya diselingkuhi Raden Sadrasa, bukan karena sengaja ingin
membunuh.
Arya Wirawangsa tidak peduli.
Ia pun mengancam Prabu Pandu akan merebut Nakoda Darwa secara paksa, dan bila
perlu melalui pertempuran. Arya Banduwangka marah mendengarnya dan segera
tampil melindungi rajanya. Maka, sekejap kemudian terjadilah pertempuran antara
para prajurit Hastina melawan pihak Malaka.
Dalam pertempuran itu, Arya
Banduwangka berhasil meringkus Arya Wirawangsa dan menghadapkannya kepada Prabu
Pandu. Akan tetapi, Prabu Pandu sendiri sangat terkejut melihat Nakoda Darwa
duduk diam di atas batu tanpa bergerak lagi. Ternyata laki-laki itu sudah
meninggal dunia. Rupanya selama ini Nakoda Darwa berjuang melawan penderitaan
batin karena istrinya berselingkuh dan putrinya hilang diculik orang. Maka,
begitu mendengar Prabu Pandu berjanji akan melindunginya dan juga siap membantu
mencari Rara Dremi sampai ketemu, seketika Nakoda Darwa merasa lega dan
nyawanya pun terlepas dengan tenang.
Karena Nakoda Darwa telah
meninggal, Prabu Pandu pun menyuruh Arya Banduwangka membebaskan Arya
Wirawangsa. Prabu Pandu lalu menulis surat kepada Prabu Dasarna di Malaka agar
peristiwa ini tidak perlu diperpanjang. Ia pun meminta agar Kerajaan Malaka dan
Kerajaan Hastina menjalin persahabatan.
Prabu Pandu lalu menitipkan
surat tersebut kepada Arya Wirawangsa dan juga memberikan sejumlah uang dan
makanan kepadanya sebagai bekal perjalanan pulang ke Malaka. Arya Wirawangsa
berterima kasih dan segera mohon pamit meninggalkan tempat itu bersama seluruh
pasukannya.
PRABU PANDU MEMANAH DUA EKOR KIJANG
Prabu Pandu dan rombongannya
akhirnya sampai di Hutan Pramuwana. Ia lalu pergi berburu bersama Dewi Kunti
dan Dewi Madrim, sedangkan Arya Banduwangka dan para panakawan mengawal di
belakang. Tidak lama kemudian, mereka melihat ada sepasang kijang sedang
berkasih-kasihan di balik semak-semak.
Dewi Kunti menyarankan agar
Prabu Pandu mencari sasaran yang lain, karena tidak sebaiknya mengganggu hewan
yang sedang kawin. Sebaliknya, Dewi Madrim meminta sang suami agar memanah
kedua kijang tersebut karena ini sangat menguntungkan. Dalam sekali panah, Prabu
Pandu akan mendapatkan dua kijang sekaligus.
Prabu Pandu sebenarnya tidak
tega. Namun, karena Dewi Madrim merengek terus-menerus, Prabu Pandu pun
melepaskan panahnya. Seketika panah tersebut melesat dan menembus kedua kijang dalam
sekaligus. Sungguh ajaib, kedua kijang itu berubah menjadi sepasang manusia,
laki-laki dan perempuan.
Prabu Pandu terkejut gugup dan
segera mendatangi pasangan itu yang sekarat terkena panahnya. Yang perempuan
akhirnya meninggal lebih dulu. Yang laki-laki merintih kesakitan, mengaku bernama
Resi Kindama. Ia merasa ini adalah hukun karma karena dirinya telah menculik
Rara Dremi, putri Nakoda Darwa. Pada mulanya Rara Dremi tidak mau mengikuti
Resi Kindama. Namun, gadis tersebut akhirnya menurut setelah terkena Aji
Pengasihan yang dikerahkan sang pendeta. Karena takut ketahuan Nakoda Darwa,
maka Resi Kindama pun mengubah wujudnya menjadi kijang jantan, serta mengubah
wujud Rara Dremi menjadi kijang betina. Keduanya lalu berzinah dalam wujud
hewan tersebut. Tak disangka, tiba-tiba Prabu Pandu datang dan memanah mereka
berdua.
Prabu Pandu menyesal telah
berbuat ceroboh. Ia pun meminta maaf dan menawarkan pengobatan untuk luka Resi
Kindama. Namun, Resi Kindama menolak tegas. Ia merasa tidak ingin hidup lagi
setelah kekasihnya tewas. Pendeta itu pun mengutuk Prabu Pandu kelak akan
kehilangan kesaktiannya jika bersetubuh dengan istrinya. Setelah mengutuk
demikian, Resi Kindama lalu tewas menyusul Rara Dremi.
Prabu Pandu sangat menyesal.
Ia pun menguburkan kedua jasad tersebut, kemudian mengajak rombongan kembali ke
Kerajaan Hastina.
PRABU PANDU PERGI BERTAPA DI GUNUNG SAPTAARGA
Sesampainya di istana, Prabu
Pandu segera menceritakan peristiwa yang dialaminya kepada Resiwara Bisma,
Adipati Dretarastra, dan Raden Yamawidura. Dalam pertemuan itu Prabu Pandu
menyampaikan niatnya untuk bertapa menebus dosa dan menyerahkan takhta Kerajaan
Hastina kepada Adipati Dretarastra selama kepergiannya.
Resiwara Bisma berusaha
menghibur keponakannya itu, bahwa ini semua bukan salah Prabu Pandu.
Bagaimanapun juga Resi Kindama telah berdosa karena menculik Rara Dremi putri
Nakoda Darwa, sehingga ia mendapatkan karma melalui panah Prabu Pandu. Oleh
sebab itu, Prabu Pandu tidak perlu bertapa menebus dosa, karena ia hanyalah
menjadi sarana dewata untuk menghukum pendeta jahat tersebut.
Namun, Prabu Pandu tidak
setuju. Meskipun Resi Kindama berdosa telah menculik Rara Dremi, namun gadis
tersebut juga ikut mati terkena panah. Prabu Pandu tetap merasa bersalah karena
ia sendiri telah berjanji kepada mendiang Nakoda Darwa untuk mencari dan
menemukan putrinya. Sungguh sayang, Rara Dremi sendiri justru tewas di tangan
Prabu Pandu.
Kini, Prabu Pandu telah
membulatkan tekadnya untuk hidup menyepi di Gunung Saptaarga. Resiwara Bisma
akhirnya mengizinkan, namun ia memberi saran agar pertapaan tersebut dilaksanakan
selama tiga tahun saja. Kelak setelah tiga tahun, Prabu Pandu harus kembali
untuk memimpin Kerajaan Hastina. Prabu Pandu mematuhi. Ia kemudian menyerahkan
takhta Hastina kepada Adipati Dretarastra sebagai raja wakil selama
kepergiannya.
Demikianlah, Prabu Pandu pun
berangkat menuju Gunung Saptaarga untuk memulai hidup menyepi di sana. Kedua
istrinya, yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim memohon untuk ikut serta. Mereka
tidak mau ditinggal di istana karena sebagai istri, mereka merasa wajib untuk
mendampingi suami dalam suka maupun duka. Tidak hanya mereka berdua, para
panakawan pun ikut pula menemani kepergian Prabu Pandu menuju ke tempat
pertapaan.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
Cerita yang sangat mengesankan.
BalasHapusmau terus mengikuti serial selanjutnya
Matur nuwun... semoga lancar lanjutannya.
BalasHapus