Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Narasoma dengan Dewi Setyawati
atau Endang Pujawati, putri Bagawan Bagaspati, yang dilanjutkan dengan
kelahiran Raden Karna Basusena, putra Batara Surya yang lahir dari Dewi Kunti.
Kisah ditutup dengan kemenangan Raden Pandu memboyong tiga orang putri
sekaligus, yaitu Dewi Kunti, Dewi Madrim, dan Dewi Gendari. Mereka bertiga
kelak akan melahirkan para Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan sinetron
Karmapala karya Imam Tantowi, serta penjelasan dari Ki Manteb Soedharsono dalam
acara Sarasehan Budaya.
Kediri, 28 April 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
PRABU MANDRAPATI MENGUSIR RADEN NARASOMA
Prabu Mandrapati Naradenta atau
Prabu Artayana di Kerajaan Mandraka sedang memimpin pertemuan, dihadap putra
mahkota Raden Narasoma, serta para menteri dan punggawa, antara lain Patih
Tuhayana dan Arya Tuhayata. Dalam pertemuan tersebut Prabu Mandrapati
mengutarakan niatnya untuk menyerahkan takhta kepada Raden Narasoma. Namun sebelum
itu, Raden Narasoma harus menikah lebih dulu, karena sudah menjadi tradisi
bahwa seorang raja hendaknya memiliki permaisuri sebagai “tetimbangan”.
Akan tetapi, Raden Narasoma
menolak permintaan ayahnya. Ia tidak ingin dijodohkan dengan sembarang
perempuan, karena cita-citanya adalah menikah dengan bidadari, atau
sekurang-kurangnya putri seorang bidadari. Prabu Mandrapati marah melihat sikap
angkuh Raden Narasoma yang berkeinginan muluk-muluk. Ia pun mengusir putra
sulungnya itu dan melarangnya pulang apabila tidak dapat mewujudkan
keinginannya.
Raden Narasoma bergegas pergi
meninggalkan istana Mandraka. Patih Tuhayana berusaha menyabarkan Prabu
Mandrapati. Namun, Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa dirinya mengusir Raden
Narasoma bukan karena benci, tetapi untuk memberikan pelajaran hidup kepada
putranya itu. Setelah tiada yang perlu dibicarakan lagi, Prabu Mandrapati pun membubarkan
pertemuan.
RADEN NARASOMA BERTEMU RADEN PANDU
Raden Narasoma sudah berjalan
jauh meninggalkan istana. Di tengah jalan ia bertemu rombongan Prabu Sudarma
dari Kerajaan Trigarta yang berniat pergi ke Kerajaan Mandraka untuk melamar
Dewi Madrim. Mendengar itu, Raden Narasoma marah-marah tidak setuju apabila adiknya
diperistri Prabu Sudarma. Dasar watak Raden Narasoma yang angkuh membuat Prabu
Sudarma tersinggung. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.
Raden Narasoma lama-lama
terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Sungguh beruntung, Raden Pandu
dan para panakawan kebetulan lewat di tempat itu. Melihat Raden Narasoma dalam
bahaya, Raden Pandu segera membantu. Ia mengerahkan ilmu Angin Garuda, membuat Prabu
Sudarma beserta seluruh pasukannya terlempar jauh entah ke mana.
Raden Narasoma dan Raden Pandu
sudah saling kenal sejak sama-sama mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan
Pancala dulu. Raden Narasoma bercerita bahwa perselisihannya dengan Prabu Sudarma
adalah karena ia tidak rela jika raja Trigarta tersebut menjadi suami adiknya.
Ia lebih suka jika Dewi Madrim menjadi istri Raden Pandu agar hubungan
kekerabatan antara sesama keturunan Resi Manumanasa dapat lebih akrab. Raden
Pandu mengaku tidak berani karena ia belum mendapatkan perintah dari ayahnya
(Prabu Kresna Dwipayana) untuk menikah.
Dalam pertemuan kali ini,
Raden Narasoma kagum melihat kesaktian Raden Pandu. Ia pun berniat untuk
mencari guru yang bisa mengajarkan ilmu kesaktian tingkat tinggi kepadanya.
Sebagai calon raja Mandraka, tentunya ia sangat membutuhkan ilmu andalan demi melindungi
negerinya. Raden Pandu mendukung niat Raden Narasoma tersebut. Ia bahkan
mempersilakan para panakawan untuk mendampingi Raden Narasoma selama berkelana
mencari guru. Ia menjelaskan bahwa Kyai Semar bukan sekadar pengasuh, tetapi merupakan
kakak ipar Resi Manumanasa yang memiliki pengalaman luas serta kebijaksanaan
luar biasa. Sudah tentu nasihat-nasihatnya akan sangat berguna bagi Raden
Narasoma.
Raden Narasoma sangat
berterima kasih. Ia pun berpamitan kepada Raden Pandu kemudian berangkat
bersama Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong mencari pengalaman hidup.
RADEN NARASOMA BERTEMU RESI BAGASPATI
Dalam perjalanannya itu, Raden
Narasoma dan para panakawan berjumpa seorang pendeta raksasa berwajah
menyeramkan. Pendeta raksasa itu bernama Resi Bagaspati dari Padepokan
Argabelah, yang terlihat sangat gembira begitu mengetahui kalau pemuda yang
ditemuinya bernama Raden Narasoma. Ia mengaku memiliki seorang putri yang tadi
malam bermimpi menjadi istri pemuda tampan bernama Raden Narasoma. Oleh sebab itu,
Resi Bagaspati pun mengajak Raden Narasoma pergi ke padepokannya untuk menikah
dengan putrinya tersebut.
Raden Narasoma ngeri melihat wujud
Resi Bagaspati sehingga langsung menolak ajakannya. Ia yakin anak perempuan seorang
pendeta raksasa pasti berwajah buruk seperti ayahnya. Resi Bagaspati terpaksa
menggunakan kekerasan untuk memaksa Raden Narasoma. Maka, terjadilah
pertarungan di antara mereka. Dengan mudah, Resi Bagaspati dapat meringkus
Raden Narasoma dan membawanya pergi menuju Padepokan Argabelah. Raden Narasoma
berteriak-teriak meminta tolong kepada Kyai Semar dan anak-anaknya. Tetapi Kyai
Semar justru menyarankan agar Raden Narasoma menurut saja, karena ia mendapat
firasat bahwa pendeta raksasa inilah yang akan menjadi sarana baginya untuk
mewujudkan cita-cita.
Sesampainya di padepokan,
Raden Narasoma sangat terkejut melihat anak perempuan Resi Bagaspati ternyata
berparas cantik jelita, bernama Endang Pujawati. Seketika ia pun jatuh cinta
kepada gadis tersebut. Namun sayangnya, ia sudah terlanjur bersumpah untuk
tidak akan menikah, kecuali dengan bidadari, atau anak seorang bidadari.
RADEN NARASOMA MENIKAH DENGAN ENDANG PUJAWATI
Resi Bagaspati pun bercerita kepada
Raden Narasoma. Pada mulanya, ia memiliki istri seorang bidadari bernama Batari
Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Adapun Batara Darmastuti adalah kakak tiri
Batara Guru (yaitu sama-sama putra Sanghyang Tunggal, tetapi beda ibu. Batara
Darmastuti lahir dari Dewi Darmani, sedangkan Batara Guru lahir dari Dewi
Rekatawati). Dari perkawinan antara Resi Bagaspati dan Dewi Pudyastuti tersebut
lahirlah Dewi Pujawati. Resi Bagaspati juga memiliki kakak bernama Prabu
Bagaskara yang menjadi raja di Nusabelah. Prabu Bagaskara ini menikah pula
dengan bidadari bernama Batari Satapi, putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu
lahir seorang putri berparas raksasa, bernama Dewi Tapayati.
Setelah Batari Satapi dan
Batari Pudyastuti kembali ke kahyangan, Dewi Tapayati merengek minta dicarikan ibu
baru. Prabu Bagaskara lalu bermimpi bertemu Dewi Trilaksmi, istri Prabu
Gandabayu raja Pancala. Ia pun berangkat melamar wanita itu sebagai istri
barunya. Namun, ketika menyerang Kerajaan Pancala, Prabu Bagaskara tewas di
tangan Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan Resi Bagaspati
dikalahkan sekutu Kerajaan Pancala, yang bernama Prabu Mandrapati raja
Mandraka. Resi Bagaspati lalu bertobat dan membangun pertapaan di Padepokan
Argabelah. Dewi Pujawati juga ikut serta tinggal di padepokan, dan diganti
namanya menjadi Endang Pujawati. Adapun Dewi Tapayati menghilang entah ke mana,
sepertinya dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa.
Raden Narasoma teringat
dirinya memang ikut mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala.
Namun, saat itu ia tidak ikut berperang sehingga tidak mengenal Resi Bagaspati
yang kini berada di hadapannya.
Setelah mendengar semuanya,
Raden Narasoma pun bersedia menikahi Endang Pujawati yang merupakan putri
seorang bidadari. Resi Bagaspati sangat senang dan ia segera menggelar upacara
pernikahan antara Raden Narasoma dengan Endang Pujawati, dengan disaksikan para
panakawan.
RESI BAGASPATI MENINGGAL DUNIA
Beberapa hari kemudian, Resi
Bagaspati memanggil Raden Narasoma dan Endang Pujawati untuk menghadap. Resi
Bagaspati bertanya apakah Endang Pujawati bersedia mendampingi Raden Narasoma
meski harus kehilangan orang tua? Endang Pujawati menjawab dirinya bersedia mendampingi
suami, tetapi juga merasa berat jika harus berpisah dengan orang tua. Resi
Bagaspati menerima jawaban tersebut, dan menyuruh Endang Pujawati untuk menunggu
di luar.
Resi Bagaspati lalu berbicara
empat mata dengan Raden Narasoma. Ia meminta agar Raden Narasoma menjaga Endang
Pujawati dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah menyakiti putrinya itu. Raden
Narasoma bersedia dan ia pun bersumpah seumur hidup hanya memiliki seorang
istri saja.
Resi Bagaspati lalu bercerita
bahwa dirinya memiliki ilmu kesaktian bernama Aji Candabirawa yang akan
diwariskan kepada Raden Narasoma. Dengan ilmu ini, Raden Narasoma dapat
mengeluarkan seorang raksasa kerdil ganas dari jarinya, yang jika dilukai
justru akan bertambah banyak jumlahnya. Raden Narasoma pernah mendapat cerita
dari ayahnya tentang kedahsyatan ilmu ini, sehingga ia pun menyatakan bersedia
menerimanya.
Resi Bagaspati lalu
mengajarkan mantra ilmu tersebut kepada Raden Narasoma. Mereka lalu
bersama-sama mengheningkan cipta, dan Aji Candabirawa pun berpindah dari dalam
tubuh Resi Bagaspati ke dalam tubuh Raden Narasoma.
Resi Bagaspati merasa lega. Ia
menjelaskan bahwa sudah tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana karena semua
kewajibannya telah terpenuhi. Selama memiliki Aji Candabirawa, Resi Bagaspati
tidak akan bisa mati. Ia lalu menyerahkan sebilah keris kepada Raden Narasoma
agar digunakan untuk menusuk sikunya. Karena, hanya dengan cara demikian Resi
Bagaspati bisa melepaskan nyawanya.
Raden Narasoma menerima keris
tersebut namun tidak tega menggunakannya untuk menusuk sang mertua. Resi Bagaspati
memaksa Raden Narasoma melakukannya, karena selama dirinya masih hidup, Endang
Pujawati tidak akan mau meninggalkan Padepokan Argabelah untuk tinggal di
Kerajaan Mandraka. Resi Bagaspati merasa dirinya hanya menjadi penghalang bagi kebahagiaan
putrinya. Raden Narasoma tetap tidak tega. Ia justru mengajak sang mertua untuk
bersama-sama tinggal di istana Mandraka.
Resi Bagaspati menolak ajakan
tersebut. Ia pun menyerang Raden Narasoma untuk memaksa menantunya itu. Raden
Narasoma terdesak dan seketika menusukkan keris di tangannya sambil memejakan
mata. Keris tersebut tepat menancap di siku Resi Bagaspati. Darah berwarna
putih pun memancar keluar, bersamaan dengan robohnya Resi Bagaspati kehilangan
nyawa.
Endang Pujawati yang mendengar
suara ribut segera masuk ke dalam. Ia sangat terkejut melihat sang ayah telah
tewas di tangan suaminya. Raden Narasoma pun menceritakan semua kejadian apa
adanya. Tidak lama kemudian, roh Resi Bagaspati menampakkan diri di angkasa. Ia
berterima kasih atas kesediaan Raden Narasoma mengantarkannya memasuki gerbang
kematian. Ia juga berpesan agar Endang Pujawati selalu patuh kepada sang suami.
Raden Narasoma merasa berduka
kehilangan mertua yang sangat ia hormati. Ia berharap kelak saat kematiannya
tiba, semoga arwah Resi Bagaspati yang datang menjemputnya. Resi Bagaspati
bersedia. Ia berpesan kelak akan ada seorang raja berdarah putih yang menjadi
penyebab kematian Raden Narasoma. Saat peristiwa itu terjadi, Resi Bagaspati
akan datang menjemput roh sang menantu tercinta. Setelah berkata demikian, arwah
Resi Bagaspati pun musnah dari pandangan.
Raden Narasoma lalu bertanya
kepada Endang Pujawati apakah masih mau menjadi istrinya setelah peristiwa ini.
Endang Pujawati menjawab bersedia mendampingi Raden Narasoma seumur hidup, karena
sekarang ia tahu bahwa sang ayah meninggal atas kemauan sendiri, bukan karena
dibunuh oleh suaminya. Raden Narasoma senang mendengarnya. Ia merasa bangga
atas kesetiaan Endang Pujawati, dan mengganti nama istrinya itu menjadi Dewi
Setyawati.
PRABU MANDRAPATI KEMBALI MENGUSIR RADEN NARASOMA
Raden Narasoma dan Dewi
Setyawati telah pulang ke Kerajaan Mandraka, sedangkan para panakawan pulang ke
Kerajaan Hastina. Prabu Mandrapati menyambut kedatangan putra dan menantunya
itu dengan perasaan bahagia. Hubungan antara ayah dan anak tersebut menjadi
baik kembali, apalagi Raden Narasoma telah berhasil mewujudkan sumpahnya, yaitu
menikah dengan anak seorang bidadari.
Akan tetapi, Prabu Mandrapati
sangat marah begitu mengetahui Raden Narasoma telah membunuh Resi Bagaspati,
mertuanya sendiri. Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa Resi Bagaspati telah
menjadi sahabatnya. Raden Narasoma pun dituduh sebagai anak durhaka dan diusir
pergi dari istana Mandraka.
Putri bungsu Prabu Mandrapati,
yaitu Dewi Madrim masih rindu kepada kakaknya. Begitu Raden Narasoma diusir
untuk yang kedua kalinya, ia pun ikut pergi meninggalkan istana. Ketika Dewi
Setyawati hendak menyusul mereka, tiba-tiba Prabu Mandrapati jatuh pingsan
karena terlalu sedih. Dewi Setyawati pun berhenti dan segera merawat mertuanya
itu.
DEWI KUNTI HAMIL SEBELUM NIKAH
Sementara itu di Kerajaan
Mandura, Prabu Kuntiboja telah memiliki empat orang anak yang lahir dari
istrinya, yaitu Dewi Bandondari (putri mendiang Prabu Santanu raja Hastina). Keempat
anak tersebut bernama Raden Basudewa, Dewi Kunti, Raden Rukma, dan Raden
Ugrasena. Sang pangeran mahkota Raden Basudewa telah memiliki seorang istri
bernama Dewi Mahirah tetapi belum dikaruniai putra, sedangkan Dewi Kunti saat
ini telah beranjak dewasa dan ia dilamar oleh banyak raja serta pangeran dari
berbagai negeri.
Prabu Kuntiboja memutuskan
untuk mengadakan sayembara pilih, yaitu biarlah Dewi Kunti sendiri yang
menentukan pilihan dengan cara mengalungkan untaian bunga ke leher si pelamar
yang ia kehendaki. Akan tetapi, sudah empat bulan lamanya Dewi Kunti mengurung
diri di dalam kaputren dan tidak pernah menghadap ayah atau ibunya. Prabu Kuntiboja
merasa curiga jangan-jangan terjadi hal buruk pada putrinya itu. Maka, ia pun
mengutus Raden Basudewa untuk menengok dan memastikan keadaan Dewi Kunti di dalam
kaputren.
Raden Basudewa segera berangkat
memasuki kaputren, di mana Dewi Kunti mengurung diri di dalam kamar. Raden
Basudewa meminta izin masuk kamar tetapi ditolak oleh Dewi Kunti dengan alasan
dirinya sedang menjalani tapa ngebleng atas perintah gurunya yang bernama Resi
Druwasa. Raden Basudewa semakin curiga dan ia pun mendobrak pintu kamar
kaputren. Betapa terkejut ia melihat adiknya itu memegangi perut yang tampak
mengembang, pertanda Dewi Kunti sedang hamil.
Raden Basudewa marah-marah
menuduh Dewi Kunti telah berbuat zina. Ia pun memaksa adiknya itu agar menyebutkan
laki-laki mana yang telah menghamilinya. Namun, Dewi Kunti hanya menangis tanpa
menjawab sedikit pun. Raden Basudewa menaruh curiga kepada Resi Druwasa, guru
Dewi Kunti. Ia pun berniat hendak mencari dan menghukum pendeta tua tersebut.
LAHIRNYA RADEN KARNA BASUSENA
Mendengar gurunya disalahkan,
Dewi Kunti menjelaskan bahwa kehamilannya ini bukan disebabkan oleh Resi
Druwasa. Untuk lebih jelasnya, Dewi Kunti mengerahkan Aji Pameling untuk
mengundang kehadiran Resi Druwasa. Seketika Resi Druwasa pun muncul di dalam
kaputren tersebut.
Resi Druwasa ini tidak lain
adalah putra Resi Dwapara (keponakan Resi Manumanasa). Meskipun usianya sudah
sangat tua, tetapi karena ilmunya tinggi ia masih mampu berkelana menjelajahi
banyak negeri. Kini ia singgah di Kerajaan Mandura dan menjadi guru bagi Dewi
Kunti.
Resi Druwasa mengaku telah
mengajarkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan kepada Dewi
Kunti. Kegunaan ajian ini adalah untuk memanggil dewa supaya memberikan
pertolongan. Pada suatu pagi saat matahari terbit, Dewi Kunti sedang mandi sambil
menghafalkan mantra ajian tersebut dengan menyebut nama Batara Surya. Seketika
Batara Surya pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi
Kunti merasa malu dan mengaku dirinya hanya mencoba-coba ilmu tersebut tanpa
ada keperluan apa pun.
Batara Surya marah merasa
dipermainkan. Namun, kemarahannya berubah menjadi nafsu birahi karena melihat lekuk
tubuh Dewi Kunti yang hanya tertutup kain basahan. Ia pun mengerahkan Aji
Asmaracipta, sehingga dapat bersenggama dengan Dewi Kunti tanpa harus menyentuh
tubuhnya. Meskipun tanpa bersentuhan, namun Dewi Kunti tetap saja bisa
mengandung putra Batara Surya, hasil dari hubungan tersebut.
Raden Basudewa menanyakan
kebenaran cerita itu kepada Dewi Kunti. Dengan sangat malu dan sambil menangis,
Dewi Kunti mengiyakan. Kini, ia telah hamil empat bulan padahal sebentar lagi
akan diadakan sayembara pilih untuknya. Raden Basudewa merasa peristiwa ini adalah
aib besar bagi Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun dimintai tolong untuk
mencarikan jalan keluar bagi masalah ini.
Pendeta tua itu segera
mengheningkan cipta dan tangannya menyentuh perut Dewi Kunti. Secara
berangsur-angsur kandungan Dewi Kunti bertambah besar. Hanya dalam beberapa
menit saja, kandungan tersebut menjadi matang dan siap dilahirkan. Tidak lama
kemudian Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa merasakan sakit
sama sekali. Sungguh ajaib, bayi laki-laki itu keluar dari kandungan dengan
memakai anting-anting dan baju zirah bergambar matahari.
Raden Basudewa sangat berterima
kasih atas bantuan Resi Druwasa. Demi untuk menyembunyikan aib yang telah
dialami adiknya, Raden Basudewa bersedia menjadi ayah angkat bagi bayi
tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri. Raden Basudewa pun memberi
nama bayi itu, Raden Basusena.
Dewi Kunti sebenarnya sangat
sayang kepada putranya yang tampan itu. Namun, demi menjaga nama baik Kerajaan
Mandura, maka ia pun merelakan bayinya diambil oleh Raden Basudewa. Sebagai
kenang-kenangan, Dewi Kunti memberikan nama panggilan untuk bayinya, yaitu
Raden Karna, yang bermakna “telinga”. Ini sebagai pengingat bahwa putranya itu
sejak dilahirkan sudah memakai anting-anting di kedua telinganya.
RESI DRUWASA MEMBAWA BAYI KARNA BASUSENA
Tiba-tiba Batara Surya turun
dari kahyangan dan mendarat di dalam kaputren tersebut. Ia meminta maaf kepada
Raden Basudewa karena telah terbawa nafsu birahi dan membuat Dewi Kunti hamil
di luar nikah. Dengan kesaktiannya, ia pun meruwat Dewi Kunti sehingga kembali menjadi
perawan seperti sediakala.
Mengenai bayi laki-laki hasil
hubungan mereka itu, Batara Surya melarang Raden Basudewa untuk mengasuhnya sebagai
anak angkat, karena Karna Basusena diramalkan kelak akan menjadi pahlawan besar
apabila keluar dari Kerajaan Mandura. Mengenai anting-anting dan baju zirah
yang dipakai si bayi adalah pusaka pemberiannya. Anting-anting tersebut bernama
Suryakundala, sedangkan baju zirah yang melekat di dada si bayi bernama
Suryakawaca. Selama mengenakan kedua pusaka tersebut, tidak ada satu pun
senjata yang dapat melukai Karna Basusena.
Raden Basudewa dan Dewi Kunti
mematuhi keputusan dewata yang menghendaki agar bayi Karna Basusena keluar dari
wilayah Kerajaan Mandura. Dewi Kunti pun menangis berlinang air mata saat
Batara Surya memerintahkan Resi Druwasa untuk membawa bayi tersebut. Batara
Surya kemudian kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Druwasa lenyap dari
pandangan, meninggalkan Kerajaan Mandura.
RESI DRUWASA MENYERAHKAN KARNA BASUSENA KEPADA KYAI ADIRATA
Tersebutlah seorang kusir
kereta bernama Kyai Adirata yang mengabdi di Kerajaan Hastina. Ia tinggal di
Desa Petapralaya bersama istrinya yang bernama Nyai Rada, putri Resi Radi.
Mereka sudah puluhan tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Setiap pagi
pasangan ini selalu berdoa di tepi Sungai Jamuna namun belum juga membuahkan
hasil. Hingga akhirnya, pagi itu Resi Druwasa muncul dengan berjalan di atas
sungai sambil menggendong bayi laki-laki menemui mereka berdua.
Resi Druwasa menyerahkan bayi
laki-laki itu kepada Kyai Adirata dan Nyai Rada, serta menjelaskan bahwa bayi
tersebut adalah putra Batara Surya sebagai jawaban atas doa mereka setiap pagi.
Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bahagia dan merasa mendapatkan kehormatan
luar biasa karena dipercaya untuk mengasuh putra seorang dewa. Setelah dirasa
cukup, Resi Druwasa pun lenyap dari pandangan.
Kyai Adirata dan Nyai Rada
sangat bersyukur karena dewata telah mengabulkan doa mereka. Mereka pun
berjanji akan selalu menyayangi bayi tersebut seperti anak kandung sendiri. Sungguh
ajaib, tiba-tiba payudara Nyai Rada dapat mengeluarkan air susu yang langsung
digunakannya untuk menyusui bayi tampan itu. Karena bayi laki-laki ini adalah putra
Batara Surya, maka Kyai Adirata pun memberinya nama Suryaputra, atau
Suryatmaja. Namun, untuk sehari-harinya bayi tersebut cukup dipanggil Radeya
saja, supaya tidak terlalu mencolok. Nyai Rada setuju. Mereka berdua lalu
pulang ke rumah dengan perasaan bahagia.
RADEN NARASOMA MEMENANGKAN SAYEMBARA PILIH
Hari itu Prabu Kuntiboja di Kerajaan
Mandura mengadakan sayembara pilih untuk Dewi Kunti. Sang putri berdiri di atas
panggung sambil memegang kalung untaian bunga, di mana satu per satu pelamar
mendatanginya. Apabila Dewi Kunti diam saja, maka pelamar tersebut harus mundur
dan digantikan pelamar lain untuk maju ke depan.
Dewi Kunti sendiri pikirannya sedang
melayang membayangkan putranya, yaitu Karna Basusena yang kini entah ada di
mana. Ia berdoa semoga bisa mendapatkan suami yang berasal dari negeri yang
sama dengan tempat di mana putranya itu berada. Satu per satu pelamar maju dan
didiamkan olehnya, hingga akhirnya jumlah pelamar yang tersisa tinggal satu
orang, yaitu Raden Narasoma.
Dewi Kunti merasa tidak punya
pilihan lagi. Meskipun hatinya tidak nyaman melihat sikap Raden Narasoma yang
angkuh, namun demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, terpaksa ia pun memilih
pangeran tersebut sebagai pemenang sayembara. Dewi Kunti lalu turun dari
panggung dan mengalungkan untaian bunga ke leher Raden Narasoma.
Hal ini ternyata mengundang kemarahan
para pelamar lainnya yang merasa disepelekan. Raden Narasoma justru merasa
mendapatkan kesempatan untuk mencoba ilmu barunya. Ia pun menantang semua raja
dan pangeran untuk merebut Dewi Kunti dari tangannya. Para pelamar itu maju
menyerang. Raden Narasoma lalu mengerahkan Aji Candabirawa. Dari ujung jarinya
keluar sesosok raksasa bertubuh kerdil tapi ganas menyeramkan. Raksasa itu
mengamuk menghadapi para penyerang. Para raja dan pangeran pun menusukkan
senjata mereka mengenai raksasa itu. Sungguh ajaib, percikan darah si raksasa
berubah menjadi sejumlah raksasa baru. Demikianlah seterusnya. Setiap si
raksasa mengeluarkan darah, maka darahnya akan langsung berubah menjadi raksasa
baru. Jika awalnya, si raksasa Candabirawa hanya berjumlah seorang, maka kini
jumlahnya menjadi lebih banyak daripada para raja dan pangeran yang menyerang.
Mereka menerjang dan menggigit dengan ganas, membuat para raja dan pangeran itu
banyak yang terluka dan melarikan diri.
RADEN PANDU MENGALAHKAN RADEN NARASOMA
Pada saat itulah Raden Pandu dan
para panakawan datang ke Kerajaan Mandura karena diutus Prabu Kresna Dwipayana
untuk mengikuti sayembara. Mereka terkejut melihat acara sayembara pilih telah
berubah menjadi ajang pertempuran. Raden Narasoma pun menantang Raden Pandu
jika ingin mengikuti sayembara, maka harus dapat merebut Dewi Kunti secara
kesatria.
Raden Pandu menolak dan
merelakan Raden Narasoma sebagai pemenang. Ia memutuskan untuk pulang ke
Hastina saja. Raden Narasoma merasa disepelekan dan ia pun memerintahkan para
raksasa Candabirawa untuk menyerang Raden Pandu.
Raden Pandu dengan lincah
menghadapi serangan para raksasa ganas tersebut. Namun demikian, ia merasa
terdesak karena para raksasa itu jumlahnya bertambah banyak jika dilukai. Melihat
itu, Kyai Semar memberikan nasihat supaya Raden Pandu meletakkan senjata dan
mengheningkan cipta, seperti nasihat Prabu Kresna Dwipayana kepada Prabu
Mandrapati dulu saat berperang melawan Prabu Bagaskara.
Raden Pandu menurut. Ia lalu
membuang senjata dan duduk bersila mengheningkan cipta. Sungguh aneh, dengan
cara tidak melawan justru jumlah para raksasa menjadi berkurang satu demi satu
hingga akhirnya tinggal seorang saja seperti sediakala yang kemudian masuk
kembali ke dalam jari Raden Narasoma. Secepat kilat Raden Pandu melesat dan
menangkap tubuh Raden Narasoma, lalu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad dan
membenamkan tubuh lawannya itu di dalam tanah hingga sebatas dada.
RADEN PANDU MENDAPATKAN DUA ORANG PUTRI
Raden Narasoma mengaku kalah
dan menyadari kesalahannya telah berbuat sombong, merasa dirinya paling hebat.
Raden Pandu lalu mengangkat tubuhnya kembali ke permukaan. Raden Narasoma pun menyerahkan
Dewi Kunti kepada Raden Pandu karena sejak awal dia tahu kalau sang putri memilihnya
karena terpaksa, bukan tulus dari hati. Lagipula Raden Narasoma telah memiliki
istri bernama Dewi Setyawati dan tidak ingin menduakannya. Ia datang ke Mandura
bukan untuk melamar Dewi Kunti, tetapi hanya untuk mencoba keampuhan Aji
Candabirawa saja.
Dewi Kunti mendapatkan firasat
apabila ia menikah dengan Raden Pandu, maka ini akan menjadi sarana baginya
untuk bisa bertemu Karna Basusena. Maka, ia pun memindahkan kalung untaian
bunga dari leher Raden Narasoma ke leher Raden Pandu.
Raden Narasoma teringat saat berkunjung
ke Pancala dulu, antara Raden Pandu dan Dewi Madrim telah terjalin perasaan
saling menyukai. Kebetulan hari itu Dewi Madrim juga ikut menyertainya. Ia pun
menyerahkan adiknya itu kepada Raden Pandu supaya dijadikan sebagai istri
kedua. Raden Pandu dengan senang hati menerimanya, sekaligus untuk mendekatkan
kekeluargaan sesama keturunan Resi Manumanasa.
Tiba-tiba datang Arya Tuhayata
dari Kerajaan Mandraka yang ditugasi Prabu Mandrapati untuk menjemput pulang
Raden Narasoma. Mendengar ayahnya sudah tidak marah lagi, Raden Narasoma merasa
senang dan ia pun mohon pamit kepada Prabu Kuntiboja untuk pulang ke Mandraka.
ROMBONGAN RADEN PANDU DIHADANG RADEN SUMAN
Sementara itu, Prabu Suwala
raja Gandaradesa telah meninggal dunia. Takhta kerajaan pun diwarisi putra
sulungnya yang bergelar Prabu Gendara. Hari itu Prabu Gendara berangkat ke
Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara pilih bersama adik-adiknya, yaitu
Dewi Gendari, Raden Suman, Raden Anggajaksa, dan Raden Sarabasanta.
Dalam perjalanan tersebut,
rombongan Prabu Gendara bertemu Raden Pandu yang sedang menuju Kerajaan Hastina
bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Menyadari dirinya telah terlambat, Prabu
Gendara pun berniat pulang ke Gandaradesa, namun Raden Suman menghasutnya supaya
merebut Dewi Kunti dari tangan Raden Pandu.
Prabu Gendara termakan hasutan
adiknya, dan ia pun menantang Raden Pandu bertarung. Jika dirinya yang menang,
maka Dewi Kunti akan diminta untuk diboyong ke Gandaradesa. Sebaliknya, jika
Raden Pandu yang menang, maka Prabu Gendara akan menyerahkan adiknya yang
bernama Dewi Gendari untuk diboyong ke Kerajaan Hastina. Raden Pandu pun
menerima tantangan tersebut.
Pertarungan dimulai. Hanya
dalam beberapa serangan, Raden Pandu berhasil menewaskan Prabu Gendara. Sebelum
meninggal, Prabu Gendara sempat berpesan kepada adik-adiknya untuk tidak membalas
dendam. Ia telah merelakan kematiannya demi untuk menjadi sarana kebahagiaan
Dewi Gendari.
Dewi Gendari, Raden Suman, dan
yang lain terharu melihat pengorbanan sang kakak. Mereka lalu membagi rombongan
menjadi dua. Dewi Gendari dan Raden Suman mengikuti Raden Pandu pergi ke
Kerajaan Hastina sesuai perjanjian tadi, sedangkan Raden Anggajaksa dan Raden
Sarabasanta membawa pulang jenazah Prabu Gendara.
RADEN DRETARASTRA MEMILIH DEWI GENDARI
Prabu Kresna Dwipayana,
Resiwara Bisma, dan segenap keluarga besar Kerajaan Hastina menyambut
kedatangan Raden Pandu yang berhasil memboyong tiga orang putri sekaligus. Mereka
juga ikut prihatin dan menyampaikan duka cita atas meninggalnya Prabu Gendara.
Raden Pandu berniat
menyerahkan dua orang di antara ketiga putri tersebut kepada kedua saudaranya,
yaitu Raden Dretarastra dan Raden Yamawidura. Raden Dretarastra bersedia
menerima, sedangkan Raden Yamawidura menolak karena ia mengaku telah memiliki
seorang kekasih bernama Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra. Adapun
Adipati Dipacandra adalah pemimpin Kadipaten Pagombakan, yaitu sebuah negeri
kecil bawahan Kerajaan Hastina. Raden Yamawidura berniat menikahi Dewi
Padmarini kelak setelah kedua kakaknya menikah lebih dulu.
Raden Pandu pun mempersilakan
Raden Dretarastra yang lebih tua agar mengambil dua orang putri sekaligus.
Namun, Raden Dretarastra bersedia mengambil satu saja karena Raden Pandu yang
telah bekerja keras memenangkan mereka, sehingga adiknya itu dianggap yang
lebih pantas mendapatkan dua orang istri.
Karena menderita tunanetra,
Raden Dretarastra pun meminta bantuan sang guru, yaitu Resiwara Bisma untuk memilihkan
salah satu putri sebagai istrinya. Resiwara Bisma menyarankan agar Raden
Dretarastra mengambil Dewi Gendari saja, karena usianya lebih tua daripada Dewi
Kunti dan Dewi Madrim. Raden Dretarastra setuju dan Raden Pandu pun menyerahkan
putri dari Gandaradesa tersebut kepada kakaknya.
Dewi Gendari sangat kecewa namun
tidak dapat membantah karena menyadari dirinya hanyalah seorang putri boyongan.
Raden Suman juga kecewa karena sang kakak menjadi istri seorang tunanetra.
Namun, ia berusaha menghibur Dewi Gendari bahwa Raden Dretarastra adalah putra
sulung Prabu Kresna Dwipayana. Kelak, jika Prabu Kresna Dwipayana mengundurkan
diri dan kembali menjadi Resi Abyasa, maka takhta Kerajaan Hastina akan
dipegang oleh Raden Dretarastra sebagai raja yang baru. Itu artinya, Dewi
Gendari akan menjabat sebagai permaisuri kerajaan.
Dewi Gendari merasa sedikit
terhibur. Ia berharap ucapan adiknya itu dapat menjadi kenyataan. Setelah
dirasa cukup, Raden Suman pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Gandaradesa untuk
menerima warisan takhta dari sang kakak sulung yang telah meninggal (Prabu
Gendara). Ia berjanji, meskipun sudah menjadi raja di sana akan tetap
sering-sering mengunjungi Dewi Gendari di Kerajaan Hastina.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar