Kamis, 28 April 2016

Sayembara Kunti


Kisah ini menceritakan perkawinan Raden Narasoma dengan Dewi Setyawati atau Endang Pujawati, putri Bagawan Bagaspati, yang dilanjutkan dengan kelahiran Raden Karna Basusena, putra Batara Surya yang lahir dari Dewi Kunti. Kisah ditutup dengan kemenangan Raden Pandu memboyong tiga orang putri sekaligus, yaitu Dewi Kunti, Dewi Madrim, dan Dewi Gendari. Mereka bertiga kelak akan melahirkan para Pandawa dan Kurawa.

Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan sinetron Karmapala karya Imam Tantowi, serta penjelasan dari Ki Manteb Soedharsono dalam acara Sarasehan Budaya.

Kediri, 28 April 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


PRABU MANDRAPATI MENGUSIR RADEN NARASOMA

Prabu Mandrapati Naradenta atau Prabu Artayana di Kerajaan Mandraka sedang memimpin pertemuan, dihadap putra mahkota Raden Narasoma, serta para menteri dan punggawa, antara lain Patih Tuhayana dan Arya Tuhayata. Dalam pertemuan tersebut Prabu Mandrapati mengutarakan niatnya untuk menyerahkan takhta kepada Raden Narasoma. Namun sebelum itu, Raden Narasoma harus menikah lebih dulu, karena sudah menjadi tradisi bahwa seorang raja hendaknya memiliki permaisuri sebagai “tetimbangan”.

Akan tetapi, Raden Narasoma menolak permintaan ayahnya. Ia tidak ingin dijodohkan dengan sembarang perempuan, karena cita-citanya adalah menikah dengan bidadari, atau sekurang-kurangnya putri seorang bidadari. Prabu Mandrapati marah melihat sikap angkuh Raden Narasoma yang berkeinginan muluk-muluk. Ia pun mengusir putra sulungnya itu dan melarangnya pulang apabila tidak dapat mewujudkan keinginannya.

Raden Narasoma bergegas pergi meninggalkan istana Mandraka. Patih Tuhayana berusaha menyabarkan Prabu Mandrapati. Namun, Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa dirinya mengusir Raden Narasoma bukan karena benci, tetapi untuk memberikan pelajaran hidup kepada putranya itu. Setelah tiada yang perlu dibicarakan lagi, Prabu Mandrapati pun membubarkan pertemuan.

RADEN NARASOMA BERTEMU RADEN PANDU

Raden Narasoma sudah berjalan jauh meninggalkan istana. Di tengah jalan ia bertemu rombongan Prabu Sudarma dari Kerajaan Trigarta yang berniat pergi ke Kerajaan Mandraka untuk melamar Dewi Madrim. Mendengar itu, Raden Narasoma marah-marah tidak setuju apabila adiknya diperistri Prabu Sudarma. Dasar watak Raden Narasoma yang angkuh membuat Prabu Sudarma tersinggung. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka.

Raden Narasoma lama-lama terdesak karena jumlah musuh jauh lebih banyak. Sungguh beruntung, Raden Pandu dan para panakawan kebetulan lewat di tempat itu. Melihat Raden Narasoma dalam bahaya, Raden Pandu segera membantu. Ia mengerahkan ilmu Angin Garuda, membuat Prabu Sudarma beserta seluruh pasukannya terlempar jauh entah ke mana.

Raden Narasoma dan Raden Pandu sudah saling kenal sejak sama-sama mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala dulu. Raden Narasoma bercerita bahwa perselisihannya dengan Prabu Sudarma adalah karena ia tidak rela jika raja Trigarta tersebut menjadi suami adiknya. Ia lebih suka jika Dewi Madrim menjadi istri Raden Pandu agar hubungan kekerabatan antara sesama keturunan Resi Manumanasa dapat lebih akrab. Raden Pandu mengaku tidak berani karena ia belum mendapatkan perintah dari ayahnya (Prabu Kresna Dwipayana) untuk menikah.

Dalam pertemuan kali ini, Raden Narasoma kagum melihat kesaktian Raden Pandu. Ia pun berniat untuk mencari guru yang bisa mengajarkan ilmu kesaktian tingkat tinggi kepadanya. Sebagai calon raja Mandraka, tentunya ia sangat membutuhkan ilmu andalan demi melindungi negerinya. Raden Pandu mendukung niat Raden Narasoma tersebut. Ia bahkan mempersilakan para panakawan untuk mendampingi Raden Narasoma selama berkelana mencari guru. Ia menjelaskan bahwa Kyai Semar bukan sekadar pengasuh, tetapi merupakan kakak ipar Resi Manumanasa yang memiliki pengalaman luas serta kebijaksanaan luar biasa. Sudah tentu nasihat-nasihatnya akan sangat berguna bagi Raden Narasoma.

Raden Narasoma sangat berterima kasih. Ia pun berpamitan kepada Raden Pandu kemudian berangkat bersama Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong mencari pengalaman hidup.

RADEN NARASOMA BERTEMU RESI BAGASPATI

Dalam perjalanannya itu, Raden Narasoma dan para panakawan berjumpa seorang pendeta raksasa berwajah menyeramkan. Pendeta raksasa itu bernama Resi Bagaspati dari Padepokan Argabelah, yang terlihat sangat gembira begitu mengetahui kalau pemuda yang ditemuinya bernama Raden Narasoma. Ia mengaku memiliki seorang putri yang tadi malam bermimpi menjadi istri pemuda tampan bernama Raden Narasoma. Oleh sebab itu, Resi Bagaspati pun mengajak Raden Narasoma pergi ke padepokannya untuk menikah dengan putrinya tersebut.

Raden Narasoma ngeri melihat wujud Resi Bagaspati sehingga langsung menolak ajakannya. Ia yakin anak perempuan seorang pendeta raksasa pasti berwajah buruk seperti ayahnya. Resi Bagaspati terpaksa menggunakan kekerasan untuk memaksa Raden Narasoma. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Dengan mudah, Resi Bagaspati dapat meringkus Raden Narasoma dan membawanya pergi menuju Padepokan Argabelah. Raden Narasoma berteriak-teriak meminta tolong kepada Kyai Semar dan anak-anaknya. Tetapi Kyai Semar justru menyarankan agar Raden Narasoma menurut saja, karena ia mendapat firasat bahwa pendeta raksasa inilah yang akan menjadi sarana baginya untuk mewujudkan cita-cita.

Sesampainya di padepokan, Raden Narasoma sangat terkejut melihat anak perempuan Resi Bagaspati ternyata berparas cantik jelita, bernama Endang Pujawati. Seketika ia pun jatuh cinta kepada gadis tersebut. Namun sayangnya, ia sudah terlanjur bersumpah untuk tidak akan menikah, kecuali dengan bidadari, atau anak seorang bidadari.

RADEN NARASOMA MENIKAH DENGAN ENDANG PUJAWATI

Resi Bagaspati pun bercerita kepada Raden Narasoma. Pada mulanya, ia memiliki istri seorang bidadari bernama Batari Pudyastuti, putri Batara Darmastuti. Adapun Batara Darmastuti adalah kakak tiri Batara Guru (yaitu sama-sama putra Sanghyang Tunggal, tetapi beda ibu. Batara Darmastuti lahir dari Dewi Darmani, sedangkan Batara Guru lahir dari Dewi Rekatawati). Dari perkawinan antara Resi Bagaspati dan Dewi Pudyastuti tersebut lahirlah Dewi Pujawati. Resi Bagaspati juga memiliki kakak bernama Prabu Bagaskara yang menjadi raja di Nusabelah. Prabu Bagaskara ini menikah pula dengan bidadari bernama Batari Satapi, putri Batara Siwah. Dari perkawinan itu lahir seorang putri berparas raksasa, bernama Dewi Tapayati.

Setelah Batari Satapi dan Batari Pudyastuti kembali ke kahyangan, Dewi Tapayati merengek minta dicarikan ibu baru. Prabu Bagaskara lalu bermimpi bertemu Dewi Trilaksmi, istri Prabu Gandabayu raja Pancala. Ia pun berangkat melamar wanita itu sebagai istri barunya. Namun, ketika menyerang Kerajaan Pancala, Prabu Bagaskara tewas di tangan Raden Gandamana putra Prabu Gandabayu, sedangkan Resi Bagaspati dikalahkan sekutu Kerajaan Pancala, yang bernama Prabu Mandrapati raja Mandraka. Resi Bagaspati lalu bertobat dan membangun pertapaan di Padepokan Argabelah. Dewi Pujawati juga ikut serta tinggal di padepokan, dan diganti namanya menjadi Endang Pujawati. Adapun Dewi Tapayati menghilang entah ke mana, sepertinya dibawa lari oleh Patih Kurandayaksa.

Raden Narasoma teringat dirinya memang ikut mengunjungi kelahiran Raden Gandamana di Kerajaan Pancala. Namun, saat itu ia tidak ikut berperang sehingga tidak mengenal Resi Bagaspati yang kini berada di hadapannya.

Setelah mendengar semuanya, Raden Narasoma pun bersedia menikahi Endang Pujawati yang merupakan putri seorang bidadari. Resi Bagaspati sangat senang dan ia segera menggelar upacara pernikahan antara Raden Narasoma dengan Endang Pujawati, dengan disaksikan para panakawan.

RESI BAGASPATI MENINGGAL DUNIA             

Beberapa hari kemudian, Resi Bagaspati memanggil Raden Narasoma dan Endang Pujawati untuk menghadap. Resi Bagaspati bertanya apakah Endang Pujawati bersedia mendampingi Raden Narasoma meski harus kehilangan orang tua? Endang Pujawati menjawab dirinya bersedia mendampingi suami, tetapi juga merasa berat jika harus berpisah dengan orang tua. Resi Bagaspati menerima jawaban tersebut, dan menyuruh Endang Pujawati untuk menunggu di luar.

Resi Bagaspati lalu berbicara empat mata dengan Raden Narasoma. Ia meminta agar Raden Narasoma menjaga Endang Pujawati dengan sebaik-baiknya dan jangan pernah menyakiti putrinya itu. Raden Narasoma bersedia dan ia pun bersumpah seumur hidup hanya memiliki seorang istri saja.

Resi Bagaspati lalu bercerita bahwa dirinya memiliki ilmu kesaktian bernama Aji Candabirawa yang akan diwariskan kepada Raden Narasoma. Dengan ilmu ini, Raden Narasoma dapat mengeluarkan seorang raksasa kerdil ganas dari jarinya, yang jika dilukai justru akan bertambah banyak jumlahnya. Raden Narasoma pernah mendapat cerita dari ayahnya tentang kedahsyatan ilmu ini, sehingga ia pun menyatakan bersedia menerimanya.

Resi Bagaspati lalu mengajarkan mantra ilmu tersebut kepada Raden Narasoma. Mereka lalu bersama-sama mengheningkan cipta, dan Aji Candabirawa pun berpindah dari dalam tubuh Resi Bagaspati ke dalam tubuh Raden Narasoma.

Resi Bagaspati merasa lega. Ia menjelaskan bahwa sudah tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana karena semua kewajibannya telah terpenuhi. Selama memiliki Aji Candabirawa, Resi Bagaspati tidak akan bisa mati. Ia lalu menyerahkan sebilah keris kepada Raden Narasoma agar digunakan untuk menusuk sikunya. Karena, hanya dengan cara demikian Resi Bagaspati bisa melepaskan nyawanya.

Raden Narasoma menerima keris tersebut namun tidak tega menggunakannya untuk menusuk sang mertua. Resi Bagaspati memaksa Raden Narasoma melakukannya, karena selama dirinya masih hidup, Endang Pujawati tidak akan mau meninggalkan Padepokan Argabelah untuk tinggal di Kerajaan Mandraka. Resi Bagaspati merasa dirinya hanya menjadi penghalang bagi kebahagiaan putrinya. Raden Narasoma tetap tidak tega. Ia justru mengajak sang mertua untuk bersama-sama tinggal di istana Mandraka.

Resi Bagaspati menolak ajakan tersebut. Ia pun menyerang Raden Narasoma untuk memaksa menantunya itu. Raden Narasoma terdesak dan seketika menusukkan keris di tangannya sambil memejakan mata. Keris tersebut tepat menancap di siku Resi Bagaspati. Darah berwarna putih pun memancar keluar, bersamaan dengan robohnya Resi Bagaspati kehilangan nyawa.

Endang Pujawati yang mendengar suara ribut segera masuk ke dalam. Ia sangat terkejut melihat sang ayah telah tewas di tangan suaminya. Raden Narasoma pun menceritakan semua kejadian apa adanya. Tidak lama kemudian, roh Resi Bagaspati menampakkan diri di angkasa. Ia berterima kasih atas kesediaan Raden Narasoma mengantarkannya memasuki gerbang kematian. Ia juga berpesan agar Endang Pujawati selalu patuh kepada sang suami.

Raden Narasoma merasa berduka kehilangan mertua yang sangat ia hormati. Ia berharap kelak saat kematiannya tiba, semoga arwah Resi Bagaspati yang datang menjemputnya. Resi Bagaspati bersedia. Ia berpesan kelak akan ada seorang raja berdarah putih yang menjadi penyebab kematian Raden Narasoma. Saat peristiwa itu terjadi, Resi Bagaspati akan datang menjemput roh sang menantu tercinta. Setelah berkata demikian, arwah Resi Bagaspati pun musnah dari pandangan.

Raden Narasoma lalu bertanya kepada Endang Pujawati apakah masih mau menjadi istrinya setelah peristiwa ini. Endang Pujawati menjawab bersedia mendampingi Raden Narasoma seumur hidup, karena sekarang ia tahu bahwa sang ayah meninggal atas kemauan sendiri, bukan karena dibunuh oleh suaminya. Raden Narasoma senang mendengarnya. Ia merasa bangga atas kesetiaan Endang Pujawati, dan mengganti nama istrinya itu menjadi Dewi Setyawati.

PRABU MANDRAPATI KEMBALI MENGUSIR RADEN NARASOMA

Raden Narasoma dan Dewi Setyawati telah pulang ke Kerajaan Mandraka, sedangkan para panakawan pulang ke Kerajaan Hastina. Prabu Mandrapati menyambut kedatangan putra dan menantunya itu dengan perasaan bahagia. Hubungan antara ayah dan anak tersebut menjadi baik kembali, apalagi Raden Narasoma telah berhasil mewujudkan sumpahnya, yaitu menikah dengan anak seorang bidadari.

Akan tetapi, Prabu Mandrapati sangat marah begitu mengetahui Raden Narasoma telah membunuh Resi Bagaspati, mertuanya sendiri. Prabu Mandrapati menjelaskan bahwa Resi Bagaspati telah menjadi sahabatnya. Raden Narasoma pun dituduh sebagai anak durhaka dan diusir pergi dari istana Mandraka.

Putri bungsu Prabu Mandrapati, yaitu Dewi Madrim masih rindu kepada kakaknya. Begitu Raden Narasoma diusir untuk yang kedua kalinya, ia pun ikut pergi meninggalkan istana. Ketika Dewi Setyawati hendak menyusul mereka, tiba-tiba Prabu Mandrapati jatuh pingsan karena terlalu sedih. Dewi Setyawati pun berhenti dan segera merawat mertuanya itu.

DEWI KUNTI HAMIL SEBELUM NIKAH

Sementara itu di Kerajaan Mandura, Prabu Kuntiboja telah memiliki empat orang anak yang lahir dari istrinya, yaitu Dewi Bandondari (putri mendiang Prabu Santanu raja Hastina). Keempat anak tersebut bernama Raden Basudewa, Dewi Kunti, Raden Rukma, dan Raden Ugrasena. Sang pangeran mahkota Raden Basudewa telah memiliki seorang istri bernama Dewi Mahirah tetapi belum dikaruniai putra, sedangkan Dewi Kunti saat ini telah beranjak dewasa dan ia dilamar oleh banyak raja serta pangeran dari berbagai negeri.

Prabu Kuntiboja memutuskan untuk mengadakan sayembara pilih, yaitu biarlah Dewi Kunti sendiri yang menentukan pilihan dengan cara mengalungkan untaian bunga ke leher si pelamar yang ia kehendaki. Akan tetapi, sudah empat bulan lamanya Dewi Kunti mengurung diri di dalam kaputren dan tidak pernah menghadap ayah atau ibunya. Prabu Kuntiboja merasa curiga jangan-jangan terjadi hal buruk pada putrinya itu. Maka, ia pun mengutus Raden Basudewa untuk menengok dan memastikan keadaan Dewi Kunti di dalam kaputren.

Raden Basudewa segera berangkat memasuki kaputren, di mana Dewi Kunti mengurung diri di dalam kamar. Raden Basudewa meminta izin masuk kamar tetapi ditolak oleh Dewi Kunti dengan alasan dirinya sedang menjalani tapa ngebleng atas perintah gurunya yang bernama Resi Druwasa. Raden Basudewa semakin curiga dan ia pun mendobrak pintu kamar kaputren. Betapa terkejut ia melihat adiknya itu memegangi perut yang tampak mengembang, pertanda Dewi Kunti sedang hamil.

Raden Basudewa marah-marah menuduh Dewi Kunti telah berbuat zina. Ia pun memaksa adiknya itu agar menyebutkan laki-laki mana yang telah menghamilinya. Namun, Dewi Kunti hanya menangis tanpa menjawab sedikit pun. Raden Basudewa menaruh curiga kepada Resi Druwasa, guru Dewi Kunti. Ia pun berniat hendak mencari dan menghukum pendeta tua tersebut.

LAHIRNYA RADEN KARNA BASUSENA

Mendengar gurunya disalahkan, Dewi Kunti menjelaskan bahwa kehamilannya ini bukan disebabkan oleh Resi Druwasa. Untuk lebih jelasnya, Dewi Kunti mengerahkan Aji Pameling untuk mengundang kehadiran Resi Druwasa. Seketika Resi Druwasa pun muncul di dalam kaputren tersebut.

Resi Druwasa ini tidak lain adalah putra Resi Dwapara (keponakan Resi Manumanasa). Meskipun usianya sudah sangat tua, tetapi karena ilmunya tinggi ia masih mampu berkelana menjelajahi banyak negeri. Kini ia singgah di Kerajaan Mandura dan menjadi guru bagi Dewi Kunti.

Resi Druwasa mengaku telah mengajarkan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan kepada Dewi Kunti. Kegunaan ajian ini adalah untuk memanggil dewa supaya memberikan pertolongan. Pada suatu pagi saat matahari terbit, Dewi Kunti sedang mandi sambil menghafalkan mantra ajian tersebut dengan menyebut nama Batara Surya. Seketika Batara Surya pun hadir dan bertanya ada keperluan apa dirinya didatangkan. Dewi Kunti merasa malu dan mengaku dirinya hanya mencoba-coba ilmu tersebut tanpa ada keperluan apa pun.

Batara Surya marah merasa dipermainkan. Namun, kemarahannya berubah menjadi nafsu birahi karena melihat lekuk tubuh Dewi Kunti yang hanya tertutup kain basahan. Ia pun mengerahkan Aji Asmaracipta, sehingga dapat bersenggama dengan Dewi Kunti tanpa harus menyentuh tubuhnya. Meskipun tanpa bersentuhan, namun Dewi Kunti tetap saja bisa mengandung putra Batara Surya, hasil dari hubungan tersebut.

Raden Basudewa menanyakan kebenaran cerita itu kepada Dewi Kunti. Dengan sangat malu dan sambil menangis, Dewi Kunti mengiyakan. Kini, ia telah hamil empat bulan padahal sebentar lagi akan diadakan sayembara pilih untuknya. Raden Basudewa merasa peristiwa ini adalah aib besar bagi Kerajaan Mandura. Resi Druwasa pun dimintai tolong untuk mencarikan jalan keluar bagi masalah ini.

Pendeta tua itu segera mengheningkan cipta dan tangannya menyentuh perut Dewi Kunti. Secara berangsur-angsur kandungan Dewi Kunti bertambah besar. Hanya dalam beberapa menit saja, kandungan tersebut menjadi matang dan siap dilahirkan. Tidak lama kemudian Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi laki-laki tanpa merasakan sakit sama sekali. Sungguh ajaib, bayi laki-laki itu keluar dari kandungan dengan memakai anting-anting dan baju zirah bergambar matahari.

Raden Basudewa sangat berterima kasih atas bantuan Resi Druwasa. Demi untuk menyembunyikan aib yang telah dialami adiknya, Raden Basudewa bersedia menjadi ayah angkat bagi bayi tersebut, karena ia telah memiliki seorang istri. Raden Basudewa pun memberi nama bayi itu, Raden Basusena.

Dewi Kunti sebenarnya sangat sayang kepada putranya yang tampan itu. Namun, demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, maka ia pun merelakan bayinya diambil oleh Raden Basudewa. Sebagai kenang-kenangan, Dewi Kunti memberikan nama panggilan untuk bayinya, yaitu Raden Karna, yang bermakna “telinga”. Ini sebagai pengingat bahwa putranya itu sejak dilahirkan sudah memakai anting-anting di kedua telinganya.

RESI DRUWASA MEMBAWA BAYI KARNA BASUSENA

Tiba-tiba Batara Surya turun dari kahyangan dan mendarat di dalam kaputren tersebut. Ia meminta maaf kepada Raden Basudewa karena telah terbawa nafsu birahi dan membuat Dewi Kunti hamil di luar nikah. Dengan kesaktiannya, ia pun meruwat Dewi Kunti sehingga kembali menjadi perawan seperti sediakala.

Mengenai bayi laki-laki hasil hubungan mereka itu, Batara Surya melarang Raden Basudewa untuk mengasuhnya sebagai anak angkat, karena Karna Basusena diramalkan kelak akan menjadi pahlawan besar apabila keluar dari Kerajaan Mandura. Mengenai anting-anting dan baju zirah yang dipakai si bayi adalah pusaka pemberiannya. Anting-anting tersebut bernama Suryakundala, sedangkan baju zirah yang melekat di dada si bayi bernama Suryakawaca. Selama mengenakan kedua pusaka tersebut, tidak ada satu pun senjata yang dapat melukai Karna Basusena.

Raden Basudewa dan Dewi Kunti mematuhi keputusan dewata yang menghendaki agar bayi Karna Basusena keluar dari wilayah Kerajaan Mandura. Dewi Kunti pun menangis berlinang air mata saat Batara Surya memerintahkan Resi Druwasa untuk membawa bayi tersebut. Batara Surya kemudian kembali ke kahyangan, sedangkan Resi Druwasa lenyap dari pandangan, meninggalkan Kerajaan Mandura.

RESI DRUWASA MENYERAHKAN KARNA BASUSENA KEPADA KYAI ADIRATA

Tersebutlah seorang kusir kereta bernama Kyai Adirata yang mengabdi di Kerajaan Hastina. Ia tinggal di Desa Petapralaya bersama istrinya yang bernama Nyai Rada, putri Resi Radi. Mereka sudah puluhan tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Setiap pagi pasangan ini selalu berdoa di tepi Sungai Jamuna namun belum juga membuahkan hasil. Hingga akhirnya, pagi itu Resi Druwasa muncul dengan berjalan di atas sungai sambil menggendong bayi laki-laki menemui mereka berdua.

Resi Druwasa menyerahkan bayi laki-laki itu kepada Kyai Adirata dan Nyai Rada, serta menjelaskan bahwa bayi tersebut adalah putra Batara Surya sebagai jawaban atas doa mereka setiap pagi. Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bahagia dan merasa mendapatkan kehormatan luar biasa karena dipercaya untuk mengasuh putra seorang dewa. Setelah dirasa cukup, Resi Druwasa pun lenyap dari pandangan.

Kyai Adirata dan Nyai Rada sangat bersyukur karena dewata telah mengabulkan doa mereka. Mereka pun berjanji akan selalu menyayangi bayi tersebut seperti anak kandung sendiri. Sungguh ajaib, tiba-tiba payudara Nyai Rada dapat mengeluarkan air susu yang langsung digunakannya untuk menyusui bayi tampan itu. Karena bayi laki-laki ini adalah putra Batara Surya, maka Kyai Adirata pun memberinya nama Suryaputra, atau Suryatmaja. Namun, untuk sehari-harinya bayi tersebut cukup dipanggil Radeya saja, supaya tidak terlalu mencolok. Nyai Rada setuju. Mereka berdua lalu pulang ke rumah dengan perasaan bahagia.

RADEN NARASOMA MEMENANGKAN SAYEMBARA PILIH

Hari itu Prabu Kuntiboja di Kerajaan Mandura mengadakan sayembara pilih untuk Dewi Kunti. Sang putri berdiri di atas panggung sambil memegang kalung untaian bunga, di mana satu per satu pelamar mendatanginya. Apabila Dewi Kunti diam saja, maka pelamar tersebut harus mundur dan digantikan pelamar lain untuk maju ke depan.

Dewi Kunti sendiri pikirannya sedang melayang membayangkan putranya, yaitu Karna Basusena yang kini entah ada di mana. Ia berdoa semoga bisa mendapatkan suami yang berasal dari negeri yang sama dengan tempat di mana putranya itu berada. Satu per satu pelamar maju dan didiamkan olehnya, hingga akhirnya jumlah pelamar yang tersisa tinggal satu orang, yaitu Raden Narasoma.

Dewi Kunti merasa tidak punya pilihan lagi. Meskipun hatinya tidak nyaman melihat sikap Raden Narasoma yang angkuh, namun demi menjaga nama baik Kerajaan Mandura, terpaksa ia pun memilih pangeran tersebut sebagai pemenang sayembara. Dewi Kunti lalu turun dari panggung dan mengalungkan untaian bunga ke leher Raden Narasoma.

Hal ini ternyata mengundang kemarahan para pelamar lainnya yang merasa disepelekan. Raden Narasoma justru merasa mendapatkan kesempatan untuk mencoba ilmu barunya. Ia pun menantang semua raja dan pangeran untuk merebut Dewi Kunti dari tangannya. Para pelamar itu maju menyerang. Raden Narasoma lalu mengerahkan Aji Candabirawa. Dari ujung jarinya keluar sesosok raksasa bertubuh kerdil tapi ganas menyeramkan. Raksasa itu mengamuk menghadapi para penyerang. Para raja dan pangeran pun menusukkan senjata mereka mengenai raksasa itu. Sungguh ajaib, percikan darah si raksasa berubah menjadi sejumlah raksasa baru. Demikianlah seterusnya. Setiap si raksasa mengeluarkan darah, maka darahnya akan langsung berubah menjadi raksasa baru. Jika awalnya, si raksasa Candabirawa hanya berjumlah seorang, maka kini jumlahnya menjadi lebih banyak daripada para raja dan pangeran yang menyerang. Mereka menerjang dan menggigit dengan ganas, membuat para raja dan pangeran itu banyak yang terluka dan melarikan diri.

RADEN PANDU MENGALAHKAN RADEN NARASOMA

Pada saat itulah Raden Pandu dan para panakawan datang ke Kerajaan Mandura karena diutus Prabu Kresna Dwipayana untuk mengikuti sayembara. Mereka terkejut melihat acara sayembara pilih telah berubah menjadi ajang pertempuran. Raden Narasoma pun menantang Raden Pandu jika ingin mengikuti sayembara, maka harus dapat merebut Dewi Kunti secara kesatria.

Raden Pandu menolak dan merelakan Raden Narasoma sebagai pemenang. Ia memutuskan untuk pulang ke Hastina saja. Raden Narasoma merasa disepelekan dan ia pun memerintahkan para raksasa Candabirawa untuk menyerang Raden Pandu.

Raden Pandu dengan lincah menghadapi serangan para raksasa ganas tersebut. Namun demikian, ia merasa terdesak karena para raksasa itu jumlahnya bertambah banyak jika dilukai. Melihat itu, Kyai Semar memberikan nasihat supaya Raden Pandu meletakkan senjata dan mengheningkan cipta, seperti nasihat Prabu Kresna Dwipayana kepada Prabu Mandrapati dulu saat berperang melawan Prabu Bagaskara.

Raden Pandu menurut. Ia lalu membuang senjata dan duduk bersila mengheningkan cipta. Sungguh aneh, dengan cara tidak melawan justru jumlah para raksasa menjadi berkurang satu demi satu hingga akhirnya tinggal seorang saja seperti sediakala yang kemudian masuk kembali ke dalam jari Raden Narasoma. Secepat kilat Raden Pandu melesat dan menangkap tubuh Raden Narasoma, lalu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad dan membenamkan tubuh lawannya itu di dalam tanah hingga sebatas dada.

RADEN PANDU MENDAPATKAN DUA ORANG PUTRI

Raden Narasoma mengaku kalah dan menyadari kesalahannya telah berbuat sombong, merasa dirinya paling hebat. Raden Pandu lalu mengangkat tubuhnya kembali ke permukaan. Raden Narasoma pun menyerahkan Dewi Kunti kepada Raden Pandu karena sejak awal dia tahu kalau sang putri memilihnya karena terpaksa, bukan tulus dari hati. Lagipula Raden Narasoma telah memiliki istri bernama Dewi Setyawati dan tidak ingin menduakannya. Ia datang ke Mandura bukan untuk melamar Dewi Kunti, tetapi hanya untuk mencoba keampuhan Aji Candabirawa saja.

Dewi Kunti mendapatkan firasat apabila ia menikah dengan Raden Pandu, maka ini akan menjadi sarana baginya untuk bisa bertemu Karna Basusena. Maka, ia pun memindahkan kalung untaian bunga dari leher Raden Narasoma ke leher Raden Pandu.

Raden Narasoma teringat saat berkunjung ke Pancala dulu, antara Raden Pandu dan Dewi Madrim telah terjalin perasaan saling menyukai. Kebetulan hari itu Dewi Madrim juga ikut menyertainya. Ia pun menyerahkan adiknya itu kepada Raden Pandu supaya dijadikan sebagai istri kedua. Raden Pandu dengan senang hati menerimanya, sekaligus untuk mendekatkan kekeluargaan sesama keturunan Resi Manumanasa.

Tiba-tiba datang Arya Tuhayata dari Kerajaan Mandraka yang ditugasi Prabu Mandrapati untuk menjemput pulang Raden Narasoma. Mendengar ayahnya sudah tidak marah lagi, Raden Narasoma merasa senang dan ia pun mohon pamit kepada Prabu Kuntiboja untuk pulang ke Mandraka.

ROMBONGAN RADEN PANDU DIHADANG RADEN SUMAN

Sementara itu, Prabu Suwala raja Gandaradesa telah meninggal dunia. Takhta kerajaan pun diwarisi putra sulungnya yang bergelar Prabu Gendara. Hari itu Prabu Gendara berangkat ke Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara pilih bersama adik-adiknya, yaitu Dewi Gendari, Raden Suman, Raden Anggajaksa, dan Raden Sarabasanta.

Dalam perjalanan tersebut, rombongan Prabu Gendara bertemu Raden Pandu yang sedang menuju Kerajaan Hastina bersama Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Menyadari dirinya telah terlambat, Prabu Gendara pun berniat pulang ke Gandaradesa, namun Raden Suman menghasutnya supaya merebut Dewi Kunti dari tangan Raden Pandu.

Prabu Gendara termakan hasutan adiknya, dan ia pun menantang Raden Pandu bertarung. Jika dirinya yang menang, maka Dewi Kunti akan diminta untuk diboyong ke Gandaradesa. Sebaliknya, jika Raden Pandu yang menang, maka Prabu Gendara akan menyerahkan adiknya yang bernama Dewi Gendari untuk diboyong ke Kerajaan Hastina. Raden Pandu pun menerima tantangan tersebut.

Pertarungan dimulai. Hanya dalam beberapa serangan, Raden Pandu berhasil menewaskan Prabu Gendara. Sebelum meninggal, Prabu Gendara sempat berpesan kepada adik-adiknya untuk tidak membalas dendam. Ia telah merelakan kematiannya demi untuk menjadi sarana kebahagiaan Dewi Gendari.

Dewi Gendari, Raden Suman, dan yang lain terharu melihat pengorbanan sang kakak. Mereka lalu membagi rombongan menjadi dua. Dewi Gendari dan Raden Suman mengikuti Raden Pandu pergi ke Kerajaan Hastina sesuai perjanjian tadi, sedangkan Raden Anggajaksa dan Raden Sarabasanta membawa pulang jenazah Prabu Gendara.

RADEN DRETARASTRA MEMILIH DEWI GENDARI

Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, dan segenap keluarga besar Kerajaan Hastina menyambut kedatangan Raden Pandu yang berhasil memboyong tiga orang putri sekaligus. Mereka juga ikut prihatin dan menyampaikan duka cita atas meninggalnya Prabu Gendara.

Raden Pandu berniat menyerahkan dua orang di antara ketiga putri tersebut kepada kedua saudaranya, yaitu Raden Dretarastra dan Raden Yamawidura. Raden Dretarastra bersedia menerima, sedangkan Raden Yamawidura menolak karena ia mengaku telah memiliki seorang kekasih bernama Dewi Padmarini, putri Adipati Dipacandra. Adapun Adipati Dipacandra adalah pemimpin Kadipaten Pagombakan, yaitu sebuah negeri kecil bawahan Kerajaan Hastina. Raden Yamawidura berniat menikahi Dewi Padmarini kelak setelah kedua kakaknya menikah lebih dulu.

Raden Pandu pun mempersilakan Raden Dretarastra yang lebih tua agar mengambil dua orang putri sekaligus. Namun, Raden Dretarastra bersedia mengambil satu saja karena Raden Pandu yang telah bekerja keras memenangkan mereka, sehingga adiknya itu dianggap yang lebih pantas mendapatkan dua orang istri.

Karena menderita tunanetra, Raden Dretarastra pun meminta bantuan sang guru, yaitu Resiwara Bisma untuk memilihkan salah satu putri sebagai istrinya. Resiwara Bisma menyarankan agar Raden Dretarastra mengambil Dewi Gendari saja, karena usianya lebih tua daripada Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Raden Dretarastra setuju dan Raden Pandu pun menyerahkan putri dari Gandaradesa tersebut kepada kakaknya.

Dewi Gendari sangat kecewa namun tidak dapat membantah karena menyadari dirinya hanyalah seorang putri boyongan. Raden Suman juga kecewa karena sang kakak menjadi istri seorang tunanetra. Namun, ia berusaha menghibur Dewi Gendari bahwa Raden Dretarastra adalah putra sulung Prabu Kresna Dwipayana. Kelak, jika Prabu Kresna Dwipayana mengundurkan diri dan kembali menjadi Resi Abyasa, maka takhta Kerajaan Hastina akan dipegang oleh Raden Dretarastra sebagai raja yang baru. Itu artinya, Dewi Gendari akan menjabat sebagai permaisuri kerajaan.

Dewi Gendari merasa sedikit terhibur. Ia berharap ucapan adiknya itu dapat menjadi kenyataan. Setelah dirasa cukup, Raden Suman pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Gandaradesa untuk menerima warisan takhta dari sang kakak sulung yang telah meninggal (Prabu Gendara). Ia berjanji, meskipun sudah menjadi raja di sana akan tetap sering-sering mengunjungi Dewi Gendari di Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------













Tidak ada komentar:

Posting Komentar