Kisah ini menceritakan kematian
Dewi Durgandini yang bertapa menebus dosa bersama Dewi Ambika dan Dewi Ambalika.
Kisah dilanjutkan dengan Prabu Kresna Dwipayana yang membangun Hutan Tunggul
sebagai tempat perburuan, serta bagaimana asal usul Arya Bargawa dan Arya
Bilawa menjadi punggawa Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya susun
berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 10 April 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
DEWI DURGANDINI BERMIMPI
TENTANG PERANG BRATAYUDA
Prabu Kresna Dwipayana di
Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma dari Padepokan
Talkanda, serta para menteri dan punggawa, antara lain Resi Jawalagni, Patih
Jayayatna, dan Arya Banduwangka. Ketika mereka sedang membicarakan jalannya
pemerintahan, tiba-tiba datang sang ibu suri, yaitu Dewi Durgandini dalam
keadaan gugup.
Dewi Durgandini bercerita
bahwa tadi malam dirinya baru saja bermimpi buruk. Dalam mimpinya itu terlihat
adanya perang besar yang menewaskan banyak raja dan kesatria. Resiwara Bisma tampak
ikut serta dalam perang tersebut demi membela Kerajaan Hastina. Anehnya, Dewi
Durgandini juga melihat adiknya, yaitu Prabu Matsyapati raja Wirata, namun
berada di pihak lain, yaitu melawan pihak Resiwara Bisma.
Dewi Durgandini heran mengapa
perang besar itu bisa terjadi dan mengapa Kerajaan Wirata dan Hastina
berhadap-hadapan sebagai musuh. Sebenarnya ia ingin bertanya secara pribadi
kepada Prabu Kresna Dwipayana setelah persidangan selesai. Namun, hatinya tidak
sabar menunggu sehingga ia pun memberanikan diri masuk ke aula persidangan
untuk segera menanyakan arti mimpi tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana segera
mengheningkan cipta untuk meminta petunjuk atas mimpi yang dialami ibunya itu.
Ia kemudian membuka mata dan menjelaskan bahwa di masa depan memang akan
terjadi perang besar yang melibatkan banyak raja dan kesatria. Perang besar
tersebut dinamakan Bratayuda, yang merupakan perang antara dua pihak, yaitu
keturunan Raden Kuru yang disebut para Kurawa melawan keturunan Raden Pandu
yang disebut para Pandawa, demi memperebutkan Kerajaan Hastina.
Dewi Durgandini sangat
terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka keserakahannya di masa lalu akan
menjadi bibit meletusnya perang besar di masa depan yang menewaskan banyak raja
dan kesatria. Andai saja dulu ia tidak serakah merebut hak atas takhta Kerajaan
Hastina dari tangan Resiwara Bisma (yang saat itu masih bernama Raden
Dewabrata), tentu Raden Kuru dan Raden Pandu tidak akan pernah lahir di dunia.
Jika mereka tidak pernah lahir, maka keturunan mereka tidak akan berperang
untuk memperebutkan Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna Dwipayana
menjelaskan kepada ibunya, bahwa perang besar tersebut sudah menjadi ketetapan dewata.
Setelah perang tersebut usai akan lahir sebuah zaman baru, tatanan baru, dan
lenyapnya sifat-sifat angkara murka dari muka bumi.
Namun, Dewi Durgandini tetap
bersedih membayangkan itu. Resiwara Bisma pun berusaha menghiburnya. Ia
berjanji akan mendidik Raden Kuru dan Raden Pandu, juga Raden Widura, agar
mereka menjadi manusia-manusia berbudi luhur yang bisa membina keturunan
masing-masing sehingga tidak memiliki watak serakah dan berebut takhta Kerajaan
Hastina.
Dewi Durgandini berterima
kasih atas kesediaan Resiwara Bisma. Ia juga meminta maaf atas keserakahannya
di masa lalu yang ternyata menjadi bibit meletusnya perang besar Bratayuda di
masa depan itu. Namun demikian, Dewi Durgandini telah membulatkan tekad untuk pergi
meninggalkan Kerajaan Hastina. Ia berniat pergi bertapa ke Gunung Saptaarga
untuk menebus dosa-dosanya dengan cara bersamadi sampai mati.
Prabu Kresna Dwipayana dan
Resiwara Bisma berusaha mencegah niat sang ibu suri, tetapi gagal. Dewi
Durgandini telah membulatkan tekadnya. Ia pun mohon pamit dan berangkat saat
itu juga.
DEWI AMBIKA DAN DEWI AMBALIKA
IKUT PERGI BERTAPA
Kedua permaisuri Prabu Kresna
Dwipayana, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika mendengar berita bahwa sang ibu
suri hendak berangkat ke Gunung Saptaarga untuk bertapa sampai mati demi
menebus dosa. Mereka berdua pun memutuskan untuk ikut serta mendampingi Dewi
Durgandini. Bagaimanapun juga ramalan tentang perang besar antara keturunan
Raden Kuru melawan keturunan Raden Pandu sangatlah mengerikan. Sebagai ibu
mereka, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika merasa berdosa jika tidak berusaha
mencegah perang tersebut. Karena perang besar itu sudah menjadi ketetapan
dewata, maka mereka berdua berniat ikut bertapa untuk meminta agar dewata
membatalkan terjadinya Perang Bratayuda.
Prabu Kresna Dwipayana
berusaha mencegah kedua istrinya itu, bahwa tidak ada gunanya bertapa mencegah
terjadinya Perang Bratayuda, karena itu sudah menjadi suratan takdir yang tidak
bisa diganggu gugat. Namun, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sudah membulatkan
tekad. Keduanya bersumpah lebih baik mati daripada melihat keturunan mereka
saling berperang.
Prabu Kresna Dwipayana
menyadari bahwa kedua permaisuri tidak pernah mencintainya dengan sepenuh hati.
Itu sebabnya mereka tidak mau mendengarkan perkataannya. Dewi Ambika dan Dewi
Ambalika pun dipersilakan pergi jika memang ingin bertapa ke Gunung Saptaarga.
Namun, mereka harus lebih dulu memikirkan bagaimana pengasuhan Raden Kuru,
Raden Pandu, dan Raden Widura yang semuanya masih bayi.
Dewi Ambika memutuskan untuk
menyerahkan pengasuhan Raden Kuru kepada pelayannya yang bernama Ken Purici.
Sementara itu, Dewi Ambalika menyerahkan Raden Pandu kepada Ken Bila, serta
Raden Widura kepada Ken Kesuya. Ketiga pelayan tersebut mematuhi dan menerima
tugas pengasuhan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Baik itu Ken Purici, Ken
Bila, maupun Ken Kesuya, semuanya adalah keturunan seorang brahmana, bernama
Resi Nastapa.
DEWI DURGANDINI, DEWI AMBIKA,
DAN DEWI AMBALIKA MENINGGAL DUNIA
Setelah dirasa cukup, Prabu
Kresna Dwipayana pun memimpin langsung pasukan Hastina yang mengawal
keberangkatan sang ibu suri beserta kedua permaisuri menuju Gunung Saptaarga.
Sesampainya di tempat tujuan, ketiga wanita itu langsung masuk ke sanggar
pemujaan dan memulai bertapa.
Prabu Kresna Dwipayana
memutuskan untuk menunggui mereka bertiga sampai empat puluh hari, baru
kemudian kembali ke Kerajaan Hastina. Namun, ketika memasuki hari ketiga puluh,
tiba-tiba terdengar suara ledakan dari dalam sanggar pemujaan. Prabu Kresna
Dwipayana segera masuk ke dalam dan melihat Dewi Durgandini, Dewi Ambika, dan
Dewi Ambalika telah tergeletak di lantai tanpa bernapas lagi. Rupanya mereka bertiga
telah meninggal dunia dalam pertapaan tersebut.
Dewi Durgandini memang bertekad
untuk bersamadi sampai mati demi menebus dosa-dosa keserakahannya di masa lalu.
Sementara itu, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika bertekad lebih baik mati daripada
melihat keturunan mereka saling berperang. Rupanya dewata telah mengabulkan apa
yang menjadi keinginan mereka tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana segera
memimpin upacara pemakaman mereka bertiga. Setelah masa berkabung usai, dengan
perasaan sangat sedih ia pun memimpin rombongan kembali ke Kerajaan Hastina.
PRABU KRESNA DWIPAYANA
MEMBANGUN HUTAN PERBURUAN
Prabu Kresna Dwipayana sangat
berduka atas meninggalnya Dewi Durgandini, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika. Ia
pun memerintahkan untuk membangun sebuah sarana perburuan di Hutan Tunggul
sebagai tempat wisata melepaskan beban pikiran. Patih Jayayatna segera
melaksanakan perintah tersebut dengan dibantu Arya Banduwangka.
Demikianlah, Hutan Tunggul
telah dibangun menjadi tempat perburuan. Prabu Kresna Dwipayana sangat berkenan
melihat hasil kerja Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka. Selama beberapa hari
ia menghabiskan waktu untuk bertamasya di hutan tersebut demi melepaskan beban
pikiran karena ditinggal mati sang ibu suri dan kedua permaisuri. Sejak saat
itu Prabu Kresna Dwipayana pun terkenal pula dengan julukan Sang Ratu Tunggul.
PRABU KRESNA DWIPAYANA MERUWAT
BAMBANG BARGAWA
Pada suatu hari ketika Prabu
Kresna Dwipayana sedang berburu bersama Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka,
tiba-tiba muncul seorang pendeta yang berlari-lari meminta perlindungan.
Pendeta itu mengaku bernama Resi Bargu yang dikejar-kejar seekor banteng
berukuran besar.
Patih Jayayatna dan Arya
Banduwangka segera menghadang banteng tersebut. Terjadilah perkelahian di
antara mereka. Namun demikian, meskipun dikepung dari segala penjuru ternyata
tidak ada seorang pun yang mampu meringkus banteng besar tersebut.
Resi Bargu bercerita kepada
Prabu Kresna Dwipayana bahwa banteng besar tersebut sesungguhnya adalah
putranya sendiri yang bernama Bambang Bargawa. Awal mulanya ia berwujud manusia
bertubuh gagah dan tinggi besar bagaikan Resi Ramabargawa (Batara Ramaparasu) di
zaman dulu. Karena kegagahan dan keperkasaan putranya itu, Resi Bargu menjadi
lupa diri dan memuji-muji Bambang Bargawa bagaikan seekor banteng perkasa.
Sungguh ajaib, ucapan Resi Bargu menjadi kenyataan. Seketika wujud Bambang
Bargawa pun berubah dari seorang pemuda gagah perkasa menjadi seekor banteng
bertubuh besar.
Bambang Bargawa menjadi kalap
dan mengamuk menghancurkan padepokan ayahnya. Resi Bargu ketakutan dan
melarikan diri ke Hutan Tunggul, di mana ia akhirnya bertemu dengan Prabu
Kresna Dwipayana saat ini.
Setelah mengetahui duduk
perkaranya, Prabu Kresna Dwipayana segera mengheningkan cipta lalu melepaskan
senjata pengruwatan. Senjata tersebut mengenai tubuh si banteng besar dan
seketika mengubahnya kembali ke wujud Bambang Bargawa.
Resi Bargu sangat berterima
kasih atas bantuan Prabu Kresna Dwipayana yang telah mengembalikan wujud
putranya seperti sediakala. Ia pun menyerahkan Bambang Bargawa agar menjadi
pelayan Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana
sendiri tertarik melihat wujud Bambang Bargawa yang tinggi besar dan menawarkan
jabatan punggawa kepada pemuda itu. Bambang Bargawa menurut dan menerima
tawaran Sang Prabu. Maka, sejak saat itu ia pun resmi menjadi punggawa Kerajaan
Hastina, bergelar Arya Bargawa.
Setelah dirasa cukup, Prabu
Kresna Dwipayana pun mengajak Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka, serta Arya
Bargawa pulang ke Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Bargu mendapatkan sejumlah
uang untuk biaya memperbaiki padepokannya yang telah rusak akibat diamuk
banteng besar penjelmaan putranya tadi.
BATU SAYARA JATUH DI ALUN ALUN
KERAJAAN HASTINA
Sesampainya di Kerajaan
Hastina, Prabu Kresna Dwipayana terkejut melihat ada sebongkah batu besar di
tengah-tengah alun alun. Resi Jawalagni menjelaskan bahwa ketika Sang Prabu
pergi berburu, tiba-tiba ada sebongkah batu meteor jatih dari angkasa. Batu
tersebut menurut keterangan para ahli logam merupakan jenis Batu Sayara yang
sangat berat dan sulit dipindahkan.
Prabu Kresna Dwipayana lalu
memerintahkan si punggawa baru, yaitu Arya Bargawa agar memindahkan Batu Sayara
tersebut. Arya Bargawa melangkah maju dan mengangkat batu berat itu dengan
mudah, kemudian melempar-lemparkannya ke udara. Melihat hal ini, Prabu Kresna
Dwipayana mendapat gagasan untuk mengadakan sayembara. Ia mengumumkan apabila
ada prajurit yang mampu mengangkat Batu Sayara seperti yang dilakukan Arya
Bargawa, maka dia akan dinaikkan pangkatnya menjadi punggawa.
Para prajurit pun
berlomba-lomba mengangkat Batu Sayara namun tidak seorang pun yang mampu melakukannya.
Jangankan memindahkan batu berat tersebut seperti Arya Bargawa, sedangkan
mengangkatnya saja mereka tidak mampu.
PRABU KRESNA DWIPAYANA MERUWAT
JAKA BILAWA
Tersebutlah seorang cebol bernama
Jaka Bilawa yang merupakan adik kandung Ken Bila (dayang pengasuh Raden Pandu).
Sehari-hari Jaka Bilawa bekerja sebagai tukang kuda di Kerajaan Hastina.
Mendengar ada sayembara tersebut, ia pun memberanikan diri untuk ikut
mendaftar. Ken Bila melarangnya pergi karena tidak mungkin adiknya yang cebol
itu mampu mengangkat Batu Sayara. Jika pun mampu, mana mungkin seorang cebol dilantik
menjadi punggawa kerajaan. Namun, Jaka Bilawa telah membulatkan tekad. Ia pun
berlari untuk ikut mendaftar sebagai calon punggawa.
Patih Jayayatna tertawa
melihat wujud Jaka Bilawa yang cebol tapi ingin ikut mengangkat Batu Sayara. Jaka
Bilawa tersinggung dan berkata bahwa dirinya tidak hanya mampu mengangkat Batu
Sayara, tapi juga mampu melempar-lemparkannya seperti Arya Bargawa.
Jaka Bilawa lalu mempersilakan
Arya Bargawa untuk melemparkan Batu Sayara ke arahnya. Arya Bargawa tidak tega
jika nanti batu berat tersebut melukai Jaka Bilawa. Namun, Jaka Bilawa mengaku
siap menerima segala akibatnya. Jika dirinya sampai terluka atau tewas tertimpa
Batu Sayara, maka keluarganya tidak akan menuntut Arya Bargawa.
Arya Bargawa menerima
tantangan tersebut. Ia lalu mengangkat Batu Sayara dan melemparkannya ke arah
Jaka Bilawa. Sungguh ajaib, Jaka Bilawa yang bertubuh cebol ternyata mampu
menangkap Batu Sayara lalu melempar-lemparkannya ke udara seperti bermain bola.
Semua mata para hadirin yang memandang merasa kagum dan heran luar biasa.
Prabu Kresna Dwipayana senang
melihatnya. Ia pun memutuskan untuk mengangkat Jaka Bilawa sebagai punggawa.
Setelah mengheningkan cipta, Prabu Kresna Dwipayana lalu melepaskan senjata
pengruwatan yang tepat mengenai tubuh Jaka Bilawa. Seketika tubuh Jaka Bilawa
pun berubah dari sosok cebol menjadi tinggi besar deperti Arya Bargawa.
Prabu Kresna Dwipayana pun
mengumumkan bahwa mulai hari ini Jaka Bilawa resmi diangkat menjadi punggawa
Kerajaan Hastina, bergelar Arya Bilawa, yang berdampingan dengan Arya Bargawa.
Mereka berdua berada di bawah Arya Banduwangka yang menjadi senapati utama, pemimpin
angkatan perang Kerajaan Hastina.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
mas nderek ngopy nggih
BalasHapus