Minggu, 10 April 2016

Abyasa Grogol


Kisah ini menceritakan kematian Dewi Durgandini yang bertapa menebus dosa bersama Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Kisah dilanjutkan dengan Prabu Kresna Dwipayana yang membangun Hutan Tunggul sebagai tempat perburuan, serta bagaimana asal usul Arya Bargawa dan Arya Bilawa menjadi punggawa Kerajaan Hastina.

Kisah ini saya susun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 10 April 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

DEWI DURGANDINI BERMIMPI TENTANG PERANG BRATAYUDA

Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma dari Padepokan Talkanda, serta para menteri dan punggawa, antara lain Resi Jawalagni, Patih Jayayatna, dan Arya Banduwangka. Ketika mereka sedang membicarakan jalannya pemerintahan, tiba-tiba datang sang ibu suri, yaitu Dewi Durgandini dalam keadaan gugup.

Dewi Durgandini bercerita bahwa tadi malam dirinya baru saja bermimpi buruk. Dalam mimpinya itu terlihat adanya perang besar yang menewaskan banyak raja dan kesatria. Resiwara Bisma tampak ikut serta dalam perang tersebut demi membela Kerajaan Hastina. Anehnya, Dewi Durgandini juga melihat adiknya, yaitu Prabu Matsyapati raja Wirata, namun berada di pihak lain, yaitu melawan pihak Resiwara Bisma.

Dewi Durgandini heran mengapa perang besar itu bisa terjadi dan mengapa Kerajaan Wirata dan Hastina berhadap-hadapan sebagai musuh. Sebenarnya ia ingin bertanya secara pribadi kepada Prabu Kresna Dwipayana setelah persidangan selesai. Namun, hatinya tidak sabar menunggu sehingga ia pun memberanikan diri masuk ke aula persidangan untuk segera menanyakan arti mimpi tersebut.

Prabu Kresna Dwipayana segera mengheningkan cipta untuk meminta petunjuk atas mimpi yang dialami ibunya itu. Ia kemudian membuka mata dan menjelaskan bahwa di masa depan memang akan terjadi perang besar yang melibatkan banyak raja dan kesatria. Perang besar tersebut dinamakan Bratayuda, yang merupakan perang antara dua pihak, yaitu keturunan Raden Kuru yang disebut para Kurawa melawan keturunan Raden Pandu yang disebut para Pandawa, demi memperebutkan Kerajaan Hastina.

Dewi Durgandini sangat terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka keserakahannya di masa lalu akan menjadi bibit meletusnya perang besar di masa depan yang menewaskan banyak raja dan kesatria. Andai saja dulu ia tidak serakah merebut hak atas takhta Kerajaan Hastina dari tangan Resiwara Bisma (yang saat itu masih bernama Raden Dewabrata), tentu Raden Kuru dan Raden Pandu tidak akan pernah lahir di dunia. Jika mereka tidak pernah lahir, maka keturunan mereka tidak akan berperang untuk memperebutkan Kerajaan Hastina.

Prabu Kresna Dwipayana menjelaskan kepada ibunya, bahwa perang besar tersebut sudah menjadi ketetapan dewata. Setelah perang tersebut usai akan lahir sebuah zaman baru, tatanan baru, dan lenyapnya sifat-sifat angkara murka dari muka bumi.

Namun, Dewi Durgandini tetap bersedih membayangkan itu. Resiwara Bisma pun berusaha menghiburnya. Ia berjanji akan mendidik Raden Kuru dan Raden Pandu, juga Raden Widura, agar mereka menjadi manusia-manusia berbudi luhur yang bisa membina keturunan masing-masing sehingga tidak memiliki watak serakah dan berebut takhta Kerajaan Hastina.

Dewi Durgandini berterima kasih atas kesediaan Resiwara Bisma. Ia juga meminta maaf atas keserakahannya di masa lalu yang ternyata menjadi bibit meletusnya perang besar Bratayuda di masa depan itu. Namun demikian, Dewi Durgandini telah membulatkan tekad untuk pergi meninggalkan Kerajaan Hastina. Ia berniat pergi bertapa ke Gunung Saptaarga untuk menebus dosa-dosanya dengan cara bersamadi sampai mati.

Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma berusaha mencegah niat sang ibu suri, tetapi gagal. Dewi Durgandini telah membulatkan tekadnya. Ia pun mohon pamit dan berangkat saat itu juga.

DEWI AMBIKA DAN DEWI AMBALIKA IKUT PERGI BERTAPA

Kedua permaisuri Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika mendengar berita bahwa sang ibu suri hendak berangkat ke Gunung Saptaarga untuk bertapa sampai mati demi menebus dosa. Mereka berdua pun memutuskan untuk ikut serta mendampingi Dewi Durgandini. Bagaimanapun juga ramalan tentang perang besar antara keturunan Raden Kuru melawan keturunan Raden Pandu sangatlah mengerikan. Sebagai ibu mereka, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika merasa berdosa jika tidak berusaha mencegah perang tersebut. Karena perang besar itu sudah menjadi ketetapan dewata, maka mereka berdua berniat ikut bertapa untuk meminta agar dewata membatalkan terjadinya Perang Bratayuda.

Prabu Kresna Dwipayana berusaha mencegah kedua istrinya itu, bahwa tidak ada gunanya bertapa mencegah terjadinya Perang Bratayuda, karena itu sudah menjadi suratan takdir yang tidak bisa diganggu gugat. Namun, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sudah membulatkan tekad. Keduanya bersumpah lebih baik mati daripada melihat keturunan mereka saling berperang.

Prabu Kresna Dwipayana menyadari bahwa kedua permaisuri tidak pernah mencintainya dengan sepenuh hati. Itu sebabnya mereka tidak mau mendengarkan perkataannya. Dewi Ambika dan Dewi Ambalika pun dipersilakan pergi jika memang ingin bertapa ke Gunung Saptaarga. Namun, mereka harus lebih dulu memikirkan bagaimana pengasuhan Raden Kuru, Raden Pandu, dan Raden Widura yang semuanya masih bayi.

Dewi Ambika memutuskan untuk menyerahkan pengasuhan Raden Kuru kepada pelayannya yang bernama Ken Purici. Sementara itu, Dewi Ambalika menyerahkan Raden Pandu kepada Ken Bila, serta Raden Widura kepada Ken Kesuya. Ketiga pelayan tersebut mematuhi dan menerima tugas pengasuhan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Baik itu Ken Purici, Ken Bila, maupun Ken Kesuya, semuanya adalah keturunan seorang brahmana, bernama Resi Nastapa.

DEWI DURGANDINI, DEWI AMBIKA, DAN DEWI AMBALIKA MENINGGAL DUNIA

Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna Dwipayana pun memimpin langsung pasukan Hastina yang mengawal keberangkatan sang ibu suri beserta kedua permaisuri menuju Gunung Saptaarga. Sesampainya di tempat tujuan, ketiga wanita itu langsung masuk ke sanggar pemujaan dan memulai bertapa.

Prabu Kresna Dwipayana memutuskan untuk menunggui mereka bertiga sampai empat puluh hari, baru kemudian kembali ke Kerajaan Hastina. Namun, ketika memasuki hari ketiga puluh, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari dalam sanggar pemujaan. Prabu Kresna Dwipayana segera masuk ke dalam dan melihat Dewi Durgandini, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika telah tergeletak di lantai tanpa bernapas lagi. Rupanya mereka bertiga telah meninggal dunia dalam pertapaan tersebut.

Dewi Durgandini memang bertekad untuk bersamadi sampai mati demi menebus dosa-dosa keserakahannya di masa lalu. Sementara itu, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika bertekad lebih baik mati daripada melihat keturunan mereka saling berperang. Rupanya dewata telah mengabulkan apa yang menjadi keinginan mereka tersebut.

Prabu Kresna Dwipayana segera memimpin upacara pemakaman mereka bertiga. Setelah masa berkabung usai, dengan perasaan sangat sedih ia pun memimpin rombongan kembali ke Kerajaan Hastina.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MEMBANGUN HUTAN PERBURUAN

Prabu Kresna Dwipayana sangat berduka atas meninggalnya Dewi Durgandini, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika. Ia pun memerintahkan untuk membangun sebuah sarana perburuan di Hutan Tunggul sebagai tempat wisata melepaskan beban pikiran. Patih Jayayatna segera melaksanakan perintah tersebut dengan dibantu Arya Banduwangka.

Demikianlah, Hutan Tunggul telah dibangun menjadi tempat perburuan. Prabu Kresna Dwipayana sangat berkenan melihat hasil kerja Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka. Selama beberapa hari ia menghabiskan waktu untuk bertamasya di hutan tersebut demi melepaskan beban pikiran karena ditinggal mati sang ibu suri dan kedua permaisuri. Sejak saat itu Prabu Kresna Dwipayana pun terkenal pula dengan julukan Sang Ratu Tunggul.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MERUWAT BAMBANG BARGAWA

Pada suatu hari ketika Prabu Kresna Dwipayana sedang berburu bersama Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka, tiba-tiba muncul seorang pendeta yang berlari-lari meminta perlindungan. Pendeta itu mengaku bernama Resi Bargu yang dikejar-kejar seekor banteng berukuran besar.

Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka segera menghadang banteng tersebut. Terjadilah perkelahian di antara mereka. Namun demikian, meskipun dikepung dari segala penjuru ternyata tidak ada seorang pun yang mampu meringkus banteng besar tersebut.

Resi Bargu bercerita kepada Prabu Kresna Dwipayana bahwa banteng besar tersebut sesungguhnya adalah putranya sendiri yang bernama Bambang Bargawa. Awal mulanya ia berwujud manusia bertubuh gagah dan tinggi besar bagaikan Resi Ramabargawa (Batara Ramaparasu) di zaman dulu. Karena kegagahan dan keperkasaan putranya itu, Resi Bargu menjadi lupa diri dan memuji-muji Bambang Bargawa bagaikan seekor banteng perkasa. Sungguh ajaib, ucapan Resi Bargu menjadi kenyataan. Seketika wujud Bambang Bargawa pun berubah dari seorang pemuda gagah perkasa menjadi seekor banteng bertubuh besar.

Bambang Bargawa menjadi kalap dan mengamuk menghancurkan padepokan ayahnya. Resi Bargu ketakutan dan melarikan diri ke Hutan Tunggul, di mana ia akhirnya bertemu dengan Prabu Kresna Dwipayana saat ini.

Setelah mengetahui duduk perkaranya, Prabu Kresna Dwipayana segera mengheningkan cipta lalu melepaskan senjata pengruwatan. Senjata tersebut mengenai tubuh si banteng besar dan seketika mengubahnya kembali ke wujud Bambang Bargawa.

Resi Bargu sangat berterima kasih atas bantuan Prabu Kresna Dwipayana yang telah mengembalikan wujud putranya seperti sediakala. Ia pun menyerahkan Bambang Bargawa agar menjadi pelayan Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana sendiri tertarik melihat wujud Bambang Bargawa yang tinggi besar dan menawarkan jabatan punggawa kepada pemuda itu. Bambang Bargawa menurut dan menerima tawaran Sang Prabu. Maka, sejak saat itu ia pun resmi menjadi punggawa Kerajaan Hastina, bergelar Arya Bargawa.

Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna Dwipayana pun mengajak Patih Jayayatna dan Arya Banduwangka, serta Arya Bargawa pulang ke Kerajaan Hastina, sedangkan Resi Bargu mendapatkan sejumlah uang untuk biaya memperbaiki padepokannya yang telah rusak akibat diamuk banteng besar penjelmaan putranya tadi.

BATU SAYARA JATUH DI ALUN ALUN KERAJAAN HASTINA

Sesampainya di Kerajaan Hastina, Prabu Kresna Dwipayana terkejut melihat ada sebongkah batu besar di tengah-tengah alun alun. Resi Jawalagni menjelaskan bahwa ketika Sang Prabu pergi berburu, tiba-tiba ada sebongkah batu meteor jatih dari angkasa. Batu tersebut menurut keterangan para ahli logam merupakan jenis Batu Sayara yang sangat berat dan sulit dipindahkan.

Prabu Kresna Dwipayana lalu memerintahkan si punggawa baru, yaitu Arya Bargawa agar memindahkan Batu Sayara tersebut. Arya Bargawa melangkah maju dan mengangkat batu berat itu dengan mudah, kemudian melempar-lemparkannya ke udara. Melihat hal ini, Prabu Kresna Dwipayana mendapat gagasan untuk mengadakan sayembara. Ia mengumumkan apabila ada prajurit yang mampu mengangkat Batu Sayara seperti yang dilakukan Arya Bargawa, maka dia akan dinaikkan pangkatnya menjadi punggawa.

Para prajurit pun berlomba-lomba mengangkat Batu Sayara namun tidak seorang pun yang mampu melakukannya. Jangankan memindahkan batu berat tersebut seperti Arya Bargawa, sedangkan mengangkatnya saja mereka tidak mampu.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MERUWAT JAKA BILAWA

Tersebutlah seorang cebol bernama Jaka Bilawa yang merupakan adik kandung Ken Bila (dayang pengasuh Raden Pandu). Sehari-hari Jaka Bilawa bekerja sebagai tukang kuda di Kerajaan Hastina. Mendengar ada sayembara tersebut, ia pun memberanikan diri untuk ikut mendaftar. Ken Bila melarangnya pergi karena tidak mungkin adiknya yang cebol itu mampu mengangkat Batu Sayara. Jika pun mampu, mana mungkin seorang cebol dilantik menjadi punggawa kerajaan. Namun, Jaka Bilawa telah membulatkan tekad. Ia pun berlari untuk ikut mendaftar sebagai calon punggawa.

Patih Jayayatna tertawa melihat wujud Jaka Bilawa yang cebol tapi ingin ikut mengangkat Batu Sayara. Jaka Bilawa tersinggung dan berkata bahwa dirinya tidak hanya mampu mengangkat Batu Sayara, tapi juga mampu melempar-lemparkannya seperti Arya Bargawa.

Jaka Bilawa lalu mempersilakan Arya Bargawa untuk melemparkan Batu Sayara ke arahnya. Arya Bargawa tidak tega jika nanti batu berat tersebut melukai Jaka Bilawa. Namun, Jaka Bilawa mengaku siap menerima segala akibatnya. Jika dirinya sampai terluka atau tewas tertimpa Batu Sayara, maka keluarganya tidak akan menuntut Arya Bargawa.

Arya Bargawa menerima tantangan tersebut. Ia lalu mengangkat Batu Sayara dan melemparkannya ke arah Jaka Bilawa. Sungguh ajaib, Jaka Bilawa yang bertubuh cebol ternyata mampu menangkap Batu Sayara lalu melempar-lemparkannya ke udara seperti bermain bola. Semua mata para hadirin yang memandang merasa kagum dan heran luar biasa.

Prabu Kresna Dwipayana senang melihatnya. Ia pun memutuskan untuk mengangkat Jaka Bilawa sebagai punggawa. Setelah mengheningkan cipta, Prabu Kresna Dwipayana lalu melepaskan senjata pengruwatan yang tepat mengenai tubuh Jaka Bilawa. Seketika tubuh Jaka Bilawa pun berubah dari sosok cebol menjadi tinggi besar deperti Arya Bargawa.

Prabu Kresna Dwipayana pun mengumumkan bahwa mulai hari ini Jaka Bilawa resmi diangkat menjadi punggawa Kerajaan Hastina, bergelar Arya Bilawa, yang berdampingan dengan Arya Bargawa. Mereka berdua berada di bawah Arya Banduwangka yang menjadi senapati utama, pemimpin angkatan perang Kerajaan Hastina.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------














1 komentar: