Kisah ini menceritakan kelahiran anak-anak Prabu Basudewa, yaitu Raden
Kakrasana (kelak menjadi Prabu Baladewa), Raden Narayana (kelak menjadi Prabu
Sri Kresna), serta Dewi Sumbadra. Pada saat yang sama lahir pula putra ketiga
Prabu Pandu, yaitu Raden Arjuna yang kelak menjadi pahlawan besar dalam Perang
Bratayuda. Juga dikisahkan kelahiran Raden Kangsa yang kelak menjadi musuh anak-anak
Prabu Basudewa.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja
Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan
rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.
Kediri, 09 Juni 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Prabu Basudewa |
PRABU BASUDEWA HENDAK PERGI BERBURU
Prabu Basudewa di Kerajaan
Mandura dihadap kedua adiknya, yaitu Aryaprabu Rukma dari Kumbina dan Arya
Ugrasena dari Lesanpura, serta para menteri dan punggawa yang dipimpin Patih
Saragupita. Saat itu Prabu Basudewa sedang bersedih sekaligus gembira. Ia sedih
karena baru saja ditinggal mati kedua orang tuanya, yaitu Bagawan Kuntiboja dan
Dewi Bandondari di Gunung Gandamadana. Sedangkan di sisi lain, ia gembira
karena ketiga istri barunya, yaitu Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini masing-masing
telah mengandung tujuh bulan. Selain itu, sang adik yaitu Dewi Kunti juga
sedang mengandung dan saat ini berada di istana Mandura.
Dalam pertemuan itu, Prabu
Basudewa membahas tentang sejauh mana pembangunan candi makam di Gunung
Gandamadana sebagai astana untuk kedua orang tuanya. Patih Saragupita
melaporkan bahwa pembangunan astana tersebut telah hampir selesai sesuai
rencana. Prabu Basudewa gembira mendengarnya. Berarti dalam waktu dekat ini
akan ada dua acara besar. Acara yang pertama adalah upacara tujuh bulan
kehamilan Dewi Rohini, Dewi Dewaki, Dewi Badraini, serta Dewi Kunti, dan acara
yang kedua adalah peringatan seratus hari meninggalnya Bagawan Kuntiboja dan
Dewi Bandondari sekaligus peresmian Astana Gandamadana.
Karena akan ada dua acara
besar, Prabu Basudewa berniat pergi ke Hutan Banjarpatoman, yaitu hutan
pagrogolan di wilayah Kerajaan Mandura untuk mengumpulkan hewan buruan
sebanyak-banyaknya. Setelah dirasa cukup, ia pun membubarkan pertemuan.
PRABU BASUDEWA MENEMUI PARA ISTRI DAN DEWI KUNTI
Prabu Basudewa lalu masuk ke
dalam kedaton untuk menemui para istri, yaitu Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi
Dewaki, dan Dewi Badraini, serta adik kandungnya nomor dua, yaitu Dewi Kunti
Talibrata.
Beberapa bulan yang lalu Dewi
Kunti datang bersama rombongan dari Kerajaan Hastina untuk menghadiri upacara
pemakaman Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari di Gunung Gandamadana. Setelah
upacara selesai, Dewi Kunti memohon kepada sang suami (Prabu Pandu) agar
diizinkan tinggal di Kerajaan Mandura sampai melahirkan. Ia ingin melahirkan
bersama dengan ketiga kakak iparnya di istana tempat dirinya dulu dibesarkan.
Kehamilan Dewi Kunti yang
ketiga ini berbeda dengan kehamilan sebelumnya. Beberapa tahun yang lalu tanpa
sengaja Prabu Pandu membunuh Resi Kindama dan Rara Dremi yang sedang
bersenggama dalam wujud sepasang kijang. Sebelum tewas, Resi Kindama sempat mengutuk
Prabu Pandu akan mengalami nasib celaka apabila bersetubuh dengan istrinya.
Prabu Pandu sangat gelisah karena itu berarti dirinya tidak akan memiliki
keturunan. Untunglah pada suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa
Mangga Pertanggajiwa untuk menanam benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti
dan Dewi Madrim. Dewi Kunti menelan tiga potong daging mangga, sedangkan Dewi
Madrim menelan dua potong. Dengan demikian, Prabu Pandu dapat memiliki anak
tanpa harus menyentuh kedua istrinya tersebut.
Dewi Kunti lalu mengundang
Batara Darma untuk mematangkan salah satu benih Prabu Pandu di dalam rahimnya.
Benih tersebut matang dalam waktu satu hari dan lahir sebagai bayi laki-laki,
yang diberi nama Raden Puntadewa. Dua tahun kemudian, Dewi Kunti mengundang
Batara Bayu untuk mematangkan benih yang kedua. Benih tersebut matang dalam
waktu satu hari pula dan lahir sebagai bayi laki-laki berbungkus, diberi nama
Raden Bima. Atas petunjuk Batara Bayu, Prabu Pandu pun meletakkan bayi Raden
Bima tersebut di tengah Hutan Mandalasana hingga kelak datang utusan dewa yang
mampu merobek bungkusnya.
Setahun kemudian, Prabu Pandu
meminta Dewi Kunti untuk mematangkan benih yang ketiga dengan mengundang dewa
yang ahli dalam budaya dan kesenian. Dewi Kunti segera mengundang Batara Indra
menggunakan ilmu yang dulu diajarkan Resi Druwasa. Batara Indra pun turun dari
Kahyangan Suralaya menemui Dewi Kunti dan Prabu Pandu. Dewi Kunti menyampaikan
maksudnya, tetapi ia hanya memohon agar Batara Indra mempertemukan benihnya
dengan benih Prabu Pandu, itu saja. Mengenai kematangan janin yang ketiga ini
biarlah matang secara alami, bukan matang secepat kilat seperti kedua kakaknya.
Dewi Kunti mengaku ingin merasakan pengalaman hamil secara wajar selama
sembilan bulan, bukan kehamilan satu hari jadi seperti sebelumnya.
Batara Indra menyanggupi
permintaan Dewi Kunti. Dengan kekuasaannya, ia pun menyatukan benih dalam rahim
Dewi Kunti dengan benih milik Prabu Pandu yang ditanam melalui potongan
terakhir Mangga Pertanggajiwa, yang sampai saat ini masih menempel di dalam
perut istrinya itu. Setelah kedua benih tersebut bersatu menjadi calon janin,
Batara Indra pun memberikan restu kepadanya, lalu undur diri kembali ke kahyangan.
Demikianlah, janin tersebut kini
hampir berusia tujuh bulan di dalam kandungan Dewi Kunti. Prabu Pandu pun
mengizinkan istrinya itu tinggal di istana Mandura sampai kelak melahirkan.
Prabu Pandu sendiri hendak pergi ke Kerajaan Pringgadani untuk menemui muridnya,
yaitu Prabu Tremboko. Maka, rombongan pelayat yang kembali ke Kerajaan Hastina
hanya tinggal Resiwara Bisma, Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, dan Dewi
Madrim yang mengasuh Raden Puntadewa.
Dewi Kunti kini bersama
keempat kakak iparnya menyambut kedatangan Prabu Basudewa yang baru saja
memimpin pertemuan. Prabu Basudewa berpamitan kepada mereka untuk pergi berburu
ke Hutan Banjarpatoman demi mengumpulkan hewan sebagai pelengkap upacara tujuh
bulanan dan juga peresmian Astana Gandamadana.
Di antara para istri, tampak
Dewi Maherah yang terlihat lesu. Ia merupakan istri tertua namun sampai saat
ini belum juga hamil. Ia merasa Prabu Basudewa sudah tidak lagi perhatian kepadanya,
sejak Dewi Rohini, Dewi Dewaki, dan Dewi Badraini mengandung.
PASUKAN MANDURA BERTEMPUR MELAWAN PASUKAN GUAGRA
Setelah berpamitan kepada para
istri dan adiknya, Prabu Basudewa pun berangkat menuju Hutan Banjarpatoman
bersama Aryaprabu Rukma, Arya Ugrasena, dan Patih Saragupita dengan membawa
prajurit secukupnya. Di tengah jalan mereka bertemu pasukan raksasa dari
Kerajaan Guagra yang dipimpin Patih Suratimantra.
Patih Suratimantra bersama
pasukannya sedang mencari sang kakak, yaitu Prabu Gorawangsa yang sudah satu
bulan ini menghilang entah ke mana. Ia mendapat firasat bahwa kakaknya itu
datang ke Kerajaan Mandura untuk merebut Dewi Maherah. Ia pun pergi menyusul
dengan membawa pasukan secukupnya. Melihat kedatangan para raksasa dari Guagra
itu, Prabu Basudewa segera memerintahkan pasukan Mandura untuk menghadang
mereka.
Maka, terjadilah pertempuran sengit
antara kedua belah pihak. Patih Suratimantra merasa kewalahan, dan ia pun
memerintahkan para prajuritnya untuk mundur, kembali ke Kerajaan Guagra.
Prabu Basudewa merasa khawatir
atas keamanan istana Mandura. Ia pun memerintahkan Patih Saragupita untuk
kembali dan memperketat pengamanan istana. Patih Saragupita mohon pamit lalu
bergegas melaksanakan tugas.
BATARA WISNU MENDAPAT TUGAS LAHIR MENJADI MANUSIA
Sementara itu, Batara Guru di
Kahyangan Jonggringsalaka sedang memimpin pertemuan para dewa yang dihadiri
Batara Narada, Batara Wisnu, Batari Sri Laksmi, Batari Sri Wedawati, dan Batara
Laksmanasadu. Dalam pertemuan itu, Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu supaya
lahir ke dunia sebagai anak manusia untuk menumpas angkara murka.
Pada zaman dahulu, Batara
Wisnu telah lahir sebagai Prabu Sri Rama untuk menumpas angkara murka Prabu
Rahwana di Kerajaan Alengka. Istri Batara Wisnu, yaitu Batari Sri Laksmi dan
Batari Sri Wedawati ikut terlahir pula sebagai Rakyanwara Sinta, yaitu istri
Prabu Sri Rama yang diculik Prabu Rahwana. Adapun Batara Laksmanasadu (adik Dewi
Srilaksmi atau ipar Batara Wisnu) terlahir sebagai Raden Laksmana, yaitu adik
tiri Prabu Sri Rama.
Kini, angkara murka kembali
hadir mengancam ketertiban dunia dalam wujud Arya Suman dan para Kurawa di
Kerajaan Hastina. Batara Guru memerintahkan Batara Wisnu dan Batara
Laksmanasadu untuk lahir sebagai manusia meredam angkara murka mereka. Batara
Wisnu pun menyatakan bersedia, namun ia mohon agar Batara Laksmanasadu
diizinkan untuk lahir sebagai kakak.
Dahulu kala saat masih menjadi
Prabu Sri Rama dan Raden Laksmana, mereka berdua bersama-sama memerangi
kejahatan Prabu Rahwana. Prabu Sri Rama sangat terkesan melihat kesetiaan Raden
Laksmana dalam melayani dan melindungi dirinya. Maka, Prabu Sri Rama pun
bersumpah kelak jika menitis kembali, ia berharap semoga Raden Laksmana menjadi
yang lebih tua, agar ganti dirinya yang memberikan pelayanan.
Mendengar kisah itu, Batara
Guru pun mengabulkan permintaan Batara Wisnu. Ia memerintahkan Batara
Laksmanasadu agar menitis ke dalam janin yang saat ini dikandung Dewi Rohini
dan lahir lebih dulu. Adapun Batara Wisnu diperintahkan untuk membelah diri
menjadi dua. Yang satu hendaknya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi
Dewaki, sedangkan yang satunya menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi
Kunti. Kelak setelah dewasa, putra Dewi Rohini titisan Batara Laksmanasadu
ditugasi untuk menjadi sahabat para Kurawa agar bisa memberikan nasihat baik kepada
mereka. Apabila Batara Laksmanasadu gagal membina para Kurawa, maka Batara
Wisnu yang terlahir sebagai putra Dewi Dewaki dan putra Dewi Kunti ditugasi
untuk bekerja sama membinasakan mereka semua.
Batara Guru juga memerintahkan
kedua istri Batara Wisnu untuk ikut menitis sebagai manusia. Batari Sri Laksmi
hendaknya lahir sebagai putri pasangan Kapi Jembawan dan Dewi Trijata,
sedangkan Batari Sri Wedawati hendaknya lahir sebagai putri Dewi Badraini, yaitu
istri termuda Prabu Basudewa. Kelak putri yang dilahirkan Dewi Trijata akan
berjodoh dengan putra Dewi Dewaki, sedangkan putri yang dilahirkan Dewi
Badraini akan berjodoh dengan putra Dewi Kunti.
Ketika Batara Wisnu, Batara
Laksmanasadu, Batari Sri Laksmi, dan Batari Sri Wedawati hendak mohon pamit
melaksanakan tugas, tiba-tiba datang Batara Basuki yang memohon supaya
diizinkan ikut menitis sebagai putra Prabu Basudewa. Batara Basuki bercerita
bahwa dirinya pernah ditolong Prabu Basudewa setahun yang lalu. Saat itu,
Batara Basuki terhimpit batu besar karena bertarung melawan Garuda Wilmana.
Untungnya, Prabu Basudewa (yang saat itu belum menjadi raja) datang memberikan
bantuan kepadanya. Sejak saat itu, Batara Basuki merasa berhutang budi dan
ingin terlahir sebagai putra Prabu Basudewa.
Batara Guru lalu berunding
dengan Batara Narada. Mereka pun mempersilakan Batara Basuki supaya bergabung
dengan Batara Laksmanasadu untuk menitis ke dalam janin yang dikandung Dewi
Rohini. Kelak janin tersebut akan terlahir sebagai sahabat kedua pihak, yaitu
menjadi sahabat para Pandawa sekaligus para Kurawa. Tidak hanya itu, ia juga
harus mengasuh keturunan para Pandawa setelah Perang Bratayuda. Karena tugasnya
yang berat tersebut, maka memang sebaiknya ada dua orang dewa yang secara
sekaligus melindunginya.
Batara Basuki berterima kasih,
lalu ia pun bersatu jiwa raga dengan Batara Laksmanasadu. Batara Wisnu dan
Batara Laksmanasadu kemudian berangkat lebih dulu dengan mengubah wujud mereka
menjadi singa dan naga. Sementara itu, Batari Sri Laksmi dan Batari Sri
Wedawati berangkat dengan diantarkan Batara Narada.
PRABU BASUDEWA MEMANAH SINGA DAN NAGA
Singa penjelmaan Batara Wisnu
dan naga penjelmaan Batara Laksmanasadu itu pun memasuki Hutan Banjarpatoman
tempat Prabu Basudewa berburu, dan langsung menyerang raja Mandura tersebut.
Prabu Basudewa dengan cekatan memanah mereka berdua. Begitu terkena panah,
kedua hewan tersebut langsung musnah dan berubah menjadi cahaya. Sang singa
musnah menjadi dua cahaya, yaitu hitam dan kuning, sedangkan sang naga musnah
menjadi cahaya putih kemerah-merahan. Ketiga cahaya tersebut lalu melesat
menuju ke arah istana Mandura.
Prabu Basudewa merasa
penasaran sekaligus khawatir. Ia pun memerintahkan Aryaprabu Rukma untuk
mengejar ketiga cahaya tersebut. Aryaprabu Rukma menyembah hormat lalu berangkat
melaksanakan tugas.
PRABU GORAWANGSA MENYAMAR SEBAGAI PRABU BASUDEWA
Sementara itu, Prabu
Gorawangsa raja Guagra yang jatuh cinta kepada Dewi Maherah kini menyusup ke
dalam istana Mandura. Karena Patih Saragupita memperketat keamanan, Prabu
Gorawangsa pun mengubah wujudnya menjadi sama persis dengan Prabu Basudewa.
Patih Saragupita heran melihat
Prabu Basudewa pulang sendirian. Prabu Basudewa palsu itu mengaku sebelum
berangkat sempat bertengkar dengan Dewi Maherah. Selama berburu di Hutan Banjarpatoman
ia merasa gelisah dan ingin pulang untuk meminta maaf kepada istri tertuanya
itu. Patih Saragupita memaklumi dan segera mempersilakan Prabu Basudewa palsu
itu masuk ke dalam kedaton.
Sesampainya di dalam, Prabu
Basudewa palsu pun disambut Dewi Maherah, Dewi Rohini, Dewi Dewaki, Dewi
Badraini, dan Dewi Kunti. Prabu Basudewa palsu itu mengaku ingin meminta maaf
karena selama ini kurang peduli kepada Dewi Maherah dan mengajaknya masuk ke
dalam kamar untuk menebus semua kesalahannya. Dewi Maherah merasa sangat
bahagia dan segera menggandeng Prabu Basudewa palsu itu masuk ke dalam kamar,
meninggalkan yang lainnya.
Setelah mereka berdua masuk
kamar, tiba-tiba datang tiga cahaya yang langsung masuk ke dalam istana
Mandura. Cahaya yang berwarna putih kemerahan masuk ke dalam perut Dewi Rohini,
cahaya hitam masuk ke dalam perut Dewi Dewaki, dan cahaya kuning masuk ke dalam
perut Dewi Kunti.
Batara Narada yang mengawasi
dari angkasa segera mengubah Batari Sri Wedawati menjadi cahaya mancawarna dan
memasukkannya ke dalam perut Dewi Badraini. Dengan demikian, kini hanya tinggal
Batari Sri Laksmi saja yang belum menitis.
KEMATIAN PRABU GORAWANGSA
Tidak lama kemudian datanglah
Aryaprabu Rukma yang ditugasi Prabu Basudewa untuk mengejar tiga cahaya tadi.
Dewi Rohini dan yang lain menyambut kedatangannya dan bercerita bahwa Prabu
Basudewa baru saja pulang dan kini berada di kamar bersama Dewi Maherah.
Aryaprabu Rukma heran mengapa
Prabu Basudewa sudah lebih dulu pulang ke istana. Ia khawatir jangan-jangan ada
musuh sakti yang menyamar sebagai kakaknya itu. Ia pun berteriak di luar kamar,
memanggil Prabu Basudewa palsu agar segera keluar.
Sementara itu, Prabu Basudewa
palsu baru saja selesai bersetubuh dengan Dewi Maherah. Ia sangat puas akhirnya
bisa melampiaskan nafsu birahi kepada wanita idamannya tersebut. Sebaliknya,
Dewi Maherah juga merasa sangat bahagia karena Prabu Basudewa kini kembali
memperlakukannya dengan baik. Ia tidak peduli meskipun bau badan suaminya itu berubah
tidak seperti biasa, namun yang terpenting ia kini merasa lega.
Tiba-tiba terdengar suara
Aryaprabu Rukma memanggil-manggil di luar kamar. Prabu Basudewa palsu sangat
marah dan segera berpakaian. Ia pun membuka pintu dan langsung menyerang
Aryaprabu Rukma. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Karena tidak leluasa
dalam wujud Prabu Basudewa, maka Prabu Gorawangsa pun kembali ke wujud asalnya,
yaitu seorang raja raksasa.
Melihat Prabu Basudewa yang
baru saja tidur dengannya berubah menjadi raksasa, Dewi Maherah pun jatuh
pingsan. Dewi Rohini dan yang lain segera memapahnya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, Aryaprabu Rukma
terdesak menghadapi kesaktian Prabu Gorawangsa. Patih Saragupita berusaha
membantu namun tubuhnya ditangkap raja raksasa itu dan dilemparkan jauh-jauh.
Aryaprabu Rukma mencari akal. Ia pun memancing Prabu Gorawangsa agar menjauh
dari istana.
Sesampainya di luar istana,
Aryaprabu Rukma gembira melihat sang kakak ipar, yaitu Prabu Pandu datang bersama
para panakawan setelah mereka mengunjungi Kerajaan Pringgadani. Aryaprabu Rukma
pun bercerita bahwa dirinya dikejar-kejar Prabu Gorawangsa yang telah menyusup
ke dalam istana Mandura. Prabu Pandu segera meminjamkan Panah Mustikajamus
kepada adik iparnya tersebut. Aryaprabu Rukma menerima pusaka itu dengan
gembira, lalu kembali untuk menghadang Prabu Gorawangsa.
Maka, begitu Prabu Gorawangsa
muncul, Aryaprabu Rukma segera melepaskan Panah Mustikajamus ke arahnya. Panah
pusaka itu meluncur dan menembus dada Prabu Gorawangsa. Raja raksasa dari Guagra
itu pun tewas seketika.
ARYAPRABU RUKMA MEMBUANG DEWI MAHERAH
Tidak lama kemudian datang
pula Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena yang membawa banyak hewan buruan. Melihat
mayat Prabu Gorawangsa, mereka pun terkejut dan bertanya apa yang sebenarnya
terjadi. Aryaprabu Rukma bercerita bahwa raja raksasa ini baru saja menyusup
masuk ke dalam istana dalam wujud Prabu Basudewa palsu dan berzinah dengan Dewi
Maherah.
Prabu Basudewa sangat marah
mendengarnya. Ia pun memerintahkan Aryaprabu Rukma untuk membunuh Dewi Maherah
di tengah hutan. Ia tidak rela jika darah istrinya yang berselingkuh itu sampai
mengotori istana Mandura. Aryaprabu Rukma merasa bimbang, lalu mohon pamit
melaksanakan perintah.
Sesampainya di istana, Aryaprabu
Rukma segera menemui Dewi Maherah yang sedang dirawat Dewi Rohini, Dewi Dewaki,
dan yang lain. Aryaprabu Rukma bercerita bahwa Prabu Gorawangsa telah tewas
berkat bantuan Prabu Pandu. Saat ini Prabu Basudewa yang asli sedang menunggu
Dewi Maherah di luar istana dan meminta untuk bertemu sekarang juga. Dewi
Maherah merasa sedih karena yakin pasti dirinya akan mendapat hukuman. Ia pun
menuruti ajakan Aryaprabu Rukma.
Aryaprabu Rukma dan Dewi
Maherah kemudian naik kereta sampai ke tengah hutan. Di dalam hutan lebat
itulah Aryaprabu Rukma berterus terang bahwa dirinya mendapat perintah dari
Prabu Basudewa untuk menghukum mati Dewi Maherah. Akan tetapi, ia merasa tidak
tega. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan kakak iparnya itu seorang diri di
tengah hutan.
Demikianlah, Aryaprabu Rukma
lalu membangun gubuk ala kadarnya di hutan tersebut sebagai tempat tinggal Dewi
Maherah. Ia lalu mohon pamit kembali ke istana dengan perasaan kalut. Kepada
Prabu Basudewa, ia melapor bahwa Dewi Maherah sudah dihukum mati olehnya.
DEWI MAHERAH BERTEMU PATIH SURATIMANTRA
Dewi Maherah sudah dua bulan
tinggal seorang diri di dalam hutan. Karena terlalu sedih, keadaannya semakin
memburuk dan ia pun jatuh sakit. Tiba-tiba muncul Patih Suratimantra bersama
para prajurit Guagra lewat di hutan itu untuk mencari hilangnya Prabu
Gorawangsa. Melihat ada wanita sakit terbaring di dalam gubuk, Patih
Suratimantra heran dan mendatanginya.
Dewi Maherah yang sudah putus
asa mempersilakan Patih Suratimantra jika ingin memangsa dirinya. Patih
Suratimantra mengaku dirinya bukan raksasa hutan pemangsa manusia, tetapi
raksasa bangsawan dari Kerajaan Guagra, adik Prabu Gorawangsa. Dewi Maherah
semakin sedih mendengar nama Prabu Gorawangsa disebut. Ia bercerita bahwa
dirinya telah dinodai oleh Prabu Gorawangsa hingga hidupnya hancur seperti ini.
Patih Suratimantra terkejut dan bertanya di mana kini Prabu Gorawangsa berada.
Dewi Maherah pun menjawab bahwa Prabu Gorawangsa telah tewas dibunuh Aryaprabu
Rukma dibantu Prabu Pandu dua bulan yang lalu.
Patih Suratimantra sangat
marah mendengarnya. Ketika hendak menyerang Kerajaan Mandura untuk membalas
dendam, tiba-tiba Dewi Maherah muntah-muntah dan meninggal dunia.
LAHIRNYA JAKA MARUTA
Patih Suratimantra prihatin
melihat kematian Dewi Maherah. Ketika hendak menguburkan jasad wanita itu,
tiba-tiba datang seorang pendeta raksasa yang bernama Resi Anggawangsa dari
Gunung Rawisrengga. Pendeta raksasa itu mengaku mencium bau janin yang terbawa
angin. Karena penasaran, ia pun terbang mencari sumber bau tersebut. Ternyata
bau janin itu berasal dari perut Dewi Maherah.
Patih Suratimantra terkejut
senang bercampur sedih. Ia senang karena ternyata kakaknya memiliki keturunan akibat
perzinahan dua bulan yang lalu, dan ia sedih karena Dewi Maherah meninggal
dunia sehingga tidak mungkin bisa melahirkan. Resi Anggawangsa meminta Patih
Suratimantra untuk tetap tenang, karena yang meninggal hanya Dewi Maherah,
tetapi janin dalam kandungannya tetap hidup.
Resi Anggawangsa lalu
mengheningkan cipta mengerahkan kesaktiannya. Atas izin dewata, kandungan dalam
rahim Dewi Maherah berangsur-angsur matang dalam waktu singkat. Perut Dewi
Maherah yang sudah tidak bernyawa itu semakin membesar hingga akhirnya robek
dan keluarlah bayi laki-laki dari dalamnya.
Resi Anggawangsa lalu
menggendong bayi tersebut dan memberinya nama Jaka Maruta, yang artinya “pemuda
angin”. Ini sebagai pengingat bahwa Resi Anggawangsa dapat menemukannya berkat
hembusan angin yang membawa bau janin sampai ke Gunung Rawisrengga.
Patih Suratimantra sangat
bahagia melihat keponakannya telah lahir. Ia pun memberinya nama Raden Kangsa
Dewa, yang bermakna, putra Prabu Gorawangsa yang lahir berkat kemurahan dewata.
Patih Suratimantra pun meminta
bayi itu untuk diasuhnya di Kerajaan Guagra. Namun, Resi Anggawangsa
melarangnya. Ia berjanji bahwa dirinya yang akan mendidik Raden Kangsa alias
Jaka Maruta di puncak Gunung Rawisrengga. Kelak setelah dewasa dan memiliki
kesaktian tinggi, barulah Raden Kangsa diserahkan kepada Kerajaan Guagra. Resi
Anggawangsa juga melarang Patih Suratimantra untuk menyerang Kerajaan Mandura,
karena kelak Raden Kangsa sendiri yang akan membalas kematian ayah dan ibunya.
Patih Suratimantra yang sudah
melihat kesaktian Resi Anggawangsa hanya bisa mematuhi nasihat pendeta raksasa
tersebut. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa pun membawa terbang bayi Raden
Kangsa menuju Gunung Rawisrengga, sedangkan Patih Suratimantra menguburkan
jasad Dewi Maherah lalu pulang ke Kerajaan Guagra.
KELAHIRAN PUTRA-PUTRI PRABU BASUDEWA
Sementara itu, Prabu Basudewa dan
Prabu Pandu di Kerajaan Mandura sedang gelisah menunggu kelahiran putra-putra
mereka. Tidak lama kemudian datang seorang pelayan yang mengabarkan bahwa Dewi
Rohini telah melahirkan seorang bayi laki-laki berkulit putih kemerah-merahan.
Prabu Basudewa sangat bahagia dan memberinya nama, Raden Kakrasana.
Beberapa jam kemudian, Prabu
Basudewa menerima kabar bahwa Dewi Dewaki melahirkan seorang bayi laki-laki
berkulit hitam legam. Prabu Basudewa kembali berbahagia dan memberi nama
putranya itu, Raden Narayana. Akan tetapi, keadaan Dewi Dewaki melemah setelah
melahirkan, dan akhirnya ia pun meninggal dunia. Hal ini membuat Prabu Basudewa
sangat berduka. Ia pun menyerahkan Raden Narayana kepada Dewi Rohini untuk
disusui.
Esok harinya, pagi-pagi sekali
para pelayan menyampaikan kabar bahwa Dewi Badraini dan Dewi Kunti melahirkan
dalam waktu yang bersamaan. Prabu Basudewa dan Prabu Pandu sangat gembira dan
segera menjenguk mereka di kamar. Dewi Badraini melahirkan bayi perempuan yang
berkulit agak hitam. Prabu Basudewa pun memberi nama putrinya itu, Dewi Sumbadra,
mirip dengan nama ibunya.
Sementara itu, Dewi Kunti
melahirkan bayi laki-laki berkulit kuning langsat dan berwajah sangat tampan.
Prabu Pandu pun memberi nama putranya itu, Raden Arjuna, sedangkan Dewi Kunti memberinya
nama tambahan, Raden Permadi, yang bermakna “kasih sayang utama”. Prabu
Basudewa ikut berbahagia dan memberi nama panggilan untuk keponakannya tersebut,
Raden Parta, sesuai dengan nama Dewi Kunti sewaktu kecil, yaitu Dewi Prita.
Prabu Basudewa menggendong
bayi Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra lalu mengumumkan kelak mereka berdua hendaknya
menjadi jodoh. Prabu Pandu, Dewi Kunti, dan Dewi Badraini menjadi saksi atas pengumuman
tersebut.
KAPI JEMBAWAN DAN DEWI TRIJATA MENGHADAP PRABU BASUDEWA
Sore harinya, Prabu Basudewa
dan Prabu Pandu menerima kunjungan pasangan suami istri yang sudah sama-sama
tua. Yang laki-laki berwujud wanara (manusia kera), sedangkan yang wanita
terlihat cantik meskipun sudah tidak muda lagi. Pasangan tersebut mengaku
bernama Kapi Jembawan dan Dewi Trijata, yang dulunya pernah mengabdi kepada
Prabu Sri Rama dan Rakyanwara Sinta.
Kapi Jembawan dan Dewi Trijata
sudah ratusan tahun menikah tetapi belum juga memiliki keturunan. Mereka pun
mendapat petunjuk dewata supaya meminta restu kepada keturunan Prabu Sri Rama
yang bernama Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura.
Mendengar itu, Prabu Basudewa
segera maju dan minta izin untuk menyentuh perut Dewi Trijata. Begitu tangan
Prabu Basudewa menyentuh perut wanita tua itu, tiba-tiba muncul seberkas sinar
dari angkasa yang langsung masuk meresap ke dalam perut Dewi Trijata.
Tidak lama kemudian, Batara
Narada turun dari angkasa menampakkan diri. Ia menjelaskan bahwa Dewi Trijata sebentar
lagi akan mengandung seorang anak perempuan titisan Batari Sri Laksmi, dan
kelak setelah lahir hendaknya diberi nama Dewi Jembawati. Setelah dewasa, ia
akan menjadi jodoh putra Prabu Basudewa yang berkulit hitam, yaitu Raden
Narayana. Prabu Basudewa, Kapi Jembawan, dan Dewi Trijata menyembah hormat, mematuhi
petunjuk dari Batara Narada tersebut.
Batara Narada lalu menjelaskan
bahwa Batara Laksmanasadu dan Batara Basuki telah bersatu dan menitis kepada
putra Prabu Basudewa yang berkulit putih kemerahan, yaitu Raden Kakrasana.
Adapun Batara Wisnu membelah diri menjadi dua, yaitu menitis kepada Raden
Narayana dan Raden Permadi. Sementara itu, Batari Sri Wedawati telah menitis
pula kepada Dewi Sumbadra.
Batara Narada juga menceritakan
bahwa Dewi Maherah telah meninggal di hutan namun sempat melahirkan seorang bayi
yang diberi nama Raden Kangsa, akibat perbuatan Prabu Gorawangsa beberapa bulan
yang lalu. Kelak anak itu akan tumbuh menjadi manusia angkara murka. Prabu Basudewa
sangat marah dan berniat mencari anak itu untuk dibinasakan sejak dini. Namun,
Batara Narada melarangnya, karena sudah menjadi suratan takdir bahwa anak itu
hanya bisa dibunuh oleh kerja sama antara Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan
Dewi Sumbadra.
Oleh sebab itu, Batara Narada
pun memerintahkan Prabu Basudewa agar menyerahkan ketiga anaknya yang baru
lahir tersebut kepada Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi untuk diasuh di Desa
Widarakandang. Dengan cara demikian, mereka bertiga akan tumbuh menjadi
manusia-manusia bijaksana yang dekat dengan rakyat jelata. Sebaliknya, apabila
mereka tetap diasuh di dalam istana, maka ramalan dewa akan menjadi terbalik.
Bukannya mereka yang berhasil menewaskan Raden Kangsa, tetapi justru Raden
Kangsa yang akan membinasakan mereka semua.
Prabu Basudewa tidak berani
membantah. Dengan berat hati ia pun menyatakan patuh terhadap petunjuk Batara
Narada tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Narada pun undur diri kembali ke
Kahyangan Jonggringsalaka untuk melapor kepada Batara Guru.
Prabu Basudewa lalu
menyampaikan hal itu kepada segenap keluarga. Ia juga mengangkat Kapi Jembawan
dan Dewi Trijata sebagai juru kunci untuk merawat Astana Gandamadana, yaitu tempat
Bagawan Kuntiboja dan Dewi Bandondari dimakamkan.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
ikut menyimak kang
BalasHapusWah... Matur nuwun sudah mampir Kang.
BalasHapusBagus,alur crita terstruktur, mudah dipahami, tks
BalasHapusTrims.. atas pencerahannya,. semakin tahu dengan alur cerita sejarah wayang. .
BalasHapus