Kisah ini menceritakan perkawinan Aryaprabu Rukma dengan Batari
Arumbini, serta perkawinan Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Pada umumnya
kedua cerita tersebut dipentaskan sendiri-sendiri. Namun, karena kisahnya
hampir mirip, maka saya mencoba menggabungkannya menjadi satu lakon saja.
Kisah ini saya kembangkan dari sumber Ensiklopedia Wayang Purwa
terbitan Balai Pustaka, yang saya padukan dengan buku Reroncen Balungan
Lampahan Ringgit Purwa, karya Ki Bondhan Hargana.
Kediri, 23 Juni 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena |
KAHYANGAN JONGGRINGSALAKA DISERANG PASUKAN RAKSASA
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka
dihadap para dewa, antara lain Batara Narada dari Sidikpangudal-udal, Batara Brama
dari Daksinageni, dan Batara Indra dari Suralaya. Mereka sedang membicarakan perihal
Batara Wisnu yang telah lahir ke dunia sebagai manusia, yaitu menitis kepada
putra Prabu Basudewa yang bernama Raden Narayana, serta putra Prabu Pandu yang
bernama Raden Permadi. Sebagai pendamping, ikut menitis pula Batara
Laksmanasadu dan Batara Basuki yang terlahir sebagai Raden Kakrasana putra
Prabu Basudewa. Kini Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Raden Permadi telah
berusia tujuh tahun. Raden Kakrasana dan Raden Narayana dibesarkan di Desa
Widarakandang, sedangkan Raden Permadi dibesarkan di Kerajaan Hastina.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
datang dua raksasa yang mengaku bernama Patih Kaladirga dari Kerajaan Guamiring
dan Patih Kalaruci dari Kerajaan Paranggubarja. Raja Guamiring yang bernama
Prabu Sasradewa dan raja Paranggubarja yang bernama Prabu Garbaruci adalah saudara
seperguruan. Mereka sama-sama memiliki keinginan memperistri bidadari
kahyangan. Untuk itu, Prabu Sasradewa mengutus Patih Kaladirga untuk melamar
Batari Arumbini, sedangkan Prabu Garbaruci mengutus Patih Kalaruci untuk
melamar Batari Wresini. Kedua patih raksasa itu pun berangkat bersama-sama ke
Kahyangan Jonggringsalaka untuk menyampaikan pinangan tersebut kepada Batara
Guru selaku raja para dewa. Mereka juga berkata telah diberi wewenang penuh
oleh raja masing-masing untuk memboyong kedua bidadari tersebut, baik secara
halus maupun kasar.
Batara Brama dan Batara Indra
tersinggung mendengar ucapan kedua raksasa yang bernada menantang itu. Mereka
pun mempersilakan keduanya untuk menunggu di lapangan Repatkepanasan, karena di
sanalah Batari Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan. Mendengar itu,
Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci segera mohon pamit, keluar meninggalkan
Balai Marcukunda.
PASUKAN DEWATA DIKALAHKAN PASUKAN RAKSASA
Patih Kaladirga dan Patih
Kalaruci yang telah berada di luar Balai Marcukunda segera menyiagakan pasukan
raksasa dari Kerajaan Guamiring dan Paranggubarja. Mereka pun bersiap untuk menghadapi
pasukan dewata yang dipimpin Batara Brama dan Batara Indra.
Tidak lama kemudian, Batara
Brama dan Batara Indra muncul memimpin pasukan kahyangan, yang biasa disebut
pasukan Dorandara. Begitu kedua pihak bertemu, terjadilah pertempuran sengit di
antara mereka. Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci mampu membuktikan kesombongan
mereka. Kedua raksasa itu ternyata memiliki kesaktian tinggi yang mampu membuat
Batara Brama dan Batara Indra terdesak mundur.
Melihat pihak dewata
kewalahan, Batara Narada segera maju melerai mereka. Kepada kedua patih raksasa
tersebut, Batara Narada menyampaikan pesan bahwa kedua bidadari, yaitu Batari
Arumbini dan Batari Wresini akan diserahkan tapi menunggu waktu yang baik,
yaitu hari Selasa Kliwat atau Anggara Kasep, tanggal tiga puluh dua, bulan
Jumadilawas, tahun Bebas, bersamaan dengan terbitnya matahari dari barat.
Patih Kaladirga dan Patih
Kalaruci merasa bingung namun Batara Narada berhasil meyakinkan mereka. Kedua
patih raksasa itu lalu membawa pasukan mereka untuk mundur dan berkemah di kaki
Gunung Jamurdipa.
Setelah pasukan raksasa itu pergi,
Batara Narada segera menjelaskan kepada Batara Brama, Batara Indra, dan para
dewa lainnya bahwa musuh kahyangan hanya bisa dikalahkan oleh jago kahyangan.
Menurut petunjuk Batara Guru, manusia yang bisa menjadi jago para dewa saat ini
adalah kakak beradik dari Kerajaan Mandura, yaitu saudara muda Prabu Basudewa
yang bernama Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Untuk itu, Batara Narada pun diperintahkan
berangkat menjemput mereka naik ke kahyangan.
KISAH AIB DI KERAJAAN MANDURA
Batara Narada berhasil
menemukan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena sedang bertapa di Hutan Jatirokeh. Ia
pun turun dari angkasa membangunkan kedua pangeran tersebut. Aryaprabu Rukma
dan Arya Ugrasena membuka mata lalu mereka buru-buru menyembah hormat kepada
Batara Narada.
Batara Narada bertanya apa
yang menjadi tujuan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena bertapa di Hutan
Jatirokeh. Aryaprabu Rukma pun bercerita bahwa ia dan adiknya telah diusir dari
Kerajaan Mandura oleh sang kakak, yaitu Prabu Basudewa. Pada mulanya Aryaprabu
Rukma dan Arya Ugrasena sama-sama menyukai penyanyi istana yang bernama Ken
Yasoda. Namun kemudian, Prabu Basudewa menyerahkan Ken Yasoda yang sedang hamil
kepada Kyai Antyagopa, putra Buyut Gupala. Kyai Antyagopa lalu dijadikan sebagai
kepala Desa Widarakandang, bergelar Buyut Antyagopa, sedangkan Ken Yasoda
diganti namanya menjadi Nyai Sagopi.
Prabu Basudewa lalu menugasi
Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi untuk mengasuh ketiga anaknya, yaitu Raden
Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya, sesuai petunjuk dewata. Dengan
alasan ingin menjenguk ketiga keponakannya itu, Aryaprabu Rukma pun berkunjung
ke Desa Widarakandang untuk menemui Nyai Sagopi. Dengan segala bujuk rayu serta
ancaman, Aryaprabu Rukma akhirnya bisa melampiaskan nafsunya kepada Nyai Sagopi,
tanpa sepengetahuan Buyut Antyagopa.
Arya Ugrasena yang juga
menyukai Nyai Sagopi pun menggunakan cara sama. Dengan alasan ingin menjenguk
ketiga keponakannya, ia berhasil pula melampiaskan nafsu birahi kepada istri
Buyut Antyagopa tersebut.
Setelah peristiwa aib
tersebut, Nyai Sagopi pun mengandung. Pada awalnya Buyut Antyagopa marah ketika
mengetahui istrinya telah berselingkuh dengan dua pangeran sekaligus. Akan
tetapi, pada suatu malam ia bermimpi mendapat petunjuk dewa bahwa janin yang
dikandung Nyai Sagopi kelak akan menjadi orang-orang mulia. Sudah menjadi
takdir Yang Mahakuasa bahwa benih yang ditanam Aryaprabu Rukma dan Arya
Ugrasena sama-sama hidup di dalam rahim Nyai Sagopi dan berkembang menjadi
janin perempuan dan laki-laki.
Janin perempuan dalam rahim
Nyai Sagopi itu berasal dari benih Aryaprabu Rukma, jika kelak lahir ke dunia hendaknya
diberi nama Rara Sati, dan diakui sebagai putri Buyut Antyagopa. Nanti setelah
dewasa ia akan menjadi prajurit wanita tangguh dan menikah dengan Raden Arjuna,
putra Prabu Pandu Dewanata. Sementara itu, janin yang laki-laki berasal dari
benih Arya Ugrasena, kelak jika lahir hendaknya diserahkan kepada Kyai Adirata
di Desa Petapralaya, supaya diberi nama Adimanggala dan dipersaudarakan dengan
putra angkatnya yang bernama Karna Basusena. Nanti setelah dewasa, apabila
Karna Basusena menjadi raja, maka Adimanggala akan ikut mendapat kemuliaan
sebagai patihnya.
Demikianlah, Buyut Antyagopa
lalu pergi ke istana Mandura untuk menceritakan petunjuk dewata tersebut kepada
Prabu Basudewa. Ia mengaku ikhlas dan tidak sakit hati meskipun istrinya
dihamili dua pangeran Mandura sekaligus. Ia justru merasa ini mungkin sudah menjadi
tugas dari Nyai Sagopi untuk mengandung dan melahirkan orang-orang mulia di
kemudian hari. Setelah bercerita demikian, Buyut Antyagopa lalu mohon pamit
pulang ke Widarakandang.
Kebaikan hati Buyut Antyagopa
justru membuat Prabu Basudewa merasa sangat malu. Ia pun memanggil dan memarahi
Aryaprabu Rukma serta Arya Ugrasena. Mengenai aib ini hendaknya menjadi rahasia
dan jangan sampai didengar oleh rakyat, karena akan mencoreng wibawa Kerajaan
Mandura. Prabu Basudewa lalu memerintahkan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena
untuk segera menikah dengan wanita lain agar mereka bisa melupakan sosok Nyai
Sagopi. Prabu Basudewa juga melarang kedua adiknya mengunjungi Desa
Widarakandang karena tidak pantas dua pangeran Mandura berhubungan dengan bekas
pelayan istana yang kini sudah menjadi istri orang.
Aryaprabu Rukma dan Arya
Ugrasena agak tersinggung mendengar ucapan kakaknya. Tanpa sengaja mereka pun
mengungkit peristiwa sembilan tahun yang lalu saat Prabu Basudewa berhubungan
dengan Nyai Sagopi yang masih bernama Ken Yasoda. Dari hubungan itu telah lahir
seorang putra yang diberi nama Udawa, yang kini diakui sebagai putra sulung
Buyut Antyagopa.
Mendengar aibnya diungkit,
Prabu Basudewa semakin marah dan mengusir kedua adiknya itu. Aryaprabu Rukma
dan Arya Ugrasena ketakutan dan segera pergi meninggalkan istana Mandura.
ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENJADI JAGO KAHYANGAN
Demikianlah, Aryaprabu Rukma
dan Arya Ugrasena bercerita kepada Batara Narada tentang latar belakang kenapa
mereka pergi dari istana. Tujuan mereka bertapa di Hutan Jatirokeh adalah untuk
meminta petunjuk dewata tentang siapa wanita yang bisa menjadi jodoh mereka.
Karena hanya dengan memiliki istri, maka mereka bisa diterima kembali oleh
Prabu Basudewa dan mendapatkan maaf dari sang kakak.
Batara Narada pun berkata
bahwa jodoh Aryaprabu Rukma adalah Batari Arumbini, sedangkan jodoh Arya
Ugrasena adalah Batari Wresini. Kedua bidadari tersebut kini sedang dilamar
oleh Patih Kaladirga dan Patih Kalaruci untuk menjadi istri raja-raja mereka.
Batara Narada berkata bahwa kedua bidadari itu akan diserahkan kepada Aryaprabu
Rukma dan Arya Ugrasena asalkan mereka mampu menumpas pasukan raksasa yang kini
mengepung Kahyangan Jonggringsalaka.
Aryaprabu Rukma dan Arya
Ugrasena menyatakan bersedia. Batara Narada senang mendengarnya dan segera
membawa mereka naik menuju kahyangan.
KEMATIAN PATIH KALARUCI DAN PATIH KALADIRGA
Begitu sampai di Kahyangan
Jonggringsalaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena segera menjalankan tugas.
Mereka pun memimpin pasukan Dorandara menggempur perkemahan para raksasa di
kaki Gunung Jamurdipa. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih Kaladirga
bertarung melawan Aryaprabu Rukma, sedangkan Patih Kalaruci bertarung melawan
Arya Ugrasena. Sudah menjadi suratan takdir bahwa kedua patih raksasa yang sakti
itu akhirnya tewas di tangan dua pangeran dari Mandura tersebut.
Melihat pemimpin mereka tewas,
para prajurit raksasa pun berhamburan melarikan diri, meninggalkan Gunung
Jamurdipa.
PRABU SASRADEWA DAN PRABU GARBARUCI DATANG MENYERANG
Berita kematian Patih
Kaladirga dan Patih Kalaruci telah terdengar oleh Prabu Sasradewa dan Prabu
Garbaruci. Kedua raja yang satu perguruan itu pun marah dan berangkat menyerang
Kahyangan Jonggringsalaka. Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena segera menghadang
mereka dan terjadilah pertempuran sengit. Prabu Sasradewa berhasil menangkap
Aryaprabu Rukma dan melemparkan tubuhnya jauh-jauh, begitu pula dengan Prabu
Garbaruci yang berhasil menangkap dan melemparkan tubuh Arya Ugrasena.
Melihat kedua jago kahyangan telah
kalah dan tidak diketahui nasibnya, Batara Guru pun memerintahkan Batara
Cingkarabala dan Batara Balaupata untuk menutup rapat-rapat pintu gerbang
kahyangan, yaitu Kori Selamatangkep. Dengan demikian, Prabu Sasradewa dan Prabu
Garbaruci pun tertahan di luar tanpa bisa masuk ke dalam kahyangan.
ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MENDAPAT BANTUAN PRABU PANDU
Sementara itu, tubuh Aryaprabu
Rukma dan Arya Ugrasena yang terlempar jauh akhirnya jatuh di Hutan
Mandalasana. Saat itu Prabu Pandu bersama para panakawan Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong sedang berada di dalam hutan tersebut untuk
mengunjungi putranya yang nomor dua, yaitu Raden Bima yang masih berada di dalam
bungkus sejak lahir.
Melihat kedua adik iparnya
jatuh dari kahyangan, Prabu Pandu segera mendatangi dan mengobati mereka.
Setelah Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena pulih dari luka, mereka pun ingin
kembali ke kahyangan untuk menghadapi kedua musuh tadi. Prabu Pandu menyatakan
siap membantu. Ia meminjamkan pusaka Panah Mustikajamus dan Keris Pulanggeni
kepada kedua adik iparnya itu, kemudian ikut bersama menemani mereka kembali
naik ke kahyangan.
Demikianlah, setelah mendapat
bantuan senjata pusaka, Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena kembali menantang
Prabu Sasradewa dan Prabu Garbaruci. Akhirnya, Prabu Sasradewa pun tewas
terkena Panah Mustikajamus yang dilepaskan Aryaprabu Rukma, sedangkan Prabu
Garbaruci tewas tertusuk Keris Pulanggeni di tangan Arya Ugrasena.
ARYAPRABU RUKMA DAN ARYA UGRASENA MEMBOYONG DUA BIDADARI
Batara Guru dan segenap para
dewa berterima kasih kepada Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena atas jasa mereka
menumpas musuh kahyangan, juga kepada Prabu Pandu Dewanata yang telah
memberikan bantuan kepada mereka.
Sesuai janji di awal, Batara
Guru pun menyerahkan Batari Arumbini kepada Aryaprabu Rukma, serta Batari
Wresini kepada Arya Ugrasena. Kedua pangeran itu berterima kasih, lalu mohon
diri memboyong para bidadari tersebut ke Kerajaan Mandura dengan ditemani Prabu
Pandu dan para panakawan.
PRABU BASUDEWA MENIKAHKAN ADIK-ADIKNYA
Prabu Basudewa di Kerajaan
Mandura menyambut kepulangan Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena yang
masing-masing telah membawa bidadari sebagai calon istri. Prabu Basudewa pun
meminta maaf karena telah berlaku kasar mengusir kedua adiknya itu. Sebaliknya,
Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena juga meminta maaf karena telah menyinggung
perasaan sang kakak.
Demikianlah, pada hari yang
dianggap baik dilaksanakan upacara perkawinan antara Aryaprabu Rukma dengan
Batari Arumbini, serta Arya Ugrasena dengan Batari Wresini. Upacara pernikahan
ganda ini berlangsung meriah dan banyak dihadiri para tamu serta undangan.
Tiba-tiba kemeriahan tersebut
diganggu oleh datangnya serangan dari adik kandung Prabu Garbaruci yang bernama
Raden Garbanata dari Kerajaan Paranggubarja. Prabu Pandu segera turun tangan
membantu pihak Mandura. Dengan cekatan ia berhasil meringkus Raden Garbanata
dan menyerahkannya kepada Prabu Basudewa.
Prabu Basudewa bersedia
mengampuni Raden Garbanata asalkan ia bersumpah tidak lagi mengganggu
ketenangan Kerajaan Mandura. Raden Garbanata terkesan atas kebaikan hati Prabu
Basudewa dan ia pun bersumpah tidak akan mengganggu Kerajaan Mandura lagi.
Prabu Basudewa senang
mendengarnya. Ia pun mempersilakan Raden Garbanata untuk menjadi raja
Paranggubarja, menggantikan kakaknya yang telah meninggal. Raden Garbanata
berterima kasih, dan sejak saat itu ia pun memakai gelar Prabu Garbanata. Ia
juga mengganti nama Kerajaan Paranggubarja menjadi Kerajaan Garbaruci, untuk
mengenang mendiang kakaknya.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar