Kisah ini menceritakan Raden Bima putra kedua Prabu Pandu keluar dari
dalam bungkus berkat bantuan Gajah Sena yang dikirim para dewa. Gajah Sena
kemudian bersatu jiwa raga dengan Raden Bima, sehingga Pandawa nomor dua
tersebut kemudian dikenal dengan nama Raden Bimasena.
Kisah ini saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan pentas
pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Anom Suroto.
Kediri, 03 Juli 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA DITUGASI MENJEMPUT RADEN BIMA
Prabu Pandu Dewanata di
Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma,
Adipati Dretarastra, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya
Suman. Mereka sedang membicarakan putra kedua Prabu Pandu, yaitu Raden Bima
yang sejak lahir ke dunia berada dalam bungkus dan diletakkan di Hutan
Mandalasana. Tak terasa kini sudah memasuki tahun keempat belas sejak peristiwa
kelahiran tersebut terjadi.
Hari demi hari Prabu Pandu
menunggui kapan kiranya Pandawa nomor dua tersebut dapat keluar dari dalam selaput
yang selama ini membungkusnya. Sebenarnya ia sudah beberapa kali mencoba untuk
membuka bungkus tersebut. Namun, tiada satu pun senjata yang mampu merobek
selaput pembungkus Raden Bima.
Hingga akhirnya, tadi malam
Prabu Pandu mendapat petunjuk dewa bahwa putra keduanya itu akan segera keluar
dari dalam bungkus. Ia pun berniat pergi ke Hutan Mandalasana untuk menyaksikan
detik-detik keluarnya Raden Bima dan menjemputnya pulang ke istana.
Arya Suman satria Plasajenar
maju menyampaikan usulan, bahwa akan lebih baik jika Prabu Pandu tetap berada
di istana untuk mempersiapkan upacara penyambutan Raden Bima. Urusan menjemput
kepulangan Raden Bima cukup diserahkan kepada para punggawa saja. Dalam hal ini
ia siap melaksanakan tugas penjemputan tersebut. Adipati Dretarastra
membenarkan usulan Arya Suman dan ia pun ikut menyarankan agar Prabu Pandu
menugasi salah seorang di sini untuk pergi ke Hutan Mandalasana.
Prabu Pandu menimbang-nimbang
usulan Arya Suman dan Adipati Dretarastra tersebut. Ia akhirnya menyerahkan
tugas penjemputan tersebut kepada adiknya, yaitu Raden Yamawidura dengan
ditemani Patih Gandamana. Bagaimanapun juga tugas menjemput kedatangan sang
putra kedua akan lebih baik diserahkan kepada anggota keluarga, bukan kepada
punggawa biasa.
Menerima tugas tersebut, Raden
Yamawidura dan Patih Gandamana menyatakan sanggup. Mereka lalu mohon pamit meninggalkan
istana. Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu pun membubarkan pertemuan. Ia kemudian
masuk ke dalam kedaton di mana Dewi Kunti dan Dewi Madrim telah menunggu di
gapura.
ARYA SUMAN MENDAHULUI KEPERGIAN RADEN YAMAWIDURA
Arya Suman merasa kesal karena
Prabu Pandu tidak memercayai dirinya untuk melaksanakan tugas menjemput
kepulangan Raden Bima. Sebenarnya, ia sudah merencanakan pembunuhan terhadap
putra dalam bungkus tersebut, karena ia yakin bahwa Pandawa nomor dua ini akan
menjadi batu sandungan bagi kemuliaan anak-anak Adipati Dretarastra, atau yang
disebut para Kurawa.
Karena tidak mendapat izin
dari Prabu Pandu, maka Arya Suman pun menjalankan rencana kedua, yaitu mengirim
pasukan dari Kerajaan Gandaradesa yang dipimpin adiknya, bernama Aryaprabu
Sarabasanta untuk membunuh Raden Bima bungkus. Adapun adiknya yang lain, yaitu Aryaprabu
Anggajaksa ditugasi untuk menghambat perjalanan Raden Yamawidura dan Patih
Gandamana agar tidak mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.
Begitu mendapat perintah dari
sang kakak, Aryaprabu Anggajaksa dan Aryaprabu Sarabasanta segera membagi
pasukan Gandaradesa menjadi dua. Pasukan yang pertama berangkat bersama
Aryaprabu Sarabasanta menuju ke Hutan Mandalasana, sedangkan pasukan yang kedua
bersama Aryaprabu Anggajaksa menghadang perjalanan Raden Yamawidura dan Patih
Gandamana.
Setelah kedua adiknya
berangkat, Arya Suman lantas mengajak kedua keponakannya, yaitu Raden Suyudana
dan Raden Dursasana untuk mengamati dari kejauhan. Kurawa nomor satu dan nomor dua
itu pun bertanya mengapa sepupu mereka, yaitu Raden Bima harus dibunuh. Arya
Suman menjawab bahwa putra Prabu Pandu dalam bungkus tersebut harus
disingkirkan kerena bisa menjadi penghalang bagi Raden Suyudana untuk mendapatkan
takhta Kerajaan Hastina. Sejak kecil, para Kurawa terutama Raden Suyudana memang
telah dihasut Arya Suman untuk selalu membenci putra-putra Prabu Pandu, serta menganggap
mereka sebagai musuh yang harus disingkirkan.
Setelah mendapat penjelasan
demikian, Raden Dursasana hanya tertawa-tawa sedangkan Raden Suyudana tampak
masih bimbang. Arya Suman tidak mau membuang-buang waktu. Ia pun memerintahkan
kedua keponakannya itu untuk segera naik kuda, lalu mereka pun bersama-sama
mengikuti pasukan Gandaradesa yang menuju Hutan Mandalasana.
ARYAPRABU ANGGAJAKSA MENGHADANG RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA
Aryaprabu Anggajaksa bersama
pasukannya mengenakan topeng supaya tidak dikenali oleh Raden Yamawidura dan
Patih Gandamana. Mereka pun menghadang perjalanan kedua orang itu agar tidak
dapat mencapai Hutan Mandalasana tepat waktu.
Karena dihadang secara
tiba-tiba oleh kawanan manusia bertopeng, Patih Gandamana dan Raden Yamawidura
segera membela diri. Patih Gandamana seorang diri bertarung melawan para
prajurit Gandaradesa, sedangkan Raden Yamawidura menghadapi Aryaprabu
Anggajaksa.
Setelah bertempur agak lama,
Patih Gandamana dan Raden Yamawidura akhirnya berhasil memukul mundur pasukan
dari Gandaradesa tersebut. Setelah pihak musuh melarikan diri, Raden Yamawidura
pun mengajak Patih Gandamana melanjutkan perjalanan.
ARYAPRABU SARABASANTA DITERJANG SI BUNGKUS
Sementara itu, Aryaprabu
Sarabasanta dan pasukannya telah sampai di Hutan Mandalasana. Mereka melihat si
bungkus tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas, sambil sesekali
terdengar suara menggeram seperti singa dari dalam benda itu. Tanpa banyak
bicara, mereka pun segera menghujani si bungkus dengan berbagai macam senjata.
Namun demikian, tidak ada satu
pun senjata mereka yang mampu merobek selaput pembungkus Raden Bima. Justru
sebaliknya, Raden Bima bungkus tiba-tiba bergerak menggelinding menghantam
orang-orang Gandaradesa suruhan Arya Suman tersebut.
Aryaprabu Sarabasanta beserta
pasukannya kelabakan menghadapi terjangan si bungkus. Mereka kalang kabut
berhamburan, bagaikan dihantam batu besar yang menggelinding ke sana kemari.
Tidak hanya itu, si bungkus ternyata mampu mengeluarkan angin topan yang
membuat orang-orang Gandaradesa itu terhempas jauh keluar dari Hutan
Mandalasana.
Arya Suman, Raden Suyudana,
dan Raden Dursasana merasa ngeri melihat pemandangan ini. Mereka pun bergegas
pergi dan menunda rencana membunuh Raden Bima sampai kelak jika sudah keluar
dari bungkusnya saja.
BATARA BAYU DAN GAJAH SENA MENDAPAT TUGAS MERUWAT SI BUNGKUS
Sementara itu di Kahyangan
Jonggringsalaka, Batara Guru dan Batara Narada sedang membahas tentang Pandawa
nomor dua, yaitu Raden Bima yang sudah saatnya keluar dari dalam bungkus. Sudah
empat belas tahun lamanya Raden Bima bertapa di dalam bungkus dan kini ia akan
keluar menjadi kesatria berkekuatan dahsyat yang lahir untuk membela kebenaran.
Batara Guru lalu memanggil Batara Bayu dan kendaraannya yang berwujud gajah,
bernama Gajah Sena untuk menghadap.
Setelah keduanya hadir, Batara
Guru pun menyampaikan perintahnya. Batara Bayu mendapat tugas untuk masuk ke
dalam bungkus dan memberikan pakaian lengkap kepada Raden Bima. Nanti jika
sudah selesai, maka Gajah Sena ditugasi untuk merobek selaput pembungkus Raden
Bima. Hal itu karena di muka bumi hanya gading milik Gajah Sena saja yang mampu
merobek bungkus tersebut. Setelah dirasa cukup, Batara Guru pun mempersilakan
keduanya berangkat. Keduanya lalu mohon diri untuk melaksanakan tugas tersebut.
BATARA BAYU MEMBERIKAN PAKAIAN KEPADA RADEN BIMA
Batara Bayu dan Gajah Sena
telah sampai di Hutan Mandalasana. Dengan kekuatan gaibnya, Batara Bayu pun
masuk menyusup ke dalam bungkus dan menemui Raden Bima. Ia memperkenalkan diri
sebagai ayah angkat Raden Bima, serta menjelaskan bahwa orang tua kandungnya berada
di Kerajaan Hastina, bernama Prabu Pandu Dewanata dan Dewi Kunti.
Raden Bima bertanya kapan
dirinya akan keluar dari dalam bungkus untuk melihat dunia luas. Batara Bayu
menjelaskan bahwa sebentar lagi akan ada Gajah Sena yang datang untuk merobek bungkusnya.
Namun sebelum itu, Batara Bayu akan memberikan pakaian lengkap terlebih dulu kepada
Raden Bima. Pakaian tersebut berupa Pupuk Mas Jarot Asem, Anting Panunggul
Manik Warih, Sumping Pudak Sinumpet, Kain Poleng Bang Bintulu Aji, Gelang
Candrakirana, Kelatbahu Cepok Manggis, dan Ikat Pinggang Cinde Bara.
Setelah Raden Bima mengenakan
semua pakaian tersebut, Batara Bayu segera keluar dari dalam bungkus dan memberi
isyarat kepada Gajah Sena, lalu ia pun terbang ke angkasa.
GAJAH SENA MEROBEK BUNGKUS RADEN BIMA
Begitu menerima isyarat dari
Batara Bayu, Gajah Sena segera maju dan mulai berusaha membuka bungkus Raden
Bima. Ia menginjak-injak bungkus tersebut dan juga membelitnya dengan belalai.
Hingga akhirnya, kedua gadingnya pun menembus dan merobek bungkus Raden Bima.
Begitu pembungkusnya terbuka,
Raden Bima langsung keluar dan berdiri tegak di hadapan Gajah Sena. Sungguh
Gajah Sena merasa kagum melihat Raden Bima yang baru berusia empat belas tahun
namun bertubuh tinggi besar melebihi orang dewasa. Tiba-tiba ia teringat ucapan
Batara Guru bahwa Raden Bima terlahir menjadi pria perkasa yang senantiasa
membela kebenaran. Hal itu menyebabkan terlintas keinginannya untuk bersatu
jiwa raga dengan pemuda tersebut.
Maka, Gajah Sena pun segera maju
menyerang Raden Bima untuk memancing amarahnya. Raden Bima yang terkejut karena
diserang secara tiba-tiba segera membela diri. Ia pun bergulat menghadapi gajah
kahyangan tersebut. Setelah bertarung cukup lama, akhirnya Raden Bima berhasil
mematahkan kedua gading di mulut Gajah Sena. Begitu gadingnya patah, Gajah Sena
langsung musnah dan berubah menjadi cahaya, kemudian masuk ke dalam tubuh Raden
Bima. Tidak hanya itu, kedua gading milik Gajah Sena pun bersatu pula di dalam
jempol tangan kiri dan kanan Raden Bima, membentuk semacam kuku yang sangat
tajam.
RADEN BIMA BERTEMU RADEN YAMAWIDURA DAN PATIH GANDAMANA
Tidak lama kemudian Raden
Yamawidura dan Patih Gandamana datang di Hutan Mandalasana. Raden Bima langsung
menyerang mereka karena mengira keduanya adalah teman Gajah Sena. Patih
Gandamana maju menghadapinya. Keduanya pun bergulat sama-sama kuat tidak ada yang
kalah. Dalam hati Patih Gandamana merasa heran mengapa ada anak muda yang
begitu perkasa dan mampu menyamai kekuatannya.
Tiba-tiba dari angkasa turun
Batara Narada dan Batara Bayu yang melerai mereka. Raden Bima yang mengenali
Batara Bayu segera menghentikan perkelahian, begitu pula dengan Patih
Gandamana. Batara Narada pun memperkenalkan Raden Bima adalah putra kedua Prabu
Pandu yang telah keluar dari dalam bungkusnya. Raden Yamawidura dan Patih
Gandamana sangat gembira mendengar itu. Mereka pun bergantian memeluk sang
keponakan.
Batara Narada juga berpesan
kepada Raden Bima apabila ingin bertemu dengan kedua orang tua kandungnya, maka
harus mengikuti Raden Yamawidura dan Patih Gandamana pulang ke Kerajaan
Hastina. Raden Bima pun menurut. Setelah berkata demikian, Batara Narada memungut
selaput bekas pembungkus tubuh Raden Bima yang berserakan di tanah, lalu
membawanya terbang menuju ke Kadipaten Banakeling.
Setelah Batara Narada pergi,
Batara Bayu pun berpesan kepada Raden Bima bahwa sepasang gading milik Gajah
Sena yang kini bersatu di kedua jempol tangannya dapat menjadi pusaka yang ampuh.
Apabila Raden Bima berkehendak, maka kedua kuku jempol tersebut dapat memanjang
sampai satu jengkal dan dapat digunakan untuk membunuh musuh. Sepasang kuku pusaka
tersebut hendaknya diberi nama Kuku Pancanaka. Selain Raden Bima, ada putra
angkat Batara Bayu lainnya yang juga memiliki Kuku Pancanaka, bernama Kapi
Anoman. Batara Bayu meramalkan bahwa suatu saat nanti Raden Bima pasti dapat
bertemu dengan tokoh wanara bernama Kapi Anoman tersebut.
Batara Bayu melihat Gajah Sena
kini telah bersatu jiwa raga dengan Raden Bima. Maka, ia pun memberikan nama
baru kepada putra angkatnya itu, Raden Bimasena. Setelah berkata demikian, ia
lalu undur diri kembali ke kahyangan. Raden Yamawidura, Patih Gandamana, dan
Raden Bimasena memberikan penghormatan, lalu mereka kembali ke Kerajaan
Hastina.
BATARA NARADA MENEMUI ADIPATI SAPWANI DAN DEWI DRATA
Sementara itu, Batara Narada
telah mendarat di Kadipaten Banakeling, yang masih termasuk bawahan Kerajaan
Hastina. Kadipaten Banakeling sendiri dipimpin oleh raja tua bernama Adipati
Sapwani yang semasa muda dulu pernah menyerang Kerajaan Hastina dan ditaklukkan
oleh Resiwara Bisma. Sudah puluhan tahun lamanya Adipati Sapwani menikah dengan
Dewi Drata namun tidak juga dikaruniai keturunan. Mereka pun tekun bertapa di
Gunung Gihacala untuk memohon kemurahan dewata agar bisa segera mendapatkan
putra.
Batara Narada yang telah hadir
di Gunung Gihacala segera membangunkan suami istri yang sedang bertapa
tersebut. Adipati Sapwani dan Dewi Drata membuka mata kemudian menyembah
hormat. Batara Narada menyampaikan pesan dari Batara Guru bahwa dewata telah
mengabulkan permohonan Adipati Sapwani dan Dewi Drata untuk mendapatkan putra.
Sebagai sarananya, Batara Narada menyerahkan selaput pembungkus Raden Bima
kepada Adipati Sapwani agar direndam di dalam Tirta Kaskaya selama tujuh hari
tujuh malam. Adapun Tirta Kaskaya adalah air hujan yang pertama kali turun dan
ditampung dalam sebuah wadah. Setelah itu, air rendaman tersebut harus diminum Adipati
Sapwani dan Dewi Drata sebelum melakukan hubungan badan.
Batara Narada berkata bahwa Tirta
Kaskaya bekas rendaman selaput pembungkus Raden Bima berkhasiat menyuburkan
benih Adipati Sapwani dan Dewi Drata. Kelak Dewi Drata akan melahirkan seorang
bayi laki-laki. Batara Narada berjanji akan datang lagi untuk “menjedi” bayi
tersebut sehingga tumbuh dewasa dalam waktu singkat. Putra yang dibesarkan
dalam waktu singkat itu kelak hendaknya diberi nama Raden Jayadrata.
Adipati Sapwani dan Dewi Drata
berterima kasih atas sarana yang diberikan dewata kepada mereka. Namun, mereka
merasa heran mengapa putra mereka kelak jika lahir harus dijedi supaya bisa
menjadi dewasa dalam waktu singkat? Batara Narada pun menjawab bahwa Raden
Jayadrata ditakdirkan menjadi jodoh Dewi Dursilawati, yaitu satu-satunya Kurawa
yang berkelamin wanita. Saat ini Dewi Dursilawati sudah berusia empat belas
tahun, sehingga Raden Jayadrata kelak jika sudah lahir harus dijedi menjadi
dewasa dalam waktu sekejap, agar bisa serasi dengan Dewi Dursilawati.
Mendengar penjelasan demikian,
Adipati Sapwani dan Dewi Drata merasa lega. Setelah dirasa cukup, Batara Narada
pun terbang kembali ke kahyangan.
RADEN BIMASENA BERTEMU KEDUA SAUDARANYA
Sementara itu di Kerajaan
Hastina, Raden Puntadewa dan Raden Permadi, yaitu putra pertama dan ketiga
Prabu Pandu telah mendengar kabar bahwa hari ini Raden Yamawidura dan Patih
Gandamana pergi ke Hutan Mandalasana untuk menjemput kepulangan saudara mereka.
Keduanya merasa gembira dan memutuskan untuk menyusul ke hutan. Mereka sengaja
tidak memberi tahu sang ayah karena pasti akan dilarang jika pergi ke sana.
Namun di tengah jalan, Raden
Puntadewa dan Raden Permadi dihadang Arya Suman bersama Raden Suyudana dan
Raden Dursasana. Karena rencananya untuk membunuh Raden Bima telah gagal, Arya
Suman pun memerintahkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana untuk memukuli Raden
Puntadewa dan Raden Permadi sebagai pelampiasan. Mendapat perintah demikian,
Raden Suyudana dan Raden Dursasana segera maju menyerang kedua Pandawa itu.
Raden Permadi berusaha membela
diri, sedangkan Raden Puntadewa mempersilakan jika Raden Suyudana dan Raden
Dursasana ingin memukul dirinya. Ia rela tidak melawan apabila itu memang bisa
membuat kedua sepupunya tersebut merasa bahagia.
Pada saat itulah tiba-tiba
muncul pemuda bertubuh tinggi besar yang langsung menerjang Raden Suyudana dan
Raden Dursasana. Pemuda tinggi besar itu tidak lain adalah Raden Bimasena yang
langsung menghajar mereka. Karena merasa kewalahan, Raden Suyudana dan Raden
Dursasana pun memilih kabur, dengan diikuti Arya Suman, paman mereka.
Raden Puntadewa dan Raden
Permadi berterima kasih atas pertolongan Raden Bimasena. Raden Yamawidura pun
menjelaskan bahwa Raden Bimasena ini adalah saudara mereka yang nomor dua, yang
baru saja keluar dari dalam bungkus. Raden Puntadewa dan Raden Permadi terharu
bahagia, lalu mereka pun berangkulan dengan Raden Bimasena.
Raden Yamawidura dan Patih
Gandamana pun memperkenalkan kedua pangeran remaja itu kepada Raden Bimasena.
Raden Puntadewa yang kini berusia enam belas tahun adalah kakak sulung Raden
Bimasena, sedangkan Raden Arjuna atau Raden Permadi yang kini berusia dua belas
tahun adalah adiknya. Mereka lalu bersama-sama melanjutkan perjalanan pulang ke
Kerajaan Hastina. Raden Puntadewa pun meminta kepada mereka semua untuk tidak
menceritakan perbuatan Raden Suyudana dan Raden Dursasana tadi kepada keluarga
di istana.
PRABU PANDU MENYAMBUT KEPULANGAN PUTRA KEDUANYA
Demikianlah, Raden Yamawidura
dan rombongannya telah sampai di istana Kerajaan Hastina. Prabu Pandu, Dewi
Kunti, dan segenap anggota keluarga lainnya menyambut kedatangan Raden Bimasena
dengan penuh perasaan haru dan bahagia.
Prabu Pandu kagum melihat putra
keduanya itu bertubuh tinggi besar dan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat.
Ia teringat dewata pernah berpesan bahwa penempatan Raden Bima bungkus di
tengah Hutan Mandalasana bukanlah sebagai pembuangan, melainkan sebagai sarana
bagi Pandawa nomor dua tersebut untuk melakukan tapa brata selama empat belas
tahun. Teringat pada hal itu, maka Prabu Pandu pun memberikan nama tambahan
untuk Raden Bimasena, yaitu Raden Bratasena.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Catatan : kisah Bima Bungkus ini menurut versi Raden Ngabehi Ranggawarsita
terjadi pada tahun Suryasengkala 679 yang ditandai dengan sengkalan “trusthaning
wiku angraras barakan”, atau bertepatan dengan tahun Candrasengakala 699 dengan
ditandai sengkalan “rudra mukar angayak langit”. Menurut versi ini, kisah Bima
Bungkus terjadi hanya beberapa hari saja setelah Bima Lahir, bahkan sebelum
Kurawa Lahir di tahun yang sama. Namun, menurut versi Ki Anom Suroto, kisah
Bima Bungkus terjadi belasan tahun setelah Bima Lahir.
Wah, terimakasih banyak kak, ini sangat sangat membantu tugas saya, seru banget bacanya, tapi kalo versi lain katanya yang memberi Bima pakaian itu seorang Dewi,kalo disini Batara Bayu ya, versinya banyak memang kak, jadi bingung juga, hehehe
BalasHapusAsal mula Gajah Seno menjadi titihan Batara Bayu ada ceritanya pak admin?
BalasHapusAryaprabu sarabasanta LAN punggawane klebu kaluwarga...
BalasHapusserulah
BalasHapus