Jumat, 16 Juni 2017

Udawa Waris



Kisah ini menceritakan tentang usaha Patih Udawa membangun Desa Widarakandang menjadi Kepatihan. Niatnya ini mendapat halangan dari Prabu Baladewa, yang juga telah dihasut oleh Patih Sangkuni.

Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Manteb Soedharsono, yang dipadukan dengan rekaman pentas wayang orang Sekar Budaya Nusantara, dengan disertai penambahan dan pengembangan seperlunya.

Kediri, 16 Juni 2017

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini
------------------------------ ooo ------------------------------

PATIH UDAWA MEMINTA IZIN MENDIRIKAN KEPATIHAN

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa dihadap Raden Samba Wisnubrata (putra mahkota) dan Arya Setyaki (adik ipar). Hadir pula sang kakak dari Kerajaan Mandura, yaitu Prabu Baladewa. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang Patih Udawa yang sudah dua bulan ini tidak hadir di istana untuk menjalankan tugas-tugasnya.

Prabu Baladewa mengaku sudah mendengar berita ini. Tujuan kedatangannya dari Kerajaan Mandura adalah untuk menasihati Prabu Kresna agar memberikan sanksi kepada Patih Udawa yang telah melalaikan kewajiban sebagai menteri utama. Prabu Kresna diminta untuk menegakkan keadilan agar kesalahan Patih Udawa tidak diulangi para menteri dan punggawa lainnya. Jangan sampai ada kasak-kusuk di belakang, bahwa Prabu Kresna pilih kasih, hanya karena Patih Udawa kawan sepermainan sejak kecil lantas tidak dihukum meskipun alpa dalam bertugas.

Tidak lama kemudian datanglah Nyai Sagopi dari Desa Widarakandang, yang merupakan ibu asuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa saat mereka kecil sampai menjadi remaja. Kedua raja itu pun menyambut sang ibu asuh dengan ramah dan penuh suasana kerinduan. Nyai Sagopi datang untuk menyampaikan permohonan maaf putranya, yaitu Patih Udawa yang sudah dua bulan ini pulang kampung dan melalaikan tugasnya sebagai patih di Kerajaan Dwarawati. Yang kedua, ia menyampaikan selembar surat yang ditulis putranya itu kepada Prabu Kresna.

Prabu Kresna menerima surat dari tangan Nyai Sagopi dan membaca isinya. Setelah membaca, ia hanya diam tidak bersuara. Prabu Baladewa penasaran dan mengambil surat tersebut. Begitu membaca isinya, ia langsung marah-marah dan mencaci-maki dengan perkataan kasar. Rupanya surat tersebut berisi permohonan Patih Udawa untuk membangun Desa Widarakandang menjadi Kepatihan. Prabu Baladewa pun marah besar karena Desa Widarakandang adalah termasuk wilayah Kerajaan Mandura, dan itu berarti Patih Udawa telah lancang melangkahi dirinya. Kemarahan Prabu Baladewa itu pun dilampiaskannya kepada Nyai Sagopi yang dianggap tidak becus mendidik anak. Nyai Sagopi ketakutan dan segera mohon pamit kembali ke Desa Widarakandang.

Prabu Baladewa masih marah meskipun Nyai Sagopi sudah pergi. Ia berkata Prabu Kresna tidak perlu menghukum Patih Udawa, karena ia sendiri yang akan turun tangan. Usai berkata demikian, Prabu Baladewa pun mohon pamit meninggalkan Kerajaan Dwarawati menuju Desa Widarakandang pula.

Prabu Kresna termangu-mangu melihat kejadian ini. Ia khawatir akan terjadi perang saudara antara Prabu Baladewa dengan Patih Udawa. Maka, Arya Setyaki pun diutus agar berangkat mendahului Prabu Baladewa, untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan buruk. Ia sendiri membubarkan pertemuan, lalu masuk ke dalam kedaton untuk berpamitan kepada para permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma.

Prabu Kresna dikunjungi Prabu Baladewa.
 
PRABU BALADEWA DIHASUT PATIH SANGKUNI AGAR MEMBUNUH PATIH UDAWA

Prabu Baladewa telah meninggalkan istana Dwarawati bersama Patih Pragota dan Arya Prabawa. Di tengah jalan mereka berjumpa rombongan dari Kerajaan Hastina, yaitu Patih Sangkuni dan para Kurawa, antara lain Arya Dursasana, Raden Kartawarma, Raden Srutayu, Raden Durmagati, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi. Selain mereka, terdapat pula Adipati Karna, Patih Adimanggala, Adipati Jayadrata, dan Bambang Aswatama dalam rombongan.

Prabu Baladewa bertanya ada perlu apa Patih Sangkuni dan rombongan datang menemui dirinya. Patih Sangkuni berkata bahwa dirinya sudah mendengar berita tentang Patih Udawa yang mangkir dari pekerjaannya sebagai menteri utama Kerajaan Dwarawati. Prabu Baladewa heran dan bertanya dari mana Patih Sangkuni tahu urusan dalam negeri Kerajaan Dwarawati. Patih Sangkuni pun menjawab bahwa ia tahu hal ini dari putrinya yang telah menjadi istri Patih Udawa, yaitu Dewi Antiwati.

Patih Sangkuni menambahkan bahwa Patih Udawa tidak hanya mangkir, tetapi juga sedang menyusun rencana makar terhadap Kerajaan Mandura. Prabu Baladewa tidak percaya karena ia tahu watak Patih Udawa yang polos, tentu tidak mungkin mempunyai niat memberontak. Patih Sangkuni pun memanas-manasi Prabu Baladewa dengan mengungkit kisah lama tentang Prabu Basudewa. Ia berkata bahwa Patih Udawa sering mengeluh kepada Dewi Antiwati bahwa dirinya sebagai putra sulung Prabu Basudewa tetapi diperlakukan tidak adil. Meskipun Patih Udawa adalah anak hasil hubungan gelap antara mendiang Prabu Basudewa dengan Nyai Sagopi, tetapi ia merasa berhak atas takhta Kerajaan Mandura. Bahkan, ia pernah berkata kepada istrinya itu, bahwa sebenarnya dirinya lebih pantas menjadi raja Mandura daripada Prabu Baladewa.

Prabu Baladewa marah besar mendengar ucapan Patih Sangkuni. Ia paham bahwa Patih Udawa memang putra sulung ayahnya, tetapi sama sekali tidak berhak atas takhta Kerajaan Mandura. Hal itu karena Patih Udawa adalah anak hasil hubungan gelap antara Prabu Basudewa semasa muda dengan Nyai Sagopi yang saat itu masih bernama Ken Yasoda. Akan tetapi, cerita ini sangat dirahasiakan karena dianggap sebagai aib Kerajaan Mandura. Ia merasa Patih Udawa telah bertindak lancang berani menceritakan hal ini kepada istrinya, sehingga akhirnya bocor pula kepada Patih Sangkuni.

Maka, Prabu Baladewa pun semakin bulat tekadnya ingin menghukum Patih Udawa yang seberat-beratnya. Patih Sangkuni menyatakan para Kurawa sanggup membantu. Hal ini karena Patih Udawa telah menjadi kakak ipar Raden Arjuna. Ia yakin menantunya itu berani makar karena mendapat dukungan para Pandawa. Oleh sebab itu, para Kurawa sebagai musuh Pandawa tidak akan tinggal diam dan siap membantu Prabu Baladewa.

Prabu Baladewa heran mengapa Patih Sangkuni membenci Patih Udawa yang merupakan menantunya sendiri. Patih Sangkuni menjawab dirinya menyimpan dendam sejak dulu, yaitu saat Patih Udawa mengadakan sayembara untuk memperebutkan Niken Larasati. Saat itu para Kurawa menderita kekalahan dan Patih Sangkuni tertangkap lalu dipermalukan di atas panggung oleh Patih Udawa. Demi menjaga nama baik, Patih Sangkuni terpaksa menyerahkan putrinya, yaitu Dewi Antiwati kepada Patih Udawa untuk dijadikan istri. Namun demikian, sejak saat itu ia menyimpan dendam dan ingin melenyapkan Patih Udawa.

Prabu Baladewa menerima penjelasan Patih Sangkuni. Ia lalu mengutus Patih Pragota untuk mendahului pergi ke Widarakandang. Patih Pragota ditugasi untuk memanggil Patih Udawa agar menghadap kepada Prabu Baladewa. Namun, apabila orang itu membangkang, maka Patih Pragota boleh menggunakan kekerasan untuk memaksanya. Patih Pragota merasa berat jika harus berkelahi dengan sepupu sendiri. Namun, ia tidak berani menolak perintah. Dengan sangat terpaksa, ia pun mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.

Patih Sangkuni.

PERTEMPURAN DI DESA WIDARAKANDANG

Di Desa Widarakandang, Patih Udawa sedang duduk berdua dengan Dewi Antiwati. Tiba-tiba Nyai Sagopi datang dan langsung marah-marah kepada Patih Udawa. Nyai Sagopi seorang buta huruf yang merasa dipermainkan anak sendiri. Tadinya ia mengira surat yang ia bawa untuk Prabu Kresna berisi permohonan izin memperpanjang cuti. Tak disangka ternyata isinya adalah permohonan izin untuk mendirikan kepatihan di Desa Widarakandang. Akibatnya, Nyai Sagopi pun menjadi sasaran amarah Prabu Baladewa yang kebetulan hadir di istana Dwarawati.

Patih Udawa heran mengapa Prabu Baladewa tidak setuju dan marah-marah mendengar dirinya hendak membangun kepatihan. Namun, ia tidak peduli. Yang berhak memberikan izin membangun kepatihan adalah Prabu Kresna, bukan Prabu Baladewa. Tekadnya sudah bulat. Siapa pun yang menentang rencananya akan ia hadapi, meskipun saudara sendiri.

Tidak lama kemudian, Patih Pragota pun datang. Ia menyampaikan pesan dari Prabu Baladewa untuk Patih Udawa agar membatalkan niat membangun kepatihan. Patih Pragota adalah putra mendiang Patih Saragupita, sedangkan Patih Saragupita adalah kakak kandung Nyai Sagopi. Dengan demikian, Patih Udawa adalah adik sepupu Patih Pragota. Namun demikian, Patih Udawa terlanjur bersumpah akan menghadapi siapa saja yang berniat menghalangi niatnya. Ia pun meminta Patih Pragota kembali ke rajanya. Soal membangun kepatihan bukanlah urusan Prabu Baladewa, demikian ia berpesan.

Patih Pragota yang sudah diberi wewenang segera memaksa Patih Udawa untuk meminta maaf kepada Prabu Baladewa. Patih Udawa pun menghadapi tentangan tersebut. Keduanya lalu bertarung tanpa memikirkan hubungan saudara. Dalam pertarungan itu, Patih Pragota terdesak dan dahinya tergores ujung keris milik Patih Udawa.

Patih Udawa sengaja tidak melukai kakak sepupunya, melainkan hanya menakut-nakuti saja. Patih Pragota pun merasa gentar dan segera mundur untuk melapor kepada Prabu Baladewa. Begitu mengetahui apa yang telah terjadi, Patih Sangkuni segera mengerahkan para Kurawa untuk mengeroyok Patih Udawa.

Pada saat itulah Arya Setyaki muncul dari persembunyian. Sejak tadi ia mengintai percakapan Patih Udawa dan Patih Pragota. Begitu melihat para Kurawa datang untuk ikut campur, ia segera maju menghadapi mereka. Maka, terjadilah pertempuran seru di halaman rumah Nyai Sagopi tersebut. Patih Udawa dan Arya Setyaki bekerja sama dan berhasil memukul mundur Arya Dursasana beserta saudara-saudaranya.

Patih Pragota.

PRABU KRESNA MENYURUH PATIH UDAWA PERGI KE KESATRIAN MADUKARA

Prabu Baladewa marah besar melihat ulah Patih Udawa yang dinilai kurang ajar. Menurut pengetahuannya, Desa Widarakandang adalah tanah wilayah Kerajaan Mandura, sehingga tidak bisa seenaknya Patih Udawa mendirikan kepatihan di situ. Tiba-tiba Prabu Kresna datang menyabarkannya. Raja Dwarawati itu berkata bahwa Patih Udawa adalah bawahannya, maka biarlah ia sendiri yang menjatuhkan hukuman.

Usai berkata demikian, Prabu Kresna pun mendatangi Patih Udawa dan Arya Setyaki. Ia bertanya apakah sudah bulat tekad Patih Udawa untuk membangun kepatihan di Widarakandang. Patih Udawa menjawab dirinya sudah bertekad demikian, meskipun harus mati akan tetap dilaksanakan. Prabu Kresna berkata bahwa tanah Widarakandang masih sengketa. Oleh sebab itu, hendaknya Patih Udawa menghadap Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata untuk meminta keterangan. Bagaimanapun juga Prabu Matsyapati adalah sesepuh para raja Tanah Jawa yang memiliki pusaka bernama Kitab Pustakaraja. Seluruh kerajaan beserta perubahan wilayahnya secara langsung tercatat dalam kitab ajaib pemberian Batara Indra tersebut.

Patih Udawa merasa rendah diri jika harus menghadap langsung kepada Prabu Matsyapati. Maka, ia pun meminta Prabu Kresna agar mendampingi keberangkatannya menuju Kerajaan Wirata. Prabu Kresna keberatan karena takut menyakiti perasaan Prabu Baladewa. Ia pun menyarankan agar Patih Udawa meminta bantuan adik iparnya saja, yaitu Raden Arjuna.

Patih Udawa menerima saran tersebut. Ia lalu mohon pamit berangkat menuju Kesatrian Madukara. Prabu Kresna kemudian memerintahkan Arya Setyaki untuk melindungi Nyai Sagopi, sedangkan dirinya mengamati persengketaan ini dari kejauhan.

Sementara itu, Prabu Baladewa telah mengetahui bahwa Patih Udawa melarikan diri dari Desa Widarakandang. Ia pun bergegas mengejar dengan mengendarai Gajah Puspadenta. Setelah Prabu Baladewa pergi, Patih Sangkuni segera memasuki rumah Nyai Sagopi untuk menjemput pulang Dewi Antiwati. Bagaimanapun juga ia ingin putrinya itu bercerai dengan Patih Udawa yang tidak disukainya.

Nyai Sagopi.

PATIH ADIMANGGALA BERUSAHA MENANGKAP PATIH UDAWA

Patih Udawa telah berjalan jauh dan akhirnya memasuki Desa Karangkadempel yang berada di wilayah Kerajaan Amarta. Tiba-tiba ia disusul Patih Adimanggala, yaitu bawahan Adipati Karna yang tadi hanya menonton saat para Kurawa mengeroyok Patih Udawa dan Arya Setyaki di Desa Widarakandang. Setelah Prabu Baladewa berangkat naik gajah, Patih Adimanggala pun meminta izin kepada Adipati Karna untuk ikut mengejar Patih Udawa. Adipati Karna mengizinkan karena jika Patih Adimanggala berhasil menangkap Patih Udawa, maka hubungannya dengan Prabu Baladewa menjadi lebih akrab.

Patih Udawa bertanya ada keperluan apa Patih Adimanggala mengejar dirinya. Patih Adimanggala berkata bahwa ia ingin menangkap Patih Udawa dan menyerahkannya kepada Prabu Baladewa. Jika berhasil, maka Patih Adimanggala pasti akan mendapatkan banyak hadiah dari raja Mandura tersebut dan juga pujian dari Adipati Karna.

Patih Udawa berkata bahwa Patih Adimanggala ternyata sama liciknya dengan sang majikan, yaitu Adipati Karna. Padahal jelas-jelas Adipati Karna sudah mengetahui bahwa para Pandawa adalah adik-adiknya, tetapi tetap saja mengabdi kepada Prabu Duryudana. Apalagi yang diinginkannya kalau bukan kedudukan dan kemewahan duniawi? Patih Udawa sangat benci melihat manusia licik seperti itu.

Patih Adimanggala tersinggung mendengar majikannya dihina. Ia pun maju menyerang Patih Udawa. Keduanya lalu bertarung seru. Kesaktian mereka seimbang, sama-sama kuat, sama-sama perkasa. Hingga akhirnya tiba-tiba muncul Kyai Semar dan ketiga panakawan lainnya melerai pertarungan keduanya.

Kyai Semar bertanya mengapa Patih Udawa dan Patih Adimanggala berkelahi di wilayah Kerajaan Amarta. Patih Udawa pun bercerita bahwa dirinya hendak menghadap Raden Arjuna tapi tiba-tiba diserang Patih Adimanggala. Kyai Semar lalu bertanya mengapa Patih Adimanggala ingin mencelakai saudara sendiri. Patih Adimanggala heran dan bertanya bagaimana bisa Patih Udawa adalah saudaranya.

Kyai Semar lalu bercerita bahwa Nyai Sagopi semasa muda bernama Niken Yasoda, berparas sangat cantik dan bekerja sebagai penyanyi di Kerajaan Mandura. Mendiang Prabu Basudewa pernah jatuh hati kepadanya, dan mereka pun melakukan hubungan asmara, hingga menyebabkan Niken Yasoda mengandung. Prabu Basudewa lalu menyerahkan Niken Yasoda kepada tukang kuda istana yang bernama Kyai Antyagopa dan menyuruh mereka tinggal di Desa Widarakandang untuk menyembunyikan aib. Sejak saat itulah Niken Yasoda diganti namanya menjadi Nyai Sagopi, dan ia pun melahirkan anak hasil hubungan dengan Prabu Basudewa yang kelak setelah dewasa menjadi Patih Udawa.

Meskipun tinggal di desa, kecantikan Nyai Sagopi tidak berkurang. Diam-diam, adik Prabu Basudewa yaitu Aryaprabu Rukma datang menemuinya. Mereka lalu berhubungan dan lahirlah Niken Larasati. Kemudian datang pula adik bungsu Prabu Basudewa, yaitu Arya Ugrasena yang juga merayu Nyai Sagopi. Dari hubungan tersebut lahir pula seorang bayi laki-laki.

Buyut Antyagopa seorang tua yang lemah syahwat. Ia mengetahui istrinya yang muda dan cantik berselingkuh dengan dua pangeran istana namun tidak berani menghentikan mereka. Maka, ia pun melapor kepada Prabu Basudewa tentang ulah kedua pangeran tersebut. Prabu Basudewa marah besar dan memerintahkan kedua adiknya untuk menikah dengan wanita lain. Aryaprabu Rukma lalu menikah dengan Dewi Rumbini yang kelak melahirkan Dewi Rukmini dan Raden Rukmaka, sedangkan Arya Ugrasena menikah dengan Dewi Wresini yang kelak melahirkan Dewi Setyaboma dan Arya Setyaki.

Sementara itu, bayi laki-laki yang dilahirkan Nyai Sagopi dari hasil hubungan dengan Arya Ugrasena kemudian dibawa pergi oleh Buyut Antyagopa. Hal ini karena Buyut Antyagopa mendapat wangsit dari dewata agar bayi tersebut dikeluarkan dari Desa Widarakandang dan diserahkan kepada Kyai Adirata di Kerajaan Hastina. Menurut dewata, bayi tersebut ditakdirkan mendapat kemuliaan apabila berada dalam asuhan pria tersebut.

Kyai Adirata tinggal di Desa Petapralaya dan bekerja sebagai kusir kereta di Kerajaan Hastina. Ia menyambut baik kedatangan Buyut Antyagopa dan menerima bayi laki-laki tersebut sebagai anak angkat. Karena diasuh oleh Kyai Adirata, maka bayi itu diberi nama Adimanggala, dan dipersaudarakan dengan anak-anaknya yang lain, yaitu Radeya, Druwajaya, dan Jayarata. Kelak Radeya berhasil menjadi adipati di Awangga, bergelar Adipati Karna, dan Adimanggala pun diangkat sebagai patihnya.

Mendengar cerita Kyai Semar tersebut, Patih Adimanggala terharu dan merasa bersalah telah menyerang saudara sendiri demi mendapatkan pujian atasan. Ia pun meminta maaf kepada Patih Udawa dan kemudian buru-buru pergi meninggalkan tempat itu.

Patih Adimanggala.

PATIH UDAWA DIUSIR RADEN ARJUNA

Kyai Semar lalu bertanya ada keperluan apa Patih Udawa ingin menemui Raden Arjuna. Patih Udawa pun bercerita bahwa dirinya bersengketa dengan Prabu Baladewa mengenai hak kepemilikan Desa Widarakandang. Prabu Kresna menyarankan kepadanya untuk meminta keadilan kepada Prabu Matsyapati di Kerajaan Wirata. Namun, Patih Udawa malu dan merasa rendah diri, sehingga datang ke Kerajaan Amarta untuk meminta bantuan Raden Arjuna agar mendampingi.

Kyai Semar memahami permasalahan yang dihadapi Patih Udawa. Ia pun mengajak pria tersebut untuk menemui Raden Arjuna di Kesatrian Madukara.

Sesampainya di sana, Patih Udawa segera menyampaikan salam hormat kepada Raden Arjuna dan para istri, lalu menceritakan semua permasalahan yang ia hadapi. Raden Arjuna merasa keberatan jika dirinya harus mendampingi Patih Udawa untuk menghadap Prabu Matsyapati. Dalam hal ini ia merasa segan terhadap Prabu Baladewa. Patih Udawa kecewa dan memohon Raden Arjuna agar bersedia membantu dirinya. Namun, Raden Arjuna tetap saja menyalahkan Patih Udawa dan mengusir kakak iparnya itu dari Kesatrian Madukara.

Niken Larasati berlari mengejar kakaknya yang putus asa, sedangkan Dewi Sumbadra marah atas tindakan kasar sang suami. Ia berkata bahwa sejak kecil Patih Udawa sudah dianggapnya sebagai kakak sulung. Saat masih kecil, Dewi Sumbadra sering digendong dan dilindungi oleh Patih Udawa dari segala bahaya. Ia tidak dapat melupakan jasa dan menyatakan siap membantu mendampingi kakaknya itu meminta keadilan kepada Prabu Matsyapati.

Dewi Sumbadra.

RADEN ARJUNA MENYABARKAN PRABU BALADEWA

Dewi Sumbadra kemudian pergi menyusul Patih Udawa, dan bersama-sama pergi menuju Kerajaan Wirata. Raden Arjuna kecewa melihat Dewi Sumbadra berbuat lancang di hadapannya. Namun, Kyai Semar berhasil meredam kemarahannya. Justru Raden Arjuna seharusnya bangga memiliki istri yang tegas dan mengingat jasa orang lain seperti Dewi Sumbadra, bukannya malah kecewa.

Tiba-tiba Prabu Baladewa datang dan marah-marah meminta Raden Arjuna untuk tidak melindungi Patih Udawa yang menjadi buronan baginya. Raden Arjuna berusaha menyabarkan kakak iparnya itu. Ia berkata bahwa saat ini Patih Udawa dan Dewi Sumbadra telah pergi ke Kerajaan Wirata untuk meminta Prabu Matsyapati menengahi persengketaan atas tanah Widarakandang. Sebagai seorang raja agung, hendaknya Prabu Baladewa mengutamakan jalur hukum, bukannya memaksa orang dengan menggunakan kekerasan.

Prabu Baladewa merasa ucapan Raden Arjuna ada benarnya. Ia pun mengajak adik iparnya itu untuk pergi menyusul ke Kerajaan Wirata.

Raden Arjuna.

PRABU MATSYAPATI MENENGAHI PERSENGKETAAN DESA WIDARAKANDANG

Di Kerajaan Wirata, Prabu Matsyapati dihadap ketiga putranya, yaitu Arya Seta, Arya Utara, dan Arya Wratsangka. Hadir pula Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, dan Arya Wrekodara yang berniat menjadi saksi dalam sidang pengadilan sengketa antara Prabu Baladewa dan Patih Udawa.

Patih Udawa datang menghadap dengan didampingi Dewi Sumbadra. Sebagai juru bicara, Dewi Sumbadra memintakan keadilan untuk kakaknya tersebut kepada Prabu Matsyapati. Yang terakhir tiba adalah Prabu Baladewa dengan ditemani Raden Arjuna dan para panakawan.

Kedua pihak yang bersengketa pun saling berebut benar. Menurut Prabu Baladewa, Desa Widarakandang adalah wilayah Kerajaan Mandura, sehingga Patih Udawa tidak dapat seenaknya mendirikan kepatihan di sana. Sementara itu, Patih Udawa menjelaskan bahwa mendiang Prabu Basudewa telah menyerahkan Desa Widarakandang sepenuhnya kepada mendiang Buyut Antyagopa, dan tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura. Namun, saat ditanyai soal bukti hitam di atas putih, Patih Udawa mengaku tidak memiliki.

Prabu Matsyapati merasa perlu untuk membuka Kitab Pustakaraja. Kitab ini merupakan pusaka pemberian Batara Indra yang berisi daftar kerajaan yang ada di Tanah Jawa, lengkap dengan batas-batas wilayahnya. Apabila ada suatu negara yang mengalami perubahan wilayah, maka secara ajaib naskah dalam Kitab Pustakaraja juga ikut berubah dengan sendirinya.

Setelah Arya Seta mengambilkan kitab tersebut, Prabu Matsyapati segera membaca bab Kerajaan Mandura. Dalam kitab itu terdapat tulisan, Prabu Basudewa berterima kasih atas jasa Buyut Antyagopa mengasuh anak-anaknya, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya. Atas jasanya itu, Prabu Basudewa pun membebaskan Desa Widarakandang tidak lagi berada di bawah Kerajaan Mandura, dan bebas menentukan nasibnya sendiri.

Prabu Baladewa malu mendengar keterangan tersebut. Ia masih tidak dapat mengakui kemenangan Patih Udawa atas sengketa. Maka, ia lalu menantang Patih Udawa bertanding di halaman istana Wirata. Apabila Patih Udawa mampu menangkis pukulan Senjata Nanggala, maka ia bersedia melepaskan Desa Widarakandang.

Usai berkata demikian, Prabu Baladewa segera memohon izin kepada Prabu Matsyapati untuk kemudian keluar dari istana Wirata. Patih Udawa menerima tantangan tersebut dan kemudian ikut keluar setelah menghormat pada semua hadirin.

Prabu Matsyapati.

PRABU BALADEWA MENERIMA PATIH UDAWA SEBAGAI KAKAK

Prabu Baladewa dan Patih Udawa kini telah berhadap-hadapan di halaman istana. Mereka berdua lalu bertarung. Patih Udawa sebenarnya kalah sakti dan terdesak menghadapi kekuatan lawan. Namun, tekad dan semangatnya membara, membuat ia mampu bertahan menghadapi gempuran Prabu Baladewa.

Dulu saat sayembara memperebutkan Niken Larasati, mereka berdua pernah bertanding di mana Prabu Baladewa mewakili Raden Burisrawa. Saat itu, Patih Udawa unggul karena meminjam Kembang Wijayakusuma milik Prabu Kresna. Kali ini ia sudah bertekad untuk berjuang sampai mati, sehingga sama sekali tidak meminjam bunga pusaka tersebut.

Prabu Baladewa tampaknya sudah gelap mata. Ia pun menghunus Senjata Nanggala untuk dipukulkan ke tubuh Patih Udawa. Namun, dengan cekatan Patih Udawa mencabut keris pusakanya dan digunakan untuk menangkis senjata tersebut.

Prabu Baladewa heran melihat Patih Udawa memiliki keris ampuh yang mampu menangkis pukulan Nanggala. Patih Udawa menjelaskan bahwa pusakanya ini bernama Keris Blabar, pemberian sang ibu, yaitu Nyai Sagopi.

Tidak lama kemudian, Nyai Sagopi datang dengan dikawal Arya Setyaki. Prabu Baladewa segera bertanya bagaimana awal mulanya Keris Blabar bisa berada di Desa Widarakandang. Nyai Sagopi pun bercerita bahwa keris tersebut dulu adalah milik Prabu Basudewa yang dihadiahkan kepada Buyut Antyagopa bersamaan dengan pembebasan Desa Widarakandang. Ketika Buyut Antyagopa meninggal, Keris Blabar pun diwarisi oleh Nyai Sagopi yang kemudian diserahkan kepada Patih Udawa.

Prabu Baladewa termangu-mangu. Ia teringat sebelum meninggal ayahnya pernah berwasiat agar dirinya jangan pernah menyakiti orang yang memiliki Keris Blabar. Rupanya Prabu Basudewa sudah mengetahui bahwa Keris Blabar telah diwarisi oleh Udawa yang merupakan anaknya sendiri dari hasil hubungan gelap. Namun demikian, ia tidak berani berterus terang, hanya berwasiat seperti itu kepada Prabu Baladewa.

Dewi Sumbadra ikut mendekat dan berusaha mengungkit kisah masa lalu di hadapan Prabu Baladewa. Dahulu kala mereka semua diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi di Desa Widarakandang. Patih Udawa merupakan anak tertua yang selalu melindungi adik-adiknya. Prabu Baladewa yang saat itu masih bernama Kakrasana, jika bertani selalu Udawa yang menemani. Namun, Kakrasana cenderung pemarah dan jika tidak enak hati selalu melampiaskannya kepada Udawa. Meskipun demikian, Udawa muda tidak pernah marah, tetapi tetap sayang kepada semua adiknya.

Teringat pada cerita itu, hati Prabu Baladewa luluh dan kemarahannya reda. Ia segera memeluk Patih Udawa dan meminta maaf atas segala sikap kasarnya selama ini. Mulai sekarang, ia mengakui Patih Udawa sebagai kakak tertua dan memanggil “kakang” kepadanya. Patih Udawa terharu dan berterima kasih kepada raja Mandura tersebut.

Prabu Baladewa.

DEWI ANTIWATI MEMILIH TETAP BERSAMA SUAMI

Tiba-tiba datang istri Patih Udawa yang bernama Dewi Antiwati dalam keadaan terburu-buru. Patih Udawa bertanya apa yang sedang terjadi kepadanya. Istrinya itu menjawab ia sedang dikejar-kejar ayahnya sendiri, yaitu Patih Sangkuni beserta para Kurawa. Rupanya Patih Sangkuni ingin Dewi Antiwati ikut pulang ke Plasajenar dan bercerai dengan Patih Udawa.

Patih Udawa bertanya mengapa Dewi Antiwati tidak menuruti permintaan ayahnya saja. Kini ia sudah tahu kalau Dewi Antiwati adalah orang yang telah menceritakan rencana pembangunan kepatihan kepada Patih Sangkuni. Dewi Antiwati menjawab memang benar demikian. Namun, ia bermaksud baik ingin meminta restu kepada Patih Sangkuni. Tak disangka, ayahnya justru memelintir berita ini menjadi fitnah bahwa Patih Udawa hendak memberontak kepada Kerajaan Mandura. Fitnah palsu inilah yang membuat Prabu Baladewa marah dan menggempur Desa Widarakandang.

Kini Dewi Antiwati meminta maaf dan berjanji tidak akan bercerita apa-apa lagi kepada ayahnya. Ia bersumpah mulai sekarang, susah senang dalam berumah tangga akan disimpan sendiri, tidak perlu sampai orang lain tahu. Patih Udawa terharu melihat ketulusan istrinya, dan ia pun menerima permohonan maaf Dewi Antiwati.

Tidak lama kemudian Patih Sangkuni dan para Kurawa datang untuk menjemput pulang Dewi Antiwati. Namun, Dewi Antiwati menyatakan diri tetap ikut suami. Para Kurawa segera maju untuk menyeret sepupu mereka itu. Melihat ini, Arya Wrekodara segera maju menghadapi. Ia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain, tetapi juga tidak suka melihat para Kurawa berbuat onar di Kerajaan Wirata, apalagi berniat menindas seorang perempuan. Seorang diri ia berhasil memukul mundur para sepupunya itu kembali ke Kerajaan Hastina.

Prabu Matsyapati bersyukur keadaan telah tenang kembali, dan yang paling utama ialah tidak sampai terjadi pertumpahan darah antara Prabu Baladewa dengan Patih Udawa. Ia lalu mengajak semua hadirin untuk makan bersama sebagai ungkapan rasa syukur kepada dewata.

Patih Udawa.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah Udawa Waris di atas menurut penjelasan Ki Manteb Soedharsono bukanlah Patih Udawa menuntut warisan, tetapi kata Waris di sini maksudnya ialah “kerabat”, yaitu Patih Udawa bertemu dengan kerabat-kerabatnya dan mendapat pengakuan dari mereka. Mengenai Dewi Antiwati yang menjadi sumber berita bagi Patih Sangkuni adalah tambahan dari saya untuk memperkaya dramatisasi cerita.


Untuk kisah hubungan gelap Raden Basudewa dengan Ken Yasoda dapat dibaca di sini

Untuk kisah kelahiran Patih Udawa dan patih Adimanggala dapat dibaca di sini

Untuk kisah masa kecil Patih Udawa, Prabu Baladewa, Prabu Kresna, Dewi Sumbadra, dan Niken Larasati dapat dibaca di sini  dan di sini

Untuk kisah Patih Udawa mencarikan jodoh untuk Niken Larasati dapat dibaca di sini








Tidak ada komentar:

Posting Komentar