Jumat, 23 Juni 2017

Wahyu Makutarama



Kisah ini menceritakan tentang Prabu Kresna yang menyamar sebagai Bagawan Kesawasidi, menurunkan ajaran Astabrata kepada Raden Arjuna. Ajaran Astabrata ini merupakan ilmu kepemimpinan peninggalan Prabu Sri Rama di zaman kuno, sehingga ilmu ini disebut juga dengan nama Wahyu Makutarama.

Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo yang dipadukan dengan rekaman pentas Ki Manteb Soedharsono, disertai penambahan dan pengembangan seperlunya.

Kediri, 23 Juni 2017

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU DURYUDANA MENGUTUS ADIPATI KARNA MENCARI MAHKOTA SRI RAMA

Di Kerajaan Hastina, Prabu Duryudana sedang dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Di paseban luar, para Kurawa lainnya juga tampak duduk berjajar menunggu perintah, antara lain Arya Dursasana, Raden Durmagati, Raden Srutayu, Raden Citraksa, Raden Citraksi, serta Adipati Jayadrata dan Bambang Aswatama.

Hari itu Prabu Duryudana bercerita bahwa tadi malam ia bermimpi mendengar suara, barangsiapa bisa mendapatkan Mahkota Sri Rama, maka dirinya akan menjadi raja agung yang disegani, baik itu oleh kawan maupun lawan. Negara yang dipimpinnya pun bisa menjadi negeri yang besar dan berjaya di seluruh dunia. Namun, Prabu Duryudana tidak tahu mimpi ini benar atau salah, serta ia juga tidak tahu siapa orang yang bernama Sri Rama tersebut.

Resi Druna pun bercerita bahwa Prabu Sri Rama adalah raja agung titisan Batara Wisnu yang hidup di zaman kuno. Konon ia berhasil menewaskan raja raksasa yang sangat sakti dan berkuasa saat itu, bernama Prabu Rahwana Dasamuka dari Kerajaan Alengka. Sebenarnya Prabu Sri Rama adalah putra mahkota Kerajaan Ayodya. Namun, ia merelakan hak atas takhta kepada adiknya yang bergelar Prabu Barata, sedangkan dirinya sendiri membangun negara baru bernama Kerajaan Pancawati di Hutan Dandaka, hidup bersama bangsa wanara.

Prabu Duryudana tertarik mendengarnya dan semakin berminat ingin mendapatkan Mahkota Sri Rama tersebut, demi kejayaan diri pribadi dan juga keagungan Kerajaan Hastina. Namun, ia sama sekali tidak tahu di mana mahkota itu bisa diperoleh. Resi Druna menjawab dirinya juga mendapatkan wangsit dari dewata tentang berita ini, tetapi yang ia dengar adalah Wahyu Makutarama, bukannya Mahkota Sri Rama. Adapun wahyu tersebut akan turun ke dunia melalui Bagawan Kesawasidi yang tinggal di Gunung Kutarunggu.

Prabu Duryudana bimbang mendengarnya. Ia tidak tahu mana yang benar, apakah Mahkota Sri Rama, ataukah Wahyu Makutarama yang akan turun ke dunia. Resi Druna menyarankan agar Prabu Duryudana berangkat ke Gunung Kutarunggu untuk memastikan hal itu. Namun, Prabu Duryudana seorang tinggi hati yang penuh rasa gengsi. Ia merasa dirinya seorang raja besar yang kaya raya, tentunya tidak pantas jika datang meminta-minta kepada seorang pendeta tidak dikenal.

Adipati Karna memahami watak adik iparnya. Ia pun menawarkan diri untuk mewakili Prabu Duryudana pergi ke Gunung Kutarunggu. Apabila yang terdapat di sana adalah Mahkota Sri Rama, maka ia akan meminta secara baik-baik, jika perlu membelinya dengan harga yang pantas. Akan tetapi, jika yang di sana adalah Wahyu Makutarama, maka ia bersedia memboyong Bagawan Kesawasidi agar menurunkannya langsung kepada Prabu Duryudana.

Prabu Duryudana gembira mendengarnya. Ia pun memberikan wewenang penuh kepada sang kakak ipar untuk berbuat kekerasan apabila Bagawan Kesawasidi menolak menyerahkan apa yang ia minta. Adipati Karna berterima kasih atas kepercayaan ini, dan ia pun mohon pamit melaksanakan tugas. Prabu Duryudana lalu memerintahkan Patih Sangkuni dan para Kurawa untuk mengawal kepergian Adipati Karna, sedangkan Resi Druna ditugasi untuk membantu doa di sanggar pemujaan. Setelah dirasa cukup, Prabu Duryudana pun membubarkan pertemuan.

Prabu Duryudana.

BAGAWAN KESAWASIDI DIHADAP PARA MURID KADANG BAYU

Sementara itu di Gunung Kutarunggu, sang pendeta Bagawan Kesawasidi dihadap para murid yang kesemuanya adalah Kadang Tunggal Bayu, yaitu Resi Mainaka, Ditya Jajagwreka, Gajah Setubanda, Naga Kowara, Garuda Mahambira, Macan Palguna, dan Resi Anoman. Bagawan Kesawasidi bertanya apa alasan mereka ingin berguru kepadanya, padahal keenam orang itu adalah murid Batara Bayu.

Resi Mainaka selaku yang paling tua bercerita bahwa mereka telah mendapat perintah langsung dari Batara Bayu agar berguru kepada Bagawan Kesawasidi di Gunung Kutarunggu. Maka, mereka pun pergi meninggalkan tempat tinggal masing-masing dan akhirnya bertemu di tempat ini. Di antara Kadang Tunggal Bayu tersebut, hanya Arya Wrekodara saja yang tidak mendapat perintah untuk berguru, mungkin karena ia sudah mendapatkan ilmu kasampurnan sejati dari Dewa Ruci.

Bagawan Kesawasidi lalu bertanya ilmu apa yang mereka inginkan dari dirinya. Resi Mainaka menjawab ingin menjadi orang yang lebih arif dan bijaksana; Ditya Jajagwreka menjawab ingin diubah menjadi tampan rupawan; Gajah Setubanda ingin tubuhnya bertambah jauh lebih kuat lagi; Naga Kowara ingin memiliki umur panjang supaya bisa melihat berbagai macam pergantian zaman; Garuda Mahambira ingin bertambah kaya raya agar bisa bersedekah tanpa batas; sedangkan Macan Palguna ingin bertambah sakti mandraguna.

Resi Anoman yang menjawab terakhir justru paling berbeda dengan yang lain, yaitu ia memohon agar Bagawan Kesawasidi mengajarkan kepadanya jalan menuju kematian. Bagawan Kesawasidi heran dan bertanya mengapa Resi Anoman meminta seperti itu. Resi Anoman menjawab dirinya sudah tua dan merasa jenuh hidup di dunia ini. Ia rindu ingin bertemu dengan sanak saudaranya yang sudah lebih dulu meninggal, antara lain Resi Subali, Narpati Sugriwa, Patih Anila, Kapi Jaya Anggada, Kapi Sweda, Kapi Anggeni, Kapi Menda, Kapi Pramujabahu, dan sebagainya. Bahkan, Resi Jembawan yang berumur panjang seperti dirinya pun baru saja meninggal dunia dan ini membuat Resi Anoman merasa iri.

Bagawan Kesawasidi bercerita bahwa keinginan para murid dapat terpenuhi, tergantung bagaimana niat dan kesungguhan mereka masing-masing dalam belajar. Khusus untuk Resi Anoman, meskipun dirinya sudah menjadi pendeta, namun jiwanya tetaplah kesatria. Untuk seorang kesatria, maka kematian yang paling utama adalah gugur di medan perang membela kebenaran dan keadilan. Resi Anoman gembira mendengarnya dan berharap semoga itu bisa menjadi kenyataan.

Usai memberikan nasihat panjang lebar, Bagawan Kesawasidi berniat masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk bersamadi. Ia meminta Resi Mainaka dan adik-adiknya agar berjaga di luar padepokan, jangan sampai ada siapa pun yang mengganggu samadinya. Ketujuh murid itu pun mematuhi dan siap melaksanakan tugas.

Bagawan Kesawasidi.

PARA KURAWA MENYERANG PADEPOKAN KUTARUNGGU

Setelah Bagawan Kesawasidi masuk ke dalam sanggar pemujaan, tiba-tiba datang rombongan dari Kerajaan Hastina yang dipimpin Adipati Karna dan Patih Sangkuni. Kedua orang itu disambut Resi Mainaka dan ditanyai apa yang menjadi keperluan mereka. Adipati Karna selaku kepala rombongan berkata bahwa ia diutus Prabu Duryudana untuk meminta Bagawan Kesawasidi menyerahkan Mahkota Sri Rama.

Resi Mainaka menjawab dirinya tidak pernah mendengar sang guru memiliki benda semacam itu. Adipati Karna ganti bertanya, jika begitu apakah Bagawan Kesawasidi menyimpan Wahyu Makutarama. Resi Mainaka menjawab memang benar demikian, tetapi saat ini sang guru sedang bersamadi dan tidak boleh diganggu. Adipati Karna tersinggung melihat sikap Resi Mainaka yang dianggapnya menghalangi. Ia pun memaksa ingin masuk untuk bertemu langsung dengan Bagawan Kesawasidi. Resi Mainaka mencegah karena gurunya sudah berpesan agar para murid berjaga jangan sampai ada pihak yang mengganggu samadinya.

Karena terus-menerus dihalangi, Adipati Karna pun berkata bahwa dirinya sudah diberi wewenang Prabu Duryudana untuk memboyong Bagawan Kesawasidi secara paksa dengan menggunakan kekerasan. Mendengar itu, Resi Anoman segera maju menerjang Adipati Karna dan rombongannya. Ditya Jajagwreka, Garuda Mahambira, Naga Kowara, Macan Palguna, dan Gajah Setubanda ikut maju membantu Resi Anoman, sedangkan Resi Mainaka yang paling tua dipersilakan untuk duduk mengamati dari kejauhan.

Maka, terjadilah pertempuran antara para Kurawa melawan Kadang Tunggal Bayu tersebut. Meskipun sudah lanjut usia, namun Resi Anoman adalah mantan senapati para wanara saat mengabdi kepada Prabu Sri Rama dulu. Meskipun kekuatan tubuhnya sudah menurun, tetapi kesaktiannya justru makin bertambah. Apalagi dengan ditambah amukan Ditya Jajagwreka dan yang lain, membuat para Kurawa kalang kabut berhamburan.

Adipati Karna marah dan terpaksa melepaskan panah pusakanya yang bernama Kuntadruwasa untuk menumpas para Kadang Tunggal Bayu. Panah pusaka ini berukuran besar seperti lembing, dan hanya bisa dilepaskan menggunakan Busur Wijayadanu. Begitu Panah Kuntadruwasa melesat, para Kadang Tunggal Bayu merasa gentar dan berusaha menghindar. Hanya Resi Anoman satu-satunya yang berani maju menghadang. Dengan mengerahkan Aji Maundri, Resi Anoman menangkap panah pusaka tersebut saat masih melesat di udara, kemudian membawanya terbang bersembunyi di balik awan.

Melihat pusaka andalannya ditangkap lawan, Adipati Karna merasa lemas dan putus asa. Ia pun menarik mundur pasukan Hastina dan mengajak mereka untuk mengepung kaki Gunung Kutarunggu.

Adipati Karna.

BAGAWAN WIBISANA DIDATANGI ROH ARYA KUMBAKARNA

Tersebutlah seorang pendeta yang sudah berusia ratusan tahun, bernama Bagawan Wibisana di Padepokan Cindramanik. Ia merupakan adik bungsu Prabu Rahwana Dasamuka di zaman kuno. Dulu ketika terjadi perang di Kerajaan Alengka, Bagawan Wibisana masih bernama Raden Gunawan Kuntawibisana dan memilih untuk bergabung dengan Prabu Sri Rama. Setelah Prabu Rahwana gugur, Raden Gunawan pun dilantik menjadi raja Alengka yang baru, bergelar Prabu Wibisana. Demi menjauhkan rakyatnya dari pengaruh buruk Kerajaan Alengka, maka ia pun memindahkan ibu kota negara ke Parangkuntara, yang kemudian diberi nama Kerajaan Singgelapura.

Setelah menjadi raja cukup lama, Prabu Wibisana lalu mengundurkan diri dan menyerahkan takhta kepada putranya yang bernama Raden Bisawarna, bergelar Prabu Dentawilukrama. Prabu Wibisana pun menjadi pendeta di Gunung Cindramanik. Bertahun-tahun kemudian, Kerajaan Singgelapura sudah berganti-ganti raja, tetapi Bagawan Wibisana masih diberi umur panjang.

Hari ini Bagawan Wibisana sedang duduk di sanggar pemujaan. Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan tinggi besar yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak, mendatangi dirinya. Ia mengenali bayangan tersebut tidak lain adalah roh kakaknya sendiri, yaitu Arya Kumbakarna. Semasa hidupnya dulu, Prabu Rahwana memiliki tiga orang adik, yaitu Arya Kumbakarna, Dewi Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Arya Kumbakarna dan Dewi Sarpakenaka ikut gugur dalam perang di Kerajaan Alengka. Dalam perang tersebut, Arya Kumbakarna berniat membela tanah air dari serangan musuh, bukan demi membela kakaknya yang angkara murka. Namun, entah mengapa sampai kini ia sulit masuk ke alam Swargaloka seperti yang pernah ia cita-citakan dulu. Yang terjadi justru sebaliknya, sampai sekarang ia masih menjadi roh gentayangan yang tersesat di dunia fana. Padahal, dulu ia mempunyai keyakinan apabila gugur dalam pertempuran, maka roh akan masuk surga dan dilayani para bidadari.

Bagawan Wibisana menjelaskan bahwa Arya Kumbakarna sampai kini menjadi roh gentayangan adalah karena semasa hidup hatinya mendua. Meskipun Arya Kumbakarna berperang demi negara, berniat membela tanah air, tetapi tindakannya itu justru melawan Kebenaran. Prabu Sri Rama adalah titisan Batara Wisnu yang turun ke dunia untuk membasmi angkara murka Prabu Rahwana. Arya Kumbakarna jelas-jelas mengetahui hal itu tetapi memilih tidur tanpa menentukan sikap yang pasti. Hingga akhirnya, ketika perang besar meletus, ia pun dibangunkan Prabu Rahwana dari tidur panjangnya untuk dijadikan senapati. Saat itu Arya Kumbakarna sudah menolak, tetapi Prabu Rahwana bersikap licik, menyandera kedua putranya yang bernama Raden Kumbakumba dan Raden Aswanikumba. Hal itulah yang membuat Arya Kumbakarna bimbang dan akhirnya bersedia menjadi senapati.

Maka, Arya Kumbakarna pun maju perang dengan hati mendua. Meskipun di bibir ia mengaku berperang demi membela negara, tetapi dalam hati ia berperang demi keselamatan anak-anaknya. Meskipun bersemboyan tidak membela Prabu Rahwana, tetap saja tangan Arya Kumbakarna berlumuran darah para wanara yang berjuang melawan angkara murka. Hingga akhirnya, ia pun gugur di tangan Prabu Sri Rama dan menjadi roh gentayangan karena tidak dapat memasuki alam Kaswargan.

Arya Kumbakarna ngeri mendengar penjelasan tersebut dan menyadari kekeliruannya. Ia pun meminta bantuan kepada sang adik agar membebaskan dirinya dari ketersesatan duniawi. Bagawan Wibisana menjawab ia hanya bisa membantu menunjukkan jalan bagi sang kakak untuk menyempurnakan diri, bukannya membukakan pintu Swargaloka. Menurut wangsit yang ia terima, di zaman ini hidup lima kesatria Pandawa yang selalu membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Kelak mereka akan membersihkan angkara murka dari muka bumi melalui Perang Bratayuda. Hendaknya Arya Kumbakarna bersatu jiwa dengan Pandawa nomor dua, yang bernama Arya Wrekodara. Inilah jalan untuk menebus dosa semasa hidup dulu. Dengan cara ini, Arya Kumbakarna akan ikut berjuang menumpas angkara murka, sehingga kelak bisa naik ke Swargaloka bersama-sama dengan Arya Wrekodara. Itulah jalan pembebasan yang harus ditempuh sang kakak untuk bisa lepas dari ketersesatan duniawi.

Arya Kumbakarna gembira mendengar penjelasan sang adik dan bersiap berangkat mencari Arya Wrekodara. Bagawan Wibisana memberi saran agar Arya Kumbakarna mencegat dan menantang perang Arya Wrekodara saat melewati Hutan Duryasa. Adapun ciri-ciri Arya Wrekodara adalah berbadan tinggi besar, dan memakai busana mirip Resi Anoman, yaitu sang wanara putih yang dulu pernah membakar Kerajaan Alengka. Arya Kumbakarna menerima saran tersebut dan segera mohon pamit berangkat saat ini juga.

Arya Kumbakarna.

BAGAWAN WIBISANA MENINGGALKAN DUNIA FANA

Setelah roh sang kakak pergi, Bagawan Wibisana merasa hidupnya tidak lama lagi. Aliran darahnya mulai melambat, kadang ada, kadang tiada. Hati nuraninya berbisik bahwa semua tugasnya di dunia telah selesai. Maka, untuk bisa menjemput kematian secara sempurna, Bagawan Wibisana pun bersamadi mengheningkan cipta, melepaskan segala macam keterikatan duniawi. Dari tubuhnya tiba-tiba memancar keluar empat macam cahaya, yaitu cahaya merah, hitam, kuning, dan putih. Keempat cahaya ini merupakan perwujudan empat hawa nafsu yang selama ini membantunya dalam menjalani kehidupan.

Keempat hawa nafsu tersebut mengambil wujud raksasa, yang masing-masing bernama Ditya Rekta, Ditya Kresna, Ditya Pita, dan Ditya Seta. Mereka bertanya mengapa diri mereka disingkirkan, tidak diajak ikut serta naik ke Swargaloka. Padahal, selama ini mereka menjadi daya pendorong dan sumber semangat bagi Bagawan Wibisana dalam menjalani kehidupan. Rasa suka, duka, marah, cinta, benci, lapar, dahaga, kantuk, dan bangga, juga semangat hidup, semuanya berasal dari keempat hawa nafsu tersebut. Bagawan Wibisana seorang suci, selama ini selalu berpegang teguh pada hati nurani sehingga bisa mengendalikan hawa nafsu, bukannya dikendalikan oleh hawa nafsu seperti pada kebanyakan manusia lainnya. Jika raga ibarat kereta, maka keempat nafsu adalah kuda penariknya. Bagawan Wibisana selama hidup mampu menjadikan pikiran sebagai kusir yang baik, yang mematuhi perintah hati nurani, sehingga pikiran mampu mengarahkan kuda di jalan yang benar.

Bagawan Wibisana pun menjelaskan bahwa mereka bukannya disingkirkan, tetapi hendaknya mencari sarana pengruwatan. Keempat nafsu tersebut adalah peranti raga, bukan peranti roh. Raga asalnya dari alam, maka harus kembali ke alam dengan cara dikubur ataupun dibakar. Sedangkan hawa nafsu juga hendaknya bisa kembali ke alam melalui pengruwatan. Bagawan Wibisana tidak ingin dirinya mati seperti Arya Kumbakarna, yang rohnya masih diselimuti hawa nafsu.

Keempat raksasa perwujudan hawa nafsu itu pun bertanya siapa kiranya yang bisa meruwat mereka. Bagawan Wibisana menyarankan agar mereka berempat pergi ke Hutan Duryasa untuk menemui kesatria Panengah Pandawa yang bernama Raden Arjuna, yang merupakan titisan setengah Batara Wisnu. Dialah orangnya yang bisa meruwat keempat raksasa tersebut. Keempat raksasa itu gembira mendengarnya dan segera mohon pamit meninggalkan Padepokan Cindramanik.

Kini tinggal Bagawan Wibisana seorang diri. Ia lalu mengheningkan cipta, bersamadi melarutkan diri dalam kuasa Semesta. Tidak lama kemudian, tubuhnya pun musnah menjadi debu, kembali ke alam, sedangkan sukmanya melesat naik ke awang-awang, memasuki Swargaloka.

Gunawan Wibisana.

RADEN ARJUNA MERUWAT KEEMPAT RAKSASA

Demikianlah, keempat raksasa penjelmaan hawa nafsu Bagawan Wibisana pun sampai di Hutan Duryasa dan melihat Raden Arjuna sedang berjalan diiringi keempat panakawan: Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Keempat raksasa itu pun menghadang dan minta supaya diri mereka diruwat agar bisa kembali menjadi bagian alam semesta. Raden Arjuna menolak dan mengatakan tidak sanggup. Keempat raksasa itu serentak menyerang bersama untuk memancing tindakan Raden Arjuna.

Maka, terjadilah pertempuran di mana Raden Arjuna seorang diri dikeroyok keempat raksasa tersebut. Setiap kali salah satu raksasa terbunuh, tiba-tiba saja hidup kembali, seolah mereka tidak bisa mati. Melihat itu, Kyai Semar pun maju memberikan nasihat. Ia menjelaskan bahwa keempat raksasa ini adalah makhluk halus, maka harus dilawan dengan cara halus pula.

Raden Arjuna paham. Ia pun meletakkan senjata dan mengheningkan cipta, mengatur pernafasan. Segala nafsu keinginan dilupakan, yang ada hanya tinggal perasaan syukur dan ikhlas, larut dalam kehendak Tuhan. Dari tubuhnya kemudian muncul cahaya yang membakar keempat raksasa tersebut. Keempat raksasa itu lalu musnah tanpa sisa, kembali menjadi bagian alam semesta.

Setelah musuh dapat dikalahkan, Raden Arjuna pun melanjutkan perjalanan bersama para panakawan. Tempat yang ia tuju adalah Padepokan Gunung Kutarunggu untuk meraih anugerah dewata, bernama Wahyu Makutarama.

Raden Arjuna.

DEWI SUMBADRA DIDANDANI MENJADI LAKI-LAKI

Sementara itu, istri utama Raden Arjuna, yaitu Dewi Sumbadra sedang dalam perjalanan mencari ke mana suaminya pergi. Tiba-tiba dari angkasa melayang turun Batara Narada menghentikan langkah kakinya.

Batara Narada merasa kasihan melihat Dewi Sumbadra berjalan seorang diri tanpa pengawal untuk mencari Raden Arjuna. Namun, Dewi Sumbadra tidak suka dikasihani dan menjawab dengan gaya polos tidak peduli. Batara Narada merasa serbasalah sebagai dewa dirinya diperlakukan demikian. Namun, ia sadar bahwa perempuan ini bukanlah wanita sembarangan. Akhirnya, dengan susah payah, ia berhasil meyakinkan Dewi Sumbadra agar bersedia didandani menjadi pria. Dalam wujud wanita, Dewi Sumbadra akan mudah menjadi sasaran laki-laki jahat yang ingin mengganggu. Namun, dalam wujud laki-laki, dirinya akan lebih aman berjalan seorang diri tanpa pengawal.

Dewi Sumbadra akhirnya bersedia. Batara Narada pun mengerahkan kesaktiannya, dan dalam sekejap wujud Dewi Sumbadra langsung berubah menjadi laki-laki. Ia pun diberi nama baru, yaitu Bambang Sintawaka. Setelah dirasa cukup, Batara Narada undur diri kembali ke Kahyangan Sidik Pangudaludal, sedangkan Bambang Sintawaka melanjutkan perjalanannya.

Batara Narada.

RADEN ARJUNA TIBA DI GUNUNG KUTARUNGGU

Raden Arjuna yang berjalan diiringi para panakawan akhirnya tiba di Gunung Kutarunggu. Dengan mengerahkan Aji Panglimunan, mereka berhasil melewati para Kurawa yang mengepung di kaki gunung.

Resi Anoman yang mengenali mereka segera datang menyambut dengan penuh tatakrama. Raden Arjuna berkata bahwa dirinya ingin bertemu dan berguru kepada Bagawan Kesawasidi. Resi Anoman pun menjelaskan bahwa sang guru saat ini sedang bersamadi dan tidak dapat diganggu. Ternyata Raden Arjuna bersedia duduk menunggu di depan padepokan. Resi Anoman terkesan mendengarnya. Ternyata sikap Raden Arjuna sangat sopan, tidak seperti Adipati Karna dan para Kurawa yang mengandalkan kekerasan.

Demikianlah, sudah tiga hari lamanya Raden Arjuna duduk dengan sabar di depan Padepokan Kutarunggu. Pada hari itu Bagawan Kesawasidi mengakhiri samadi dan keluar dari sanggar pemujaan. Resi Anoman juga ikut menghadap dan menceritakan segala yang terjadi selama Bagawan Kesawasidi bersamadi tiga-hari tiga-malam. Ia bercerita bahwa Adipati Karna dan para Kurawa memaksa untuk bertemu hingga terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran itu, Resi Anoman berhasil merebut Panah Kuntadruwasa dan kini hendak ia persembahkan kepada Bagawan Kesawasidi.

Bagawan Kesawasidi menolak persembahan Resi Anoman karena ia tidak membutuhkan senjata. Resi Anoman pun meminta Bagawan Kesawasidi agar menyerahkan pusaka tersebut kepada Raden Arjuna saja. Namun, Bagawan Kesawasidi tetap keberatan karena itu sama artinya dengan merendahkan sifat kesatria Raden Arjuna. Jika sampai pusaka tersebut diserahkan, Raden Arjuna pasti akan menolak, karena Kuntadruwasa diperoleh dengan cara merampas milik musuh.

Resi Anoman merasa serbasalah. Ia tidak dapat menyerahkan Panah Kuntadruwasa kepada Bagawan Kesawasidi, namun juga malu jika mengembalikannya kepada Adipati Karna. Bagawan Kesawasidi memahami perasaan muridnya itu. Ia pun mempersilakan jika Resi Anoman menitipkan pusaka itu kepadanya, kelak biar ia yang mengembalikannya kepada Adipati Karna. Resi Anoman merasa gembira lalu menyerahkan panah pusaka tersebut kepada sang guru.

Bagawan Kesawasidi lalu menyebutkan kesalahan Resi Anoman yang kedua, yaitu ucapannya tidak sesuai dengan perbuatan. Bukankah tadi Resi Anoman memohon ingin ditunjukkan jalan kematian. Namun, ketika Panah Kuntadruwasa ditembakkan, mengapa ia menangkap dengan tangan, bukannya menerima dengan dada? Karena Resi Anoman sudah menyia-nyiakan peluang menjemput ajal secara kesatria, maka ia harus menunda kematiannya sendiri hingga seratus tahun ke depan. Resi Anoman harus tetap hidup di dunia selama satu abad lagi, hingga tiba waktunya ia menjemput ajal setelah menikahkan keturunan keenam Raden Arjuna.

Resi Anoman sangat menyesal namun semuanya telah terjadi. Ia pun berterima kasih atas petunjuk sang guru, kemudian memperkenalkan Raden Arjuna yang ada di belakangnya. Setelah itu, Resi Anoman mohon pamit keluar untuk berkumpul bersama Kadang Tunggal Bayu lainnya. 

Resi Anoman.

BAGAWAN KESAWASIDI MENURUNKAN WAHYU MAKUTARAMA KEPADA RADEN ARJUNA

Setelah saling berkenalan, Bagawan Kesawasidi pun menjelaskan bahwa dirinya memang mendapat wangsit agar menurunkan Wahyu Makutarama kepada Raden Arjuna. Sesungguhnya wahyu ini berbentuk pelajaran ilmu kepemimpinan bernama Astabrata, yang dulu pernah diajarkan Prabu Sri Rama saat melantik Prabu Wibisana menjadi raja Singgelapura. Asta artinya “delapan”, sedangkan brata artinya “tindakan”. Maksudnya ialah, ilmu kepemimpinan ini meneladani tindakan delapan jenis benda alam.

Setelah Raden Arjuna menyatakan siap, Bagawan Kesawasidi pun memulai pengajarannya. Pertama, sebagai seorang pemimpin, Raden Arjuna hendaknya meneladani tindakan matahari. Matahari memancarkan panas dan cahaya menerangi bumi, menjadi sumber kehidupan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Sebaliknya, matahari menghisap air laut secara perlahan-lahan tanpa terasa. Demikianlah hendaknya seorang pemimpin harus bisa menjadi sumber semangat bagi rakyatnya. Pemimpin yang baik selalu memerhatikan kebutuhan rakyat, menjadi sumber kekuatan bagi rakyat, namun jika menarik pajak tidak sampai membuat rakyat merasa terbebani.

Teladan yang kedua ialah rembulan, yaitu benda langit yang menjadi sumber penerangan di waktu malam. Meskipun terang, tetapi cahaya rembulan tidak menyilaukan mata. Bentuknya juga berubah-ubah sehingga tidak membosankan. Justru bentuk yang berubah-ubah ini bisa digunakan manusia untuk menciptakan penanggalan. Demikian hendaknya seorang pemimpin harus dapat menjadi penerang bagi rakyatnya di saat dilanda kegelapan. Pemimpin harus bisa memberikan penghiburan di saat rakyatnya dilanda musibah, bukannya justru menakut-nakuti dengan berbagai macam ancaman. Pemimpin yang baik harus tampak menyenangkan di hadapan rakyat, sehingga rakyat pun menaruh hormat dengan sendirinya, bukan karena takut. Pemimpin boleh mengubah-ubah keputusan, asalkan itu demi kesejahteraan rakyat, bukan demi ego diri sendiri. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak berubah, kecuali perubahan itu sendiri.

Teladan yang ketiga ialah bintang yang bertaburan di angkasa. Gugusan bintang dapat menjadi pedoman untuk menentukan arah dan juga pergantian musim. Selain itu, bintang juga menjadi penghias angkasa di waktu malam. Demikianlah hendaknya seorang pemimpin harus bisa menjadi pedoman kebaikan bagi rakyatnya. Seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan serta menjadi penentu arah kebijakan bagi rakyatnya. Selain itu, pemimpin juga harus bisa menata keindahan negerinya. Pembangunan bukan hanya soal bagaimana mendirikan bangunan, tetapi juga bagaimana cara mengatur dan menata kegunaan dan keindahan dari tiap bangunan agar tidak saling tumpang tindih acak-acakan.

Teladan yang keempat ialah bumi, yang bersifat kokoh dan suci. Selain itu, bumi juga bersifat adil. Apa yang ditanam, itulah yang dipanen. Demikianlah hendaknya seorang pemimpin harus bisa kokoh hatinya, tidak mudah putus asa, tidak mudah dihasut, selalu bersemangat pula. Selain itu, seorang pemimpin juga harus mempunyai watak suci, artinya mampu menjaga kehormatan diri sendiri. Pemimpin yang baik tidak mudah dibeli dengan harta suap demi kepentingan segelintir para penjilat. Pemimpin yang mudah goyah dan tidak kokoh, juga yang tidak dapat menjaga kehormatan dirinya, maka sudah pasti ia akan kehilangan rasa hormat dari rakyatnya. Selain itu, pemimpin juga harus berwatak adil, mampu memberikan ganjaran yang sesuai dengan apa yang diusahakan rakyatnya. Pemimpin harus memberikan anugerah sesuai kadar jasa rakyatnya masing-masing, jangan sampai menimbulkan iri hati karena ada rakyat yang berprestasi tetapi merasa tidak dihargai.

Teladan yang kelima ialah awan mega, yang bersifat menyeramkan, tetapi membawa kesejukan dan air hujan. Awan mega ini hubungannya dengan matahari. Jika matahari terlalu panas, maka awan mega bersifat menutupi. Jika matahari menghisap air laut, maka awan mega yang menyebarkannya dalam bentuk hujan. Demikianlah seorang pemimpin harus tampak menyeramkan seperti awan, tetapi membawa kesejukan dan juga memberikan perlindungan. Menyeramkan di sini bukan berarti memasang wajah kejam dan beringas, tetapi hendaknya bisa menjaga wibawa di hadapan rakyat ataupun di hadapan luar negeri. Seorang pemimpin yang baik dan berwibawa akan dihormati oleh rakyatnya sendiri dan juga dibanggakan di hadapan luar negeri. Namun demikian, di balik wibawanya, sang pemimpin juga harus bisa memberikan kesejukan dan perlindungan kepada rakyatnya. Jangan sampai Raden Arjuna menjadi pemimpin yang hanya bisa menakut-nakuti rakyatnya, tetapi tidak dapat memberikan perlindungan. Itu namanya omong kosong.

Teladan yang keenam adalah angin. Sifat dari angin selalu bergerak mengisi ruang yang kosong. Selain itu, angin juga menyebarkan awan yang berisi kumpulan uap air ke segala arah untuk kemudian dicairkan menjadi tetesan hujan. Demikianlah hendaknya Raden Arjuna menjadi pemimpin tidak boleh membeda-bedakan rakyatnya. Seorang pemimpin harus bisa merangkul semua rakyatnya dari berbagai kalangan dan berbagai lapisan masyarakat, meskipun rakyatnya itu suka atau tidak suka. Dengan selalu berada dekat dengan rakyat, maka kemakmuran negara akan lebih mudah untuk dicapai. Selain itu, pemimpin harus pula bisa menyebarkan hasil penarikan pajak untuk biaya pembangunan secara merata. Pembangunan tidak boleh hanya dilakukan di kota-kota tertentu saja, tetapi rakyat yang hidup di pelosok juga harus ikut merasakan nikmatnya pembangunan. Demikianlah watak dari angin yang selalu mengisi ruang yang kosong.

Teladan yang ketujuh adalah api. Sifat dari api adalah membakar tanpa pandang bulu. Ada istilahnya, api kecil jadi sahabat, api besar jadi penjahat. Api kecil di sini maksudnya ialah, Raden Arjuna harus dapat meneladani sifat api dalam upaya menegakkan hukum negara. Siapa pun yang bersalah harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Penegakan hukum yang baik akan menambah wibawa pemimpin, dan juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi rakyat. Kepastian jaminan hukum juga dapat mengundang negara luar untuk ikut menanamkan modal di dalam negeri, tentunya demi kemakmuran rakyat pula. Adapun yang dimaksud dengan api besar ialah, seorang pemimpin harus bersikap jahat terhadap serangan pihak luar yang mengancam kedamaian negara. Seorang pemimpin harus berwatak api dalam mengobar dan membakar musuh yang datang menyerang.

Teladan yang kedelapan ialah air. Sifat dari air adalah menyegarkan sekaligus sabar. Air yang menetes sedikit demi sedikit mampu menciptakan lubang pada batu karang. Selain itu, air jika sudah berkumpul akan menjadi samudera luas yang menampung semua benda yang masuk kepadanya. Demikianlah hendaknya Raden Arjuna meneladani sifat air. Seorang pemimpin harus bisa berwatak sabar, tidak grusa-grusu, tidak terburu nafsu. Adakalanya mengalir ke bawah, ada kalanya menyembur ke atas, sesuai kebutuhan. Seorang pemimpin harus memiliki hati yang luas seperti samudera, yaitu harus bersedia menerima apa saja dari rakyatnya. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya mengharapkan pujian saja, tetapi harus siap apabila dikritik oleh rakyatnya sendiri. Karena kritikan sesungguhnya adalah nasihat yang disampaikan dengan cara kasar namun bisa menjadi pedoman untuk melakukan perbaikan.

Demikianlah penjabaran isi ajaran Astabrata. Raden Arjuna bertanya mengapa dirinya yang mendapatkan ajaran ini, bukannya sang kakak sulung, yaitu Prabu Puntadewa. Bagawan Kesawasidi menjawab, itu karena keturunan Prabu Puntadewa akan terhenti setelah Perang Bratayuda, sedangkan keturunan Raden Arjuna akan terus berlanjut dan menjadi pewaris takhta. Raden Arjuna memang tidak menjadi raja, tetapi kelak keturunannya yang akan menjadi raja-raja Tanah Jawa. Hendaknya Raden Arjuna kelak mewariskan ilmu Astabrata ini kepada keturunannya yang berhasil menjadi raja, menggantikan Prabu Puntadewa.

Raden Arjuna bersyukur mendengarnya. Bagawan Kesawasidi lalu meminta tolong kepadanya untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna, yang tiga hari lalu telah dirampas oleh Resi Anoman dalam peperangan. Raden Arjuna bersedia. Ia kemudian berterima kasih kepada Bagawan Kesawasidi dan mohon pamit meninggalkan Gunung Kutarunggu.

Setelah Raden Arjuna pergi, Bagawan Kesawasidi pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Prabu Kresna Wasudewa, raja Dwarawati. Demikianlah yang terjadi. Beberapa waktu yang lalu Prabu Kresna mimpi bertemu mendiang gurunya, yaitu Resi Padmanaba yang memerintahkan dirinya untuk mengajarkan ilmu Astabrata kepada Raden Arjuna. Ilmu kepemimpinan ini dulu diperoleh Prabu Kresna saat masih bernama Raden Narayana, yang berguru kepada Resi Padmanaba, yaitu keturunan Batara Wisnu.

Prabu Kresna Wasudewa.

RADEN ARJUNA BERTEMU ADIPATI KARNA

Raden Arjuna dan para panakawan yang sudah meninggalkan Padepokan Kutarunggu bertemu dengan Adipati Karna bersama Patih Sangkuni dan para Kurawa yang masih mengepung di kaki gunung. Saat naik tadi Raden Arjuna sengaja menyelinap, tetapi kini sewaktu turun gunung ia menampakkan diri karena mendapat tugas untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa pula.

Adipati Karna dan Raden Arjuna pun saling bertukar salam. Kemudian Raden Arjuna menyerahkan Panah Kuntadruwasa kepada kakak tirinya itu. Adipati Karna heran dan bertanya mengapa pusakanya bisa berada pada sang adik, padahal beberapa hari yang lalu direbut oleh Resi Anoman. Raden Arjuna pun bercerita apa adanya mulai awal hingga akhir, di mana ia telah mendapatkan Wahyu Makutarama, serta mendapat titipan dari Bagawan Kesawasidi untuk mengembalikan Panah Kuntadruwasa kepada Adipati Karna.

Adipati Karna sangat bahagia mendapatkan pusakanya kembali. Ia berterima kasih kepada Raden Arjuna dan juga mengucapkan selamat atas keberhasilan sang adik mendapatkan Wahyu Makutarama. Raden Arjuna lalu mohon pamit melanjutkan perjalanan pulang menuju Kesatrian Madukara. Adipati Karna mempersilakan dan mereka pun berpisah.

Setelah Raden Arjuna pergi, tiba-tiba Patih Sangkuni menyindir Adipati Karna telah melupakan tugasnya hanya karena terhalang rasa persaudaraan. Seharusnya tadi Adipati Karna tidak membiarkan Raden Arjuna pergi, tetapi merebut Wahyu Makutarama untuk diserahkan kepada Prabu Duryudana. Adipati Karna termakan hasutan Patih Sangkuni. Ia pun berangkat mengejar Raden Arjuna.

Raden Arjuna terkejut melihat Adipati karna datang menyusul dan meminta agar Wahyu Makutarama diserahkan kepadanya. Tentu saja Raden Arjuna tidak bisa melakukannya, karena Wahyu Makutarama bukanlah barang yang bisa dipindah-pindahkan. Adipati Karna tidak percaya dan ia bersedia membayar berapa pun yang diminta adiknya. Raden Arjuna menjawab dirinya bukan pedagang dan tidak dapat memperjualbelikan wahyu. Adipati Karna lalu meminta diberi setengah bagian saja, jika memang Raden Arjuna tidak dapat melepaskan semuanya. Ucapan ini langsung menjadi bahan tertawaan para panakawan, karena wahyu bukanlah makanan yang bisa dibagi menjadi dua.

Adipati Karna tersinggung dan menggunakan kekerasan untuk merebut Wahyu Makutarama. Raden Arjuna terpaksa menghadapi kakaknya itu. Setelah mengalami banyak kejadian sulit, ilmu kesaktian Raden Arjuna maju pesat. Adipati Karna terdesak kalah. Ketika hendak menggunakan Panah Kuntadruwasa, ia pun teringat bahwa panah pusakanya itu baru saja dikembalikan oleh Raden Arjuna. Bagaimanapun juga Adipati Karna masih memegang nilai-nilai kesatria, tentunya sangat nista apabila ia membalas kebaikan sang adik dengan menembakkan Panah Kuntadruwasa kepadanya. Karena berpikir demikian, ia pun memilih mundur meninggalkan Raden Arjuna.

Patih Sangkuni.

RADEN ARJUNA BERTANDING DENGAN BAMBANG SINTAWAKA

Adipati Karna kemudian bertemu Bambang Sintawaka yang mengaku sedang mencari Raden Arjuna karena ada dendam pribadi. Adipati Karna merasa kebetulan dan segera meminta tolong kepada pemuda itu agar melawan Raden Arjuna. Ia bersedia memberikan hadiah besar apabila Bambang Sintawaka mampu mengalahkan Raden Arjuna untuknya. Bambang Sintawaka bersedia dengan senang hati. Adipati Karna lalu menunjukkan tempatnya dan pemuda itu pun maju menyerang Raden Arjuna.

Raden Arjuna terkejut karena tiba-tiba muncul pemuda tampan menyerang dirinya. Mereka lalu bertarung sengit. Meskipun penampilannya sudah berubah, namun bau badan Dewi Sumbadra sempat tercium oleh Raden Arjuna. Maka, ia pun sadar bahwa Bambang Sintawaka tidak lain adalah penjelmaan istrinya sendiri.

Raden Arjuna lantas menghentikan pertarungan dan menggunakan jurus rayuan untuk meluluhkan hati Bambang Sintawaka. Dari kejauhan, Adipati Karna merasa heran, mengira Raden Arjuna sudah menderita kelainan karena merayu sesama laki-laki. Terdengar pula olehnya, Raden Arjuna memanggil lawan dengan sebutan “ibune kulup”, membuat Bambang Sintawaka tidak dapat bertahan lagi. Penyamarannya pun terbongkar, dan ia kembali ke wujud Dewi Sumbadra.

Namun demikian, Dewi Sumbadra tidak sudi disentuh suaminya. Ia merasa disia-siakan, sering ditinggal berkelana sendiri. Raden Arjuna paham istrinya itu hanya berpura-pura dan sedang ingin dimanja. Maka, ia pun menambah jurus rayuan segala macam kepada Dewi Sumbadra.

Pada saat itulah Prabu Kresna muncul. Dewi Sumbadra kembali berpura-pura meminta kepada kakaknya itu agar mengurus perceraian antara dirinya dengan Raden Arjuna. Prabu Kresna tertawa tidak menanggapi dengan serius karena sudah hafal sifat adiknya. Ia pun menasihati Raden Arjuna agar lebih pandai membagi waktu antara melakukan tugas sebagai kesatria, dan juga tugas sebagai kepala rumah tangga.

Sementara itu, Adipati Karna yang masih mengintai merasa kecewa melihat Prabu Kresna muncul. Patih Sangkuni datang menyusul dan kembali menghasut agar Adipati Karna maju untuk merebut Wahyu Makutarama. Adipati Karna tidak bersedia, karena di dunia ini ia sangat segan dan takut kepada Prabu Kresna. Untuk itu, ia memilih lebih baik mundur dan melaporkan apa adanya kepada Prabu Duryudana. Patih Sangkuni merasa tidak punya pilihan lain dan ia pun ikut mundur bersama Adipati Karna selaku kepala rombongan.

Dewi Sumbadra.

ARYA KUMBAKARNA BERSATU JIWA RAGA DENGAN ARYA WREKODARA

Arya Wrekodara yang sedang dalam perjalanan melewati Hutan Duryasa tiba-tiba bertemu sesosok raksasa tinggi besar yang samar-samar kelihatan, samar-samar tidak. Raksasa tersebut mengaku bernama Arya Kumbakarna yang ingin menantang Arya Wrekodara bertarung. Arya Wrekodara tidak mau melayani tantangan tersebut karena merasa tidak ada dendam dengan Arya Kumbakarna yang tidak ia kenal sama sekali.

Arya Kumbakarna tidak mau membuang-buang kesempatan. Ia pun lebih dulu maju menyerang. Karena diserang secara tiba-tiba, Arya Wrekodara terpaksa menghadapi. Keduanya berkelahi, sama-sama mengadu kekuatan. Namun, yang satunya berbadan kasar, yang satunya berbadan halus, tentu saja Arya Wrekodara merasa kewalahan menghadapi Arya Kumbakarna.

Pada saat itulah Prabu Kresna muncul bersama Raden Arjuna, Dewi Sumbadra, dan juga para panakawan. Prabu Kresna lalu memberikan petunjuk bagaimana cara mengalahkan roh gentayangan. Arya Wrekodara paham dan segera mengheningkan cipta sambil membaca mantra pengruwatan. Seketika wujud Arya Kumbakarna pun musnah, berubah menjadi asap, kemudian merasuk ke dalam dada Arya Wrekodara.

Karena dirinya dirasuki arwah raksasa, Arya Wrekodara merasa ngeri. Kyai Semar yang berwawasan luas segera menjelaskan bahwa Arya Kumbakarna bukan raksasa sembarangan, melainkan adik Prabu Rahwana raja Alengka di zaman kuno. Berbeda dengan kakaknya yang angkara murka, Arya Kumbakarna bersifat luhur budi dan menjunjung tinggi watak kesatria. Namun demikian, karena terlibat menghalangi perjuangan Prabu Sri Rama dalam menumpas angkara murka, Arya Kumbakarna menjadi roh gentayangan dan tidak dapat memasuki Swargaloka. Oleh sebab itu, ia pun memilih lebur menjadi satu jiwa dengan Arya Wrekodara, agar kelak bisa bersama-sama memasuki alam kaswargan.

Arya Wrekodara takut Arya Kumbakarna memengaruhi pikirannya. Kyai Semar mengatakan tidak perlu takut, karena persatuan ini hanyalah menambah kekuatan dan kesaktian Arya Wrekodara saja, bukan memengaruhi jiwanya. Arya Wrekodara paham dan merasa kekuatannya memang bertambah besar setelah roh Arya Kumbakarna bersatu dengan dirinya.

Prabu Kresna lalu bertanya ada keperluan apa Arya Wrekodara berjalan seorang diri. Arya Wrekodara menjawab bahwa dirinya diutus Prabu Puntadewa sang kakak sulung untuk mencari Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra yang menghilang dari Kesatrian Madukara. Karena tidak berhasil menemukannya, ia pun pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk. Akan tetapi, ternyata Prabu Kresna juga sudah lama menghilang dari istana. Ketiga permaisuri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Setyaboma justru ganti meminta tolong agar Arya Wrekodara membantu mencarikan di mana keberadaan suami mereka itu. Tak disangka, ketiga orang yang ia cari ternyata berjalan bersama di Hutan Duryasa ini.

Kyai Semar dan Raden Arjuna sebenarnya sudah menyadari bahwa Prabu Kresna menghilang dari Kerajaan Dwarawati adalah untuk menyamar sebagai Bagawan Kesawasidi dan membuka padepokan di Gunung Kutarunggu. Namun, mereka merasa tidak perlu membuka hal ini. Tampak Prabu Kresna berterima kasih atas perhatian Arya Wrekodara, lalu mereka pun bersama-sama pulang ke Kerajaan Dwarawati.

Arya Wrekodara.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : Kisah Prabu Sri Rama, Prabu Rahwana, Arya Kumbakarna, Raden Wibisana, dan Resi Anoman semasa muda kelak akan saya sajikan sendiri dalam Seri Ramayana.


Untuk kisah Prabu Kresna semasa muda dan berguru kepada Resi Padmanaba dapat dibaca di sini

Untuk kisah awal perkenalan Prabu Kresna dengan Resi Anoman dapat dibaca di sini

Untuk kisah Resi Anoman dan keturunan Bagawan Wibisana membantu pernikahan Raden Arjuna dan Dewi Sumbadra dapat dibaca di sini











2 komentar:

  1. Dasamuka dan sarpanaka sampurna nya sama siapa ya..
    Kok cuma kumbokarno sama wibisana yg moksa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus