Sabtu, 21 Juli 2018

Wahyu Topeng Waja



Kisah ini menceritakan tentang pengangkatan Raden Gatutkaca sebagai senapati Kerajaan Amarta, di mana ia mendapat saingan Prabu Boma Narakasura. Dalam kisah ini, Raden Gatutkaca mendapatkan wahyu senapati yang terkandung dalam pusaka Topeng Waja.

Kisah ini saya olah dari dongeng yang dituturkan oleh ayah saya berdasarkan pengalaman menonton wayang, dengan sedikit perubahan seperlunya.

Kediri, 21 Juli 2018

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, klik di sini

Arya Gatutkaca

------------------------------ ooo ------------------------------

PRABU BOMA NARAKASURA INGIN MENJADI SENAPATI AMARTA

Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan yang dihadiri putra mahkota Raden Samba dari Paranggaruda, Arya Setyaki dari Swalabumi, dan Patih Udawa dari Widarakandang. Hadir pula Prabu Boma Narakasura dari Kerajaan Trajutresna bersama kakeknya, yaitu Batara Nagaraja Ekawarna dari Kahyangan Ekapratala.

Dalam kunjungan itu, Batara Ekawarna menanyakan apa benar berita yang ia dengar bahwa Arya Wrekodara yang selama ini merangkap jabatan sebagai jaksa agung sekaligus senapati Kerajaan Amarta hendak melepaskan salah satu jabatannya? Konon jabatan senapati akan diserahkan kepada putra yang nomor dua, yaitu Raden Gatutkaca, sedangkan Arya Wrekodara sepenuhnya hendak memusatkan pikiran sebagai jaksa agung saja. Prabu Kresna menjawab memang benar demikian.

Batara Ekawarna merasa agak kecewa mendengar berita itu. Mengapa jabatan senapati harus diwariskan kepada anak, mengapa tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengabdi kepada negara? Terus terang dalam hal ini ada orang lain yang tidak kalah pantasnya jika menjadi senapati Kerajaan Amarta selain Raden Gatutkaca. Orang itu adalah Prabu Boma Narakasura.

Prabu Kresna bertanya, Prabu Boma sudah menjadi raja Trajutresna, mengapa masih juga ingin menjadi senapati di negara lain? Prabu Boma menjawab, ia ingin mendarmabaktikan hidupnya kepada para paman di Kerajaan Amarta. Selama ini ayahnya yang telah menjadi raja Dwarawati juga menjadi pamong atau penasihat Kerajaan Amarta. Alangkah baiknya jika dirinya selaku putra Prabu Kresna juga ikut ambil bagian membantu para Pandawa. Selain itu, ia juga pernah mendengar ramalan bahwa kelak akan terjadi Perang Bratayuda antara para Kurawa melawan para Pandawa. Apabila sekarang dirinya bisa menjadi senapati Kerajaan Amarta, maka kelak apabila perang tersebut benar-benar meletus, dirinya bisa ikut membantu para Pandawa menumpas angkara murka para Kurawa.

Prabu Kresna senang mendengar cita-cita luhur putranya itu. Namun, ia berkata bahwa pemilihan Raden Gatutkaca sebagai senapati menggantikan Arya Wrekodara bukan semata-mata soal anak menggantikan ayah, tetapi semua itu melalui proses perundingan yang panjang. Lagipula Prabu Boma bukan anggota keluarga Pandawa, maka sebaiknya tidak usah memiliki keinginan menjadi senapati Kerajaan Amarta.

Batara Ekawarna menjawab pendapat menantunya itu. Para Pandawa adalah lambang kebenaran. Mereka adalah para kesatria penegak keadilan. Apabila ada orang yang ingin ikut mendukung perjuangan mereka apakah perlu dilihat lebih dulu orang itu memiliki hubungan kekeluargaan dengan para Pandawa atau tidak? Dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan yang terpenting adalah berani atau tidak, bukan soal ada hubungan darah atau tidak.

Prabu Kresna merasa pendapat sang mertua ada benarnya juga. Hatinya kini mulai bimbang apakah mendukung pelantikan Raden Gatutkaca sebagai senapati baru, ataukah mengusulkan Prabu Boma saja yang menduduki jabatan tersebut. Setelah menimbang-nimbang, ia pun berkata bahwa keinginan Prabu Boma untuk menjadi senapati para Pandawa tidak ada salahnya. Namun, sangat baik jika putranya itu mendapatkan wahyu senapati yang akan diturunkan oleh dewata. Konon kabarnya, para dewa hendak menurunkan wahyu senapati dalam bentuk pusaka Topeng Waja kepada Raden Gatutkaca selaku calon senapati Kerajaan Amarta. Apabila Prabu Boma bisa mendapatkan Topeng Waja tersebut, maka Prabu Kresna bersedia membantu mengusulkannya untuk menjadi senapati para Pandawa.

Batara Ekawarna dan Prabu Boma bersyukur mendengar keputusan Prabu Kresna tersebut. Namun, ada pepatah mengatakan, “anak polah, bapa kepradah” sehingga Batara Ekawarna pun meminta bantuan Prabu Kresna bagaimana caranya agar Prabu Boma bisa mendapatkan wahyu pusaka tersebut. Selama ini Prabu Boma tidak pernah merepotkan ayahnya. Bahkan, menjadi raja Trajutresna juga karena usahanya sendiri, tanpa sedikit pun meminta bantuan Prabu Kresna.

Prabu Kresna merenung. Selama ini dia memang lebih menyayangi Raden Samba daripada para putra yang lain. Apalagi terhadap Prabu Boma seolah tidak pernah ia perhatikan. Bagaimana Prabu Boma bisa menjadi raja Trajutresna dan juga mencari permaisuri, sama sekali dirinya sebagai orang tua tidak pernah memberikan bantuan. Untuk menebus kesalahannya itu, Prabu Kresna akhirnya bersedia membantu Prabu Boma untuk mendapatkan Wahyu Topeng Waja.

RADEN SADEWA DATANG UNTUK MENJEMPUT PRABU KRESNA

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Pandawa nomor lima, yaitu Raden Sadewa datang menghadap. Setelah menyembah hormat kepada Prabu Kresna dan Batara Ekawarna, serta menerima penghormatan dari yang lain, ia pun menyampaikan maksud kedatangannya ke Kerajaan Dwarawati. Raden Sadewa bercerita bahwa Raden Gatutkaca yang sedianya akan dilantik sebagai senapati baru Kerajaan Amarta, saat ini telah jatuh sakit. Tidak ada tabib atau dukun yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Untuk itu, Prabu Puntadewa pun mengutus Raden Sadewa pergi ke Kerajaan Dwarawati menjemput Prabu Kresna. Harapannya ialah, Prabu Kresna datang memberikan restu, sehingga Raden Gatutkaca bisa sembuh dari penyakitnya.

Teringat pada kesanggupan sang ayah kepada dirinya, Prabu Boma pun menyela ucapan Raden Sadewa. Ia berkata bahwa Prabu Kresna untuk sementara ini tidak dapat datang ke Kerajaan Amarta karena ada urusan yang lebih penting yang harus diselesaikan. Raden Sadewa menjawab dirinya datang untuk menjemput Prabu Kresna, maka biarlah Prabu Kresna yang menyatakan bersedia atau tidak. Prabu Boma takut ayahnya menjawab bersedia, maka ia pun berkata bahwa dirinya kini menjadi juru bicara Kerajaan Dwarawati. Mewakili Prabu Kresna, ia berkata bahwa ayahnya tidak bersedia hadir di Kerajaan Amarta.

Raden Sadewa semakin kesal melihat tingkah Prabu Boma. Ia bertanya kepada Prabu Kresna apa benar sekarang di Kerajaan Dwarawati ada jabatan juru bicara segala? Prabu Kresna hanya diam tersenyum. Raden Sadewa semakin kesal karena melihat sikap Prabu Kresna yang seolah mendukung tingkah anaknya. Prabu Boma juga takut Prabu Kresna menjawab bersedia. Maka, ia segera menantang Raden Sadewa apabila keberatan dengan adanya jabatan juru bicara ini, maka silakan menghadapi dirinya di alun-alun istana.

Raden Sadewa sebenarnya tidak ada urusan dengan Prabu Boma. Namun, tingkah laku keponakannya itu sudah melebihi batas kesabaran. Maka, ia pun keluar melayani tantangan Prabu Boma.

Setelah Raden Sadewa keluar, Prabu Kresna menegur Prabu Boma. Sejak tadi ia diam bukan karena merestui perbuatan putranya itu, tetapi karena tidak ingin membuat malu Prabu Boma di hadapan Raden Sadewa. Prabu Kresna menyuruh Prabu Boma meminta maaf kepada Raden Sadewa atas sikap kasarnya tadi. Namun, Prabu Boma menolak dan ia pun keluar istana untuk menghadapi pamannya tersebut.

Prabu Kresna merasa prihatin, namun membiarkan Prabu Boma biarlah mendapatkan pengalaman terlebih dulu. Ia lalu memerintahkan Arya Setyaki untuk berjaga-jaga, jangan sampai ada pihak yang terluka atau bahkan terbunuh. Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna membubarkan pertemuan dan mempersilakan Batara Ekawarna masuk meninjau istana.

PRABU BOMA MENGHADAPI RADEN ANTAREJA

Raden Sadewa yang keluar dari istana Dwarawati disambut keponakan yang menyertainya, yaitu Raden Antareja. Putra sulung Arya Wrekodara itu bertanya bagaimana jawaban Prabu Kresna, apakah bersedia diajak serta ke Kerajaan Amarta. Raden Sadewa menjawab, hari ini sikap Prabu Kresna mencurigakan, hanya diam saja tidak mau menjawab. Justru Prabu Boma yang mewakili ayahnya itu menjawab tidak bisa memenuhi undangan Kerajaan Amarta. Raden Sadewa menduga Prabu Kresna sudah berada dalam pengaruh putranya itu, dan juga pengaruh Batara Ekawarna, mertuanya.

Tidak lama kemudian Prabu Boma pun muncul bersama para punggawa raksasanya, antara lain Patih Pancadnyana, Ditya Yayahgriwa, Ditya Ancakogra, dan Ditya Mahodara. Prabu Boma melanjutkan perkataannya di dalam istana tadi, bahwa Raden Sadewa harus bisa mengalahkannya dulu apabila ingin membawa serta Prabu Kresna.

Raden Antareja maju mewakili Raden Sadewa. Ia berkata bahwa pamannya itu tidak perlu merendahkan diri bertarung dengan Prabu Boma. Jika Prabu Boma menyatakan diri sebagai wakil Prabu Kresna, maka Raden Antareja menyatakan diri sebagai wakil Raden Sadewa. Prabu Boma dengan senang hati menerima tantangan sepupunya itu. Keduanya pun bertarung di alun-alun Kerajaan Dwarawati.

Pertarungan antara Raden Antareja dan Prabu Boma berlangsung sengit. Keduanya sama-sama putra bidadari yang memiliki kesaktian yang seimbang. Prabu Boma lama-lama merasa letih dan tidak ada gunanya membuang tenaga menghadapi Raden Antareja, karena saingan beratnya adalah Raden Gatutkaca. Maka, ia pun menghentikan pertarungan dan mengajak Raden Antareja berunding.

Dengan kata-kata manis, Prabu Boma pura-pura kasihan kepada Raden Antareja yang usianya lebih tua daripada Raden Gatutkaca, tetapi harus rela menjadi bawahan adiknya itu. Raden Antareja menjawab, tidak masalah dirinya menjadi bawahan, karena Raden Gatutkaca memang lebih dulu bergabung dengan angkatan bersenjata Kerajaan Amarta daripada dirinya. Prabu Boma berkata, ini bukan soal siapa yang lebih dulu menjadi punggawa, tetapi siapa yang lebih memiliki jasa atau prestasi. Meskipun Raden Antareja kalah lama menjadi punggawa, namun soal jasa terhadap negara belum tentu kalah dibanding Raden Gatutkaca.

Raden Antareja termenung karena kata-kata Prabu Boma tepat merasuk ke dalam lubuk hatinya. Ia menjadi bimbang dan hampir saja terpengaruh. Namun, ia segera mengeraskan tekad dan kembali menantang Prabu Boma melanjutkan pertarungan. Tiba-tiba Prabu Kresna dan Batara Ekawarna datang melerai mereka.

Melihat itu, Raden Sadewa segera maju ikut mendekat. Prabu Kresna berkata bahwa tidak ada gunanya bertarung sesama saudara. Mengenai undangan ke Kerajaan Amarta, dirinya tidak bisa datang hari ini karena sudah berjanji hendak membantu Batara Ekawarna menyelesaikan masalah di Kahyangan Ekapratala. Besok pagi baru ia bisa pergi ke Kerajaan Amarta memenuhi undangan para Pandawa.

Karena Prabu Kresna telah memutuskan demikian, Raden Sadewa merasa tidak perlu lagi membuang waktu. Ia pun mohon pamit kembali ke Kerajaan Amarta bersama Raden Antareja.

Setelah keduanya pergi, Prabu Kresna ganti menegur Prabu Boma. Ia merasa tidak suka dengan sikap Prabu Boma yang bertindak kasar kepada Raden Sadewa. Bagaimanapun juga Raden Sadewa terhitung sebagai paman sehingga Prabu Boma wajib hormat kepadanya. Lagipula Prabu Boma ingin menjadi senapati Kerajaan Amarta, maka harusnya bisa mengambil hati para Pandawa, bukannya justru memusuhi mereka.

Prabu Boma merasa bersalah dan meminta petunjuk ayahnya. Prabu Kresna menjawab, dirinya bersedia membantu Prabu Boma mendapatkan wahyu senapati, asalkan putranya itu bersedia memperbaiki hubungan dengan para Pandawa. Prabu Boma berterima kasih dan menyatakan bersedia. Mereka lalu berpisah. Prabu Kresna berangkat bersama Batara Ekawarna menuju Kahyangan Jonggringsalaka, sedangkan Prabu Boma berangkat menuju Kerajaan Amarta.

RADEN SADEWA BERTEMU BAMBANG WISANGGENI DAN RADEN ANTASENA

Raden Sadewa dan Raden Antareja sedang dalam perjalanan kembali ke Kerajaan Amarta. Sepanjang jalan Raden Sadewa mengeluh soal sikap Prabu Kresna yang mencurigakan. Baru kali ini Prabu Kresna menunda kedatangan ke Kerajaan Amarta. Padahal, biasanya ia selalu siap sedia dan langsung berangkat apabila mendapat undangan dari para Pandawa.

Raden Antareja hanya diam tidak menjawab perkataan pamannya. Raden Sadewa heran melihat sikap Raden Antareja yang ikut-ikutan berubah menjadi aneh. Ia pun bertanya apa saja yang dibicarakan Prabu Boma sehingga membuat Raden Antareja berubah menjadi pendiam. Raden Antareja menjawab tidak ada masalah apa-apa.

Pada saat itulah tiba-tiba di jalan mereka bertemu Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena. Setelah menerima penghormatan dari kedua keponakannya itu, Raden Sadewa pun bertanya mereka hendak pergi ke mana. Bambang Wisanggeni menjawab dirinya bersama Raden Antasena hendak berkunjung ke Kerajaan Amarta untuk menyaksikan serah terima jabatan senapati kerajaan dari Arya Wrekodara kepada Raden Gatutkaca.

Raden Sadewa bercerita bahwa saat ini Raden Gatutkaca sedang sakit. Meskipun demikian, upacara pelantikan tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disusun. Yang lebih mengherankan ialah sikap Prabu Kresna yang menunda hadir ke Kerajaan Amarta karena menerima kunjungan Prabu Boma dan Batara Ekawarna. Raden Sadewa pun menceritakan semuanya mulai awal hingga akhir tentang penugasannya ke Kerajaan Dwarawati.

Bambang Wisanggeni yang cerdas dapat menebak bahwa Prabu Boma mengincar jabatan senapati Kerajaan Amarta. Tidak hanya itu, Prabu Kresna juga berniat menggagalkan Raden Gatutkaca menerima wahyu senapati. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bambang Wisanggeni pun mohon pamit untuk berangkat mengejar Prabu Kresna. Raden Antasena tentu saja ikut serta.

Sepeninggal kedua pemuda itu, Raden Sadewa mengajak Raden Antareja melanjutkan perjalanan. Namun, Raden Antareja mengaku tidak bisa menghadiri upacara pelantikan Raden Gatutkaca. Ia merasa sedang tidak enak badan. Tanpa menunggu jawaban Raden Sadewa, tiba-tiba Raden Antareja melesat pergi menuju tempat tinggalnya di Kesatrian Jangkarbumi.

Raden Sadewa merasa sikap Raden Antareja berubah menjadi aneh setelah bertarung dengan Prabu Boma. Namun, ia merasa yang lebih penting adalah melapor kepada Prabu Puntadewa perihal kegagalannya membawa serta Prabu Kresna. Maka, ia pun bergegas melanjutkan perjalanan menuju Kerajaan Amarta seorang diri.

PRABU KRESNA MEREBUT TOPENG WAJA

Sementara itu, Prabu Kresna dan Batara Ekawarna naik ke Kahyangan Jonggringsalaka menghadap Batara Guru yang didampingi Batara Narada. Setelah menghaturkan sembah, Prabu Kresna menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu ingin menanyakan perihal rencana dewata hendak menurunkan wahyu senapati. Batara Guru menjawab memang benar demikian. Wahyu senapati yang akan diturunkan berupa pusaka Topeng Waja. Rencananya, pusaka Topeng Waja ini akan diserahkan kepada Raden Gatutkaca.

Prabu Kresna berkata bahwa Raden Gatutkaca saat ini sedang sakit keras. Itu sebabnya ia yang datang menjemput Topeng Waja untuk segera diserahkan pada keponakannya itu. Dengan memakai Topeng Waja, maka Raden Gatutkaca pasti akan segera sembuh dari penyakitnya. Mendengar itu, Batara Guru prihatin dan segera menyerahkan Topeng Waja kepada Prabu Kresna. Setelah menerima pusaka tersebut, Prabu Kresna berterima kasih dan pamit undur diri bersama Batara Ekawarna.

Sepeninggal mereka berdua, Batara Narada curiga merasa ada yang aneh. Ia menduga Prabu Kresna pasti hendak menyerahkan Topeng Waja kepada Prabu Boma yang sepertinya juga mengincar kedudukan senapati Kerajaan Amarta. Batara Guru baru sadar dirinya telah melakukan kesalahan. Ia heran mengapa tadi dengan mudahnya menyerahkan Topeng Waja kepada Prabu Kresna. Batara Narada menduga ketika tadi Prabu Kresna mengajukan permohonan meminta Topeng Waja, pasti Batara Ekawarna membaca mantra yang membuat Batara Guru terlena dan mematuhi ucapan Prabu Kresna.

Batara Guru merasa malu dan bertanya mengapa tadi Batara Narada tidak mengingatkan dirinya. Batara Narada berkata bahwa dirinya juga ikut terkena pengaruh mantra Batara Ekawarna. Batara Guru pun memerintahkan Batara Narada untuk mengejar Prabu Kresna dan Batara Ekawarna demi merebut kembali Topeng Waja. Namun, Batara Narada tidak bersedia karena Prabu Kresna adalah titisan Batara Wisnu. Apabila bertarung dengannya jelas Batara Narada sulit menang.

Batara Guru mendapat akal. Ia pun memanggil Batara Ramayadi dan memerintahkannya untuk membuat Topeng Prunggu sebagai tandingan Topeng Waja. Kelak jika kedua topeng itu didekatkan, maka wahyu senapati akan berpindah ke dalam Topeng Prunggu. Batara Ramayadi menerima perintah dan segera melaksanakan tugas.

BAMBANG WISANGGENI MENGHADANG PRABU KRESNA

Prabu Kresna dan Batara Ekawarna yang telah meninggalkan Kahyangan Jonggringsalaka tiba-tiba dihadang Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena. Kedua pemuda itu tanpa basa-basi langsung meminta Prabu Kresna menyerahkan Topeng Waja karena itu adalah hak Raden Gatutkaca.

Prabu Kresna menjawab dirinya tidak tahu-menahu soal Topeng Waja. Bambang Wisanggeni meminta Prabu Kresna tidak perlu menyembunyikan hal ini, karena lebih baik berterus terang saja. Topeng Waja hendak diturunkan dewata kepada Raden Gatutkaca, maka sebaiknya diserahkan kepada yang berhak menerima.

Batara Ekawarna marah melihat sikap Bambang Wisanggeni yang kurang ajar kepada orang tua. Ia pun maju hendak menghukum pemuda itu. Namun, Raden Antasena dengan cekatan melindungi sepupunya. Ia dan Batara Ekawarna lalu terlibat pertarungan.

Prabu Kresna merasa tidak perlu menutup-nutupi lagi. Ia pun menantang Bambang Wisanggeni agar merebut Topeng Waja dari tangannya. Bambang Wisanggeni merasa tidak perlu segan lagi karena sudah dipersilakan demikian. Maka, ia pun maju menyerang Prabu Kresna.

Prabu Kresna dan Bambang Wisanggeni bertarung sengit. Selama ini Prabu Kresna sering mendengar kepandaian dan kesaktian Bambang Wisanggeni, namun ia tidak menyangka bahwa putra Raden Arjuna yang satu ini ternyata memiliki kesaktian yang setara dengan dirinya. Bahkan, Bambang Wisanggeni akhirnya berhasil merebut Topeng Waja dari tangan Prabu Kresna.

Prabu Kresna bergerak cepat memukul tangan Bambang Wisanggeni. Seketika Topeng Waja pun melayang jauh entah ke mana. Melihat itu, Bambang Wisanggeni segera mengejar. Raden Antasena pun meninggalkan Batara Ekawarna dan ikut mengejar.

PRABU BOMA NARAKASURA MENJENGUK RADEN GATUTKACA

Sementara itu di Kesatrian Jodipati, Arya Wrekodara sedang memangku Raden Gatutkaca yang sakit tak sadarkan diri. Sang istri, yaitu Dewi Arimbi duduk di sampingnya dengan perasaan sedih karena putra mereka belum juga mendapatkan obat. Para Pandawa lainnya, yaitu Prabu Puntadewa, Raden Arjuna, dan si kembar Raden Nakula-Raden Sadewa juga hadir. Prabu Puntadewa meminta Arya Wrekodara dan Dewi Arimbi agar bersabar, karena tidak lama lagi Prabu Kresna akan hadir membawa obat, sebagaimana yang dilaporkan Raden Sadewa.

Tidak lama kemudian, datanglah Prabu Boma Narakasura di tempat itu. Prabu Boma menyembah hormat kepada para Pandawa dan Dewi Arimbi, kemudian menyampaikan permohonan maaf karena sang ayah, yaitu Prabu Kresna masih belum bisa datang ke Kerajaan Amarta. Juga ia meminta maaf kepada Raden Sadewa karena kemarin telah berbuat kasar sewaktu berada di Kerajaan Dwarawati. Raden Sadewa pun menerima permintaan maaf tersebut.

Prabu Boma lalu mendekati Raden Gatutkaca untuk mengungkapkan simpatinya. Ia berkata sungguh sayang calon senapati Kerajaan Amarta menderita sakit seperti ini. Apa tidak sebaiknya mencari calon lain yang lebih sehat? Bukankah masih ada Raden Antareja, Raden Antasena, Raden Abimanyu, Raden Sumitra, dan para putra Pandawa lainnya? Atau jika mereka tidak bersedia, apa tidak sebaiknya mencari calon dari luar Kerajaan Amarta saja?

Raden Gatutkaca yang terbaring tak berdaya di pangkuan ayahnya dapat mendengar suara Prabu Boma. Ingin sekali ia bangkit namun tidak memiliki tenaga sama sekali. Terdengar Prabu Boma kembali melanjutkan perkataannya yang berisi sindiran-sindiran pedas untuk dirinya. Raden Gatutkaca semakin kesal dan merasa lebih baik mati daripada tidak mendapatkan kesembuhan.

Tampak Prabu Boma berkata bahwa ia ingin Raden Gatutkaca segera sembuh agar mereka bisa berlatih tanding bersama, serta bermain perang-perangan lagi seperti dulu. Tiba-tiba dari angkasa melayang turun Topeng Waja yang kemudian melesat memasuki Kesatrian Jodipati dan langsung menempel di wajah Raden Gatutkaca.

PERTANDINGAN RADEN GATUTKACA DENGAN PRABU BOMA NARAKASURA

Begitu Topeng Waja terpasang di wajahnya, seketika Raden Gatutkaca mendapatkan kesembuhan. Ia pun bangkit dan menendang tubuh Prabu Boma. Keduanya lalu terlibat pertarungan yang berlanjut di halaman depan. Prabu Puntadewa hendak melerai mereka, namun Arya Wrekodara tidak setuju. Biarlah Prabu Boma mendapat pelajaran atas mulutnya yang lancang. Tidak lama kemudian hadir pula Bambang Wisanggeni dan Raden Antasena yang melaporkan bahwa Topeng Waja yang terpasang di wajah Raden Gatutkaca mengandung wahyu senapati.

Sementara itu, Prabu Boma dan Raden Gatutkaca sudah berada di halaman Kesatrian Jodipati. Mereka bertarung seru saling mengadu kesaktian. Lama-lama Prabu Boma terdesak oleh keperkasaan Raden Gatutkaca. Ketika terlempar ke belakang, tubuhnya ditangkap oleh Prabu Kresna dan Batara Ekawarna yang baru tiba di tempat itu.

Prabu Boma marah-marah terhadap ayah dan kakeknya, karena mereka gagal mendapatkan Topeng Waja yang kini justru terpasang secara alamiah di wajah musuhnya. Prabu Kresna menjawab, dirinya berdua sudah berusaha tetapi mungkin memang Topeng Waja adalah hak Raden Gatutkaca. Alangkah baiknya Prabu Boma mengundurkan diri saja dari persaingan ini.

Prabu Boma semakin marah dan menuduh ayahnya tidak tulus dalam membantu keinginan anak. Ia tidak peduli Topeng Waja milik siapa. Jika dirinya gagal memiliki, maka orang lain pun tidak boleh memiliki. Mendegar cucunya berkata demikian, Batara Ekawarna merasa iba. Ia pun meminjamkan alas kakinya yang juga pusaka ampuh, bernama Gamparan Kencana. Alas kaki pusaka itu hendaknya dilemparkan ke wajah Raden Gatutkaca yang memakai topeng.

RADEN GATUTKACA RUSAK WAJAHNYA

Prabu Boma menerima pusaka Gamparan Kencana dengan senang hati. Ia lalu kembali bertanding dan melemparkan sepasang alas kaki milik kakeknya itu ke wajah Raden Gatutkaca dari jarak dekat. Serangan ini begitu cepat, bahkan Raden Gatutkaca tidak mampu menghindarinya. Gamparan Kencana dan Topeng Waja sama-sama pecah dan melukai wajah  Raden Gatutkaca.

Arya Wrekodara marah melihat wajah putranya rusak parah terkena pecahan Topeng Waja dan Gamparan Kencana. Pada saat itulah Batara Narada datang membawa Topeng Prunggu buatan Batara Ramayadi yang baru saja jadi. Ketika Topeng Waja hancur, wahyu senapati pun keluar dari tubuh Raden Gatutkaca. Batara Narada segera menangkap dan memasukkan wahyu senapati tersebut ke dalam Topeng Prunggu lalu memasangkannya ke wajah Raden Gatutkaca yang terluka.

Sungguh ajaib, wajah Raden Gatutkaca langsung sembuh dan Topeng Prunggu pun menyatu dengan kulitnya, membuat wajah Raden Gatutkaca kini terlihat lebih tampan daripada sebelumnya.

Melihat itu, Prabu Boma semakin kesal. Ia pun mengajak kakeknya pulang kembali ke Kerajaan Trajutresna, meninggalkan Prabu Kresna seorang diri.

RADEN GATUTKACA DILANTIK MENJADI SENAPATI KERAJAAN AMARTA

Prabu Kresna maju dan meminta maaf kepada para Pandawa karena berusaha menggagalkan Raden Gatutkaca mendapatkan Wahyu Topeng Waja. Ini semua karena dirinya sebagai orang tua tidak tega jika tidak membantu mewujudkan keinginan anak. Arya Wrekodara tidak menyalahkan Prabu Kresna, karena wajar apabila seorang ayah membantu anaknya meraih cita-cita.

Meskipun demikian, Batara Narada tetap menyalahkan Prabu Kresna yang telah menipu Batara Guru demi membantu Prabu Boma. Sebagai hukuman, maka kelak Prabu Kresna akan menjadi orang yang mencabut nyawa putranya sendiri, yaitu Prabu Boma tersebut. Kehilangan anak sangat menyakitkan, apalagi jika si anak mati di tangan ayahnya sendiri. Prabu Kresna tidak membantah dan dirinya ikhlas menerima takdir tersebut.

Batara Narada lalu memungut pecahan Topeng Waja dan Gamparan Kencana. Benda-benda itu akan dibawa ke kahyangan untuk dilebur Batara Ramayadi sebagai bahan membuat Anjang-Anjang Kencana. Kelak Prabu Boma hanya bisa mati untuk selamanya apabila jasadnya diletakkan di atas Anjang-Anjang Kencana tersebut. Usai berkata demikian, Batara Narada melesat kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka.

Keadaan kini telah tenang kembali. Arya Wrekodara yang selama ini merangkap jabatan sebagai jaksa agung sekaligus senapati Kerajaan Amarta, mulai hari ini menyerahkan jabatan senapati kepada Raden Gatutkaca. Prabu Puntadewa lalu melantik Raden Gatutkaca dan memberinya gelar Arya Gatutkaca.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

 








2 komentar:

  1. Cerita penuh makna. Anak polah bopo kepradah

    BalasHapus
  2. Tidak bisa dipungkiri kepentingan keluarga lebih diutamakan walau dg jln yg TDK benar(menipu)

    BalasHapus