Kisah ini menceritakan tentang upacara Sesaji Rajasuya yang diadakan
oleh para Pandawa, serta kematian Prabu Jarasanda, musuh bebuyutan Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang
dipadukan dengan buku tuntunan pedalangan lakon Sesaji Rajasuya karya Ki
Sarwanto, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 13 Agustus 2019
Heri Purwanto
Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini
Prabu Jarasanda. |
------------------------------
ooo ------------------------------
ADANYA BERITA TENTANG PENANGKAPAN PARA RAJA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu
Kresna Wasudewa dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam
pertemuan itu hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura
bersama Patih Pragota dan Arya Prabawa.
Prabu Baladewa datang membawa
kabar bahwa kedua paman, yaitu Prabu Bismaka raja Kumbina dan Prabu Setyajit
raja Lesanpura telah ditangkap oleh dua orang raja dari tanah seberang, bernama
Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka. Prabu Baladewa mendapat berita ini dari laporan Raden
Rukmaka (putra Prabu Bismaka) yang juga meminta bantuan untuk membebaskan
mereka berdua. Prabu Baladewa berangkat mengejar, tetapi ia kehilangan jejak
dan terpaksa berbelok menuju Kerajaan Dwarawati untuk merundingkan masalah ini
dengan Prabu Kresna.
Arya Setyaki terkejut
mendengar berita bahwa ayahnya (Prabu Setyajit) telah ditangkap orang tak
dikenal. Ia pun mohon izin kepada Prabu Kresna untuk mengejar kedua musuh
bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka tersebut. Prabu Kresna melarang Arya
Setyaki berangkat karena ia mendapat firasat bahwa sebentar lagi kedua musuh itu
akan datang menyerang Kerajaan Dwarawati.
Prabu Baladewa bertanya siapa
sebenarnya dua raja itu dan mengapa mereka menangkap Prabu Bismaka dan Prabu
Setyajit? Prabu Kresna mengatakan bahwa kedua raja itu hanyalah suruhan belaka.
Saat ini ada dua orang raja lain yang hendak mengadakan upacara agung, yaitu
Prabu Puntadewa yang berniat mengadakan Sesaji Rajasuya, serta Prabu Jarasanda yang
hendak mengadakan Sesaji Kalalodra. Bedanya, Sesaji Rajasuya harus dihadiri
paling sedikit seratus orang raja, sedangkan Sesaji Kalalodra harus menyembelih
seratus orang raja sebagai kurban.
Prabu Jarasanda adalah raja
Kerajaan Magada yang beribukota di Giribajra. Menurut penerawangan Prabu
Kresna, saat ini Prabu Jarasanda telah menyekap 97 orang raja, termasuk Prabu
Bismaka dan Prabu Setyajit. Untuk menggenapi seratus, Prabu Jarasanda berniat
menangkap Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa. Adapun dua raja
bernama Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka adalah bawahan Prabu Jarasanda yang
ditugaskan untuk menangkapi para raja calon kurban.
Prabu Baladewa terkejut
dirinya menjadi sasaran. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda
menyimpan dendam kepada keluarga Mandura. Prabu Jarasanda adalah menantu Prabu
Gorawangsa raja Guargra, yaitu raja raksasa yang pernah menyamar sebagai Prabu
Basudewa (ayah Prabu Baladewa dan Prabu Kresna) dan menghamili Dewi Mahira.
Dari hubungan tersebut lahir Prabu Kangsa yang bersahabat dengan Prabu Jarasanda.
Ketika dulu Prabu Kangsa tewas dibunuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa semasa
muda, hal ini tentu saja membuat Prabu Jarasanda sakit hati. Itu sebabnya Prabu
Jarasanda ingin menjadikan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sebagai kurban
sesaji, serta digenapi pula dengan Prabu Puntadewa. Adapun dendam kepada para
Pandawa adalah karena mereka putra Prabu Pandu, yang mana Prabu Pandu dulu
pernah mengalahkan Prabu Jarasanda di masa muda.
Prabu Baladewa lega mendengar bahwa
Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka selaku utusan Prabu Jarasanda akan datang untuk
menangkap dirinya. Itu artinya ia tidak perlu susah payah mencari mereka
berdua. Prabu Kresna justru menyerahkan masalah ini kepada Prabu Baladewa
karena dirinya akan berangkat menuju Kerajaan Amarta, membantu para Pandawa
mempersiapkan Sesaji Rajasuya. Apabila Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka bisa
dikalahkan, maka Prabu Baladewa diminta untuk segera menyusul ke Kerajaan
Amarta.
Prabu Baladewa heran dirinya
datang untuk merundingkan masalah ini bersama Prabu Kresna, tapi sekarang
justru hendak ditinggal pergi ke Kerajaan Amarta. Namun, ia paham watak adiknya
sehingga tidak perlu berdebat lagi. Prabu Kresna pun membubarkan pertemuan, dan
ia memerintahkan Arya Setyaki serta Patih Udawa untuk membantu Prabu Baladewa
menghadapi musuh.
PRABU BALADEWA MENUMPAS PRABU HAMSA DAN PRABU DIMBAKA
Prabu Baladewa mempersiapkan
pasukan Dwarawati dan Mandura. Sesuai dugaan Prabu Kresna, ternyata benar
pasukan Magada datang menyerang di bawah pimpinan Prabu Hamsa dan Prabu
Dimbaka. Kedua raja ini datang untuk menangkap Prabu Kresna.
Namun, Prabu Baladewa sudah
bersiaga didampingi Arya Setyaki dan Patih Udawa. Pertempuran sengit pun
terjadi. Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka ternyata sulit dibunuh. Apabila Prabu
Hamsa mati, maka ia akan hidup kembali setelah mayatnya dilangkahi oleh Prabu
Dimbaka. Sebaliknya, Prabu Dimbaka apabila mati juga hidup kembali setelah
mayatnya dilangkahi Prabu Hamsa.
Prabu Baladewa tidak
kekurangan akal. Ia pun menghunus dua pusaka sekaligus, yaitu Nanggala di tangan
kanan dan Alugora di tangan kiri. Kedua pusaka ini masing-masing dihantamkan ke
kepala Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka yang menyerang bersama-sama. Kedua raja
itu pun tewas untuk selamanya.
PRABU KRESNA MENINJAU PERSIAPAN SESAJI RAJASUYA
Sementara itu, Prabu Kresna
telah tiba di Kerajaan Amarta, disambut Prabu Puntadewa dan para Pandawa
lainnya. Setelah saling bertanya kabar, Prabu Kresna pun menanyakan bagaimana
persiapan Sesaji Rajasuya. Prabu Puntadewa balik bertanya, apa saja yang harus
disediakan para Pandawa dalam mengadakan upacara tersebut.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa
Sesaji Rajasuya adalah upacara yang dilakukan oleh seorang raja dalam rangka mensyukuri
berkah atas negaranya yang telah berdiri. Dalam hal ini, Prabu Puntadewa sangat
berhak mengadakan upacara tersebut, karena ia menjadi raja atas usahanya
sendiri membuka negara Amarta mulai dari awal. Adapun raja lainnya seperti
Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana tidak bisa mengadakan Sesaji Rajasuya karena
mereka menjadi raja karena warisan dari orang tua. Sementara itu, Prabu Kresna
yang menjadi raja setelah mengalahkan Prabu Yudakala Kresna juga tidak bisa
mengadakan upacara ini karena Kerajaan Dwarawati sudah lebih dulu ada dan
tinggal meneruskan saja.
Syarat lainnya adalah, Sesaji
Rajasuya harus dipimpin oleh tujuh orang brahmana agung berilmu tinggi, serta
disaksikan paling sedikit seratus orang raja dari berbagai negeri. Selain itu,
Prabu Puntadewa harus menghilangkan nyawa seorang raja angkara murka. Prabu
Puntadewa menyimak dengan seksama. Untuk syarat yang pertama ia telah mengutus para
putra Pandawa untuk menjemput para brahmana agung, terutama Bagawan Abyasa dan
Resiwara Bisma. Adapun syarat terakhir yang membuat Prabu Puntadewa agak keberatan.
Menurutnya, upacara Sesaji Rajasuya lebih baik dibatalkan daripada harus mengorbankan
nyawa orang lain.
Prabu Kresna pun bercerita
bahwa saat ini Prabu Jarasanda raja Magada telah menyekap 97 orang raja untuk
ia sembelih dalam upacara Sesaji Kalalodra. Namun, upacara tersebut tidak bisa
diadakan apabila jumlah raja yang dikumpulkan belum mencapai angka seratus.
Rencananya, tiga raja yang akan digunakan sebagai penutup adalah Prabu
Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa.
Prabu Puntadewa tidak takut
apabila dirinya ditangkap dan disembelih Prabu Jarasanda. Namun, yang ia
khawatirkan adalah nasib 97 orang raja yang saat ini menjadi tawanan.
Bagaimanapun juga mereka harus dibebaskan. Prabu Kresna menjelaskan bahwa paman
mereka, yaitu Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit termasuk yang berada dalam
tawanan tersebut. Arya Wrekodara dan Raden Arjuna marah mendengarnya. Mereka
pun memohon izin kepada Prabu Puntadewa untuk membunuh Prabu Jarasanda dan
membebaskan semua raja yang saat ini ditawan.
Prabu Puntadewa
menimbang-nimbang. Akhirnya, ia pun setuju membunuh Prabu Jarasanda demi untuk
membebaskan 97 orang raja yang menjadi tawanan. Namun, ia memerintahkan Arya
Wrekodara dan Raden Arjuna agar membunuh Prabu Jarasanda saja, tidak perlu
menumpahkan darah orang lain. Mereka lalu bertanya kepada Prabu Kresna
bagaimana cara yang harus ditempuh. Prabu Kresna berkata bahwa Prabu Jarasanda meskipun
kejam dan bengis, namun ia sangat alim dalam beragama dan menghormati kaum
pendeta. Oleh sebab itu, Prabu Kresna mengajak Arya Wrekodara dan Raden Arjuna
untuk menyamar sebagai pendeta saat mendatangi Kerajaan Magada nanti.
Setelah dirasa cukup, Prabu
Kresna, Arya Wrekodara, Raden Arjuna pun mohon pamit berangkat. Prabu Puntadewa
merestui kedua adiknya, dan meminta Prabu Kresna untuk melindungi mereka.
RADEN ABIMANYU MENGHADAP BAGAWAN ABYASA
Sementara itu di Gunung
Saptaarga, Raden Abimanyu disertai para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong menghadap sang kakek buyut, yaitu Bagawan Abyasa.
Kedatangannya ialah untuk menjalankan perintah Prabu Puntadewa memohon bantuan
memimpin upacara Sesaji Rajasuya. Bagawan Abyasa menyatakan bersedia dan mereka
lalu berangkat bersama-sama.
Di tengah perjalanan, Raden
Abimanyu dan rombongannya berpapasan dengan para raksasa pengikut Prabu Hamsa
dan Prabu Dimbaka yang kocar-kacir setelah raja mereka tewas. Para raksasa itu
pun menyerang Raden Abimanyu sebagai pelampiasan. Raden Abimanyu dengan tangkas
menghadapi mereka semua. Satu persatu raksasa pun berguguran. Namun demikian,
jumlah raksasa yang menyerangnya terlalu banyak.
Pada saat itulah muncul Arya
Gatutkaca bersama Resiwara Bisma di tempat itu. Arya Gatutkaca segera membantu
Raden Abimanyu menumpas habis semua raksasa tersebut tanpa sisa.
Resiwara Bisma yang melihat
Bagawan Abyasa segera menghampirinya adiknya tersebut (ayah Resiwara Bisma
semasa hidupnya menikah dengan ibu Bagawan Abyasa). Kedua brahmana tua itu pun
berpelukan karena lama tidak bertemu. Arya Gatutkaca ditugasi pergi ke
Padepokan Talkanda untuk menjemput Resiwara Bisma agar membantu pelaksanaan
upacara Sesaji Rajasuya. Resiwara Bisma bersedia, namun ia merasa ilmu Bagawan
Abyasa lebih tinggi daripada dirinya, maka ia menyatakan hanya bertindak
sebagai pembantu saja. Bagawan Abyasa menyebut Resiwara Bisma terlalu
merendahkan diri. Mereka saling tertawa dan kemudian berangkat melanjutkan
perjalanan.
MENYUSUP MASUK KE DALAM KOTA GIRIBAJRA
Giribajra adalah ibu kota
Kerajaan Magada. Kota tersebut memiliki nama demikian karena terlindung oleh Gunung
Cetiyaka. Di puncak gunung terdapat sebuah genderang (tambur) yang bisa
berbunyi sendiri apabila ada orang asing datang. Untuk itu, Prabu Kresna pun
memerintahkan Raden Arjuna agar menghancurkan genderang tersebut.
Raden Arjuna melaksanakan
perintah. Sebelum tambur itu berbunyi, ia lebih dulu melepaskan panah menuju ke
puncak Gunung Cetiyaka. Anak panah itu melesat dan menghancurkan genderang
tersebut, musnah tanpa sisa.
Arya Wrekodara bertanya
mengapa ada genderang yang bisa berbunyi sendiri. Prabu Kresna pun bercerita
bahwa raja Magada terdahulu bernama Prabu Wrehadrata. Meskipun memiliki dua
istri, namun tidak ada seorang pun yang memberinya keturunan. Prabu Wrehadrata
semakin tua dan pergi bertapa, memohon kepada dewata agar bisa memiliki anak.
Dewata mengabulkan permohonannya. Prabu Wrehadrata pun mendapatkan sebutir buah
mangga pertanggajiwa yang jatuh dari langit.
Karena menyayangi kedua
istrinya tanpa pilih kasih, Prabu Wrehadrata membelah dua mangga kahyangan
tersebut dan masing-masing diberikan kepada dua istrinya. Setelah memakan potongan
buah mangga itu, kedua istri pun mengandung dan melahirkan pada hari yang sama.
Namun, masing-masing melahirkan bayi yang hanya sebelah saja.
Prabu Wrehadrata merasa sedih
dan membuang kedua potongan bayi itu ke hutan. Di hutan ada raksasi bernama Nyai
Jara yang menemukan potongan kedua bayi tersebut. Ketika keduanya diangkat dan
didekatkan, ternyata bersatu menjadi bayi utuh yang memiliki nyawa. Nyai Jara
merasa sayang dan menjadikannya sebagai anak angkat.
Bayi tersebut tumbuh menjadi
pemuda bernama Jaka Slewah, karena tubuhnya tercipta dari dua belahan bayi. Ia
menjadi murid Nyai Jara, dan setelah dewasa pergi ke Kerajaan Magada untuk
menuntut hak sebagai putra mahkota. Prabu Wrehadrata tidak percaya bahwa Jaka
Slewah adalah putranya. Mereka pun berperang. Prabu Wrehadrata gugur di tangan
anaknya sendiri, lalu kulitnya dikupas dan dijadikan sebagai genderang.
Genderang tersebut bisa berbunyi sendiri karena meminta ingin disempurnakan
rohnya. Jaka Slewah mendapat akal. Ia pun menaruh genderang tersebut di puncak
Gunung Cetiyaka sebagai pertanda apabila ada orang asing yang datang.
Setelah membunuh ayahnya
sendiri, Jaka Slewah lalu menjadi raja Magada bergelar Prabu Jarasanda, artinya
“yang disatukan oleh Jara”. Kini Prabu Jarasanda berniat mengadakan Sesaji
Kalalodra, yang mana ia mengumpulkan seratus orang raja untuk dikurbankan.
Arya Wrekodara dan Raden
Arjuna sangat geram mendengar kekejaman Prabu Jarasanda. Namun, Prabu Kresna
melarang mereka gegabah. Apabila masuk ke istana Giribajra hendaknya mereka
menyamar terlebih dulu menjadi pendeta, karena Prabu Jarasanda meskipun kejam
tetapi sangat menghormati kaum brahmana. Apabila tidak menyamar, maka mereka
akan mudah dicurigai dan dikepung oleh pasukan Kerajaan Magada.
Arya Wrekodara mengaku tidak
takut menghadapi para prajurit Magada. Prabu Kresna setuju, namun itu artinya
membuang-buang waktu dan tenaga. Lagipula, pesan Prabu Puntadewa hanya Prabu
Jarasanda saja yang boleh dibunuh, yang lainnya tidak boleh. Arya Wrekodara
mematuhi dan mereka bertiga pun segera bertukar busana, menyamar sebagai
pendeta.
PRABU JARASANDA MEMARAHI ANAKNYA
Sementara itu di istana
Giribajra, Prabu Jarasanda dihadap putranya yang bernama Raden Jayatsena. Dalam
pertemuan itu, Raden Jayatsena mengajukan permohonan kepada ayahnya supaya para
raja yang berjumlah 97 orang dalam tahanan dibebaskan saja. Raden Jayatsena
merasa kasihan apabila mereka disembelih sebagai kurban dalam Sesaji Kalalodra
kelak. Jika mereka masih ditawan, maka negera mereka masing-masing akan mengalami
kekosongan pemerintahan, dan yang menderita adalah rakyat jelata karena tidak
ada kepastian hukum.
Prabu Jarasanda marah-marah
mendengar ucapan anaknya. Ia menyebut Raden Jayatsena anak kecil tahu apa.
Kalau para raja itu disembelih, tinggal tunjuk saja ahli waris mereka sebagai
raja maka negara tidak akan mengalami kekosongan. Hal semudah ini tidak perlu
dipikirkan. Justru dengan adanya Sesaji Kalalodra maka Kerajaan Magada akan
semakin dilindungi oleh Batara Kala. Adapun Batara Kala adalah dewa penguasa
marabahaya. Apabila sang dewa sudah berkenan dengan upacara yang dilakukan oleh
Prabu Jarasanda, maka Kerajaan Magada tidak akan dilanda marabahaya lagi.
Raden Jayatsena masih saja
mempertahankan pendapatnya. Mengangkat ahli waris sebagai pengganti tidak
semudah itu. Apabila ahli warisnya banyak, maka akan terjadi perebutan takhta
dan kekacauan negara. Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban. Prabu
Jarasanda tidak peduli. Jika Raden Jayatsena tetap saja membela para raja
tawanan, maka lebih baik pergi saja dari Kerajaan Magada. Raden Jayatsena tidak
berani membantah. Ia pun pamit mengundurkan diri ke luar istana, takut melihat
kemarahan sang ayah.
PRABU KRESNA MENANTANG PRABU JARASANDA PERANG TANDING
Tidak lama kemudian Prabu
Jarasanda mendapat kabar dari patihnya bahwa ada tiga orang brahmana ingin
bertemu. Prabu Jarasanda selama hidupnya selalu menghormati brahmana. Ia pun
bergegas menyambut mereka dengan penuh tata krama. Ketiga brahmana tersebut
mengaku bernama Resi Kesawa, Resi Balawa, dan Resi Parta.
Resi Kesawa selaku pemimpin
rombongan langsung berterus terang bahwa kedatangan mereka bertiga adalah
meminta Prabu Jarasanda untuk membebaskan para raja yang menjadi tawanan. Untuk
apa menambah dosa, lebih baik hidup rukun dalam persahabatan. Bayangkan apabila
kelak keluarga 97 raja itu bersatu menggempur Prabu Jarasanda, bukankah ini
berbahaya? Prabu Jarasanda tidak peduli, karena jika mereka dikurbankan, maka
Batara Kala akan selalu melindungi Kerajaan Magada. Jangankan diserang seratus
negara, bahkan diserang seribu negara pun Prabu Jarasanda tetap merasa aman
dalam perlindungan Batara Kala.
Resi Kesawa berkata bahwa
Batara Kala adalah dewa juga, dan di atas dewa masih ada Tuhan Yang Mahakuasa.
Apabila Tuhan berkehendak lain, Batara Kala bisa apa? Prabu Jarasanda
tersinggung dewa sesembahannya dihina. Ia mulai curiga pendeta di depannya adalah
Prabu Kresna, musuh bebuyutannya. Resi Kesawa merasa tidak perlu menutupi lagi.
Ia pun berterus terang bahwa dirinya memang Prabu Kresna, sedangkan Resi Balawa
adalah Arya Wrekodara, dan Resi Parta adalah Raden Arjuna.
Prabu Jarasanda senang sekali
karena hari ini ia bisa membunuh Prabu Kresna untuk membalaskan kematian
sahabatnya, yaitu Prabu Kangsa dua puluh tahun yang lalu. Selama ini Prabu
Jarasanda tidak menyerang Kerajaan Dwarawati karena takut pada sekutu Prabu
Kresna, yaitu para Pandawa, mengingat dulu dirinya pernah dikalahkan Prabu
Pandu. Namun, kini Prabu Kresna dan dua Pandawa datang mengantarkan nyawa, maka
Prabu Jarasanda merasa tidak perlu segan-segan lagi.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa
kedatangannya bukan untuk bertempur besar-besaran, tetapi cukup perang tanding
membunuh satu orang saja, yaitu Prabu Jarasanda. Apabila Prabu Jarasanda mati,
maka 97 raja yang ditawan harus dibebaskan. Sebaliknya, jika Prabu Jarasanda
bisa membunuh salah satu dari Prabu Kresna, Arya Wrekodara, atau Raden Arjuna
dalam perang tanding nanti, maka Sesaji Kalalodra boleh dilanjutkan, bahkan
Prabu Puntadewa dan Prabu Baladewa akan menyerahkan diri sebagai penggenap jumlah
raja yang akan disembelih.
Prabu Jarasanda seorang raja
yang pandai bergulat. Ia merasa terhina jika harus bergulat melawan Prabu
Kresna dan Raden Arjuna yang berbadan kecil. Maka, ia pun memilih Arya
Wrekodara sebagai lawan bertanding. Arya Wrekodara menerima tantangan dengan
senang hati, karena sejak tadi ia berharap dirinya yang dipilih.
PERTANDINGAN ANTARA PRABU JARASANDA MELAWAN ARYA WREKODARA
Pertandingan antara Prabu
Jarasanda dan Arya Wrekodara pun dimulai. Mereka bertanding di sebuah gelanggang
disaksikan segenap prajurit Magada. Dalam pertandingan itu, tampak bahwa
keduanya sama-sama kuat dan perkasa. Mereka saling menangkap, saling
membanting, saling tendang, dan saling pukul. Tidak bisa dipastikan siapa yang
lebih unggul dan siapa yang akan kalah.
Ketika senja tiba, Prabu
Jarasanda menghentikan pertandingan untuk beristirahat. Ia sudah menyediakan
kamar tamu untuk Prabu Kresna dan rombongannya. Meskipun bermusuhan, tetapi
Prabu Jarasanda tetap menjunjung tinggi tata krama. Ia mengirimkan para
pelayannya untuk memenuhi segala kebutuhan Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan
Raden Arjuna.
Arya Wrekodara makan dengan
lahap. Ia tidak takut makanan diracuni karena semasa muda pernah meminum air
ajaib Tirtamanik Rasakunda, sehingga dirinya kebal terhadap segala jenis racun.
Hanya Raden Arjuna yang diam tidak mau makan karena takut terkena racun. Prabu
Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda memang seorang raja angkara murka,
tetapi sangat menjaga harga diri. Prabu Kresna yakin Prabu Jarasanda tidak mungkin
melakukan tindakan rendah layaknya seorang pengecut, misalnya menaruh racun
dalam hidangan. Lagipula, Prabu Kresna memiliki Kembang Wijayakusuma, sehingga
Raden Arjuna tidak perlu merasa khawatir. Setelah mendengar penjelasan
demikian, Raden Arjuna baru berani makan.
CARA MEMBUNUH PRABU JARASANDA
Pagi harinya pertandingan
antara Prabu Jarasanda dan Arya Wrekodara kembali dilanjutkan. Kali ini mereka
bertanding dengan penuh semangat karena badan sama-sama segar. Pertandingan
tetap berjalan alot, hingga senja tiba belum ada yang terlihat siapa
pemenangnya.
Malam itu kedua pihak kembali
beristirahat. Esok harinya pertandingan dilanjutkan, dan pada sore harinya
dihentikan. Begitulah yang terjadi hingga beberapa hari. Pada hari ketujuh
Prabu Kresna teringat pada kisah kelahiran Prabu Jarasanda. Ia pun berbisik kepada
Arya Wrekodara bahwa Prabu Jarasanda dulu berasal dari dua belahan bayi, maka
sekarang harus dikembalikan lagi menjadi dua belahan.
Arya Wrekodara paham. Dalam
pertandingan hari itu, ia berusaha menangkap kedua kaki Prabu Jarasanda. Ketika
bisa ditangkap, ia pun menarik kedua kaki tersebut ke dua arah yang berbeda.
Prabu Jarasanda menjerit dan tubuhnya pun terbelah menjadi dua. Namun, sungguh
ajaib kedua tubuh itu bersatu kembali seperti sedia kala.
Arya Wrekodara menoleh ke arah
Prabu Kresna. Prabu Kresna pun mencabut ilalang dan membelahnya menjadi dua,
lalu melemparkannya ke kiri dan ke kanan. Arya Wrekodara paham. Kali ini ia
kembali menangkap kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua
potongan itu lalu dilempar jauh-jauh ke kiri dan ke kanan. Namun, sungguh ajaib
keduanya bergerak mendekat dan bersatu lagi, bagaikan tertarik oleh besi
sembrani.
Arya Wrekodara bingung dan
kembali menoleh kepada Prabu Kresna. Kali ini Prabu Kresna mencoba cara lain.
Ia melemparkan potongan ilalang di tangan kiri ke arah kanan, dan melemparkan
yang di tangan kanan ke arah kiri. Arya Wrekodara paham. Ia kembali menangkap
kedua kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua potongan
itu lalu dilemparkan menyilang. Belahan tubuh sebelah kiri dilemparkan ke
kanan, sedangkan belahan tubuh kanan dilemparkan ke kiri. Kali ini Prabu
Jarasanda tidak lagi hidup kembali, tetapi mati untuk selamanya.
PRABU KRESNA MEMBEBASKAN PARA RAJA YANG DITAWAN
Para prajurit Magada takut
bercampur marah melihat raja mereka tewas mengerikan. Raden Jayatsena berduka,
tetapi ia teringat pesan ayahnya untuk menjaga keamanan tiga musuhnya apabila
tewas. Prabu Kresna terkesan pada sikap kesatria Prabu Jarasanda. Ia pun
membantu Raden Jayatsena menyelenggarakan upacara jenazah. Jasad Prabu
Jarasanda yang sudah terbelah hari itu dibakar dalam dua tempat yang terpisah.
Setelah upacara jenazah Prabu
Jarasanda selesai, Raden Jayatsena pun membebaskan 97 orang raja yang ditawan
ayahnya. Mereka semua berterima kasih kepada Prabu Kresna dan kedua Pandawa.
Selama dalam penjara, makan dan minum mereka selalu diperhatikan oleh Prabu
Jarasanda. Itu sebabnya tidak ada raja yang menderita kelaparan, kecuali
beberapa orang yang menolak untuk makan, misalnya Prabu Bismaka dan Prabu
Setyajit.
Prabu Kresna kemudian melantik
Raden Jayatsena sebagai raja Magada yang baru. Setelah itu, mereka bersama-sama
berangkat ke Kerajaan Amarta untuk menghadiri Sesaji Rajasuya.
PELAKSANAAN UPACARA SESAJI RAJASUYA
Prabu Puntadewa merasa bahagia
karena semua persyaratan upacara telah terpenuhi. Para raja dari segala penjuru
berdatangan memenuhi undangannya. Jumlahnya lebih dari seratus orang. Prabu
Kresna dan Prabu Baladewa sudah pasti hadir. Prabu Salya, Prabu Drupada, Prabu
Bismaka, Prabu Setyajit, serta para raja mertua Raden Arjuna juga berdatangan.
Hanya Prabu Matsyapati yang tidak hadir mengingat usianya yang sudah tua,
melainkan diwakili oleh para putranya, yaitu Arya Seta, Arya Utara, dan Arya
Wratsangka.
Prabu Duryudana datang paling
akhir bersama Patih Sangkuni dan Adipati Karna. Para pendeta pun membaca puja
mantra dipimpin tujuh pendeta agung, yaitu Bagawan Abyasa, Resiwara Bisma,
Danghyang Druna, Resi Krepa, Resi Sindupramana, Resi Jayawilapa, dan Resi
Sidiwacana. Dalam upacara tersebut para raja yang telah ditawan Prabu Jarasanda
berterima kasih karena berkat pertolongan Prabu Puntadewa melalui saudara-saudaranya,
mereka bisa terbebas dari maut. Oleh sebab itu, mereka pun sepakat menyebut
Prabu Puntadewa sebagai raja agung bergelar Maharaja Yudistira.
Maharaja Yudistira berkata
bahwa semua ini berkat bantuan dan nasihat dari Prabu Kresna Wasudewa. Baginya,
Prabu Kresna bukan hanya sekadar saudara sepupu, tetapi sudah menjadi dewa
pelindung bagi para Pandawa. Prabu Kresna tidak lain adalah titisan Batara
Wisnu yang turun ke dunia untuk memelihara ketertiban dunia. Oleh sebab itu,
Prabu Kresna sangat layak untuk mendapatkan penghormatan agung dalam upacara
ini, dan mulai sekarang Maharaja Yudistira akan menyebut Prabu Kresna dengan
panggilan Sri Batara Kresna. Para hadirin pun bertepuk tangan setuju. Mereka sepakat
ikut memanggil demikian.
PRABU SISUPALA MEMBUAT KEKACAUAN
Tidak semua raja yang hadir
bertepuk tangan. Ada satu orang yang maju ke depan mengajukan keberatan. Orang
itu adalah Prabu Sisupala raja Cedi. Ia berkata bahwa Prabu Kresna tidak layak
mendapat penghormatan. Menurutnya, Prabu Kresna adalah manusia hina yang semasa
muda pernah menjadi gembala, berteman dengan sapi, pernah jadi begal pula,
merampok, berjudi, menghisap candu, mabuk-mabukan, dan main perempuan. Prabu
Kresna adalah manusia licik penuh tipu daya. Orang seperti dia tidak pantas
mendapat penghormatan, bahkan tidak pantas berada dalam acara ini.
Prabu Baladewa marah-marah
mendengar adiknya dihina. Begitu pula Arya Wrekodara dan Raden Arjuna ingin
melabrak Prabu Sisupala. Namun, mereka dicegah Prabu Kresna. Prabu Baladewa
bertanya mengapa Batara Kresna diam saja. Batara Kresna menjawab, dirinya tidak
diam tetapi sedang menghitung.
Prabu Sisupala tidak takut dan
terus menghina. Ia mengatakan bahwa harusnya Prabu Duryudana raja Hastina yang
mendapat penghormatan mulia, karena ia adalah raja paling kaya di antara para
raja semuanya. Tiba-tiba Batara Kresna menyatakan cukup, karena Prabu Sisupala
sudah berdosa kepadanya lebih dari seratus kali. Prabu Sisupala tidak peduli
dan terus-menerus menghinanya. Batara Kresna mengeluarkan senjata Cakra
Sudarsana dan menerbangkannya ke arah Prabu Sisupala. Raja Cedi itu pun tewas
seketika dengan leher putus.
Prabu Baladewa bertanya
mengapa Batara Kresna harus bertindak menunggu seratus hitungan. Batara Kresna
pun bercerita bahwa Prabu Sisupala adalah bekas muridnya. Dahulu kala ketika
masih menjadi begal, Batara Kresna pernah berkelana hingga ke Kerajaan Cedi. Di
sana sang raja yang bernama Prabu Darmagosa sedang bersedih, karena putranya yang
bernama Raden Sisupala lahir cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga lengan, dan
tiga kaki. Ia mendapatkan ramalan, bahwa orang yang bisa meruwat Raden Sisupala
adalah kelak yang akan mengambil nyawa putranya tersebut. Batara Kresna yang
saat itu bernama Begal Guwenda datang ke istana Cedi dan menggendong bayi Raden
Sisupala. Sungguh ajaib, satu mata, lengan, dan kaki bayi itu lepas sehingga
menjadi bayi normal. Prabu Darmagosa berterima kasih, namun juga memohon agar
anaknya jangan dibunuh. Begal Guwenda mengaku tidak dapat melawan takdir.
Namun, ia berjanji asalkan Raden Sisupala tidak berbuat dosa kepadanya sampai
seratus kali, maka tidak akan dibunuh. Prabu Darmagosa berterima kasih dan
menyerahkan Raden Sisupala agar menjadi murid Begal Guwenda.
Setelah dewasa Prabu Sisupala justru
bersahabat dengan Prabu Jarasanda dan beberapa kali melakukan dosa terhadap
Batara Kresna. Hari ini Batara Kresna menghitung sudah genap seratus kali
bahkan lebih, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak membunuh Prabu
Sisupala.
PRABU DURYUDANA DIPERMALUKAN DEWI DRUPADI
Upacara Sesaji Rajasuya telah
berakhir. Para tamu satu persatu pamit pulang ke negara masing-masing. Hanya
Prabu Duryudana yang penasaran ingin melihat seperti apa indahnya istana
Indraprasta milik para Pandawa. Konon istana Indraprasta dulu pernah ditambahi
bangunan oleh Batara Wiswakarma dan Ditya Mayasura, yang dilengkapi tipuan ilusi.
Ketika Prabu Duryudana
berjalan seorang diri, ia bertemu panakawan Petruk yang mengingatkannya agar
berhati-hati karena di depan ada kolam air. Prabu Duryudana tidak percaya dan
menuduh Petruk hendak mempermainkannya. Ternyata benar, karpet yang diinjak
Prabu Duryudana adalah kolam. Prabu Duryudana pun tercebur ke dalamnya.
Kebetulan Dewi Drupadi sedang
lewat di tempat itu. Ia pun menyebut Prabu Duryudana buta seperti ayahnya.
Prabu Duryudana sangat marah mendengar cacat ayahnya disinggung. Ia buru-buru
merangkak naik dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
Patih Sangkuni datang
menyambut Prabu Duryudana yang basah kuyup. Prabu Duryudana marah dan dendam
atas penghinaan ini. Ia bersumpah harus bisa ganti mempermalukan Dewi Drupadi
di depan umum. Patih Sangkuni menghibur rajanya. Ia pun berjanji akan membantu
membalaskan sakit hati Prabu Duryudana.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Catatan : Saya mengikuti alur Mahabharata bahwa Prabu Boma Narakasura
mati terlebih dulu dibanding Prabu Jarasanda. Karena Raden Samba sudah saya
kisahkan tewas dalam kisah kematian Prabu Boma, maka dalam jejer Dwarawati di
atas, saya kisahkan yang tampil adalah Raden Setyaka.
Untuk kisah Prabu Jarasanda membunuh ayahnya bisa dibaca di sini.
Untuk kisah Prabu Kresna membunuh Prabu Kangsa bisa dibaca di sini.
Hebat
BalasHapusTop markotop. Gak sabar nunggu yang Pendawa Dadu
BalasHapusMatur nuwun, lakon ingkang kula tengga sampun dipun upload.
BalasHapusDitunggu lanjutannya mas, udah baca dari awal
BalasHapusMuga" tekan wayang madya ya Om Heri 😁😁
BalasHapusMuga" tekan wayang madya ya Om Heri 😁😁
BalasHapusUntuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
BalasHapusdimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||
Tolong don lakon bima sakti dan bima kurda requeeat
BalasHapusSangat menyenangkan membaca cerita wayang. Trimakasih
BalasHapusMohon bisa diceritakan dari 100 kurawa, siapa saja yg tidak terlibat bratayuda
BalasHapusTrimakasih banyak pak.. bermanfaat sekali.Alhamdulillah,ditunggu lanjutannya pak
BalasHapusCerita wayang adalah fiksi yg sangat berisi...
BalasHapusPerang bharatayuda nya dong..biar tambah seru
BalasHapusTeruskan ceritanya dong. Lebih enak baca cerita ini daripada nonton wayangnya langsung 🥹🙂↕️
BalasHapus