Kisah ini menceritakan perkawinan putri bungsu Prabu Darmamuka, yaitu
Dewi Ambalini dengan Resi Jawalagni, brahmana Kerajaan Hastina. Juga dikisahkan
pertemuan Dewi Krepi dan Raden Krepa dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu
Purunggaji. Kelak, tokoh Raden Krepa tersebut akan menjadi brahmana Kerajaan
Hastina dan menjadi guru pertama bagi para Pandawa dan Kurawa sebelum mereka
belajar kepada Resi Druna.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 08 Oktober 2015
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
Raden Krepa |
PRABU SWARKA MELAMAR DEWI AMBALINI
Prabu Darmamuka di Kerajaan
Giyantipura dihadap Patih Jayamuka beserta para menteri dan punggawa. Mereka
membicarakan keadaan putri bungsu Sang Prabu, yaitu Dewi Ambalini yang saat ini
sedang menderita sakit lumpuh. Dulu sewaktu Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi
Ambalika diboyong Resiwara Bisma ke Kerajaan Hastina, Dewi Ambalini masih
kecil. Kini, ia telah tumbuh dewasa menjadi seorang gadis yang cantik jelita seperti
ketiga kakaknya itu. Namun sayang, tiba-tiba saja Dewi Ambalini terserang
penyakit lumpuh dan tidak dapat bangun dari tempat tidur.
Prabu Darmamuka sudah berusaha
mencarikan segala obat untuk menyembuhkan putri bungsunya itu, tetapi belum
juga membuahkan hasil. Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang yang mengaku
bernama Patih Indradresta dari Kerajaan Awuawu, yang menyampaikan surat dari
rajanya, bernama Prabu Swarka. Surat itu berisi pinangan terhadap Dewi Ambalini
yang hendak dipersunting sebagai istri Prabu Swarka.
Setelah membaca surat
tersebut, Prabu Darmamuka dengan tegas menolaknya. Ternyata Prabu Darmamuka pernah
mendengar berita bahwa Prabu Swarka memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka
membunuh istrinya setelah empat puluh hari menikah. Entah sudah berapa banyak
wanita yang menjadi korban kekejaman raja Awuawu tersebut, hingga beritanya
menyebar ke berbagai negeri tetangga.
Karena penolakan ini, Patih
Indradresta pun mengancam Kerajaan Giyantipura akan dihancurkan oleh pasukan Awuawu
dan Timpurusa yang telah bersiaga. Ia lalu undur diri untuk melapor kepada Prabu
Swarka yang kini menunggu di perkemahan.
PRABU SWARKA MENGGEMPUR KERAJAAN GIYANTIPURA
Prabu Swarka di perkemahan
sedang dihadap keponakannya, yaitu Prabu Purunggaji dari Kerajaan Timpurusa. Begitu
Patih Indradresta datang dan menyampaikan laporan kegagalannya, Prabu Swarka pun
marah dan segera memerintahkan pasukan Awuawu dan pasukan Timpurusa untuk bersatu
menggempur Kerajaan Giyantipura.
Di lain pihak, Prabu Darmamuka
dan Patih Jayamuka beserta pasukan Giyantipura telah bersiaga menghadapi
serangan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Sejak kematian Ditya Wahmuka
dan saudara-saudaranya di tangan Resiwara Bisma saat sayembara dulu, kini tiada
lagi yang dapat diandalkan oleh Prabu Darmamuka. Maka, dalam pertempuran tersebut
pihak Giyantipura pun terdesak kalah.
Prabu Darmamuka merasa tidak
mampu lagi mempertahankan istana. Ia pun masuk ke dalam istana untuk
menggendong Dewi Ambalini kemudian meloloskan diri dengan mengendarai sebuah
kereta menuju Kerajaan Hastina.
PRABU KRESNA DWIPAYANA MENERIMA PRABU DARMAMUKA
Prabu Kresna Dwipayana di
Kerajaan Hastina dihadap Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Jawalagni, Arya
Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hari itu Sang Prabu sedang
meresmikan sebuah tempat wisata bernama Paramuwana di dekat Hutan Tunggul.
Tidak lama kemudian tiba-tiba
datang kereta yang dikawal sejumlah prajurit Giyantipura. Dari kereta itu
turunlah Prabu Darmamuka yang langsung disambut hangat oleh Prabu Kresna
Dwipayana. Hubungan mereka berdua sudah seperti saudara sepupu, karena ayah
Prabu Darmamuka (Prabu Sadamuka) adalah saudara sepersusuan ayah Prabu Kresna
Dwipayana (Resi Parasara). Hubungan mereka menjadi semakin akrab setelah kedua
putri Prabu Darmamuka, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menjadi istri Prabu
Kresna Dwipayana.
Prabu Darmamuka pun
menceritakan tentang Kerajaan Giyantipura yang terpaksa ditinggalkan karena
diduduki musuh dari Kerajaan Awuawu dan Timpurusa, bernama Prabu Swarka dan
Prabu Purunggaji. Hal itu terjadi karena Prabu Darmamuka menolak lamaran Prabu
Swarka yang ingin memperistri Dewi Ambalini.
Prabu Darmamuka bermaksud menyerahkan
Dewi Ambalini sebagai istri Prabu Kresna Dwipayana yang baru, mengingat Dewi
Ambika dan Dewi Ambalika telah meninggal dunia saat bertapa di Gunung Saptaarga
bersama Dewi Durgandini. Namun, Prabu Kresna Dwipayana menolak tawaran itu. Ia
meramalkan bahwa jodoh Dewi Ambalini bukan dirinya, tetapi Resi Jawalagni,
kepala brahmana Kerajaan Hastina.
Prabu Kresna Dwipayana lalu
memerintahkan Resi Jawalagni untuk mengobati penyakit lumpuh yang diderita Dewi
Ambalini. Resi Jawalagni segera melaksanakan perintah. Demikianlah, karena
memang sudah menjadi suratan takdir, Resi Jawalagni pun berhasil menyembuhkan
Dewi Ambalini sehingga dapat kembali berjalan seperti sediakala.
KEMATIAN PRABU SWARKA DAN MENYERAHNYA PRABU PURUNGGAJI
Beberapa hari kemudian, Kerajaan
Hastina diserang gabungan pasukan Awuawu dan Timpurusa yang dipimpin langsung
oleh Prabu Swarka. Pertempuran sengit pun terjadi. Karena pihak Hastina sudah
bersiaga, maka pasukan musuh berhasil dikalahkan. Dalam pertempuran itu Prabu
Swarka tewas di tangan Resiwara Bisma, sedangkan Patih Indradresta tewas di
tangan Arya Banduwangka.
Sementara itu, Prabu Kresna
Dwipayana berhasil mengalahkan Prabu Purunggaji. Tiba-tiba muncul seorang dewa
bernama Batara Janapada yang turun dari kahyangan dan meminta supaya Prabu Purunggaji
jangan dibunuh. Batara Janapada menjelaskan bahwa Prabu Purunggaji adalah
menantunya, yaitu suami dari putrinya yang bernama Dewi Janapadi. Dari
perkawinan tersebut telah lahir dua orang anak, yaitu Dewi Krepi dan Raden Krepa
yang sejak kecil diasuh oleh Resiwara Bisma.
PRABU PURUNGGAJI BERCERITA TENTANG RIWAYAT PRABU SWARKA
Setelah menjelaskan semuanya, Batara
Janapada kembali ke kahyangan. Prabu Kresna Dwipayana lalu menyerahkan Prabu Purunggaji
kepada Prabu Darmamuka untuk dimintai keterangan. Prabu Darmamuka pun menanyakan
tentang awal mula mengapa Prabu Swarka gemar membunuh setiap istrinya setelah
empat puluh hari menikah.
Prabu Purunggaji pun bercerita
bahwa ia dan pamannya itu sebenarnya masih keturunan Batara Wisnu dari putranya
yang bernama Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita. Putra Prabu Sri
Mahapunggung yang nomor empat bernama Raden Gajah Oya menjadi raja di negeri
Malawa, bergelar Prabu Oya. Kemudian Prabu Oya berputra Prabu Surata, sedangkan
Prabu Surata berputra Prabu Asrama.
Prabu Asrama menikah dengan
Dewi Basuwati (kakak Prabu Basukiswara) dari Kerajaan Wirata. Dari perkawinan
itu lahirlah Prabu Pilama. Kemudian Prabu Pilama memiliki dua orang putra,
yaitu Prabu Parwa yang mewarisi Kerajaan Malawa, serta Prabu Swarka yang
mendirikan Kerajaan Awuawu. Prabu Parwa kemudian memiliki dua orang anak,
bernama Prabu Paruwa yang menggantikannya sebagai raja Malawa, serta Resi
Saradwata yang menjadi pendeta kerajaan.
Prabu Paruwa gugur di tangan Prabu
Bahlika dari Kerajaan Siwandapura (kakak Prabu Santanu raja Hastina) sedangkan
Resi Saradwata menjadi tawanan. Kemudian Prabu Bahlika tewas dalam pertempuran
melawan Kerajaan Wirata. Resi Saradwata yang bebas dari penjara lalu mendirikan
Kerajaan Timpurusa karena Kerajaan Malawa telah rusak parah, dan menjadi raja bergelar
Prabu Purunggaji. Ia juga mengasuh putra mendiang Prabu Paruwa yang masih
kecil, bernama Raden Carya.
Mengenai Prabu Swarka yang
suka membunuh istrinya, Prabu Purunggaji pun bercerita bahwa pamannya itu pada
mulanya memiliki seorang istri bernama Dewi Sundari. Pada suatu hari Dewi
Sundari diculik seorang wanita sakti buruk rupa bernama Endang Suyati dari
Gunung Dawala. Dewi Sundari yang sedang mengandung itu pun disembunyikan di alam
siluman, sedangkan Endang Suyati lalu menjelma menjadi Dewi Sundari palsu.
Pada suatu hari Prabu Swarka
didatangi seorang bidadari bernama Batari Menaka yang mengabarkan bahwa Dewi
Sundari yang ada di istana adalah palsu, sedangkan yang asli disembunyikan di
alam siluman. Dewi Sundari yang asli dapat ditolong oleh Resi Swakuthasta dari
Padepokan Andongdadapan, namun kini ia meninggal
setelah melahirkan bayi perempuan dan laki-laki. Kedua bayi itu lalu diasuh Resi
Swakuthasta, serta diberi nama Dewi Kesru dan Raden Prahasana. Setelah
mengabarkan demikian, Batari Menaka pun kembali ke kahyangan.
Prabu Swarka sangat marah dan langsung
melabrak Dewi Sundari palsu (penjelmaan Endang Suyati). Ia lalu membunuh wanita
itu yang masih dalam wujud Dewi Sundari, sehingga para pelayan istana yang
menyaksikan mengira raja mereka telah membunuh istrinya sendiri.
Sebelum tewas, Endang Suyati
sempat mengerahkan ilmu tenung sehingga Prabu Swarka menderita sakit jiwa. Sejak
peristiwa itu, sudah beberapa kali Prabu Swarka menikah dengan wanita lain, namun
setelah empat puluh hari tiba-tiba penyakit jiwanya kambuh dan ia pun membunuh
setiap istri barunya tersebut.
PRABU PURUNGGAJI BERTEMU PUTRA DAN PUTRINYA
Prabu Purunggaji mengakhiri
ceritanya tentang riwayat Prabu Swarka. Prabu Kresna Dwipayana kemudian teringat
pada pertemuannya dengan Batara Janapada tadi, yang memberikan keterangan bahwa
Prabu Purunggaji adalah ayah dari Dewi Krepi dan Raden Krepa. Resiwara Bisma sangat
terkejut mendengarnya dan segera memerintahkan panakawan Petruk untuk memanggil
Dewi Krepi dan Raden Krepa di Padepokan Talkanda.
Prabu Purunggaji sangat gembira
mendengar putra dan putrinya itu ternyata masih hidup dan diasuh oleh Resiwara
Bisma. Ia pun bercerita bahwa dahulu kala ketika masih muda dan bernama Resi
Saradwata, dirinya pernah bertapa dan diganggu seekor kuda sembrani betina.
Karena kuda betina tersebut tidak dapat diusir, Resi Saradwata terpaksa
memanahnya. Sungguh ajaib, begitu terkena panah tiba-tiba kuda sembrani betina itu
berubah menjadi seorang bidadari cantik bernama Batari Janapadi.
Awal mula Batari Janapadi berubah
menjadi kuda sembrani adalah karena mencuri dan menelan permata milik ayahnya
(Batara Janapada) yang disebut Mustika Aswandari. Kini dirinya telah kembali ke
wujud semula dan ia pun rela menjadi pelayan Resi Saradwata. Resi Saradwata
sangat terkesan dan memutuskan untuk menikahi Batari Janapadi serta membawanya
pulang ke Kerajaan Malawa.
Sembilan bulan kemudian Batari
Janapadi melahirkan dua orang bayi hasil pernikahannya dengan Resi Saradwata,
bersamaan dengan Kerajaan Malawa diserang Prabu Bahlika dari Kerajaan
Siwandapura. Prabu Paruwa tewas terbunuh, sedangkan Resi Saradwata tertangkap musuh
dan dimasukkan ke dalam penjara. Batari Janapadi kembali ke kahyangan,
sedangkan kedua bayinya dibawa lari oleh seorang pelayan bernama Ken Yoni.
Setelah Prabu Bahlika terbunuh
di Kerajaan Wirata, Resi Saradwata bebas dari penjara dan membangun negeri baru
bernama Kerajaan Timpurusa sebagai pengganti Kerajaan Malawa yang telah hancur.
Ia pun menjadi raja bergelar Prabu Purunggaji.
Mendengar kisah tersebut,
Resiwara Bisma ganti bercerita bahwa belasan tahun yang lalu ayahnya, yaitu
Bagawan Santanu telah menemukan anak laki-laki dan perempuan di tengah hutan
yang menangisi sesosok mayat wanita. Wanita tersebut tidak lain adalah Ken Yoni
yang meninggal dunia, sedangkan kedua anak kecil tersebut kemudian dipungut Bagawan
Santanu serta diberi nama Dewi Krepi dan Raden Krepa.
Dewi Krepi dan Raden Krepa
kemudian diasuh oleh Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda dan telah tumbuh
menjadi remaja. Keduanya pun kini hadir pula setelah tadi dijemput oleh
panakawan Petruk yang diutus Resiwara Bisma.
Prabu Purunggaji sangat
terharu bisa bertemu putra dan putrinya itu setelah berpisah dengan mereka
sejak bayi. Mereka pun berpelukan dalam suasana bahagia, disaksikan Prabu
Darmamuka, Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, Resi Jawalagni, dan para
hadirin lainnya.
RESI JAWALAGNI MENIKAH DENGAN DEWI AMBALINI
Kerajaan Hastina kini telah
aman kembali. Atas saran Prabu Kresna Dwipayana, Prabu Darmamuka pun
menjodohkan Dewi Ambalini dengan Resi Jawalagni yang telah berhasil
menyembuhkan penyakit putri bungsunya tersebut. Resi Jawalagni tidak berani
menerima karena usianya sudah tua, sehingga kurang pantas jika ia menikah
dengan seorang gadis yang baru menginjak dewasa. Namun, Dewi Ambalini ternyata
menerima keputusan ayahnya. Ia bersedia menikah dengan seorang brahmana tua
yang telah menyembuhkan penyakitnya.
Prabu Kresna Dwipayana pun menyarankan
agar Resi Jawalagni menerima perjodohan itu karena mereka memang sudah
ditakdirkan menjadi pasangan suami-istri. Resi Jawalagni tidak bisa menolak
lagi. Ia pun menerima keputusan Prabu Darmamuka. Maka, pada hari yang dianggap
baik, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara dirinya dengan Dewi Ambalini,
di mana usia mereka terpaut sangat jauh.
Setelah upacara perkawinan berakhir,
Prabu Darmamuka merasa bimbang karena lagi-lagi harus berpisah dengan putrinya.
Jika dulu Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika secara sekaligus diboyong
ke Kerajaan Hastina, apakah kini putri bungsunya juga harus demikian? Prabu
Darmamuka merasa keberatan apabila Dewi Ambalini juga menetap di Kerajaan
Hastina bersama Resi Jawalagni.
Prabu Kresna Dwipayana dapat memahami
perasaan mertuanya. Ia pun mempersilakan Resi Jawalagni untuk ikut tinggal di
Kerajaan Giyantipura, sehingga Prabu Darmamuka tidak perlu berpisah dengan Dewi
Ambalini. Mengenai kedudukannya sebagai kepala brahmana Kerajaan Hastina, Prabu
Kresna Dwipayana pun menyarankan agar Resiwara Bisma sebagai penggantinya.
Resiwara Bisma dengan senang
hati menerima keputusan Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Maka, setelah
perkawinan itu, Resi Jawalagni ikut serta mendampingi istrinya pulang ke
Kerajaan Giyantipura bersama Prabu Darmamuka.
RADEN KREPA MENOLAK MENJADI RAJA TIMPURUSA
Prabu Kresna Dwipayana telah
menyaksikan bahwa Prabu Purunggaji sebenarnya tidak jahat dan ia hanya membantu
pamannya ikut menyerang Kerajaan Hastina. Maka, raja Timpurusa itu pun
dibebaskan dan dipersilakan untuk pulang ke negerinya. Prabu Purunggaji yang
awalnya musuh, kini berubah menjadi sekutu Prabu Darmamuka dan Prabu Kresna
Dwipayana.
Prabu Purunggaji berterima
kasih dan ia pun mengajak Dewi Krepi dan Raden Krepa untuk ikut serta tinggal di
Kerajaan Timpurusa. Ia berniat menjadikan Raden Krepa sebagai pangeran mahkota.
Namun, Raden Krepa dengan rendah hati menolak niat baik sang ayah. Ia merasa
sejak kecil sudah menjadi warga Kerajaan Hastina dan ingin mengabdi kepada
negeri tempat ia dibesarkan ini.
Mengenai takhta Kerajaan Timpurusa,
Raden Krepa mengusulkan agar diserahkan kepada Raden Carya saja, selaku putra
mendiang Prabu Paruwa (kakak Prabu Purunggaji). Prabu Purunggaji menerima
usulan tersebut. Ia pun berjanji akan mengizinkan Raden Krepa jika kelak
setelah dewasa ingin mengabdi di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana dan
Resiwara Bisma menyatakan siap menerima jika kelak Raden Krepa datang kembali.
Demikianlah, setelah dirasa
cukup, Prabu Purunggaji pun mohon pamit kembali ke Timpurusa dengan membawa
serta Dewi Krepi dan Raden Krepa. Sementara itu, Prabu Darmamuka juga kembali
ke Kerajaan Giyantipura bersama Dewi Ambalini dan Resi Jawalagni.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
lengkap sekali penjelasannya, terimakasih cerita wayang ini sangat bermanfaat :)
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya. Semoga bisa saya tuntaskan sampai perang Baratayuda.
BalasHapusTerima kasih mas admin, injin nyimak ceritanya dan jangan lupa ya kunbalnya pawarta basa jawa pendidikan
BalasHapusSami-sami.. sudah saya kunjungi. Keren blognya.
BalasHapusSub judul terakhir, Resi Krepa menolak jadi raja Timpurasa, mungkin yang dimaksud bukan Timpurasa tapi Malawa.
BalasHapusSudah saya perbaiki Pak. Terima kasih banyak atas koreksinya.
BalasHapusSaya perbaiki dari awal
BalasHapus