Kamis, 08 Oktober 2015

Alap-Alapan Ambalini


Kisah ini menceritakan perkawinan putri bungsu Prabu Darmamuka, yaitu Dewi Ambalini dengan Resi Jawalagni, brahmana Kerajaan Hastina. Juga dikisahkan pertemuan Dewi Krepi dan Raden Krepa dengan ayah kandungnya, yaitu Prabu Purunggaji. Kelak, tokoh Raden Krepa tersebut akan menjadi brahmana Kerajaan Hastina dan menjadi guru pertama bagi para Pandawa dan Kurawa sebelum mereka belajar kepada Resi Druna.

Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Ngabehi Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.

Kediri, 08 Oktober 2015

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Raden Krepa


PRABU SWARKA MELAMAR DEWI AMBALINI

Prabu Darmamuka di Kerajaan Giyantipura dihadap Patih Jayamuka beserta para menteri dan punggawa. Mereka membicarakan keadaan putri bungsu Sang Prabu, yaitu Dewi Ambalini yang saat ini sedang menderita sakit lumpuh. Dulu sewaktu Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika diboyong Resiwara Bisma ke Kerajaan Hastina, Dewi Ambalini masih kecil. Kini, ia telah tumbuh dewasa menjadi seorang gadis yang cantik jelita seperti ketiga kakaknya itu. Namun sayang, tiba-tiba saja Dewi Ambalini terserang penyakit lumpuh dan tidak dapat bangun dari tempat tidur.

Prabu Darmamuka sudah berusaha mencarikan segala obat untuk menyembuhkan putri bungsunya itu, tetapi belum juga membuahkan hasil. Pada saat itulah tiba-tiba datang seorang yang mengaku bernama Patih Indradresta dari Kerajaan Awuawu, yang menyampaikan surat dari rajanya, bernama Prabu Swarka. Surat itu berisi pinangan terhadap Dewi Ambalini yang hendak dipersunting sebagai istri Prabu Swarka.

Setelah membaca surat tersebut, Prabu Darmamuka dengan tegas menolaknya. Ternyata Prabu Darmamuka pernah mendengar berita bahwa Prabu Swarka memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka membunuh istrinya setelah empat puluh hari menikah. Entah sudah berapa banyak wanita yang menjadi korban kekejaman raja Awuawu tersebut, hingga beritanya menyebar ke berbagai negeri tetangga.

Karena penolakan ini, Patih Indradresta pun mengancam Kerajaan Giyantipura akan dihancurkan oleh pasukan Awuawu dan Timpurusa yang telah bersiaga. Ia lalu undur diri untuk melapor kepada Prabu Swarka yang kini menunggu di perkemahan.

PRABU SWARKA MENGGEMPUR KERAJAAN GIYANTIPURA

Prabu Swarka di perkemahan sedang dihadap keponakannya, yaitu Prabu Purunggaji dari Kerajaan Timpurusa. Begitu Patih Indradresta datang dan menyampaikan laporan kegagalannya, Prabu Swarka pun marah dan segera memerintahkan pasukan Awuawu dan pasukan Timpurusa untuk bersatu menggempur Kerajaan Giyantipura.

Di lain pihak, Prabu Darmamuka dan Patih Jayamuka beserta pasukan Giyantipura telah bersiaga menghadapi serangan tersebut. Pertempuran sengit pun terjadi. Sejak kematian Ditya Wahmuka dan saudara-saudaranya di tangan Resiwara Bisma saat sayembara dulu, kini tiada lagi yang dapat diandalkan oleh Prabu Darmamuka. Maka, dalam pertempuran tersebut pihak Giyantipura pun terdesak kalah.

Prabu Darmamuka merasa tidak mampu lagi mempertahankan istana. Ia pun masuk ke dalam istana untuk menggendong Dewi Ambalini kemudian meloloskan diri dengan mengendarai sebuah kereta menuju Kerajaan Hastina.

PRABU KRESNA DWIPAYANA MENERIMA PRABU DARMAMUKA

Prabu Kresna Dwipayana di Kerajaan Hastina dihadap Resiwara Bisma, Patih Jayayatna, Resi Jawalagni, Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hari itu Sang Prabu sedang meresmikan sebuah tempat wisata bernama Paramuwana di dekat Hutan Tunggul.

Tidak lama kemudian tiba-tiba datang kereta yang dikawal sejumlah prajurit Giyantipura. Dari kereta itu turunlah Prabu Darmamuka yang langsung disambut hangat oleh Prabu Kresna Dwipayana. Hubungan mereka berdua sudah seperti saudara sepupu, karena ayah Prabu Darmamuka (Prabu Sadamuka) adalah saudara sepersusuan ayah Prabu Kresna Dwipayana (Resi Parasara). Hubungan mereka menjadi semakin akrab setelah kedua putri Prabu Darmamuka, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika menjadi istri Prabu Kresna Dwipayana.

Prabu Darmamuka pun menceritakan tentang Kerajaan Giyantipura yang terpaksa ditinggalkan karena diduduki musuh dari Kerajaan Awuawu dan Timpurusa, bernama Prabu Swarka dan Prabu Purunggaji. Hal itu terjadi karena Prabu Darmamuka menolak lamaran Prabu Swarka yang ingin memperistri Dewi Ambalini.

Prabu Darmamuka bermaksud menyerahkan Dewi Ambalini sebagai istri Prabu Kresna Dwipayana yang baru, mengingat Dewi Ambika dan Dewi Ambalika telah meninggal dunia saat bertapa di Gunung Saptaarga bersama Dewi Durgandini. Namun, Prabu Kresna Dwipayana menolak tawaran itu. Ia meramalkan bahwa jodoh Dewi Ambalini bukan dirinya, tetapi Resi Jawalagni, kepala brahmana Kerajaan Hastina.

Prabu Kresna Dwipayana lalu memerintahkan Resi Jawalagni untuk mengobati penyakit lumpuh yang diderita Dewi Ambalini. Resi Jawalagni segera melaksanakan perintah. Demikianlah, karena memang sudah menjadi suratan takdir, Resi Jawalagni pun berhasil menyembuhkan Dewi Ambalini sehingga dapat kembali berjalan seperti sediakala.

KEMATIAN PRABU SWARKA DAN MENYERAHNYA PRABU PURUNGGAJI

Beberapa hari kemudian, Kerajaan Hastina diserang gabungan pasukan Awuawu dan Timpurusa yang dipimpin langsung oleh Prabu Swarka. Pertempuran sengit pun terjadi. Karena pihak Hastina sudah bersiaga, maka pasukan musuh berhasil dikalahkan. Dalam pertempuran itu Prabu Swarka tewas di tangan Resiwara Bisma, sedangkan Patih Indradresta tewas di tangan Arya Banduwangka.

Sementara itu, Prabu Kresna Dwipayana berhasil mengalahkan Prabu Purunggaji. Tiba-tiba muncul seorang dewa bernama Batara Janapada yang turun dari kahyangan dan meminta supaya Prabu Purunggaji jangan dibunuh. Batara Janapada menjelaskan bahwa Prabu Purunggaji adalah menantunya, yaitu suami dari putrinya yang bernama Dewi Janapadi. Dari perkawinan tersebut telah lahir dua orang anak, yaitu Dewi Krepi dan Raden Krepa yang sejak kecil diasuh oleh Resiwara Bisma.

PRABU PURUNGGAJI BERCERITA TENTANG RIWAYAT PRABU SWARKA

Setelah menjelaskan semuanya, Batara Janapada kembali ke kahyangan. Prabu Kresna Dwipayana lalu menyerahkan Prabu Purunggaji kepada Prabu Darmamuka untuk dimintai keterangan. Prabu Darmamuka pun menanyakan tentang awal mula mengapa Prabu Swarka gemar membunuh setiap istrinya setelah empat puluh hari menikah.

Prabu Purunggaji pun bercerita bahwa ia dan pamannya itu sebenarnya masih keturunan Batara Wisnu dari putranya yang bernama Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita. Putra Prabu Sri Mahapunggung yang nomor empat bernama Raden Gajah Oya menjadi raja di negeri Malawa, bergelar Prabu Oya. Kemudian Prabu Oya berputra Prabu Surata, sedangkan Prabu Surata berputra Prabu Asrama.

Prabu Asrama menikah dengan Dewi Basuwati (kakak Prabu Basukiswara) dari Kerajaan Wirata. Dari perkawinan itu lahirlah Prabu Pilama. Kemudian Prabu Pilama memiliki dua orang putra, yaitu Prabu Parwa yang mewarisi Kerajaan Malawa, serta Prabu Swarka yang mendirikan Kerajaan Awuawu. Prabu Parwa kemudian memiliki dua orang anak, bernama Prabu Paruwa yang menggantikannya sebagai raja Malawa, serta Resi Saradwata yang menjadi pendeta kerajaan.

Prabu Paruwa gugur di tangan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura (kakak Prabu Santanu raja Hastina) sedangkan Resi Saradwata menjadi tawanan. Kemudian Prabu Bahlika tewas dalam pertempuran melawan Kerajaan Wirata. Resi Saradwata yang bebas dari penjara lalu mendirikan Kerajaan Timpurusa karena Kerajaan Malawa telah rusak parah, dan menjadi raja bergelar Prabu Purunggaji. Ia juga mengasuh putra mendiang Prabu Paruwa yang masih kecil, bernama Raden Carya.

Mengenai Prabu Swarka yang suka membunuh istrinya, Prabu Purunggaji pun bercerita bahwa pamannya itu pada mulanya memiliki seorang istri bernama Dewi Sundari. Pada suatu hari Dewi Sundari diculik seorang wanita sakti buruk rupa bernama Endang Suyati dari Gunung Dawala. Dewi Sundari yang sedang mengandung itu pun disembunyikan di alam siluman, sedangkan Endang Suyati lalu menjelma menjadi Dewi Sundari palsu.

Pada suatu hari Prabu Swarka didatangi seorang bidadari bernama Batari Menaka yang mengabarkan bahwa Dewi Sundari yang ada di istana adalah palsu, sedangkan yang asli disembunyikan di alam siluman. Dewi Sundari yang asli dapat ditolong oleh Resi Swakuthasta dari Padepokan Andongdadapan, namun kini ia  meninggal setelah melahirkan bayi perempuan dan laki-laki. Kedua bayi itu lalu diasuh Resi Swakuthasta, serta diberi nama Dewi Kesru dan Raden Prahasana. Setelah mengabarkan demikian, Batari Menaka pun kembali ke kahyangan.

Prabu Swarka sangat marah dan langsung melabrak Dewi Sundari palsu (penjelmaan Endang Suyati). Ia lalu membunuh wanita itu yang masih dalam wujud Dewi Sundari, sehingga para pelayan istana yang menyaksikan mengira raja mereka telah membunuh istrinya sendiri.

Sebelum tewas, Endang Suyati sempat mengerahkan ilmu tenung sehingga Prabu Swarka menderita sakit jiwa. Sejak peristiwa itu, sudah beberapa kali Prabu Swarka menikah dengan wanita lain, namun setelah empat puluh hari tiba-tiba penyakit jiwanya kambuh dan ia pun membunuh setiap istri barunya tersebut.

PRABU PURUNGGAJI BERTEMU PUTRA DAN PUTRINYA

Prabu Purunggaji mengakhiri ceritanya tentang riwayat Prabu Swarka. Prabu Kresna Dwipayana kemudian teringat pada pertemuannya dengan Batara Janapada tadi, yang memberikan keterangan bahwa Prabu Purunggaji adalah ayah dari Dewi Krepi dan Raden Krepa. Resiwara Bisma sangat terkejut mendengarnya dan segera memerintahkan panakawan Petruk untuk memanggil Dewi Krepi dan Raden Krepa di Padepokan Talkanda.

Prabu Purunggaji sangat gembira mendengar putra dan putrinya itu ternyata masih hidup dan diasuh oleh Resiwara Bisma. Ia pun bercerita bahwa dahulu kala ketika masih muda dan bernama Resi Saradwata, dirinya pernah bertapa dan diganggu seekor kuda sembrani betina. Karena kuda betina tersebut tidak dapat diusir, Resi Saradwata terpaksa memanahnya. Sungguh ajaib, begitu terkena panah tiba-tiba kuda sembrani betina itu berubah menjadi seorang bidadari cantik bernama Batari Janapadi.

Awal mula Batari Janapadi berubah menjadi kuda sembrani adalah karena mencuri dan menelan permata milik ayahnya (Batara Janapada) yang disebut Mustika Aswandari. Kini dirinya telah kembali ke wujud semula dan ia pun rela menjadi pelayan Resi Saradwata. Resi Saradwata sangat terkesan dan memutuskan untuk menikahi Batari Janapadi serta membawanya pulang ke Kerajaan Malawa.

Sembilan bulan kemudian Batari Janapadi melahirkan dua orang bayi hasil pernikahannya dengan Resi Saradwata, bersamaan dengan Kerajaan Malawa diserang Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura. Prabu Paruwa tewas terbunuh, sedangkan Resi Saradwata tertangkap musuh dan dimasukkan ke dalam penjara. Batari Janapadi kembali ke kahyangan, sedangkan kedua bayinya dibawa lari oleh seorang pelayan bernama Ken Yoni.

Setelah Prabu Bahlika terbunuh di Kerajaan Wirata, Resi Saradwata bebas dari penjara dan membangun negeri baru bernama Kerajaan Timpurusa sebagai pengganti Kerajaan Malawa yang telah hancur. Ia pun menjadi raja bergelar Prabu Purunggaji.

Mendengar kisah tersebut, Resiwara Bisma ganti bercerita bahwa belasan tahun yang lalu ayahnya, yaitu Bagawan Santanu telah menemukan anak laki-laki dan perempuan di tengah hutan yang menangisi sesosok mayat wanita. Wanita tersebut tidak lain adalah Ken Yoni yang meninggal dunia, sedangkan kedua anak kecil tersebut kemudian dipungut Bagawan Santanu serta diberi nama Dewi Krepi dan Raden Krepa.

Dewi Krepi dan Raden Krepa kemudian diasuh oleh Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda dan telah tumbuh menjadi remaja. Keduanya pun kini hadir pula setelah tadi dijemput oleh panakawan Petruk yang diutus Resiwara Bisma.

Prabu Purunggaji sangat terharu bisa bertemu putra dan putrinya itu setelah berpisah dengan mereka sejak bayi. Mereka pun berpelukan dalam suasana bahagia, disaksikan Prabu Darmamuka, Prabu Kresna Dwipayana, Resiwara Bisma, Resi Jawalagni, dan para hadirin lainnya.

RESI JAWALAGNI MENIKAH DENGAN DEWI AMBALINI

Kerajaan Hastina kini telah aman kembali. Atas saran Prabu Kresna Dwipayana, Prabu Darmamuka pun menjodohkan Dewi Ambalini dengan Resi Jawalagni yang telah berhasil menyembuhkan penyakit putri bungsunya tersebut. Resi Jawalagni tidak berani menerima karena usianya sudah tua, sehingga kurang pantas jika ia menikah dengan seorang gadis yang baru menginjak dewasa. Namun, Dewi Ambalini ternyata menerima keputusan ayahnya. Ia bersedia menikah dengan seorang brahmana tua yang telah menyembuhkan penyakitnya.

Prabu Kresna Dwipayana pun menyarankan agar Resi Jawalagni menerima perjodohan itu karena mereka memang sudah ditakdirkan menjadi pasangan suami-istri. Resi Jawalagni tidak bisa menolak lagi. Ia pun menerima keputusan Prabu Darmamuka. Maka, pada hari yang dianggap baik, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara dirinya dengan Dewi Ambalini, di mana usia mereka terpaut sangat jauh.

Setelah upacara perkawinan berakhir, Prabu Darmamuka merasa bimbang karena lagi-lagi harus berpisah dengan putrinya. Jika dulu Dewi Amba, Dewi Ambika, dan Dewi Ambalika secara sekaligus diboyong ke Kerajaan Hastina, apakah kini putri bungsunya juga harus demikian? Prabu Darmamuka merasa keberatan apabila Dewi Ambalini juga menetap di Kerajaan Hastina bersama Resi Jawalagni.

Prabu Kresna Dwipayana dapat memahami perasaan mertuanya. Ia pun mempersilakan Resi Jawalagni untuk ikut tinggal di Kerajaan Giyantipura, sehingga Prabu Darmamuka tidak perlu berpisah dengan Dewi Ambalini. Mengenai kedudukannya sebagai kepala brahmana Kerajaan Hastina, Prabu Kresna Dwipayana pun menyarankan agar Resiwara Bisma sebagai penggantinya.

Resiwara Bisma dengan senang hati menerima keputusan Prabu Kresna Dwipayana tersebut. Maka, setelah perkawinan itu, Resi Jawalagni ikut serta mendampingi istrinya pulang ke Kerajaan Giyantipura bersama Prabu Darmamuka.

RADEN KREPA MENOLAK MENJADI RAJA TIMPURUSA

Prabu Kresna Dwipayana telah menyaksikan bahwa Prabu Purunggaji sebenarnya tidak jahat dan ia hanya membantu pamannya ikut menyerang Kerajaan Hastina. Maka, raja Timpurusa itu pun dibebaskan dan dipersilakan untuk pulang ke negerinya. Prabu Purunggaji yang awalnya musuh, kini berubah menjadi sekutu Prabu Darmamuka dan Prabu Kresna Dwipayana.

Prabu Purunggaji berterima kasih dan ia pun mengajak Dewi Krepi dan Raden Krepa untuk ikut serta tinggal di Kerajaan Timpurusa. Ia berniat menjadikan Raden Krepa sebagai pangeran mahkota. Namun, Raden Krepa dengan rendah hati menolak niat baik sang ayah. Ia merasa sejak kecil sudah menjadi warga Kerajaan Hastina dan ingin mengabdi kepada negeri tempat ia dibesarkan ini.

Mengenai takhta Kerajaan Timpurusa, Raden Krepa mengusulkan agar diserahkan kepada Raden Carya saja, selaku putra mendiang Prabu Paruwa (kakak Prabu Purunggaji). Prabu Purunggaji menerima usulan tersebut. Ia pun berjanji akan mengizinkan Raden Krepa jika kelak setelah dewasa ingin mengabdi di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma menyatakan siap menerima jika kelak Raden Krepa datang kembali.

Demikianlah, setelah dirasa cukup, Prabu Purunggaji pun mohon pamit kembali ke Timpurusa dengan membawa serta Dewi Krepi dan Raden Krepa. Sementara itu, Prabu Darmamuka juga kembali ke Kerajaan Giyantipura bersama Dewi Ambalini dan Resi Jawalagni.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

















7 komentar:

  1. lengkap sekali penjelasannya, terimakasih cerita wayang ini sangat bermanfaat :)

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas kunjungannya. Semoga bisa saya tuntaskan sampai perang Baratayuda.

    BalasHapus
  3. Terima kasih mas admin, injin nyimak ceritanya dan jangan lupa ya kunbalnya pawarta basa jawa pendidikan

    BalasHapus
  4. Sami-sami.. sudah saya kunjungi. Keren blognya.

    BalasHapus
  5. Sub judul terakhir, Resi Krepa menolak jadi raja Timpurasa, mungkin yang dimaksud bukan Timpurasa tapi Malawa.

    BalasHapus
  6. Sudah saya perbaiki Pak. Terima kasih banyak atas koreksinya.

    BalasHapus