Kisah ini menceritakan ketiga putra Prabu Kresna Dwipayana telah dewasa
dan menamatkan pelajaran dari Resiwara Bisma, di mana putra kedua yaitu Raden
Pandu kemudian dimintai tolong untuk membasmi wabah penyakit yang melanda
Kerajaan Sriwedari dan juga Kerajaan Singgela. Kisah ini berisi pesan moral
tentang pentingnya mempelajari ilmu kerohanian agar tidak tersesat setelah
meninggal dunia kelak.
Kisah ini saya olah dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta)
karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 11 Desember 2015
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
KETIGA PANGERAN HASTINA MENAMATKAN PENDIDIKAN
Sudah dua belas tahun lamanya
Resiwara Bisma di Padepokan Talkanda mendidik ketiga putra Prabu Kresna
Dwipayana, yaitu Raden Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden Yamawidura.
Ketiganya diajari ilmu tata negara dan keprajuritan sebagaimana yang dulu
pernah ia peroleh dari Batara Wrehaspati dan Batara Ramaparasu.
Kini ketiga pangeran itu telah
berusia sembilan belas tahun dan menamatkan semua pelajaran. Resiwara Bisma
lalu memerintahkan mereka agar bertapa di puncak Gunung Saptaarga (tempat
leluhur mereka berasal), untuk meminta anugerah dewata sebagai penyempurna ilmu
masing-masing. Ketiganya pun mohon pamit dan berangkat melaksanakan perintah
dengan ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Setelah empat puluh hari
bertapa, Raden Dretarastra, Raden Pandu, dan Raden Yamawidura didatangi Batara
Guru, Batari Durga, dan Batara Narada. Mereka pun bangun dari tapa dan
dipersilakan untuk meminta anugerah sesuai yang diinginkan masing-masing. Raden
Dretarastra yang tuna netra meminta diberi kekuatan tubuh melebihi rata-rata manusia
biasa. Batari Durga pun menganugerahkan Aji Leburgeni yang membuat Raden
Dretarastra mampu meremukkan benda apa saja dengan kedua tangannya.
Sementara itu, Raden Pandu
meminta diberi anugerah ilmu kesaktian untuk melindungi Kerajaan Hastina.
Batara Guru pun memberikan Aji Brajadenta dan Aji Brajamusti yang masing-masing
ditempatkan pada lengan kanan dan kirinya. Yang terakhir, Raden Yamawidura
meminta diberi kepandaian pikir dan kebijaksanaan. Maka, Batara Narada pun
menganugerahkan Aji Kawidagdan kepada putra bungsu Prabu Kresna Dwipayana
tersebut.
Setelah dirasa cukup, Batara
Guru, Batari Durga, dan Batara Narada kembali ke kahyangan. Resiwara Bisma
kemudian datang dan memberikan ucapan selamat kepada ketiga keponakannya
tersebut. Ia lalu mengantar mereka pulang ke Kerajaan Hastina untuk menghadap
sang ayah di sana.
PRABU KRESNA DWIPAYANA MENERIMA KUNJUNGAN PRABU DASABAHU
Prabu Kresna Dwipayana di
Kerajaan Hastina sedang dihadap Patih Jayayatna, Resi Krepa, Arya Banduwangka,
Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Tidak lama kemudian datanglah Resiwara Bisma dan
ketiga pangeran. Sungguh bangga dan bahagia Prabu Kresna Dwipayana melihat
ketiga putranya telah tumbuh dewasa dan menamatkan segala pelajaran yang
diberikan oleh Resiwara Bisma, serta mendapatkan anugerah dewata sesuai dengan apa
yang mereka butuhkan.
Belum puas Prabu Kresna
Dwipayana melepas rindu dengan ketiga putranya, tiba-tiba muncul seorang raja
bernama Prabu Dasabahu dari Kerajaan Sriwedari, yang mengaku masih sepupu jauh Prabu
Kresna Dwipayana. Prabu Dasabahu menjelaskan bahwa Prabu Kresna Dwipayana
adalah putra Resi Parasara, sedangkan Resi Parasara adalah putra dari pasangan
Batara Sakri dan Dewi Sati. Dewi Sati memiliki adik bernama Prabu Partana, dan mereka
berdua adalah putra-putri Prabu Partawijaya dari Kerajaan Gujulaha atau
Tabelasuket. Setelah ayahnya meninggal, Prabu Partana mendirikan Kerajaan
Sriwedari (bekas taman sari Kerajaan Mahespati milik Prabu Arjunasasrabahu).
Kemudian Prabu Partana digantikan putranya yang bernama Prabu Partayadnya, yang
merupakan ayah dari Prabu Dasabahu tersebut.
Prabu Kresna Dwipayana gembira
mengetahui bahwa Prabu Dasabahu yang ada di hadapannya kini ternyata masih
saudara sepupu tingkat dua dengannya. Setelah hubungan mereka lebih akrab,
Prabu Dasabahu pun menjelaskan maksud kedatangannya adalah ingin meminta tolong
kepada Prabu Kresna Dwipayana untuk memadamkan wabah penyakit yang kini melanda
Kerajaan Sriwedari. Menurut petunjuk dewata yang ia peroleh, wabah tersebut
berasal dari gangguan makhluk halus yang hanya bisa dipadamkan jika dipasangi
tumbal. Adapun orang yang harus memasang tumbal adalah putra kedua raja Hastina
yang bernama Raden Pandu Dewayana.
Prabu Kresna Dwipayana
ragu-ragu apakah mungkin putra keduanya mampu memadamkan wabah penyakit di
Kerajaan Sriwedari tersebut. Resiwara Bisma berusaha meyakinkannya bahwa Raden
Pandu memiliki bakat alamiah sejak lahir, dan ia melihat sendiri bagaimana keponakannya
itu saat berusia tujuh tahun mampu menumpas Prabu Nagapaya raja Guabarong yang
menyerang Kahyangan Suralaya. Prabu Kresna Dwipayana menjawab bahwa
keberhasilan Raden Pandu di Kahyangan Suralaya dulu adalah berkat perlindungan
dewata. Resiwara Bisma pun membalas, jika nanti Raden Pandu diizinkan berangkat
ke Kerajaan Sriwedari juga tetap mendapatkan perlindungan dewa, yaitu Batara
Ismaya yang berwujud Kyai Semar.
Prabu Kresna Dwipayana menyadari
kekeliruannya yang terlalu mementingkan kasih sayang pribadi sehingga meragukan
petunjuk dewata yang diterima Prabu Dasabahu. Ia pun mengizinkan Raden Pandu
ikut Prabu Dasabahu pergi, tentu saja dengan diiringi para panakawan Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
Raden Pandu menerima perintah
tersebut dengan senang hati. Ia lalu berangkat bersama Prabu Dasabahu menuju
Kerajaan Sriwedari.
RADEN PANDU MEMASANG TUMBAL DI SRIWEDARI
Prabu Dasabahu, Raden Pandu,
dan para panakawan telah tiba di Kerajaan Sriwedari. Mereka heran melihat
keadaan negeri itu yang kini sunyi senyap dengan penduduk tinggal sedikit.
Patih Jayakusuma menyambut kepulangan rajanya dan menjelaskan bahwa selama
Prabu Dasabahu pergi ke Kerajaan Hastina, semakin banyak penduduk Sriwedari
yang meninggal terkena wabah penyakit, sedangkan mereka yang masih hidup pergi
mengungsi ke negara tetangga.
Prabu Dasabahu semakin prihatin
melihat keadaan negerinya. Tak lupa ia juga berterima kasih kepada Patih Jayakusuma
yang tetap setia menjaga Kerajaan Sriwedari selama ia pergi mencari pertolongan
ke negeri Hastina.
Prabu Dasabahu lalu meminta
pendapat kepada Kyai Semar tentang bagaimana caranya meredakan wabah penyakit
tersebut. Kyai Semar pun meminta daftar tempat-tempat paling angker di segenap
penjuru Kerajaan Sriwedari. Patih Jayakusuma segera menyiapkan daftar tersebut
dan menyerahkannya kepada Kyai Semar. Mereka lalu berangkat bersama-sama
mendatangi tempat-tempat angker tersebut. Di sepanjang perjalanan, Kyai Semar
mengajari Raden Pandu bagaimana cara memasang tumbal beserta mantra yang harus
diucapkan.
Sesampainya di tempat-tempat
angker tersebut, Raden Pandu segera bekerja sesuai petunjuk yang ia terima dari
Kyai Semar. Tempat terakhir yang mereka datangi adalah pemakaman luas bernama
Setragopaya. Begitu tumbal selesai dipasang di situ tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut. Rupanya kaum makhluk halus merasa kepanasan dan mereka
menjerit-jerit minta tolong. Tidak lama kemudian muncul pula sebuah istana emas
di dalam lingkungan pemakaman tersebut lengkap dengan penduduknya.
ISTRI PRABU DASABAHU MENJADI RATU MAKHLUK HALUS
Rombongan Prabu Dasabahu segera
mendekati istana gaib tersebut. Melihat kedatangan mereka, para makhluk halus
pun bubar berlarian, kecuali seorang perempuan yang tetap di tempatnya sambil
mengeluh kepanasan. Prabu Dasabahu mengenali roh perempuan tersebut bernama Ken
Hyasi, yang semasa hidupnya bekerja di istana Sriwedari sebagai pelayan istrinya.
Adapun istri Prabu Dasabahu bernama Dewi Panitra juga sudah meninggal beberapa
bulan yang lalu, bahkan sebelum meninggalnya Ken Hyasi.
Begitu ditanyai Prabu
Dasabahu, Ken Hyasi menjelaskan bahwa dirinya kini mengabdi kepada roh Dewi
Panitra yang telah menjadi ratu makhluk halus dan mendirikan kerajaan gaib di pemakaman
Setragopaya. Adapun wabah penyakit yang kini melanda Kerajaan Sriwedari adalah
perbuatan Dewi Panitra yang ingin membunuh penduduk dan menjadikan arwah mereka
sebagai bala tentara Kerajaan Setragopaya.
Prabu Dasabahu prihatin
mendengar berita itu. Ia sadar istrinya semasa hidup memang kurang peduli pada urusan
kerohanian dan lebih suka menuruti nafsu keduniawian belaka. Prabu Dasabahu
menyesal dulu terlalu memanjakan istrinya yang suka berbuat seenaknya sehingga
kini setelah meninggal, arwahnya tersesat dan tidak dapat memasuki alam baka
yang semestinya.
RADEN PANDU MENUMPAS PASUKAN MAKHLUK HALUS
Tidak lama kemudian muncul
arwah Dewi Panitra bersama pasukannya menyerbu rombongan Prabu Dasabahu. Prabu
Dasabahu meminta kepada istrinya itu supaya menghentikan segala wabah penyakit
yang melanda Kerajaan Sriwedari. Sebaliknya, Dewi Panitra justru ingin membunuh
Prabu Dasabahu supaya arwah mereka dapat berkumpul lagi dan berpasangan di alam
gaib. Usai berkata demikian, ia lalu memerintahkan pasukan makhluk halus yang
dipimpin Patih Praswa dan senapati Arya Sanggrisma supaya menyerang Prabu
Dasabahu.
Raden Pandu dan Patih Jayakusuma
segera maju menghadapi serangan tersebut. Terjadilah pertempuran di antara mereka.
Pada puncaknya, Raden Pandu mengerahkan Aji Pengabaran yang pernah ia pelajari
dari Resiwara Bisma untuk memukul mundur pasukan makhluk halus tersebut.
Ketika matahari terbit,
pasukan makhluk halus telah mengalami kekalahan dan banyak yang musnah. Kini
yang tersisa dari mereka hanya tinggal arwah Patih Praswa dan Arya Sanggrisma
yang keduanya menyatakan tunduk kepada Raden Pandu, sedangkan roh Dewi Panitra
melarikan diri. Tiba-tiba muncul roh seorang kakek tua dari arah lain, bernama
Resi Sangki yang memohon supaya Patih Praswa dan Arya Sanggrisma dibebaskan,
karena mereka berdua adalah putranya.
Resi Sangki mengaku datang
dari alam baka yang sejati untuk membebaskan kedua putranya dari pengaruh sesat
Dewi Panitra. Ia berniat membawa arwah Patih Praswa dan Arya Sanggrisma untuk
memasuki alam roh yang semestinya. Sebagai tebusan, Resi Sangki memberikan
pusaka gaib kepada Raden Pandu berupa Kantong Arumba dan Minyak Pranawa. Raden
Pandu pun bersedia membebaskan Patih Praswa dan Arya Sanggrisma. Keduanya lalu
pergi bersama-sama Resi Sangki meninggalkan kerajaan gaib Setragopaya menuju
alam keabadian.
RADEN PANDU MEMBANTU KESULITAN KERAJAAN SINGGELA
Wabah penyakit yang melanda
Kerajaan Sriwedari kini telah reda. Penduduk yang tersisa berangsur-angsur
mendapatkan kesembuhan, sedangkan yang mengungsi ke negara tetangga juga banyak
yang kembali menempati rumah mereka. Prabu Dasabahu sangat berterima kasih kepada
Raden Pandu dan para panakawan, terutama Kyai Semar atas segala bantuan yang mereka
berikan.
Tiba-tiba datang adik ipar
Prabu Dasabahu, yaitu saudara kandung mendiang Dewi Panitra yang bernama Prabu
Palguna, raja Singgela. Prabu Palguna mengeluh bahwa negerinya kini sering
diserang berbagai macam hewan gaib yang sulit sekali ditumpas. Sungguh
kebetulan Raden Pandu belum pulang ke Kerajaan Hastina. Mendengar berita
tersebut, ia pun mengajak para panakawan untuk ikut membantu kesulitan yang
dialami Kerajaan Singgela. Prabu Palguna sangat senang mendengarnya. Mereka
lalu bersama-sama berlayar menuju Kerajaan Singgela yang terletak di Pulau Sailan.
Prabu Dasabahu juga ikut pergi menyertai.
Sesampainya di Kerajaan
Singgela, Raden Pandu segera bertindak menghadapi hewan-hewan gaib yang sering
menyerang penduduk itu. Ia pun mengerahkan Aji Pengabaran membuat hewan-hewan
tersebut musnah dan berubah wujud menjadi roh orang-orang yang telah mati. Salah
satu di antara mereka adalah Bagawan Amisana, mertua Prabu Palguna sendiri.
Bagawan Amisana memimpin para arwah
tersebut berterima kasih atas bantuan Raden Pandu yang membebaskan diri mereka
dari penderitaan. Dulu semasa hidup, mereka adalah orang-orang yang senang
memakai susuk, yaitu menanam semacam benda di dalam tubuh untuk tujuan
tertentu. Ada yang memakai susuk kecantikan, ada yang memakai susuk
keperkasaan, ada pula yang memakai susuk kewibawaan. Namun sayangnya, pemakaian
susuk ini ternyata menghalangi mereka setelah meninggal dunia, yaitu ketika hendak
memasuki alam baka. Akibatnya, mereka menjadi arwah penasaran yang
bergentayangan mengganggu orang-orang yang masih hidup.
Kyai Semar menjelaskan
barangsiapa memakai susuk hendaknya melepas benda itu sebelum meninggal. Jika
si pemakai terlanjur meninggal tanpa sempat melepaskannya, maka pihak keluarga
yang harus melepaskan benda itu saat memandikan jenazah, antara lain dengan
menggunakan sarana daun kelor. Akan tetapi, yang lebih baik adalah menghindari
pemakaian susuk dan menggantinya dengan memupuk rasa percaya diri serta
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Prabu Dasabahu dan Prabu Palguna
mendengar penuturan Kyai Semar dengan seksama untuk nanti mereka sampaikan kepada
rakyat negeri masing-masing.
Arwah Bagawan Amisana dan para
pengikutnya sekali lagi berterima kasih, kemudian mohon pamit memasuki alam
baka. Mereka pun meninggalkan benda-benda susuk yang mereka gunakan semasa
hidup untuk diserahkan kepada Raden Pandu. Ada yang berupa batu permata, ada
pula yang berupa logam mulia ataupun besi baja. Raden Pandu menerima
benda-benda tersebut untuk dijadikan kenang-kenangan, bukan untuk digunakan
sebagai susuk seperti yang telah mereka lakukan semasa hidup.
RADEN PANDU TERTARIK MELIHAT KEINDAHAN TAMAN SOKA
Prabu Palguna berterima kasih
atas bantuan Raden Pandu yang telah mengembalikan ketenteraman di Kerajaan
Singgela. Raden Pandu sendiri terkagum-kagum melihat keindahan istana Singgela.
Prabu Palguna menjelaskan bahwa di Pulau Sailan ini dulunya terdapat Kerajaan
Alengka yang jauh lebih indah daripada Kerajaan Singgela. Setelah Prabu Rahwana
raja Alengka gugur di tangan Prabu Sri Rama (titisan Batara Wisnu), takhta pun
diduduki adiknya yang bernama Prabu Wibisana, yang kemudian memindahkan ibu
kota ke Singgela. Setelah beberapa tahun memimpin Kerajaan Singgela, Prabu
Wibisana turun takhta menjadi pendeta di Gunung Cindramanik, dan ia pun
digantikan putranya yang bernama Prabu Bisawarna. Kemudian Prabu Bisawarna
digantikan putranya yang bernama Prabu Bisaka. Adapun Prabu Bisaka adalah ayah
dari Prabu Palguna yang kemudian menggantikannya, serta ayah dari Dewi Panitra
istri Prabu Dasabahu.
Mendengar cerita itu, Raden
Pandu menjadi tertarik ingin melihat seperti apa sisa-sisa keindahan Kerajaan
Alengka. Prabu Palguna pun mengantarkannya melihat-lihat ke sana. Istana
Alengka sudah lama tidak ditempati namun tetap terjaga keindahannya, terutama
Taman Soka yang dulu digunakan Prabu Rahwana untuk menyekap Rekyanwara Sinta,
istri Sri Rama yang diculiknya.
Raden Pandu ingin sekali
membangun taman sari di Kerajaan Hastina yang sama indahnya dengan Taman Soka.
Prabu Palguna pun memberikan kepadanya berbagai macam bibit tanaman yang tumbuh
di Taman Soka untuk nantinya ditanam di Kerajaan Hastina, sekaligus sebagai
ungkapan terima kasih atas segala bantuan pangeran muda tersebut.
PRABU DASABAHU DAN PRABU PALGUNA BERGURU KEPADA PRABU KRESNA DWIPAYANA
Prabu Dasabahu dan Prabu
Palguna merasa prihatin melihat nasib Dewi Panitra dan Bagawan Amisana yang
menjadi arwah penasaran setelah meninggal dunia. Jika Dewi Panitra dapat
dimaklumi karena semasa hidup memang kurang memerhatikan urusan kerohanian. Namun,
di lain pihak Bagawan Amisana yang seorang pendeta ternyata masih bisa tersesat
pula. Kyai Semar menjelaskan bahwa seseorang yang menguasai ilmu agama belum
tentu dapat memasuki alam keabadian yang sebenarnya, apabila ilmu agama
tersebut hanya dihafalkan tanpa dihayati, serta tidak digunakan untuk berbuat
kebaikan terhadap sesama makhluk.
Mendengar itu, Prabu Dasabahu
dan Prabu Palguna memohon kepada Kyai Semar supaya diajari ilmu “sangkan paran
dumadi” dan “kalepasan budi” yang sejati, agar kelak setelah meninggal mereka
dapat memasuki alam baka dengan sebaik-baiknya.
Kyai Semar mengaku dirinya
hanya seorang pengasuh. Jika kedua raja tersebut ingin belajar, hendaknya mereka
berguru kepada Prabu Kresna Dwipayana saja, karena raja Hastina tersebut
dulunya seorang pendeta bijak berilmu sempurna, bernama Resi Abyasa. Prabu
Dasabahu dan Prabu Palguna menerima saran tersebut dan mereka pun bersama-sama
mengantarkan Raden Pandu pulang ke negeri Hastina.
Sesampainya di Hastina,
rombongan tersebut disambut oleh Prabu Kresna Dwipayana dan Resiwara Bisma.
Tiba-tiba datang pula arwah Dewi Panitra bersama sisa-sisa pasukannya yang
masih bernafsu ingin membunuh Prabu Dasabahu untuk dijadikan sebagai pasangan
di alam gaib. Resiwara Bisma terjun menghadapi mereka dengan mengerahkan Aji
Pengabaran membuat para arwah tersebut lumpuh kehilangan daya dan memohon ampun.
Prabu Kresna Dwipayana lalu membaca doa dan mantra untuk menyempurnakan para arwah
penasaran tersebut sehingga mereka dapat memasuki alam baka dengan tenang.
Melihat itu, Prabu Dasabahu
dan Prabu Palguna semakin yakin dan mereka pun menyampaikan niat untuk belajar
ilmu kesempurnaan kepada raja Hastina tersebut. Prabu Kresna Dwipayana menerima
niat baik mereka dengan senang hati supaya nantinya dapat diajarkan pula kepada
pihak lain yang sungguh-sungguh menginginkannya.
RADEN PANDU MEMBANGUN TAMAN KADILENGLENG
Raden Pandu lalu menunjukkan
bibit tanaman yang ia peroleh dari Taman Soka di bekas Kerajaan Alengka untuk
bisa ditanam di Kerajaan Hastina. Prabu Kresna Dwipayana menyambut baik niat putranya
tersebut. Raden Pandu lalu memimpin para juru taman membangun sebuah taman sari
yang bentuknya sama persis dengan Taman Soka.
Kini taman indah tersebut
telah berdiri. Prabu Kresna Dwipayana meresmikannya dengan memberikan nama
Taman Kadilengleng, karena barangsiapa yang menyaksikan keindahan taman
tersebut akan terkesima seperti orang yang sedang mabuk kepayang.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar