Kisah ini menceritakan tentang kepahlawanan masa kecil ayah para
Pandawa, yaitu Raden Pandu yang menjadi jago Kahyangan Suralaya menumpas Prabu
Nagapaya dari Kerajaan Guabarong. Pertempuran ini menjadi cikal-bakal
permusuhan turun-temurun antara keluarga kedua pihak.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Raden
Ngabehi Ranggawarsita yang saya olah dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 06 Desember 2015
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
KAHYANGAN SURALAYA DISERBU MUSUH DARI GUABARONG
Di Kahyangan Suralaya, Batara
Indra menerima kunjungan Batara Guru dari Kahyangan Jonggringsalaka dan
mempersilakannya duduk di Bale Paparyawarna, dengan dihadap oleh segenap para
dewa. Batara Narada juga ikut hadir menyertai kedatangan Batara Guru. Mereka
membicarakan keadaan Pulau Jawa yang kini aman tenteram, di mana tiada lagi kerajaan
yang berperang untuk tujuan saling menaklukkan. Hanya saja, ada sejumlah
kerajaan kecil di tanah seberang yang sering mengganggu kedamaian Pulau Jawa.
Tidak lama kemudian datanglah
seorang raksasa bernama Patih Danupaya dari Kerajaan Guabarong yang menyampaikan
surat dari rajanya, bernama Prabu Nagapaya. Surat itu berisi lamaran Prabu
Nagapaya yang ingin memperistri salah satu bidadari unggulan Kahyangan
Suralaya, yaitu Batari Warsiki.
Batara Indra selaku tuan rumah
secara tegas langsung menolak lamaran tersebut, bahwa kaum raksasa tidak berhak
menginginkan istri bidadari, kecuali memiliki jasa besar terhadap kahyangan. Patih
Danupaya tersinggung dan mengancam bahwa pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong
telah bersiaga untuk menggempur Kahyangan Suralaya dan merebut Batari Warsiki
secara paksa. Batara Indra pun mempersilakan Patih Danupaya menunggu di halaman
Repatkepanasan jika ingin menantang para dewa berperang.
Patih Danupaya segera undur
diri kembali ke pasukannya. Batara Indra mohon pamit pula kepada Batara Guru
untuk keluar menghadapi tantangan dari Kerajaan Guabarong tersebut.
PERTEMPURAN ANTARA PARA DEWA MELAWAN PARA RAKSASA
Patih Danupaya adalah menteri
utama Kerajaan Guabarong sekaligus adik kandung Prabu Nagapaya. Dalam
menjalankan tugas melamar Batari Warsiki, ia mendapat kewenangan penuh dari
kakaknya. Maka, begitu kembali ke perkemahan di kaki Gunung Jamurdipa, di mana panakawan
Kyai Togog dan Bilung beserta pasukan raksasa Guabarong telah menunggu, ia
langsung memberikan aba-aba untuk menggempur Kahyangan Suralaya.
Di lain pihak, Batara Indra
dan pasukan Dorandara sudah bersiaga menyambut serangan mereka. Pertempuran
sengit pun terjadi di Repatkepanasan. Batara Indra dibantu putra-putranya,
yaitu Batara Citranggada, Batara Citrarata, Batara Citrasena, dan Batara
Arjunawangsa menghadapi gempuran para raksasa itu. Sungguh tak disangka, Patih
Danupaya ternyata memiliki kesaktian tinggi dan mampu memukul mundur para dewa.
Menyadari pihaknya terdesak,
Batara Indra segera menarik mundur pasukan sehingga masuk kembali ke dalam
tembok Kahyangan Suralaya dan menutup rapat-rapat gerbang Selamatangkep.
Batara Indra lalu melapor
kepada Batara Guru tentang kekalahannya. Baru melawan Patih Danupaya saja sudah
terdesak, apalagi jika menghadapi Prabu Nagapaya, entah bagaimana hasilnya.
Batara Guru mengheningkan cipta sejenak, kemudian mengutus Batara Narada pergi
ke Kerajaan Hastina menjemput putra kedua Prabu Kresna Dwipayana, yaitu Raden
Pandu supaya dijadikan sebagai jago kahyangan. Batara Indra merasa heran, mana
mungkin seorang anak kecil berumur tujuh tahun dapat menumpas Prabu Nagapaya
dan Patih Danupaya? Namun, karena Batara Guru sudah meramalkan demikian, maka
ia pun berusaha meyakinkan diri.
Batara Narada segera berangkat
meninggalkan Kahyangan Suralaya menuju Kerajaan Hastina untuk melaksanakan
tugas tersebut.
RESIWARA BISMA MENJADI GURU BAGI ANAK-ANAK PRABU KRESNA DWIPAYANA
Di Kerajaan Hastina, Prabu
Kresna Dwipayana sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara Bisma, Patih Jayayatna,
Arya Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa. Hadir pula Raden Krepa dari
Kerajaan Timpurusa yang sesuai ikrarnya, ingin mengabdi di Kerajaan Hastina.
Sejak kecil Raden Krepa bersama Dewi Krepi dipungut Bagawan Santanu dan diserahkan
kepada Resiwara Bisma, sehingga ia pun menganggap dirinya sebagai warga
Kerajaan Hastina, meskipun ayah kandungnya adalah pemimpin Kerajaan Timpurusa.
Hari itu Prabu Kresna
Dwipayana sedang membicarakan ketiga putranya, yaitu Raden Kuru, Raden Pandu, dan
Raden Widura yang telah berusia tujuh tahun. Ia merasa sudah saatnya ketiga
putranya itu mendapatkan pendidikan, baik itu ilmu kenegaraan maupun ilmu
keprajuritan. Maka, Prabu Kresna Dwipayana pun berniat meninggalkan takhta
untuk sementara waktu demi mendidik ketiga pangeran kecil tersebut.
Resiwara Bisma tidak setuju apabila
Prabu Kresna Dwipayana yang harus menangani sendiri pendidikan ketiga putranya.
Bagaimanapun juga Prabu Kresna Dwipayana adalah raja yang harus memimpin
jalannya pemerintahan. Mengenai masalah pendidikan, Resiwara Bisma bersedia
menjadi guru bagi ketiga pangeran kecil sesuai janjinya kepada mendiang Dewi
Durgandini dulu. Untuk itu, ia pun memohon izin untuk membawa ketiga pangeran
tersebut tinggal bersama dirinya di Padepokan Talkanda agar pikiran mereka lebih
terpusat dalam menjalani pendidikan.
Prabu Kresna Dwipayana lalu
bertanya siapa nantinya yang akan menjadi kepala pendeta Kerajaan Hastina
apabila Resiwara Bisma memusatkan pikiran untuk mendidik Raden Kuru, Raden
Pandu, dan Raden Widura. Resiwara Bisma mengusulkan supaya Raden Krepa saja yang
ditunjuk untuk menggantikan dirinya. Sejak kecil Raden Krepa tinggal di
Padepokan Talkanda dan mendapat banyak pendidikan agama dari Resiwara Bisma.
Maka, meskipun usianya masih muda namun pengetahuan Raden Krepa terhadap isi kitab
suci dan segala macam tata cara upacara keagamaan sudah sangat mendalam.
Prabu Kresna Dwipayana
memercayai ucapan Resiwara Bisma. Ia pun setuju mengangkat Raden Krepa menjadi
kepala brahmana Kerajaan Hastina, dan berhak memakai gelar Resi Krepa.
Selain itu, Prabu Kresna
Dwipayana juga memberikan nama baru untuk ketiga putranya yang mulai memasuki
dunia pendidikan. Raden Kuru diberi nama baru Raden Dretarastra. Raden Pandu
diberi nama baru Raden Dewayana. Sementara itu, Raden Widura diberi nama baru Raden
Yamawidura.
RADEN PANDU DIBAWA BATARA NARADA KE KAHYANGAN
Tidak lama kemudian datanglah Batara
Narada menemui Prabu Kresna Dwipayana untuk menyampaikan pesan Batara Guru agar
meminjam Raden Pandu sebagai jago kahyangan.
Batara Narada menjelaskan
bahwa Kahyangan Suralaya saat ini sedang diserang pasukan raksasa dari Kerajaan
Guabarong di bawah pimpinan Patih Danupaya, yang marah karena lamaran raja
mereka, yaitu Prabu Nagapaya ditolak Batara Indra. Adapun Prabu Nagapaya adalah
keturunan Bagawan Danu di zaman kuno.
Prabu Kresna Dwipayana merasa
bimbang melepas Raden Pandu untuk dibawa Batara Narada sebagai jago kahyangan. Resiwara
Bisma pun menawarkan dirinya saja yang menjadi jago, bukan keponakannya yang
masih kecil itu. Namun, Batara Narada menjelaskan bahwa yang diramalkan mampu
mengalahkan Prabu Nagapaya dan Patih Danupaya adalah Raden Pandu. Meskipun
masih kecil, Raden Pandu memiliki bakat kesaktian alamiah pada dirinya. Lain
halnya dengan Resiwara Bisma yang jauh lebih tua dan lebih berpengalaman, namun
kalau tidak ditakdirkan mampu mengalahkan Prabu Nagapaya juga tidak bisa
dijadikan sebagai jago kahyangan.
Prabu Kresna Dwipayana
merenung teringat para leluhurnya yang banyak menjadi jago kahyangan, antara
lain Prabu Parikenan, Resi Manumanasa, dan Batara Sakri. Setelah menimbang-nimbang,
Prabu Kresna Dwipayana tidak lagi merasa ragu untuk melepaskan Raden Pandu
pergi, tetapi justru merasa bangga jika putranya dipercaya dapat menumpas musuh
para dewa.
Setelah mendapatkan
persetujuan dari Prabu Kresna Dwipayana, Batara Narada segera membawa Raden
Pandu berangkat menuju Kahyangan Suralaya. Resiwara Bisma yang penasaran
sekaligus tidak tega membiarkan keponakannya pergi tanpa pendamping segera ikut
menyusul bersama para panakawan.
RADEN PANDU MENGALAHKAN PRABU NAGAPAYA
Batara Narada telah sampai di Kahyangan
Suralaya dan segera menghadapkan Raden Pandu kepada Batara Guru dan Batara
Indra. Tidak lama kemudian datang pula Resiwara Bisma beserta para panakawan. Batara
Guru lalu memerintahkan Batara Ramayadi (pembuat senjata kahyangan) untuk
memberikan pusaka sebagai bekal Raden Pandu dalam menghadapi musuh. Batara
Ramayadi pun memberikan sebatang panah bernama Mustikajamus.
Setelah menerima pusaka
tersebut, Batara Guru lalu memerintahkan Batara Bayu untuk mengawal kepergian
Raden Pandu menghadapi para raksasa dari Guabarong.
Sementara itu, Prabu Nagapaya
raja Guabarong merasa tidak sabar menunggu Patih Danupaya yang tidak kunjung
kembali dengan memboyong Batari Warsiki. Ia pun menyusul ke perkemahan di kaki
Gunung Jamurdipa sambil menggendong putranya yang masih kecil, bernama Raden
Nagagumbang.
Patih Danupaya menyambut
kedatangan kakaknya itu dengan penuh rasa malu, karena belum berhasil
menunaikan tugasnya. Prabu Nagapaya lalu mengajak Patih Danupaya bersama-sama
menggempur Kahyangan Suralaya. Mereka pun berangkat dan kemudian melihat Batara
Bayu menghadang di jalan sambil menggendong seorang anak kecil.
Batara Bayu menjelaskan bahwa
anak kecil yang digendongnya adalah Raden Pandu, putra raja Hastina. Anak kecil
inilah yang akan menjadi jago dewa untuk menumpas Prabu Nagapaya dan
pasukannya.
Prabu Nagapaya tersinggung
merasa disepelekan. Ia pun menyerang Batara Bayu dan terjadilah pertarungan
sengit di antara mereka. Prabu Nagapaya lalu mengubah wujudnya menjadi naga
raksasa dan menerjang Batara Bayu. Ketika Prabu Nagapaya menyemburkan bisa
panas, Batara Bayu menyodorkan tubuh Raden Pandu. Sungguh ajaib, Raden Pandu
tidak terluka sama sekali oleh bisa panas tersebut.
Prabu Nagapaya tidak percaya.
Ia lalu menyembur salah seorang prajuritnya yang seketika langsung tewas dengan
kulit melepuh. Kembali ia menyembur Raden Pandu namun anak kecil itu sama
sekali tidak terluka. Prabu Nagapaya mencoba semburan ketiga namun tetap saja
tidak mempan pada diri Raden Pandu.
Batara Bayu mengatakan bahwa
Prabu Nagapaya sudah tiga kali menyerang Raden Pandu, maka sekarang giliran
Raden Pandu yang menyerang Prabu Nagapaya. Prabu Nagapaya mempersilakan. Raden
Pandu lalu melemparkan Panah Mustikajamus ke arah lawan. Panah pusaka tersebut langsung
menancap di kepala Prabu Nagapaya hingga membuatnya tewas seketika.
Melihat rajanya terbunuh, Patih
Danupaya ketakutan dan segera menggendong Raden Nagagumbang pergi meninggalkan
Kahyangan Suralaya.
RADEN PANDU MENDAPAT ANUGERAH DEWATA
Batara Guru menyambut
kemenangan Raden Pandu dan memberinya anugerah berupa minyak ajaib bernama
Lenga Tala yang jika diusapkan ke sekujur tubuh dapat membuat kulit menjadi
kebal terhadap segala jenis senjata. Sementara itu, Batara Indra juga
memberikan anugerah berupa nama Dewanata kepada Raden Pandu. Gelar Dewanata ini
memiliki makna yang sama dengan gelar Surapati yang dipakai oleh Batara Indra. “Sura”
artinya sama dengan “dewa”, sedangkan “pati” artinya sama dengan “nata”, yaitu “pemimpin”.
Batara Guru lalu berpesan
kepada Resiwara Bisma untuk mendidik Raden Pandu dengan sebaik-baiknya. Adapun
Raden Pandu ini pada dasarnya memiliki bakat kesaktian alamiah sejak lahir,
namun belum terarah dan belum bisa mengendalikannya. Tentu saja ini menjadi
tugas bagi Resiwara Bisma selaku guru Raden Pandu.
Resiwara Bisma berterima
kasih, kemudian mohon pamit kepada para dewa meninggalkan Kahyangan Suralaya
bersama Raden Pandu dan para panakawan, untuk kemudian kembali ke Kerajaan
Hastina.
PATIH DANUPAYA MENYERANG KERAJAAN HASTINA
Resiwara Bisma dan rombongan
telah tiba di Kerajaan Hastina. Mereka disambut Prabu Kresna Dwipayana dengan
penuh sukacita. Para menteri dan punggawa pun memuji-muji kehebatan Raden Pandu
yang masih kecil namun memiliki bakat kesaktian terpendam.
Beberapa hari kemudian,
datanglah pasukan raksasa dari Kerajaan Guabarong yang dipimpin Patih Danupaya
menyerang Kerajaan Hastina. Pertempuran sengit pun terjadi. Sekali lagi Raden
Pandu menunjukkan kehebatannya. Ia melepaskan panah Mustikajamus yang melesat menembus
dada Patih Danupaya. Patih Danupaya pun tewas seketika dan pasukannya dapat
dipukul mundur oleh pihak Hastina.
Kerajaan Hastina kini aman
kembali. Prabu Kresna Dwipayana dengan bangga melepaskan kepergian ketiga
putranya, yaitu Raden Kuru Dretarastra, Raden Pandu Dewayana, dan Raden Yamawidura
untuk memulai pendidikan di Padepokan Talkanda, di bawah asuhan Resiwara Bisma.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar