Kisah ini menceritakan peperangan antara Prabu Basukiswara raja Wirata melawan Prabu Hiranyaka raja Manimantaka. Setelah Prabu Hiranyaka tewas, takhta diwarisi oleh keponakannya, yang bergelar Prabu Mityakarda, di mana Kerajaan Manimantaka diganti namanya menjadi Ima-imantaka.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
PRABU HIRANYAKA HENDAK MENYERANG GUNUNG SAPTAARGA
Setelah Prabu Kunjanakresna tewas dalam pertempuran di Kahyangan Suralaya, adik iparnya yaitu Patih Hiranyaka menyerahkan diri kepada Batara Indra. Ia mendapat pengampunan dan diizinkan menjadi raja di Manimantaka menggantikan Prabu Kunjanakresna.
Patih Hiranyaka kini telah berganti gelar menjadi Prabu Hiranyaka. Pada suatu hari datanglah adik tirinya, yaitu Resi Martikawata dari Padepokan Ima-ima. Kedatangan Resi Martikawata adalah untuk menagih janji Prabu Hiranyaka tentang perjodohan putra-putri mereka. Dahulu istri Prabu Hiranyaka, yaitu Dewi Sasmreti (adik Prabu Kunjanakresna) pernah mengusulkan agar kedua putrinya yang bernama Dewi Mastura dan Dewi Kanaka dinikahkan dengan sepupu-sepupu mereka. Dewi Mastura hendaknya dinikahkan dengan Ditya Mercukalakresna putra Prabu Kunjanakresna, sedangkan Dewi Kanaka hendaknya dinikahkan dengan Ditya Mityakarda putra Resi Martikawata. Prabu Hiranyaka yang kala itu masih menjabat sebagai patih berjanji akan mewujudkan usulan istrinya tersebut.
Kini Dewi Sasmreti telah meninggal dan Patih Hiranyaka juga sudah menjadi raja. Resi Martikawata datang untuk menagih janji tersebut. Prabu Hiranyaka mengaku tidak lupa. Namun, ia belum bisa menikahkan mereka semua karena masih menyimpan dendam kepada Batara Sakri yang telah membunuh Prabu Kunjanakresna. Setelah dendam tersebut bisa terbalaskan, barulah Prabu Hiranyaka bersedia menikahkan kedua putrinya.
Resi Martikawata menasihati kakaknya agar tidak terlalu menuruti dendam. Bahkan, Prabu Hiranyaka sebaiknya bersyukur karena mendapatkan pengampunan dari Batara Indra dan bisa menduduki takhta Kerajaan Manimantaka. Jika hanya menuruti dendam maka tidak akan pernah ada habisnya. Lagipula Batara Sakri membunuh Prabu Kunjanakresna juga semata-mata melaksanakan tugas dari para dewa, bukan atas kehendaknya pribadi.
Prabu Hiranyaka marah menuduh Resi Martikawata pengecut dan tidak memiliki rasa belas kasih kepada saudara. Kedua kakak beradik itu lalu bertengkar. Resi Martikawata akhirnya pulang ke Padepokan Ima-ima dengan perasaan kecewa.
Prabu Hiranyaka tidak peduli pada nasihat adik tirinya itu. Ia pun memerintahkan punggawa raksasa bernama Ditya Mahadiyu untuk memimpin pasukan menyerang Gunung Saptaarga dan menculik Batara Sakri. Entah bagaimana caranya, Ditya Mahadiyu harus bisa menangkap Batara Sakri dan membawanya hidup-hidup ke Kerajaan Manimantaka, karena Prabu Hiranyaka ingin membunuh pemuda itu dengan tangannya sendiri. Prabu Hiranyaka berjanji akan mengangkat Ditya Mahadiyu sebagai patih apabila berhasil memenuhi tugas ini.
Ditya Mahadiyu menyanggupi dan ia pun mohon pamit berangkat menuju ke Gunung Saptaarga.
DITYA MAHADIYU JATUH DI HUTAN MANAHILAN
Ditya Mahadiyu bersama pasukan raksasa yang dipimpinnya telah sampai di kaki Gunung Saptaarga dan mengacau pedesaan. Mereka didatangi oleh pengikut Resi Manumanasa yang bernama Putut Supalawa si kera putih. Mengetahui para raksasa itu berniat jahat, yaitu hendak menculik Batara Sakri, Putut Supalawa pun mengamuk berusaha menumpas mereka. Terjadilah pertempuran sengit. Para raksasa itu banyak yang tewas di tangan sang kera putih.
Namun, jumlah prajurit raksasa itu sangat banyak. Mereka bersama-sama mengeroyok Putut Supalawa, membuat kera putih itu merasa kewalahan. Mengetahui peristiwa ini, Janggan Smara segera melapor kepada Resi Manumanasa. Untuk mencegah korban jatuh semakin banyak, Resi Manumanasa segera mengheningkan cipta, memohon pertolongan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba muncullah angin besar yang menghempaskan para raksasa itu sehingga semuanya terlempar jauh hingga jatuh di Hutan Manahilan.
Ditya Mahadiyu dan pasukannya merasa kecewa telah gagal memenuhi tugas. Karena takut kembali ke Kerajaan Manimantaka, mereka pun berkemah di dalam Hutan Manahilan untuk memulihkan kekuatan.
PRABU BASUKISWARA MENINJAU TAMAN MALDEWA
Sementara itu, Prabu Basukiswara raja Wirata sedang meninjau tamansari baru di Kota Medangkawuri (Wirata lama) yang dibangun oleh Patih Wasita bersama Arya Danadewa dan Arya Kintaka. Pembangunan tamansari tersebut telah selesai dan Prabu Basukiswara sangat senang melihat hasilnya. Prabu Basukiswara pun memberinya nama Taman Maldewa.
Dalam perjalanan pulang menuju ke Wirata, rombongan Prabu Basukiswara bertemu seorang laki-laki tua yang mengaku bernama Buyut Karsula dari Desa Sabara. Orang tua itu sangat ketakutan dan melapor kepada Prabu Basukiswara bahwa desanya baru saja diobrak-abrik kawanan raksasa dari Hutan Manahilan. Banyak penduduk desa dan hewan ternak yang mati dimangsa oleh para raksasa beringas tersebut.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar ada penjahat berani mengganggu keamanan rakyatnya. Ia pun memimpin langsung pasukan untuk menumpas para raksasa di Hutan Manahilan tersebut.
PASUKAN DITYA MAHADIYU DITUMPAS PRABU BASUKISWARA
Prabu Basukiswara dan pasukannya telah sampai di Hutan Manahilan dan segera menggempur perkemahan para raksasa dari Kerajaan Manimantaka itu. Ditya Mahadiyu dan pasukannya memberikan perlawanan. Pertempuran sengit pun terjadi. Banyak prajurit raksasa yang berubah menjadi arca batu akibat terkena Minyak Manihara milik Arya Manungkara.
Ditya Mahadiyu maju menghadapi Arya Manungkara. Arya Manungkara yang sudah kelelahan tidak mampu mengalahkan pemimpin raksasa tersebut. Arya Danadewa segera maju membantu, namun Ditya Mahadiyu tetap sulit untuk dikalahkan.
Prabu Basukiswara memerintahkan kedua punggawanya itu mundur. Secepat kilat ia melemparkan kalung pusaka Hurug Mutrika yang tepat menghantam dada Ditya Mahadiyu. Pemimpin raksasa itu pun tewas seketika. Sisa-sisa prajuritnya yang masih hidup merasa ngeri dan berlarian meninggalkan Hutan Manahilan.
BUYUT KARSULA BERTEMU ANAKNYA
Salah seorang raksasa pengikut Ditya Mahadiyu ada yang berwujud cebol dan tidak ikut kabur bersama teman-temannya, melainkan menyerah kepada Prabu Basukiswara. Raksasa cebol itu mengaku bernama Ditya Aswapangga, perawat kuda para raksasa tersebut.
Prabu Basukiswara penasaran dan menanyai asal-usul raksasa cebol tersebut. Ditya Aswapangga pun bercerita bahwa ia berasal dari Gunung Kandaka, putra Resi Mudita. Sebelum meninggal dunia, Resi Mudita sempat bercerita bahwa Ditya Aswapangga bukan anak kandungnya, melainkan putra Buyut Karsula dari Desa Sabara.
Awal mulanya ialah istri Buyut Karsula melahirkan anak berwujud segumpal daging. Buyut Karsula merasa malu dan berniat membuang gumpalan daging itu ke sungai. Kebetulan Resi Mudita sedang beristirahat di tepi sungai sambil memberi minum kudanya. Melihat hal itu, Resi Mudita segera mencegahnya dan ia pun meminta gumpalan daging tersebut dari tangan Buyut Karsula. Resi Mudita lalu membawanya pulang ke Gunung Kandaka, sedangkan Buyut Karsula kembali ke Desa Sabara.
Sesampainya di Gunung Kandaka, Resi Mudita bertapa agar bisa meruwat gumpalan daging tersebut. Atas izin Yang Mahakuasa, gumpalan daging itu akhirnya berubah menjadi bayi raksasa yang diberi nama Aswapangga. Aswa artinya “kuda”, sedangkan pangga artinya “minum”. Sengaja Resi Mudita memberi nama demikian karena ia mendapatkan gumpalan daging tersebut pada saat memberi minum kudanya di tepi sungai.
Ditya Aswapangga pun diasuh Resi Mudita bagaikan anak sendiri dan juga diajari berbagai macam ilmu kesaktian. Menjelang ajalnya tiba, barulah Resi Mudita bercerita kalau Ditya Aswapangga sebenarnya adalah anak kandung Buyut Karsula. Namun, Resi Mudita menasihati agar Ditya Aswapangga mengabdi kepada Ditya Mahadiyu di Hutan Manahilan, karena jika langsung menemui Buyut Karsula bisa-bisa membuat takut warga Desa Sabara.
Demikianlah, Ditya Aswapangga diterima oleh Ditya Mahadiyu dan ditugasi menjadi perawat kuda-kuda tunggangan para raksasa di Hutan Manahilan. Di kala malam, Ditya Aswapangga juga diperintahkan untuk memeragakan ilmu kesaktiannya untuk menghibur para raksasa. Antara lain, Ditya Aswapangga mampu berubah menjadi tinggi besar ataupun menjadi kecil seperti jerami.
Prabu Basukiswara terkesan mendengar cerita Ditya Aswapangga dan kemudian menyerahkan raksasa itu kepada Buyut Karsula. Buyut Karsula pun menerima Ditya Aswapangga dengan perasaan haru. Ia sangat bahagia putranya yang dulu terlahir dalam wujud gumpalan daging kini telah tumbuh dewasa.
Buyut Karsula sangat berterima kasih kepada Prabu Basukiswara. Ia lalu mohon pamit kembali ke Desa Sabara bersama Ditya Aswapangga. Prabu Basukiswara dan pasukannya pun melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Wirata.
PRABU HIRANYAKA MENYERANG KERAJAAN WIRATA
Prabu Hiranyaka di Kerajaan Manimantaka mendapatkan laporan dari para prajuritnya yang selamat bahwa Ditya Mahadiyu telah tewas di Hutan Manahilan di tangan Prabu Basukiswara. Raja raksasa itu sangat marah dan mempersiapkan seluruh pasukan untuk menggempur Kerajaan Wirata. Untuk sementara, urusan dendam kepada Batara Sakri ditunda terlebih dahulu.
Prabu Hiranyaka dan pasukannya telah tiba di Kerajaan Wirata. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Hiranyaka mengerahkan Aji Kemayan membuat langit di atas Kota Wirata seketika gelap gulita. Para penduduk ibu kota ketakutan dan merasa sangat ngeri.
Prabu Basukiswara segera turun tangan mengerahkan Aji Dipa, membuat langit kembali cerah. Ia kemudian melemparkan pusaka Hurug Mutrika yang menghantam kepala Prabu Hiranyaka hingga pecah.
RESI MARTIKAWATA MENYERAHKAN DIRI KEPADA PRABU BASUKISWARA
Tidak lama kemudian, Resi Martikawata datang dari Padepokan Ima-ima untuk menyerahkan diri. Ia memohon agar Prabu Basukiswara mengampuni para prajurit raksasa yang masih hidup dan juga tidak menyerang balik Kerajaan Manimantaka karena akan banyak rakyat yang tidak berdosa turut menjadi korban.
Prabu Basukiswara terkesan melihat sikap bijaksana Resi Martikawata dan bertanya tentang asal-usul pendeta raksasa tersebut. Resi Martikawata pun menjawab bahwa dirinya adalah adik tiri Prabu Hiranyaka. Mereka sama-sama putra Prabu Kalakanda raja Manimantaka sebelumnya, tetapi beda ibu. Prabu Hiranyaka lahir dari Dewi Rukmi, sedangkan dirinya lahir dari Dewi Mayi. Adapun Dewi Rukmi adalah putra Prabu Kalarukma dari Kerajaan Kasipura yang masih keturunan Prabu Hiranyakasipu, sedangkan Dewi Mayi adalah putri Prabu Kalakresna raja Dwarawatiprawa yang masih keturunan Batara Wisnu.
Prabu Basukiswara pun mengabulkan permintaan Resi Martikawata untuk tidak menyerang balik Kerajaan Manimantaka. Bahkan, Resi Martikawata juga diizinkan menduduki takhta negeri tersebut. Namun, Resi Martikawata tidak bersedia karena ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa di tempat sepi. Ia mengusulkan agar putranya saja yang bernama Ditya Mityakarda yang menggantikan sebagai raja Manimantaka. Prabu Basukiswara pun menerima usulan tersebut.
Resi Martikawata juga meminta izin untuk menikahkan putra dan keponakannya, yaitu Ditya Mityakarda dan Ditya Mercukalakresna dengan kedua putri mendiang Prabu Hiranyaka, yaitu Dewi Mastura dan Dewi Kanaka, sesuai wasiat ibu mereka, yaitu Dewi Sasmreti dahulu. Prabu Basukiwara yang sudah menganggap Resi Martikawata sebagai teman pun mengizinkannya.
Maka, pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Ditya Mityakarda dengan Dewi Kanaka, sedangkan Ditya Mercukalakresna dengan Dewi Mastura. Setelah itu, Ditya Mityakarda dilantik menjadi raja Manimantaka, sedangkan Ditya Mercukalakresna membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Dwarawatiprawa.
Resi Martikawata merasa lega. Ia pun pergi bertapa ke tengah hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya. Putranya yang kini bergelar Prabu Mityakarda lalu menggabungkan Kerajaan Manimantaka dengan Padepokan Ima-ima menjadi satu, yang kemudian diberi nama Kerajaan Ima-imantaka.
Kisah ini disusun berdasarkan Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dipadukan dengan Serat Pustakaraja Purwa (Ngasinan) karya Ki Tristuti Suryasaputra, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 24 Januari 2016
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
PRABU HIRANYAKA HENDAK MENYERANG GUNUNG SAPTAARGA
Setelah Prabu Kunjanakresna tewas dalam pertempuran di Kahyangan Suralaya, adik iparnya yaitu Patih Hiranyaka menyerahkan diri kepada Batara Indra. Ia mendapat pengampunan dan diizinkan menjadi raja di Manimantaka menggantikan Prabu Kunjanakresna.
Patih Hiranyaka kini telah berganti gelar menjadi Prabu Hiranyaka. Pada suatu hari datanglah adik tirinya, yaitu Resi Martikawata dari Padepokan Ima-ima. Kedatangan Resi Martikawata adalah untuk menagih janji Prabu Hiranyaka tentang perjodohan putra-putri mereka. Dahulu istri Prabu Hiranyaka, yaitu Dewi Sasmreti (adik Prabu Kunjanakresna) pernah mengusulkan agar kedua putrinya yang bernama Dewi Mastura dan Dewi Kanaka dinikahkan dengan sepupu-sepupu mereka. Dewi Mastura hendaknya dinikahkan dengan Ditya Mercukalakresna putra Prabu Kunjanakresna, sedangkan Dewi Kanaka hendaknya dinikahkan dengan Ditya Mityakarda putra Resi Martikawata. Prabu Hiranyaka yang kala itu masih menjabat sebagai patih berjanji akan mewujudkan usulan istrinya tersebut.
Kini Dewi Sasmreti telah meninggal dan Patih Hiranyaka juga sudah menjadi raja. Resi Martikawata datang untuk menagih janji tersebut. Prabu Hiranyaka mengaku tidak lupa. Namun, ia belum bisa menikahkan mereka semua karena masih menyimpan dendam kepada Batara Sakri yang telah membunuh Prabu Kunjanakresna. Setelah dendam tersebut bisa terbalaskan, barulah Prabu Hiranyaka bersedia menikahkan kedua putrinya.
Resi Martikawata menasihati kakaknya agar tidak terlalu menuruti dendam. Bahkan, Prabu Hiranyaka sebaiknya bersyukur karena mendapatkan pengampunan dari Batara Indra dan bisa menduduki takhta Kerajaan Manimantaka. Jika hanya menuruti dendam maka tidak akan pernah ada habisnya. Lagipula Batara Sakri membunuh Prabu Kunjanakresna juga semata-mata melaksanakan tugas dari para dewa, bukan atas kehendaknya pribadi.
Prabu Hiranyaka marah menuduh Resi Martikawata pengecut dan tidak memiliki rasa belas kasih kepada saudara. Kedua kakak beradik itu lalu bertengkar. Resi Martikawata akhirnya pulang ke Padepokan Ima-ima dengan perasaan kecewa.
Prabu Hiranyaka tidak peduli pada nasihat adik tirinya itu. Ia pun memerintahkan punggawa raksasa bernama Ditya Mahadiyu untuk memimpin pasukan menyerang Gunung Saptaarga dan menculik Batara Sakri. Entah bagaimana caranya, Ditya Mahadiyu harus bisa menangkap Batara Sakri dan membawanya hidup-hidup ke Kerajaan Manimantaka, karena Prabu Hiranyaka ingin membunuh pemuda itu dengan tangannya sendiri. Prabu Hiranyaka berjanji akan mengangkat Ditya Mahadiyu sebagai patih apabila berhasil memenuhi tugas ini.
Ditya Mahadiyu menyanggupi dan ia pun mohon pamit berangkat menuju ke Gunung Saptaarga.
DITYA MAHADIYU JATUH DI HUTAN MANAHILAN
Ditya Mahadiyu bersama pasukan raksasa yang dipimpinnya telah sampai di kaki Gunung Saptaarga dan mengacau pedesaan. Mereka didatangi oleh pengikut Resi Manumanasa yang bernama Putut Supalawa si kera putih. Mengetahui para raksasa itu berniat jahat, yaitu hendak menculik Batara Sakri, Putut Supalawa pun mengamuk berusaha menumpas mereka. Terjadilah pertempuran sengit. Para raksasa itu banyak yang tewas di tangan sang kera putih.
Namun, jumlah prajurit raksasa itu sangat banyak. Mereka bersama-sama mengeroyok Putut Supalawa, membuat kera putih itu merasa kewalahan. Mengetahui peristiwa ini, Janggan Smara segera melapor kepada Resi Manumanasa. Untuk mencegah korban jatuh semakin banyak, Resi Manumanasa segera mengheningkan cipta, memohon pertolongan Yang Mahakuasa. Tiba-tiba muncullah angin besar yang menghempaskan para raksasa itu sehingga semuanya terlempar jauh hingga jatuh di Hutan Manahilan.
Ditya Mahadiyu dan pasukannya merasa kecewa telah gagal memenuhi tugas. Karena takut kembali ke Kerajaan Manimantaka, mereka pun berkemah di dalam Hutan Manahilan untuk memulihkan kekuatan.
PRABU BASUKISWARA MENINJAU TAMAN MALDEWA
Sementara itu, Prabu Basukiswara raja Wirata sedang meninjau tamansari baru di Kota Medangkawuri (Wirata lama) yang dibangun oleh Patih Wasita bersama Arya Danadewa dan Arya Kintaka. Pembangunan tamansari tersebut telah selesai dan Prabu Basukiswara sangat senang melihat hasilnya. Prabu Basukiswara pun memberinya nama Taman Maldewa.
Dalam perjalanan pulang menuju ke Wirata, rombongan Prabu Basukiswara bertemu seorang laki-laki tua yang mengaku bernama Buyut Karsula dari Desa Sabara. Orang tua itu sangat ketakutan dan melapor kepada Prabu Basukiswara bahwa desanya baru saja diobrak-abrik kawanan raksasa dari Hutan Manahilan. Banyak penduduk desa dan hewan ternak yang mati dimangsa oleh para raksasa beringas tersebut.
Prabu Basukiswara sangat marah mendengar ada penjahat berani mengganggu keamanan rakyatnya. Ia pun memimpin langsung pasukan untuk menumpas para raksasa di Hutan Manahilan tersebut.
PASUKAN DITYA MAHADIYU DITUMPAS PRABU BASUKISWARA
Prabu Basukiswara dan pasukannya telah sampai di Hutan Manahilan dan segera menggempur perkemahan para raksasa dari Kerajaan Manimantaka itu. Ditya Mahadiyu dan pasukannya memberikan perlawanan. Pertempuran sengit pun terjadi. Banyak prajurit raksasa yang berubah menjadi arca batu akibat terkena Minyak Manihara milik Arya Manungkara.
Ditya Mahadiyu maju menghadapi Arya Manungkara. Arya Manungkara yang sudah kelelahan tidak mampu mengalahkan pemimpin raksasa tersebut. Arya Danadewa segera maju membantu, namun Ditya Mahadiyu tetap sulit untuk dikalahkan.
Prabu Basukiswara memerintahkan kedua punggawanya itu mundur. Secepat kilat ia melemparkan kalung pusaka Hurug Mutrika yang tepat menghantam dada Ditya Mahadiyu. Pemimpin raksasa itu pun tewas seketika. Sisa-sisa prajuritnya yang masih hidup merasa ngeri dan berlarian meninggalkan Hutan Manahilan.
BUYUT KARSULA BERTEMU ANAKNYA
Salah seorang raksasa pengikut Ditya Mahadiyu ada yang berwujud cebol dan tidak ikut kabur bersama teman-temannya, melainkan menyerah kepada Prabu Basukiswara. Raksasa cebol itu mengaku bernama Ditya Aswapangga, perawat kuda para raksasa tersebut.
Prabu Basukiswara penasaran dan menanyai asal-usul raksasa cebol tersebut. Ditya Aswapangga pun bercerita bahwa ia berasal dari Gunung Kandaka, putra Resi Mudita. Sebelum meninggal dunia, Resi Mudita sempat bercerita bahwa Ditya Aswapangga bukan anak kandungnya, melainkan putra Buyut Karsula dari Desa Sabara.
Awal mulanya ialah istri Buyut Karsula melahirkan anak berwujud segumpal daging. Buyut Karsula merasa malu dan berniat membuang gumpalan daging itu ke sungai. Kebetulan Resi Mudita sedang beristirahat di tepi sungai sambil memberi minum kudanya. Melihat hal itu, Resi Mudita segera mencegahnya dan ia pun meminta gumpalan daging tersebut dari tangan Buyut Karsula. Resi Mudita lalu membawanya pulang ke Gunung Kandaka, sedangkan Buyut Karsula kembali ke Desa Sabara.
Sesampainya di Gunung Kandaka, Resi Mudita bertapa agar bisa meruwat gumpalan daging tersebut. Atas izin Yang Mahakuasa, gumpalan daging itu akhirnya berubah menjadi bayi raksasa yang diberi nama Aswapangga. Aswa artinya “kuda”, sedangkan pangga artinya “minum”. Sengaja Resi Mudita memberi nama demikian karena ia mendapatkan gumpalan daging tersebut pada saat memberi minum kudanya di tepi sungai.
Ditya Aswapangga pun diasuh Resi Mudita bagaikan anak sendiri dan juga diajari berbagai macam ilmu kesaktian. Menjelang ajalnya tiba, barulah Resi Mudita bercerita kalau Ditya Aswapangga sebenarnya adalah anak kandung Buyut Karsula. Namun, Resi Mudita menasihati agar Ditya Aswapangga mengabdi kepada Ditya Mahadiyu di Hutan Manahilan, karena jika langsung menemui Buyut Karsula bisa-bisa membuat takut warga Desa Sabara.
Demikianlah, Ditya Aswapangga diterima oleh Ditya Mahadiyu dan ditugasi menjadi perawat kuda-kuda tunggangan para raksasa di Hutan Manahilan. Di kala malam, Ditya Aswapangga juga diperintahkan untuk memeragakan ilmu kesaktiannya untuk menghibur para raksasa. Antara lain, Ditya Aswapangga mampu berubah menjadi tinggi besar ataupun menjadi kecil seperti jerami.
Prabu Basukiswara terkesan mendengar cerita Ditya Aswapangga dan kemudian menyerahkan raksasa itu kepada Buyut Karsula. Buyut Karsula pun menerima Ditya Aswapangga dengan perasaan haru. Ia sangat bahagia putranya yang dulu terlahir dalam wujud gumpalan daging kini telah tumbuh dewasa.
Buyut Karsula sangat berterima kasih kepada Prabu Basukiswara. Ia lalu mohon pamit kembali ke Desa Sabara bersama Ditya Aswapangga. Prabu Basukiswara dan pasukannya pun melanjutkan perjalanan pulang ke Kerajaan Wirata.
PRABU HIRANYAKA MENYERANG KERAJAAN WIRATA
Prabu Hiranyaka di Kerajaan Manimantaka mendapatkan laporan dari para prajuritnya yang selamat bahwa Ditya Mahadiyu telah tewas di Hutan Manahilan di tangan Prabu Basukiswara. Raja raksasa itu sangat marah dan mempersiapkan seluruh pasukan untuk menggempur Kerajaan Wirata. Untuk sementara, urusan dendam kepada Batara Sakri ditunda terlebih dahulu.
Prabu Hiranyaka dan pasukannya telah tiba di Kerajaan Wirata. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu Hiranyaka mengerahkan Aji Kemayan membuat langit di atas Kota Wirata seketika gelap gulita. Para penduduk ibu kota ketakutan dan merasa sangat ngeri.
Prabu Basukiswara segera turun tangan mengerahkan Aji Dipa, membuat langit kembali cerah. Ia kemudian melemparkan pusaka Hurug Mutrika yang menghantam kepala Prabu Hiranyaka hingga pecah.
RESI MARTIKAWATA MENYERAHKAN DIRI KEPADA PRABU BASUKISWARA
Tidak lama kemudian, Resi Martikawata datang dari Padepokan Ima-ima untuk menyerahkan diri. Ia memohon agar Prabu Basukiswara mengampuni para prajurit raksasa yang masih hidup dan juga tidak menyerang balik Kerajaan Manimantaka karena akan banyak rakyat yang tidak berdosa turut menjadi korban.
Prabu Basukiswara terkesan melihat sikap bijaksana Resi Martikawata dan bertanya tentang asal-usul pendeta raksasa tersebut. Resi Martikawata pun menjawab bahwa dirinya adalah adik tiri Prabu Hiranyaka. Mereka sama-sama putra Prabu Kalakanda raja Manimantaka sebelumnya, tetapi beda ibu. Prabu Hiranyaka lahir dari Dewi Rukmi, sedangkan dirinya lahir dari Dewi Mayi. Adapun Dewi Rukmi adalah putra Prabu Kalarukma dari Kerajaan Kasipura yang masih keturunan Prabu Hiranyakasipu, sedangkan Dewi Mayi adalah putri Prabu Kalakresna raja Dwarawatiprawa yang masih keturunan Batara Wisnu.
Prabu Basukiswara pun mengabulkan permintaan Resi Martikawata untuk tidak menyerang balik Kerajaan Manimantaka. Bahkan, Resi Martikawata juga diizinkan menduduki takhta negeri tersebut. Namun, Resi Martikawata tidak bersedia karena ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa di tempat sepi. Ia mengusulkan agar putranya saja yang bernama Ditya Mityakarda yang menggantikan sebagai raja Manimantaka. Prabu Basukiswara pun menerima usulan tersebut.
Resi Martikawata juga meminta izin untuk menikahkan putra dan keponakannya, yaitu Ditya Mityakarda dan Ditya Mercukalakresna dengan kedua putri mendiang Prabu Hiranyaka, yaitu Dewi Mastura dan Dewi Kanaka, sesuai wasiat ibu mereka, yaitu Dewi Sasmreti dahulu. Prabu Basukiwara yang sudah menganggap Resi Martikawata sebagai teman pun mengizinkannya.
Maka, pada hari yang ditentukan, dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Ditya Mityakarda dengan Dewi Kanaka, sedangkan Ditya Mercukalakresna dengan Dewi Mastura. Setelah itu, Ditya Mityakarda dilantik menjadi raja Manimantaka, sedangkan Ditya Mercukalakresna membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Dwarawatiprawa.
Resi Martikawata merasa lega. Ia pun pergi bertapa ke tengah hutan untuk menghabiskan sisa hidupnya. Putranya yang kini bergelar Prabu Mityakarda lalu menggabungkan Kerajaan Manimantaka dengan Padepokan Ima-ima menjadi satu, yang kemudian diberi nama Kerajaan Ima-imantaka.
------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar