Selasa, 15 Maret 2016

Babad Pancala

Kisah ini menceritakan lahirnya Raden Sucitra yang kelak menjadi Prabu Drupada, serta Raden Kumbayana yang kelak menjadi Resi Druna. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara Prabu Wasupati melawan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura, yang kemudian ditutup dengan pembukaan Hutan Pancala menjadi kerajaan baru oleh Patih Suganda, yang bergelar Prabu Gandabayu. Kisah ini juga diselingi dengan peristiwa Resi Parasara mencapai moksa, serta bagaimana Resi Abyasa mendapatkan Pustaka Kalimahusada.

Kisah ini saya olah menggunakan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang dipadukan dengan buku Kempalan Balungan karya Ki Suratno Guno Wiharjo, dengan beberapa pengembangan.

Kediri, 15 Maret 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------


KERAJAAN DUHYAPURA DISERANG PRABU BAHLIKA

Prabu Drupara di Kerajaan Duhyapura sedang dihadap Resi Baradwaja (sepupunya) beserta Patih Suganda dan para punggawa. Mereka sedang berbahagia karena permaisuri Prabu Drupara, yaitu Dewi Setyarini telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sucitra, sedangkan istri Resi Baradwaja, yaitu Dewi Padmawati juga melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden Kumbayana.

Prabu Drupara memiliki nama asli Raden Prisata, yang merupakan putra Prabu Sengara. Sementara itu, Resi Baradwaja adalah putra Resi Maruta. Dahulu Prabu Sengara dan Resi Maruta pernah datang ke Tanah Jawa untuk melamar Dewi Durgandini namun mereka dikalahkan oleh Resi Parasara yang dibantu Gandarwaraja Swala.

Ketika Kerajaan Duhyapura sedang merayakan kebahagiaan atas lahirnya kedua bayi tersebut, tiba-tiba datang serangan dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Bahlika. Rupanya Prabu Bahlika masih bernafsu ingin menjadi raja yang paling berkuasa di Tanah Hindustan dengan alasan menyebarkan agama Kala. Prabu Drupara didampingi Resi Baradwaja dan Patih Suganda segera maju menghadapi serangan tersebut. Perang besar pun terjadi. Prabu Bahlika dan putranya, yaitu Raden Salwarukma telah mempersiapkan serangan ini dengan sangat matang. Pihak Duhyapura pun kalah telak, dan Prabu Drupara gugur di tangan Prabu Bahlika.

RESI BARADWAJA MERAWAT RADEN SUCITRA DAN RADEN KUMBAYANA

Setelah raja mereka tewas, Resi Baradwaja dan Patih Suganda tercerai berai. Patih Suganda membawa sisa-sisa pasukan yang masih hidup mengungsi ke Tanah Jawa, sedangkan Resi Baradwaja menyelamatkan keluarga Prabu Drupara menuju daerah Atasangin. Dalam perjalanan mengungsi tersebut, Dewi Setyarini dan Dewi Padmawati yang masih lemah karena baru saja melahirkan akhirnya meninggal dunia.

Resi Baradwaja akhirnya sampai di daerah Atasangin. Ia pun membangun sebuah padepokan sebagai tempat tinggal di puncak sebuah gunung bernama Girijembangan. Di sana ia merawat Raden Sucitra bersama-sama dengan putranya, yaitu Raden Kumbayana. Ia berjanji akan mendidik mereka berdua supaya kelak setelah dewasa dapat kembali meraih kemuliaan.

PATIH SUGANDA DITERIMA DI KERAJAAN WIRATA

Sementara itu, Patih Suganda dan sisa-sisa pasukan Duhyapura yang masih hidup telah mendarat di Tanah Jawa dan menghadap Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata. Sejak zaman Prabu Basurata secara turun-temurun telah terjalin persahabatan antara Kerajaan Wirata dengan Duhyapura sehingga berita kematian Prabu Drupara membuat Prabu Wasupati merasa sangat kehilangan.

Prabu Wasupati pun berunding dengan Patih Wasita, Aryaprabu Kistawa, dan Raden Durgandana untuk membahas masalah ini. Sang Prabu mendapat firasat bahwa cepat atau lambat Prabu Bahlika dan pasukan Siwandapura akan datang menyerbu Kerajaan Wirata. Bagaimanapun juga Prabu Bahlika tidak mungkin bisa melupakan kematian ayahnya, yaitu Prabu Pratipa raja Hastina yang dulu tewas di tangan Aryaprabu Kistawa.

Kini kekuatan Prabu Bahlika sudah jauh lebih besar daripada dulu saat ia datang menyerang Kerajaan Wirata. Saat itu Prabu Bahlika dapat dipukul mundur karena Kerajaan Wirata mendapat bantuan dari Kerajaan Hastina di bawah pimpinan Prabu Santanu. Menghadapi masalah ini, Patih Wasita mengusulkan agar Kerajaan Wirata kembali meminta bantuan pihak Hastina untuk menghadapi Prabu Bahlika yang kemungkinan besar akan segera datang.

Aryaprabu Kistawa tidak setuju karena bagaimanapun juga Prabu Santanu adalah adik kandung Prabu Bahlika. Meskipun Prabu Santanu sudah menjadi menantu Prabu Wasupati, namun hubungan persaudaraan tetap tidak bisa dipungkiri begitu saja. Aryaprabu Kistawa khawatir jangan-jangan kali ini Prabu Bahlika berhasil menghasut Prabu Santanu untuk berbalik melawan Kerajaan Wirata untuk bersama-sama membalaskan kematian ayah mereka. Apalagi sekarang Prabu Santanu telah memiliki putra yang sangat sakti bernama Raden Bisma. Tentu akan sangat berbahaya jika ternyata Raden Bisma juga terkena hasutan Prabu Bahlika.

Untuk itu, Aryaprabu Kistawa mengusulkan agar Kerajaan Wirata tidak hanya meminta bantuan kepada Hastina saja, tetapi juga sekutu-sekutu yang lain, seperti Mandraka, Gandaradesa, Gilingwesi, Medang Kamulan, ataupun Pringgadani.

Prabu Wasupati menerima usulan tersebut dan memerintahkan Raden Durgandana berangkat menyebarkan undangan kepada para raja sekutu tersebut.

RESI PARASARA MENCAPAI MOKSA

Sementara itu, di Padepokan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga, Resi Parasara dihadap putranya, yaitu Raden Abyasa beserta para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Hari ini Raden Abyasa genap berusia dua puluh tahun dan ia dinyatakan telah menamatkan segala pendidikan. Melihat bakat dan kecerdasan putranya itu, Resi Parasara pun melantik Raden Abyasa menjadi pendeta bergelar Resi Abyasa, meskipun usianya masih terhitung muda.

Resi Parasara lalu berkata bahwa kini tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana karena semua tugas-tugasnya telah selesai. Ia pun menyerahkan pusaka Manikpramana kepada Resi Abyasa, dan setelah itu bersamadi mengheningkan cipta. Sekejap kemudian, Resi Parasara mencapai moksa. Tubuhnya musnah, sedangkan jiwanya naik ke alam baka.

Resi Abyasa memberikan penghormatan terakhir kepada sang ayah. Ia kemudian mengajak keempat panakawan pergi ke Gunung Reksasrengga untuk mengabarkan hal ini kepada ibu tirinya, yaitu Dewi Watari.

RESI ABYASA MENDAPATKAN PUSTAKA KALIMAHUSADA

Dalam perjalanan menuju ke Gunung Reksasrengga, Resi Abyasa tiba-tiba bertemu seorang pemuda lumpuh yang mengaku bernama Jaka Hilya. Pemuda lumpuh itu bercerita bahwa dirinya baru saja berkeliling dunia sambil merangkak ngesot. Resi Abyasa merasa geli tidak percaya. Melihat sikap Resi Abyasa yang meragukan ucapannya, Jaka Hilya pun menantangnya adu kecepatan. Resi Abyasa menerima tantangan itu, mengingat dirinya pernah berguru ilmu melesat kepada Gandarwaraja Swala. Ia pun mempersilakan Jaka Hilya bergerak lebih dulu, dan ia pasti dapat menangkapnya.

Kyai Semar memberi aba-aba dimulainya perlombaan. Jaka Hilya segera merangkak ngesot, dan Resi Abyasa mengejar di belakang. Sungguh ajaib, meskipun kakinya lumpuh, Jaka Hilya dapat bergerak lincah dan sangat cepat. Resi Abyasa mengejar dengan sekuat tenaga. Entah bagaimana, dirinya sudah berada di tempat yang terang benderang, tetapi tidak memiliki matahari. Selain itu juga tidak jelas mana utara, mana selatan, mana barat, mana timur, mana atas, mana bawah.

Resi Abyasa melihat Jaka Hilya memasuki cahaya warna hitam yang gelap pekat. Ia pun menyusul ke sana dan tubuhnya terasa seperti ditelan bumi. Terlihat kemudian Jaka Hilya memasuki cahaya warna merah. Resi Abyasa segera menyusul ke sana dan tubuhnya terasa seperti terbakar dalam kobaran api. Dilihatnya Jaka Hilya memasuki cahaya warna kuning. Resi Abyasa menyusul ke sana dan tubuhnya pun terasa seperti dihempaskan angin topan. Dilihatnya Jaka Hilya memasuki cahaya warna putih. Ia pun menyusul ke sana dan tubuhnya kini terasa seperti hanyut tenggelam di dalam lautan luas.

Demikianlah, Resi Abyasa pasrah terombang-ambing di dalam cahaya tersebut hingga dirinya terdampar di dalam sebuah tempat yang kosong namun luas tanpa batas. Ia lalu melihat Jaka Hilya bangkit berdiri, tidak lagi lumpuh. Lama-lama wujud pemuda itu musnah dan yang tertinggal hanya suaranya saja, menggema di telinga Resi Abyasa. Suara itu mengaku sebagai Sang Jatidiri, guru sejati yang hadir untuk memberikan ujian kepada Resi Abyasa.

Resi Abyasa pun berserah diri atas apa yang akan terjadi padanya. Suara itu lalu menggema, mengajarkan ilmu kesempurnaan kepada Resi Abyasa. Setelah semua pelajaran selesai, tiba-tiba Resi Abyasa telah kembali ke alam nyata di mana Kyai Semar dan ketiga anaknya menunggu. Tangan Resi Abyasa pun telah menggenggam sebuah kitab pula. Kyai Semar mengenali kitab tersebut adalah Pustaka Kalimahusada, yang dahulu tercipta dari jasad Prabu Kalimantara raja Nusahantara bersamaan dengan peristiwa lahirnya Resi Satrukem, kakek buyut Resi Abyasa.

Kitab tersebut dulu tercipta dalam keadaan kosong, dan kini tiba-tiba saja penuh dengan tulisan. Resi Abyasa membaca halaman demi halaman pada kitab itu ternyata berisi ilmu kesempurnaan yang tadi telah ia pelajari dari suara sang guru sejati di alam awang-uwung.

Resi Abyasa sangat bersyukur atas segala karunia Tuhan Yang Mahakuasa pada dirinya. Kyai Semar menasihatinya agar selalu rendah hati dan jangan sampai lupa diri. Resi Abyasa berterima kasih lalu mengajak para panakawan melanjutkan perjalanan.

RESI ABYASA DAN RADEN DURGANDANA MENGUNJUNGI DEWI WATARI

Sesampainya di Padepokan Bimarastana yang terletak di Gunung Reksasrengga, Resi Abyasa dan para panakawan disambut ramah oleh Dewi Watari beserta ketiga anak asuhnya, yaitu Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala. Mendengar suaminya telah moksa, naik ke alam baka, Dewi Watari merasa sangat prihatin sekaligus bangga. Padahal sebulan yang lalu ayahnya, yaitu Resi Indradewa juga meninggal dunia, kini Resi Parasara menyusul pula.

Tidak lama kemudian, Raden Durgandana datang pula ke Padepokan Bimarastana setelah tugasnya menyebarkan undangan kepada para raja sekutu Wirata selesai. Ia pun disambut ramah oleh Dewi Watari bersama Resi Abyasa, Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala.

Raden Durgandana bercerita tentang adanya ancaman serangan dari Prabu Bahlika raja Siwandapura. Untuk itu, ia berniat menjadikan ketiga adik iparnya yang memiliki bakat kesaktian sejak lahir, yaitu Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala sebagai punggawa di Kerajaan Wirata.

Mendengar hal itu, Dewi Watari merasa terhormat karena ketiga putranya dianggap mampu meringankan beban Kerajaan Wirata. Ia pun menyarankan agar Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, dan Raden Rajamala menerima tawaran Raden Durgandana tersebut. Raden Kincaka dan Raden Rupakinca bersedia, sedangkan Raden Rajamala mengajukan syarat agar sang ibu juga dibawa serta ke istana Wirata. Meskipun berwajah buruk rupa, namun Raden Rajamala ini yang paling disayangi oleh Dewi Watari. Keduanya pun seolah tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Raden Durgandana menerima syarat yang diajukan Raden Rajamala tersebut. Lagipula Resi Indradewa juga sudah meninggal sehingga akan lebih baik jika Dewi Watari ikut serta tinggal di Kerajaan Wirata. Setelah dirasa cukup, mereka pun bersama-sama meninggalkan Gunung Reksasrengga. Resi Abyasa juga ikut serta bersama mereka, sekaligus ia ingin mengunjungi adiknya yang lain, yaitu Dewi Sudaksina, istri Raden Durgandana.

KERAJAAN WIRATA DISERANG PRABU BAHLIKA

Sementara itu, pasukan Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma telah datang menyerbu Kerajaan Wirata. Prabu Wasupati pun menghadapi serangan tersebut dengan didampingi Patih Wasita dan Aryaprabu Kistawa bersama bala bantuan dari sejumlah kerajaan sekutu. Maka, terjadilah pertempuran besar antara kedua pihak yang boleh dikatakan telah menjadi musuh bebuyutan.

Prabu Bahlika menyerbu Kerajaan Wirata dengan alasan mengejar Patih Suganda. Padahal, tujuan utamanya adalah untuk membalaskan kematian ayahnya (Prabu Pratipa) yang dulu gugur di tangan Aryaprabu Kistawa (saat masih bernama Raden Basuketu). Kini, dendam tersebut akhirnya dapat terbalaskan. Dalam pertempuran kali ini, Prabu Bahlika berhasil menewaskan Aryaprabu Kistawa.

Patih Wasita yang sudah tua juga gugur dalam peperangan karena kehabisan tenaga. Kini Prabu Bahlika bergerak maju untuk menyerang Prabu Wasupati. Patih Suganda dan orang-orang Duhyapura berusaha membantu namun mereka bukan tandingan raja Siwandapura tersebut.

Pada saat-saat genting itulah muncul Raden Durgandana bersama Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala yang langsung berperang di pihak Wirata untuk menghadapi pasukan Siwandapura.

Raden Rupakinca dan Raden Rajamala berhasil menyelamatkan Prabu Wasupati yang hampir saja tewas di tangan Prabu Bahlika. Sementara itu, Raden Kincaka menyerang Prabu Bahlika dan akhirnya berhasil menewaskan raja Siwandapura tersebut. Melihat ayahnya terbunuh, Raden Salwarukma segera kabur meloloskan diri.

PATIH SUGANDA MEMBANGUN KERAJAAN PANCALA

Prabu Wasupati sangat berterima kasih atas pertolongan Raden Kincaka dan kedua adiknya. Mereka bertiga pun diangkat sebagai punggawa Kerajaan Wirata dan mendapatkan hadiah berupa sebidang tanah sebagai tempat tinggal, yang diberi nama Kincapura. Bersama-sama Dewi Watari, mereka bertiga pun mulai saat itu tinggal di tempat tersebut. Sementara itu, Resi Abyasa dan para panakawan mohon pamit kembali ke Gunung Saptaarga setelah beberapa hari dijamu oleh Raden Durgandana dan Dewi Sudaksina.

Keadaan kini aman kembali. Patih Suganda dan orang-orang Duhyapura ikut membantu memperbaiki Kota Wirata yang rusak akibat peperangan. Sebagai ungkapan terima kasih, Prabu Wasupati memberikan Hutan Pancala kepada mereka. Patih Suganda dan pengikutnya dipersilakan membangun kerajaan baru di sana. Orang-orang Duhyapura itu sangat berterima kasih atas anugerah yang diberikan Prabu Wasupati tersebut.

Singkat cerita, Patih Suganda dan para pengikutnya telah mendirikan sebuah negeri baru di Hutan Pancala, yang diberi nama Kerajaan Pancala. Patih Suganda pun menjadi raja di sana, bergelar Prabu Gandabayu.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------











Tidak ada komentar:

Posting Komentar