Kisah ini menceritakan
lahirnya Raden Sucitra yang kelak menjadi Prabu Drupada, serta Raden Kumbayana
yang kelak menjadi Resi Druna. Kisah dilanjutkan dengan peperangan antara Prabu
Wasupati melawan Prabu Bahlika dari Kerajaan Siwandapura, yang kemudian ditutup
dengan pembukaan Hutan Pancala menjadi kerajaan baru oleh Patih Suganda, yang bergelar
Prabu Gandabayu. Kisah ini juga diselingi dengan peristiwa Resi Parasara mencapai moksa, serta bagaimana Resi Abyasa mendapatkan Pustaka Kalimahusada.
Kisah ini saya olah
menggunakan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, yang dipadukan dengan buku Kempalan Balungan karya Ki Suratno
Guno Wiharjo, dengan beberapa pengembangan.
Kediri, 15 Maret 2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
KERAJAAN DUHYAPURA DISERANG PRABU BAHLIKA
Prabu Drupara di Kerajaan Duhyapura
sedang dihadap Resi Baradwaja (sepupunya) beserta Patih Suganda dan para
punggawa. Mereka sedang berbahagia karena permaisuri Prabu Drupara, yaitu Dewi
Setyarini telah melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Sucitra, sedangkan
istri Resi Baradwaja, yaitu Dewi Padmawati juga melahirkan anak laki-laki yang
diberi nama Raden Kumbayana.
Prabu Drupara memiliki nama
asli Raden Prisata, yang merupakan putra Prabu Sengara. Sementara itu, Resi
Baradwaja adalah putra Resi Maruta. Dahulu Prabu Sengara dan Resi Maruta pernah
datang ke Tanah Jawa untuk melamar Dewi Durgandini namun mereka dikalahkan oleh
Resi Parasara yang dibantu Gandarwaraja Swala.
Ketika Kerajaan Duhyapura
sedang merayakan kebahagiaan atas lahirnya kedua bayi tersebut, tiba-tiba datang
serangan dari Kerajaan Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Bahlika. Rupanya
Prabu Bahlika masih bernafsu ingin menjadi raja yang paling berkuasa di Tanah
Hindustan dengan alasan menyebarkan agama Kala. Prabu Drupara didampingi Resi
Baradwaja dan Patih Suganda segera maju menghadapi serangan tersebut. Perang
besar pun terjadi. Prabu Bahlika dan putranya, yaitu Raden Salwarukma telah
mempersiapkan serangan ini dengan sangat matang. Pihak Duhyapura pun kalah
telak, dan Prabu Drupara gugur di tangan Prabu Bahlika.
RESI BARADWAJA MERAWAT RADEN
SUCITRA DAN RADEN KUMBAYANA
Setelah raja mereka tewas, Resi
Baradwaja dan Patih Suganda tercerai berai. Patih Suganda membawa sisa-sisa
pasukan yang masih hidup mengungsi ke Tanah Jawa, sedangkan Resi Baradwaja
menyelamatkan keluarga Prabu Drupara menuju daerah Atasangin. Dalam perjalanan
mengungsi tersebut, Dewi Setyarini dan Dewi Padmawati yang masih lemah karena
baru saja melahirkan akhirnya meninggal dunia.
Resi Baradwaja akhirnya sampai
di daerah Atasangin. Ia pun membangun sebuah padepokan sebagai tempat tinggal di
puncak sebuah gunung bernama Girijembangan. Di sana ia merawat Raden Sucitra
bersama-sama dengan putranya, yaitu Raden Kumbayana. Ia berjanji akan mendidik mereka
berdua supaya kelak setelah dewasa dapat kembali meraih kemuliaan.
PATIH SUGANDA DITERIMA DI
KERAJAAN WIRATA
Sementara itu, Patih Suganda
dan sisa-sisa pasukan Duhyapura yang masih hidup telah mendarat di Tanah Jawa
dan menghadap Prabu Wasupati di Kerajaan Wirata. Sejak zaman Prabu Basurata secara
turun-temurun telah terjalin persahabatan antara Kerajaan Wirata dengan Duhyapura
sehingga berita kematian Prabu Drupara membuat Prabu Wasupati merasa sangat kehilangan.
Prabu Wasupati pun berunding
dengan Patih Wasita, Aryaprabu Kistawa, dan Raden Durgandana untuk membahas
masalah ini. Sang Prabu mendapat firasat bahwa cepat atau lambat Prabu Bahlika
dan pasukan Siwandapura akan datang menyerbu Kerajaan Wirata. Bagaimanapun juga
Prabu Bahlika tidak mungkin bisa melupakan kematian ayahnya, yaitu Prabu
Pratipa raja Hastina yang dulu tewas di tangan Aryaprabu Kistawa.
Kini kekuatan Prabu Bahlika
sudah jauh lebih besar daripada dulu saat ia datang menyerang Kerajaan Wirata.
Saat itu Prabu Bahlika dapat dipukul mundur karena Kerajaan Wirata mendapat
bantuan dari Kerajaan Hastina di bawah pimpinan Prabu Santanu. Menghadapi
masalah ini, Patih Wasita mengusulkan agar Kerajaan Wirata kembali meminta
bantuan pihak Hastina untuk menghadapi Prabu Bahlika yang kemungkinan besar
akan segera datang.
Aryaprabu Kistawa tidak setuju
karena bagaimanapun juga Prabu Santanu adalah adik kandung Prabu Bahlika.
Meskipun Prabu Santanu sudah menjadi menantu Prabu Wasupati, namun hubungan
persaudaraan tetap tidak bisa dipungkiri begitu saja. Aryaprabu Kistawa khawatir
jangan-jangan kali ini Prabu Bahlika berhasil menghasut Prabu Santanu untuk
berbalik melawan Kerajaan Wirata untuk bersama-sama membalaskan kematian ayah
mereka. Apalagi sekarang Prabu Santanu telah memiliki putra yang sangat sakti
bernama Raden Bisma. Tentu akan sangat berbahaya jika ternyata Raden Bisma juga
terkena hasutan Prabu Bahlika.
Untuk itu, Aryaprabu Kistawa
mengusulkan agar Kerajaan Wirata tidak hanya meminta bantuan kepada Hastina
saja, tetapi juga sekutu-sekutu yang lain, seperti Mandraka, Gandaradesa,
Gilingwesi, Medang Kamulan, ataupun Pringgadani.
Prabu Wasupati menerima usulan
tersebut dan memerintahkan Raden Durgandana berangkat menyebarkan undangan
kepada para raja sekutu tersebut.
RESI PARASARA MENCAPAI MOKSA
Sementara itu, di Padepokan
Ratawu di puncak Gunung Saptaarga, Resi Parasara dihadap putranya, yaitu Raden
Abyasa beserta para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Hari
ini Raden Abyasa genap berusia dua puluh tahun dan ia dinyatakan telah menamatkan
segala pendidikan. Melihat bakat dan kecerdasan putranya itu, Resi Parasara pun
melantik Raden Abyasa menjadi pendeta bergelar Resi Abyasa, meskipun usianya
masih terhitung muda.
Resi Parasara lalu berkata
bahwa kini tiba saatnya ia meninggalkan dunia fana karena semua tugas-tugasnya
telah selesai. Ia pun menyerahkan pusaka Manikpramana kepada Resi Abyasa, dan setelah
itu bersamadi mengheningkan cipta. Sekejap kemudian, Resi Parasara mencapai moksa.
Tubuhnya musnah, sedangkan jiwanya naik ke alam baka.
Resi Abyasa memberikan
penghormatan terakhir kepada sang ayah. Ia kemudian mengajak keempat panakawan pergi
ke Gunung Reksasrengga untuk mengabarkan hal ini kepada ibu tirinya, yaitu Dewi
Watari.
RESI ABYASA MENDAPATKAN
PUSTAKA KALIMAHUSADA
Dalam perjalanan menuju ke
Gunung Reksasrengga, Resi Abyasa tiba-tiba bertemu seorang pemuda lumpuh yang
mengaku bernama Jaka Hilya. Pemuda lumpuh itu bercerita bahwa dirinya baru saja
berkeliling dunia sambil merangkak ngesot. Resi Abyasa merasa geli tidak
percaya. Melihat sikap Resi Abyasa yang meragukan ucapannya, Jaka Hilya pun
menantangnya adu kecepatan. Resi Abyasa menerima tantangan itu, mengingat
dirinya pernah berguru ilmu melesat kepada Gandarwaraja Swala. Ia pun
mempersilakan Jaka Hilya bergerak lebih dulu, dan ia pasti dapat menangkapnya.
Kyai Semar memberi aba-aba
dimulainya perlombaan. Jaka Hilya segera merangkak ngesot, dan Resi Abyasa
mengejar di belakang. Sungguh ajaib, meskipun kakinya lumpuh, Jaka Hilya dapat
bergerak lincah dan sangat cepat. Resi Abyasa mengejar dengan sekuat tenaga.
Entah bagaimana, dirinya sudah berada di tempat yang terang benderang, tetapi
tidak memiliki matahari. Selain itu juga tidak jelas mana utara, mana selatan,
mana barat, mana timur, mana atas, mana bawah.
Resi Abyasa melihat Jaka Hilya
memasuki cahaya warna hitam yang gelap pekat. Ia pun menyusul ke sana dan
tubuhnya terasa seperti ditelan bumi. Terlihat kemudian Jaka Hilya memasuki
cahaya warna merah. Resi Abyasa segera menyusul ke sana dan tubuhnya terasa
seperti terbakar dalam kobaran api. Dilihatnya Jaka Hilya memasuki cahaya warna
kuning. Resi Abyasa menyusul ke sana dan tubuhnya pun terasa seperti
dihempaskan angin topan. Dilihatnya Jaka Hilya memasuki cahaya warna putih. Ia
pun menyusul ke sana dan tubuhnya kini terasa seperti hanyut tenggelam di dalam
lautan luas.
Demikianlah, Resi Abyasa
pasrah terombang-ambing di dalam cahaya tersebut hingga dirinya terdampar di
dalam sebuah tempat yang kosong namun luas tanpa batas. Ia lalu melihat Jaka
Hilya bangkit berdiri, tidak lagi lumpuh. Lama-lama wujud pemuda itu musnah dan
yang tertinggal hanya suaranya saja, menggema di telinga Resi Abyasa. Suara itu
mengaku sebagai Sang Jatidiri, guru sejati yang hadir untuk memberikan ujian
kepada Resi Abyasa.
Resi Abyasa pun berserah diri
atas apa yang akan terjadi padanya. Suara itu lalu menggema, mengajarkan ilmu
kesempurnaan kepada Resi Abyasa. Setelah semua pelajaran selesai, tiba-tiba
Resi Abyasa telah kembali ke alam nyata di mana Kyai Semar dan ketiga anaknya
menunggu. Tangan Resi Abyasa pun telah menggenggam sebuah kitab pula. Kyai
Semar mengenali kitab tersebut adalah Pustaka Kalimahusada, yang dahulu
tercipta dari jasad Prabu Kalimantara raja Nusahantara bersamaan dengan peristiwa
lahirnya Resi Satrukem, kakek buyut Resi Abyasa.
Kitab tersebut dulu tercipta
dalam keadaan kosong, dan kini tiba-tiba saja penuh dengan tulisan. Resi Abyasa
membaca halaman demi halaman pada kitab itu ternyata berisi ilmu kesempurnaan
yang tadi telah ia pelajari dari suara sang guru sejati di alam awang-uwung.
Resi Abyasa sangat bersyukur
atas segala karunia Tuhan Yang Mahakuasa pada dirinya. Kyai Semar menasihatinya
agar selalu rendah hati dan jangan sampai lupa diri. Resi Abyasa berterima
kasih lalu mengajak para panakawan melanjutkan perjalanan.
RESI ABYASA DAN RADEN
DURGANDANA MENGUNJUNGI DEWI WATARI
Sesampainya di Padepokan
Bimarastana yang terletak di Gunung Reksasrengga, Resi Abyasa dan para
panakawan disambut ramah oleh Dewi Watari beserta ketiga anak asuhnya, yaitu
Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala. Mendengar suaminya telah
moksa, naik ke alam baka, Dewi Watari merasa sangat prihatin sekaligus bangga.
Padahal sebulan yang lalu ayahnya, yaitu Resi Indradewa juga meninggal dunia,
kini Resi Parasara menyusul pula.
Tidak lama kemudian, Raden
Durgandana datang pula ke Padepokan Bimarastana setelah tugasnya menyebarkan
undangan kepada para raja sekutu Wirata selesai. Ia pun disambut ramah oleh
Dewi Watari bersama Resi Abyasa, Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden
Rajamala.
Raden Durgandana bercerita tentang
adanya ancaman serangan dari Prabu Bahlika raja Siwandapura. Untuk itu, ia
berniat menjadikan ketiga adik iparnya yang memiliki bakat kesaktian sejak
lahir, yaitu Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden Rajamala sebagai
punggawa di Kerajaan Wirata.
Mendengar hal itu, Dewi Watari
merasa terhormat karena ketiga putranya dianggap mampu meringankan beban
Kerajaan Wirata. Ia pun menyarankan agar Raden Kincaka, Raden Rupakincaka, dan
Raden Rajamala menerima tawaran Raden Durgandana tersebut. Raden Kincaka dan
Raden Rupakinca bersedia, sedangkan Raden Rajamala mengajukan syarat agar sang
ibu juga dibawa serta ke istana Wirata. Meskipun berwajah buruk rupa, namun
Raden Rajamala ini yang paling disayangi oleh Dewi Watari. Keduanya pun seolah tidak
dapat dipisahkan satu sama lain.
Raden Durgandana menerima
syarat yang diajukan Raden Rajamala tersebut. Lagipula Resi Indradewa juga sudah
meninggal sehingga akan lebih baik jika Dewi Watari ikut serta tinggal di
Kerajaan Wirata. Setelah dirasa cukup, mereka pun bersama-sama meninggalkan Gunung
Reksasrengga. Resi Abyasa juga ikut serta bersama mereka, sekaligus ia ingin
mengunjungi adiknya yang lain, yaitu Dewi Sudaksina, istri Raden Durgandana.
KERAJAAN WIRATA DISERANG PRABU
BAHLIKA
Sementara itu, pasukan
Siwandapura yang dipimpin langsung oleh Prabu Bahlika dan Raden Salwarukma
telah datang menyerbu Kerajaan Wirata. Prabu Wasupati pun menghadapi serangan tersebut
dengan didampingi Patih Wasita dan Aryaprabu Kistawa bersama bala bantuan dari sejumlah
kerajaan sekutu. Maka, terjadilah pertempuran besar antara kedua pihak yang
boleh dikatakan telah menjadi musuh bebuyutan.
Prabu Bahlika menyerbu
Kerajaan Wirata dengan alasan mengejar Patih Suganda. Padahal, tujuan utamanya
adalah untuk membalaskan kematian ayahnya (Prabu Pratipa) yang dulu gugur di
tangan Aryaprabu Kistawa (saat masih bernama Raden Basuketu). Kini, dendam
tersebut akhirnya dapat terbalaskan. Dalam pertempuran kali ini, Prabu Bahlika
berhasil menewaskan Aryaprabu Kistawa.
Patih Wasita yang sudah tua juga
gugur dalam peperangan karena kehabisan tenaga. Kini Prabu Bahlika bergerak
maju untuk menyerang Prabu Wasupati. Patih Suganda dan orang-orang Duhyapura
berusaha membantu namun mereka bukan tandingan raja Siwandapura tersebut.
Pada saat-saat genting itulah
muncul Raden Durgandana bersama Raden Kincaka, Raden Rupakinca, dan Raden
Rajamala yang langsung berperang di pihak Wirata untuk menghadapi pasukan
Siwandapura.
Raden Rupakinca dan Raden
Rajamala berhasil menyelamatkan Prabu Wasupati yang hampir saja tewas di tangan
Prabu Bahlika. Sementara itu, Raden Kincaka menyerang Prabu Bahlika dan akhirnya
berhasil menewaskan raja Siwandapura tersebut. Melihat ayahnya terbunuh, Raden
Salwarukma segera kabur meloloskan diri.
PATIH SUGANDA MEMBANGUN
KERAJAAN PANCALA
Prabu Wasupati sangat berterima
kasih atas pertolongan Raden Kincaka dan kedua adiknya. Mereka bertiga pun diangkat
sebagai punggawa Kerajaan Wirata dan mendapatkan hadiah berupa sebidang tanah
sebagai tempat tinggal, yang diberi nama Kincapura. Bersama-sama Dewi Watari,
mereka bertiga pun mulai saat itu tinggal di tempat tersebut. Sementara itu,
Resi Abyasa dan para panakawan mohon pamit kembali ke Gunung Saptaarga setelah
beberapa hari dijamu oleh Raden Durgandana dan Dewi Sudaksina.
Keadaan kini aman kembali. Patih
Suganda dan orang-orang Duhyapura ikut membantu memperbaiki Kota Wirata yang
rusak akibat peperangan. Sebagai ungkapan terima kasih, Prabu Wasupati memberikan
Hutan Pancala kepada mereka. Patih Suganda dan pengikutnya dipersilakan
membangun kerajaan baru di sana. Orang-orang Duhyapura itu sangat berterima
kasih atas anugerah yang diberikan Prabu Wasupati tersebut.
Singkat cerita, Patih Suganda
dan para pengikutnya telah mendirikan sebuah negeri baru di Hutan Pancala, yang
diberi nama Kerajaan Pancala. Patih Suganda pun menjadi raja di sana, bergelar
Prabu Gandabayu.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar