Kisah ini menceritakan kematian
Bagawan Santanu dan Prabu Citrawirya karena ulah pendeta raksasa bernama
Danghyang Anala. Kisah dilanjutkan dengan perkawinan Resi Abyasa dengan kedua
janda Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika, serta pelantikan
Resi Abyasa menjadi raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Kresna Dwipayana.
Kisah ini saya susun
berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi
Ranggawarsita, dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 21 Maret
2016
Heri Purwanto
------------------------------
ooo ------------------------------
Resi Abyasa |
PRABU CITRAWIRYA KAMBUH
PENYAKITNYA
Prabu Citrawirya di Kerajaan
Hastina sedang kambuh penyakitnya. Memang sejak kecil ia sudah sakit-sakitan,
tetapi kali ini keadaannya sangat parah. Tidak ada tabib ataupun dukun yang
dapat menyembuhkannya. Sudah belasan hari ia terbaring di tempat tidur,
sehingga tidak mampu memimpin jalannya pemerintahan. Hal ini membuat Bagawan
Santanu merasa harus meninggalkan Padepokan Talkanda untuk duduk kembali di
atas takhta demi mewakili putranya tersebut.
Demikianlah, pada suatu hari
Bagawan Santanu dihadap para menteri dan punggawa, antara lain Raden Bisma
Dewabrata, Patih Basusara, dan Resi Jawalagni. Ketika sedang membahas masalah
pemerintahan dan juga bagaimana mengusahakan pengobatan untuk Prabu Citrawirya,
tiba-tiba datang seorang raksasa bernama Patih Suksara yang mengaku diutus
rajanya, yaitu Prabu Dawaka dari Kerajaan Ekacakra untuk menyampaikan surat.
Bagawan Santanu membaca surat
tersebut ternyata berisi permintaan Prabu Dawaka yang ingin menikahi permaisuri
Prabu Citrawirya, yaitu Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Permintaan aneh tersebut
tentu saja ditolak Bagawan Santanu. Patih Suksara pun mengaku telah diberi
wewenang oleh Prabu Dawaka bahwa dirinya harus bisa membawa Dewi Ambika dan
Dewi Ambalika, baik itu melalui cara damai maupun cara perang. Bagawan Santanu
marah dan mempersilakan Patih Suksara menunggu di luar jika ingin berperang
melawan Kerajaan Hastina.
Patih Suksara pun undur diri.
Bagawan Santanu lalu memerintahkan putra sulungnya, yaitu Raden Bisma untuk
bersiaga mempersiapkan pasukan menghadapi tantangan pihak Ekacakra tersebut.
Raden Bisma menyembah mohon restu kemudian keluar melaksanakan perintah.
RADEN BISMA MEMUKUL MUNDUR
MUSUH DARI EKACAKRA
Patih Suksara yang kembali ke
pasukannya segera meminta pendapat panakawan Kyai Togog dan Bilung. Kedua
panakawan itu sebenarnya tidak menyetujui keinginan Prabu Dawaka yang ingin
merebut istri orang. Namun sayangnya, Prabu Dawaka tidak mempan dinasihati. Ia
sudah bertekad bulat ingin menikahi Dewi Ambika dan Dewi Ambalika hanya karena
pernah mimpi bertemu kedua putri tersebut.
Kini, keputusan sudah diambil
bahwa pihak Ekacakra akan berperang melawan Kerajaan Hastina. Untuk itu, Kyai
Togog dan Bilung menasihati agar Patih Suksara berhati-hati terutama menghadapi
Raden Bisma Dewabrata, putra tertua Bagawan Santanu. Menurut kabar yang
beredar, Raden Bisma memiliki kesaktian di atas rata-rata manusia karena ia
pernah berguru kepada Batara Ramaparasu.
Patih Suksara segera
memerintahkan pasukannya maju menyerang begitu melihat Raden Bisma keluar
bersama pasukan Hastina. Tidak lama kemudian pertempuran pun meletus di antara
kedua pihak. Lewat tengah hari, pihak Ekacakra mulai terdesak kalah. Melihat
para prajuritnya banyak yang tewas dan terluka, Patih Suksara pun memerintahkan
mereka yang masih hidup untuk mundur meninggalkan Kerajaan Hastina.
RESI ABYASA BERMIMPI BURUK
Sementara itu, Resi Abyasa di
Padepokan Ratawu di puncak Gunung Saptaarga bermimpi melihat Bagawan Santanu
dan Prabu Citrawirya naik perahu bersama mengarungi samudera, namun kemudian
perahu tersebut terbalik dan mereka pun tenggelam digulung ombak.
Resi Abyasa menceritakan
mimpinya itu kepada panakawan Kyai Semar. Menurut Kyai Semar, mimpi tersebut
adalah pertanda buruk yang mungkin akan menimpa Bagawan Santanu dan Prabu
Citrawirya. Resi Abyasa gugup mendengarnya dan lekas-lekas berangkat menuju Kerajaan
Hastina untuk menyampaikan hal ini. Perjalanannya pun disertai Kyai Semar, Nala
Gareng, Petruk, dan Bagong.
Namun demikian, perjalanan
Resi Abyasa agak terhambat karena di tengah jalan ia berpapasan dengan kawanan
raksasa dari Ekacakra yang terpisah dari induk pasukan Patih Suksara.
Terjadilah pertarungan di antara mereka, yang mana Resi Abyasa berhasil
menumpas seluruh prajurit raksasa tersebut.
PRABU DAWAKA MENDATANGI
KERAJAAN HASTINA
Prabu Dawaka, raja raksasa di
Kerajaan Ekacakra menerima kepulangan Patih Suksara yang melaporkan
kegagalannya merebut Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Prabu Dawaka sangat marah menyebut
Patih Suksara sebagai raksasa bodoh yang tidak becus bekerja.
Saat itu hadir pula guru dari
Prabu Dawaka yang bernama Danghyang Anala, seorang pendeta raksasa berilmu
tinggi. Ia menasihati Prabu Dawaka agar menenangkan diri. Memang Kerajaan
Hastina memiliki panglima perang andalan yang hebat, bernama Raden Bisma
Dewabrata, sehingga wajar jika Patih Suksara dapat dipukul mundur. Untuk itu,
lebih baik Prabu Dawaka mengurungkan niatnya untuk merebut kedua istri Prabu
Citrawirya.
Prabu Dawaka semakin marah.
Bagaimanapun juga ia merasa wajib untuk bisa mewujudkan mimpinya, yaitu
memperistri kedua putri dari Giyantipura tersebut. Ia pun mengajak Danghyang
Anala berangkat menculik Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Danghyang Anala tidak
mampu menolak keinginan muridnya itu. Mereka berdua lalu naik kereta, di mana
Patih Suksara diperintah untuk menjadi kusirnya.
KEMATIAN PRABU CITRAWIRYA DAN
BAGAWAN SANTANU
Patih Suksara memacu kereta
yang dinaiki Prabu Dawaka dan Danghyang Anala sekencang-kencangnya. Dalam waktu
yang tidak terlalu lama mereka telah sampai di Kerajaan Hastina. Prabu Dawaka
dan Patih Suksara menunggu di luar istana, sedangkan Danghyang Anala masuk
menyusup ke dalam.
Sesampainya di dalam kedaton,
Danghyang Anala melihat Prabu Citrawirya terbaring lemah dalam keadaan sakit
dengan ditunggui Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Tanpa banyak berpikir,
Danghyang Anala langsung membaca mantra dan dari mulutnya tiba-tiba keluar setitik
api sebesar kunang-kunang yang melayang dan masuk ke dalam ubun-ubun Prabu
Citrawirya. Seketika Prabu Citrawirya pun kejang-kejang dan meninggal dunia.
Rupanya Danghyang Anala telah melepaskan ilmu tenung untuk membunuh raja
Hastina tersebut.
Dewi Ambika dan Dewi Ambalika
menjerit menangisi kematian suami mereka. Danghyang Anala segera menyambar
kedua wanita itu dan membawanya lari keluar istana.
Namun demikian, suara tangisan
Dewi Ambika dan Dewi Ambalika sempat terdengar oleh Bagawan Santanu. Ia pun
berlari mengejar Danghyang Anala yang telah menculik kedua menantunya itu.
Danghyang Anala yang sudah sampai di luar istana segera menyerahkan Dewi Ambika
dan Dewi Ambalika kepada Prabu Dawaka untuk dinaikkan ke atas kereta, sedangkan
dirinya berbalik menghadang Bagawan Santanu.
Maka, terjadilah pertarungan
antara Bagawan Santanu melawan Danghyang Anala. Melihat kedua menantunya dibawa
kabur Prabu Dawaka, Bagawan Santanu menjadi lengah sehingga terkena senjata
Danghyang Anala. Mantan raja Hastina itu pun tewas seketika menyusul putranya.
KEMATIAN DANGHYANG ANALA DAN
PRABU DAWAKA
Raden Bisma mendengar
keributan dan segera mendatangi tempat pertarungan. Ia terkejut melihat ayahnya
sudah tergeletak di tanah karena melawan seorang pendeta raksasa. Tanpa banyak
bertanya ia langsung menyerang Danghyang Anala. Terjadilah pertarungan di antara
mereka. Danghyang Anala terdesak menghadapi Raden Bisma yang jauh lebih sakti
daripada Bagawan Santanu. Pendeta raksasa itu pun memilih kabur melarikan diri
menyusul Prabu Dawaka.
Sementara itu, kereta yang
ditumpangi Prabu Dawaka dihadang Resi Abyasa dan para panakawan yang sedang
dalam perjalanan menuju Kerajaan Hastina. Melihat Dewi Ambika dan Dewi Ambalika
menjerit-jerit meminta tolong, Resi Abyasa segera melabrak raja raksasa itu.
Terjadilah pertarungan di antara mereka yang berakhir dengan kematian Prabu
Dawaka dengan tubuh terkapar di atas kereta.
Tidak lama kemudian datang
pula Danghyang Anala yang dikejar Raden Bisma. Keduanya kembali melanjutkan
pertarungan. Kali ini Danghyang Anala tidak sempat kabur lagi. Pendeta raksasa
itu pun tewas terkapar di tanah terkena senjata Raden Bisma.
PATIH SUKSARA MENYATAKAN
TAKLUK
Patih Suksara yang bertindak
sebagai kusir kereta menyerahkan diri di hadapan Raden Bisma dan Resi Abyasa.
Ia memohon ampun dan mengaku hanyalah sebagai bawahan yang menjalankan tugas.
Raden Bisma pun mengampuni patih raksasa itu. Ia mempersilakan Patih Suksara
pulang ke Kerajaan Ekacakra dan menjadi raja di sana menggantikan Prabu Dawaka
yang sudah tewas, namun selamanya tidak boleh lagi mengganggu Kerajaan Hastina.
Patih Suksara berterima kasih dan bersumpah tidak akan pernah mengganggu
Kerajaan Hastina lagi. Ia lalu mohon diri sambil membawa jasad Prabu Dawaka dan
Danghyang Anala.
Setelah patih raksasa itu
pergi, Raden Bisma dan Resi Abyasa lalu membawa Dewi Ambika dan Dewi Ambalika
kembali ke istana Hastina.
RESI ABYASA MENJADI RAJA
HASTINA
Suasana duka pun menyelubungi
Kerajaan Hastina. Dewi Durgandini menangis meratapi kematian suami dan
putranya. Kini ia menyesali keserakahannya yang dulu melarang Raden Bisma
menjadi raja dan meminta hak atas takhta Hastina untuk diberikan kepada
putra-putranya. Kini kedua putranya telah meninggal. Prabu Citranggada telah
tewas dibunuh Gandarwa Citranggada, sedangkan Prabu Citrawirya meninggal
bersama Bagawan Santanu dibunuh Danghyang Anala.
Setelah masa berkabung usai,
diadakanlah perundingan untuk menentukan siapa yang harus menjadi raja Hastina
menggantikan Prabu Citrawirya. Dewi Durgandini yang merasa bersalah atas
keserakahan di masa lalu kini meminta Resi Bisma membatalkan sumpahnya supaya
bisa menjadi raja Hastina dan menikahi kedua janda Prabu Citrawirya. Dengan
demikian, garis keturunan Prabu Santanu tidak putus sampai di sini. Raden Bisma
menolak hal itu. Bagaimanapun juga ia telah bersumpah disaksikan bumi dan
langit untuk tidak akan menjadi raja Hastina serta tidak akan menikah seumur
hidup. Baginya, melanggar sumpah adalah dosa besar dan jauh lebih menakutkan
daripada mati.
Raden Bisma lalu mengusulkan
agar takhta Hastina dipegang Resi Abyasa sekaligus menikahi kedua janda Prabu
Citrawirya. Resi Abyasa keberatan karena dirinya adalah orang luar. Namun, Raden
Bisma tetap mendesaknya dengan berbagai alasan. Alasan pertama, Resi Abyasa
adalah putra kandung Dewi Durgandini, sedangkan dulu telah terjalin kesepakatan
bahwa yang berhak menjadi raja Hastina hanya keturunan Dewi Durgandini, bukan Raden
Bisma. Saat itu tidak dijelaskan apakah yang dimaksud dengan “keturunan Dewi
Durgandini” itu hanya terbatas pada hasil perkawinan dengan Prabu Santanu saja
atau tidak. Karena tidak dibatasi, maka Resi Abyasa juga berhak menjadi raja,
karena dia adalah putra Dewi Durgandini meskipun dengan Resi Parasara.
Alasan yang kedua, selama ini Bagawan
Santanu sudah menganggap Resi Abyasa seperti anak sendiri, sehingga tidak ada
salahnya jika Resi Abyasa menjadi raja menggantikan sang ayah. Alasan ketiga,
Resi Abyasa telah banyak berjasa kepada negara sehingga rakyat pasti tidak akan
keberatan jika ia menjadi pemimpin Kerajaan Hastina.
Demikianlah, terjadi
perdebatan alot antara Raden Bisma dengan Resi Abyasa. Akhirnya di antara
mereka tercapai kata sepakat. Resi Abyasa bersedia menjadi raja, namun hanya bersifat
sementara saja. Kelak jika putra hasil perkawinannya dengan Dewi Ambika atau Dewi
Ambalika telah dewasa, maka ia akan mengundurkan diri kembali menjadi pendeta
di Gunung Saptaarga. Syarat yang kedua, Raden Bisma harus bersedia mendampinginya
sebagai penasihat raja. Raden Bisma pun menerima kedua syarat tersebut dengan
senang hati.
Maka, pada hari yang dianggap
baik dilaksanakanlah upacara pernikahan antara Resi Abyasa dengan Dewi Ambika
dan Dewi Ambalika. Upacara tersebut kemudian dilanjutkan dengan pelantikan Resi
Abyasa sebagai raja Hastina yang baru, bergelar Prabu Kresna Dwipayana.
Sementara itu, Raden Bisma
dilantik menjadi penasihat raja yang berkedudukan di Padepokan Talkanda,
bergelar Resiwara Bisma. Adapun jabatan kepala brahmana Kerajaan Hastina tetap dipegang
oleh Resi Jawalagni. Sementara itu, Patih Basusara yang sudah tua mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai menteri utama. Ia pun digantikan oleh punggawa
yang paling cakap, bernama Arya Jayayatna sebagai patih Hastina yang baru.
------------------------------
TANCEB KAYON ------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar