Selasa, 05 Juli 2016

Kangsa Takon Bapa


Kisah ini menceritakan awal mula Raden Kangsa diterima sebagai putra Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura, serta kisah awal mula Prabu Jarasanda mendapatkan takhta Kerajaan Magada dengan jalan membunuh ayahnya sendiri yang bernama Prabu Wrehadrata.

Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Pustakaraja Purwa (Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang saya padukan dengan sumber kitab Mahabharata karya Resi Wyasa.

Kediri, 05 Juli 2016

Heri Purwanto

------------------------------ ooo ------------------------------

Raden Kangsa Dewa

JAKA MARUTA MENCARI TAHU SIAPA ORANG TUANYA

Pendeta raksasa Resi Anggawangsa di Gunung Rawisrengga sedang dihadap murid sekaligus anak asuhnya yang bernama Jaka Maruta. Hari itu Jaka Maruta telah berusia tiga belas tahun tetapi badannya gagah perkasa seperti pemuda umur dua puluh tahunan. Semua ilmu kesaktian yang diajarkan oleh Resi Anggawangsa pun telah tuntas dipelajari olehnya.

Hari itu Jaka Maruta memberanikan diri untuk bertanya kepada sang guru tentang siapa sebenarnya orang tua yang telah melahirkannya. Resi Anggawangsa pun bercerita bahwa belasan tahun yang lalu ada seorang raja raksasa bernama Prabu Gorawangsa dari Kerajaan Guagra yang jatuh cinta kepada Dewi Mahirah, istri Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura. Prabu Gorawangsa lalu menyamar menjadi Prabu Basudewa palsu dan mendatangi Dewi Mahirah, sehingga Dewi Mahirah pun mengandung olehnya. Dari kandungan tersebut lahirlah Jaka Maruta.

Mendengar itu, Jaka Maruta pun menyimpulkan bahwa ayah dan ibunya adalah Prabu Gorawangsa dan Dewi Mahirah sehingga ia pun mohon pamit untuk berangkat menemui mereka. Namun, Resi Anggawangsa melarangnya, karena Prabu Gorawangsa telah lama meninggal di tangan Aryaprabu Rukma, adik kandung Prabu Basudewa, sedangkan Dewi Mahirah juga telah meninggal di dalam hutan karena dihukum buang oleh Prabu Basudewa.

Mendengar itu, Jaka Maruta sangat marah dan ingin menggempur Kerajaan Mandura untuk membalas dendam. Resi Anggawangsa melarang muridnya tersebut berbuat nekat. Bagaimanapun juga ia hanya seorang diri tentu tidak akan sanggup menghadapi Prabu Basudewa beserta seluruh pasukannya. Alangkah baiknya, Jaka Maruta pergi ke Kerajaan Guagra untuk meminta bantuan kepada pamannya yang bernama Patih Suratimantra di sana.

NYAI JARA MENGUNJUNGI RESI ANGGAWANGSA BERSAMA ANAK ASUHNYA

Tidak lama kemudian datanglah seorang raksasi bernama Nyai Jara yang tidak lain adalah adik kandung Resi Anggawangsa. Nyai Jara ini datang berkunjung ke Gunung Rawisrengga dengan ditemani seorang pemuda bertubuh tinggi besar yang merupakan anak asuhnya, bernama Jaka Slewah.

Resi Anggawangsa yang sudah lama tidak bertemu adiknya itu merasa sangat rindu, sekaligus ia penasaran tentang asal usul Jaka Slewah. Nyai Jara pun bercerita bahwa dirinya menemukan Jaka Slewah sekitar dua puluh tahun yang lalu. Saat itu di tengah hutan, ia melihat Prabu Wrehadrata raja Magada sedang membuang dua potong bayi laki-laki. Setelah Prabu Wrehadrata pergi, Nyai Jara pun mendatangi dua potong bayi tersebut dan memungutnya. Sungguh ajaib, begitu dipungut oleh Nyai Jara dan diangkat ke atas, tiba-tiba dua potong bayi tersebut bersatu dan menjadi seorang bayi laki-laki yang utuh. Nyai Jara merasa sayang kepada bayi laki-laki tersebut dan berniat untuk mengasuhnya. Karena bayi laki-laki itu berasal dari dua potong yang disatukan, dan garis pemersatunya masih membekas, maka Nyai Jara pun memberinya nama, Jaka Slewah.

Kini, Jaka Slewah telah berusia dua puluh tahun dan telah mempelajari semua ilmu kesaktian yang diajarkan oleh ibu asuhnya. Ia pun berniat ingin pergi ke Kerajaan Magada untuk membalas perbuatan Prabu Wrehadrata yang telah membuangnya di hutan sejak bayi. Namun, Nyai Jara tidak tega jika putra asuhnya itu pergi sendiri. Maka, ia pun mengajak Jaka Slewah pergi ke Gunung Rawisrengga untuk meminta bantuan kepada sang kakak, yaitu Resi Anggawangsa.

Demikianlah kisah tentang asal usul Jaka Slewah. Mengetahui niat kedatangan Nyai Jara adalah untuk meminta bantuan kepadanya, Resi Anggawangsa mengaku keberatan. Ia merasa dirinya sudah tua, sudah tidak mampu lagi untuk pergi berperang. Namun, jika Jaka Slewah ingin meminta bantuan, maka ia boleh meminta tolong kepada muridnya yang bernama Jaka Maruta. Kebetulan Jaka Maruta adalah keponakan Patih Suratimantra dari Kerajaan Guagra. Tentunya pasukan raksasa dari Guagra dapat dimanfaatkan untuk membantu perjuangan Jaka Slewah melawan Prabu Wrehadrata. Namun demikian, jika Jaka Slewah sudah berhasil membalaskan dendamnya, maka ia harus ganti membantu Jaka Maruta menyerang Prabu Basudewa raja Mandura.

Jaka Slewah dan Nyai Jara menyetujui persyaratan dari Resi Anggawangsa. Setelah dirasa cukup, mereka berempat pun berangkat menuju Kerajaan Guagra.

JAKA MARUTA BERTEMU PATIH SURATIMANTRA

Resi Anggawangsa, Nyai Jara, Jaka Slewah, dan Jaka Maruta telah sampai di Kerajaan Guagra. Tampak di sana Patih Suratimantra sedang memimpin pertemuan yang dihadiri oleh segenap pasukan raksasa. Melihat kedatangan Resi Anggawangsa, Patih Suratimantra seketika teringat peristiwa tiga belas tahun yang lalu. Ketika itu ia hendak menguburkan jasad Dewi Mahirah yang telah meninggal di tengah hutan, namun tiba-tiba Resi Anggawangsa datang dan mengeluarkan bayi laki-laki dari dalam jenazah tersebut.

Patih Suratimantra pun menyambut Resi Anggawangsa dan rombongannya, lalu bertanya tentang keadaan putra yang dilahirkan Dewi Mahirah dulu. Resi Anggawangsa segera memperkenalkan bahwa Jaka Maruta di sampingnya adalah putra Dewi Mahirah yang kini telah tumbuh dewasa, meskipun usianya baru tiga belas tahun. Patih Suratimantra sangat bahagia dan langsung memeluk Jaka Maruta. Ia berkata bahwa sejak meninggalnya Prabu Gorawangsa, takhta Kerajaan Guagra dibiarkan kosong, karena hanya Jaka Maruta saja yang boleh mendudukinya. Kini ia pun mempersilakan Jaka Maruta menjadi raja Guagra dengan memakai gelar Prabu Kangsa Dewa, yaitu nama pemberiannya saat lahir dulu. Nama tersebut adalah singkatan dari nama Gorawangsa dan Basudewa. Maksudnya ialah, Raden Kangsa adalah putra Prabu Gorawangsa yang menyamar sebagai Prabu Basudewa.

Jaka Maruta terharu melihat kebaikan Patih Suratimantra kepada dirinya. Namun, ia menolak menduduki takhta Kerajaan Guagra sebelum bisa membalas dendam kepada Prabu Basudewa sekeluarga. Patih Suratimantra menyatakan siap membantu. Namun, Jaka Maruta menyarankan agar Patih Suratimantra terlebih dulu membantu sahabatnya yang bernama Jaka Slewah untuk menyerang Kerajaan Magada.

Karena Jaka Maruta yang meminta, maka Patih Suratimantra langsung menyatakan setuju. Ia segera mengumpulkan pasukan Guagra untuk bersiap menyerang Kerajaan Magada. Setelah dirasa cukup, Resi Anggawangsa dan Nyai Jara pun mohon pamit kembali ke Gunung Rawisrengga.

RIWAYAT PRABU WREHADRATA RAJA MAGADA

Kerajaan Magada memiliki ibu kota bernama Giribajra, tempat Prabu Wrehadrata bertakhta. Prabu Wrehadrata ini adalah putra sulung Prabu Wasupati, raja Wirata terdahulu. Saat itu Prabu Wasupati mendapatkan petunjuk dewata bahwa Raden Wrehadrata akan menurunkan raja angkara murka yang ingin menguasai dunia. Mendengar ramalan tersebut, Raden Wrehadrata merasa prihatin dan menyerahkan jabatannya sebagai putra mahkota kepada sang adik, yaitu Raden Durgandana. Raden Wrehadrata berniat keluar dari wilayah Kerajaan Wirata untuk selamanya agar ramalan dewata tersebut tidak pernah terjadi. Prabu Wasupati terharu melihat ketulusan putra sulungnya itu, dan ia pun memberikan Hutan Magada di kaki Gunung Cetiyaka kepada Raden Wrehadrata untuk dibuka menjadi kerajaan baru.

Demikianlah, Raden Wrehadrata membuka Hutan Magada menjadi sebuah negeri baru bernama Kerajaan Magada. Ia pun mengangkat diri sendiri sebagai raja di sana, bergelar Prabu Wrehadrata. Karena letak Kerajaan Magada berada di kaki Gunung Cetiyaka, maka ibu kota negeri baru tersebut pun diberi nama Giribajra. Sesuai janjinya, Prabu Wrehadrata tidak pernah datang lagi ke istana Wirata. Maka, ketika Prabu Wasupati meninggal dunia dan Raden Durgandana menggantikannya sebagai raja yang baru, bergelar Prabu Matsyapati, sama sekali Prabu Wrehadrata tidak hadir di Wirata, melainkan hanya mengirim doa dari kejauhan.

Prabu Wrehadrata memiliki dua orang permaisuri yang bernama Dewi Wikasi dan Dewi Warnasi. Keduanya bersedih karena sudah lama dinikahi Prabu Wrehadrata namun belum juga memiliki putra. Prabu Wrehadrata lalu bertapa di sanggar pemujaan selama berbulan-bulan supaya bisa memiliki keturunan. Hingga pada suatu hari Batara Narada turun dari kahyangan dan menyerahkan sebutir buah Mangga Pertanggajiwa sebagai sarana untuknya mendapatkan putra.

Karena rasa keadilannya, Prabu Wrehadrata pun membelah mangga tersebut menjadi dua. Yang setengah untuk Dewi Wikasi, dan yang setengah lagi untuk Dewi Warnasi. Setelah itu, Prabu Wrehadrata pun berhubungan badan dengan kedua istrinya, hingga keduanya sama-sama mengandung. Sungguh ajaib, setelah sembilan bulan berlalu, kedua istri tersebut melahirkan bayi laki-laki yang hanya setengah. Dewi Wikasi melahirkan potongan kiri, sedangkan Dewi Warnasi melahirkan potongan sebelah kanan. Keduanya pun menjerit ngeri ketakutan melihat apa yang telah mereka lahirkan sendiri.

Prabu Wrehadrata merasa sangat sedih. Ia pun membuang dua potongan bayi tersebut ke hutan. Kedua potongan bayi itulah yang kemudian dipungut oleh Nyai Jara dan disatukan menjadi bayi laki-laki utuh, bernama Jaka Slewah.

KEMATIAN PRABU WREHADRATA

Ketika Prabu Wrehadrata sedang memikirkan peristiwa dua puluh tahun silam tersebut, tiba-tiba datang Patih Jayakalana yang mengabarkan bahwa Kerajaan Magada hari ini diserang musuh dari Kerajaan Guagra. Mendengar itu, Prabu Wrehadrata segera mempersiapkan diri. Ia pun memimpin langsung pasukan Magada menghadapi serangan mendadak ini.

Pertempuran sengit pun terjadi antara kedua belah pihak. Jaka Slewah bertarung menghadapi Prabu Wrehadrata. Ia pun memperkenalkan diri sebagai dua potongan bayi yang dulu dibuang Prabu Wrehadrata dan kini telah bersatu di bawah asuhan Nyai Jara. Mengetahui siapa yang menjadi lawannya, Prabu Wrehadrata langsung membuang senjata. Ia pun menyatakan ikhlas jika Jaka Slewah ingin merebut takhta Kerajaan Magada dari tangannya.

Namun, Jaka Slewah sudah gelap mata karena hatinya dipenuhi oleh dendam. Ia pun mencekik Prabu Wrehadrata hingga sekarat. Tidak hanya itu, kedua tangannya lalu bergerak mengupas kulit ayahnya itu hidup-hidup. Prabu Wrehadrata akhirnya meninggal perlahan-lahan dalam penderitaan di tangan putranya sendiri.

Melihat rajanya tewas mengenaskan, Patih Jayakalana memilih kabur melarikan diri. Maka, Kerajaan Magada pun resmi jatuh ke tangan Jaka Slewah.

JAKA SLEWAH MENJADI PRABU JARASANDA

Jaka Slewah, Jaka Maruta, dan Patih Suratimantra berpesta merayakan kemenangan mereka. Kedua istri Prabu Wrehadrata, yaitu Dewi Wikasi dan Dewi Warnasi memilih bunuh diri menyusul sang suami. Jaka Slewah tidak peduli. Ia bahkan memerintahkan para prajurit untuk membuang jasad kedua ibu kandungnya itu ke hutan agar menjadi makanan binatang buas.

Jaka Slewah kini menduduki takhta Kerajaan Magada. Ia pun memakai gelar Prabu Jarasanda, untuk menghormati sang ibu asuh yang telah meyatukan kedua potongan tubuhnya, yaitu Nyai Jara. Sementara itu, Jaka Maruta juga mengganti namanya menjadi Raden Kangsa, untuk mengingat ayahnya, yaitu Prabu Gorawangsa.

Prabu Jarasanda masih saja belum puas telah membunuh Prabu Wrehadrata. Ia pun memerintahkan para prajurit untuk mengubah kulit ayahnya itu menjadi tambur dan meletakkannya di puncak Gunung Cetiyaka.

PRABU PANDU MENGALAHKAN PRABU JARASANDA

Sementara itu, Patih Jayakalana yang berhasil meloloskan diri dari Kerajaan Magada akhirnya sampai di Kerajaan Hastina. Ia menghadap Prabu Pandu Dewanata dan menyampaikan berita tentang gugurnya Prabu Wrehadrata. Prabu Pandu sangat prihatin dan mengajak Patih Gandamana untuk menghukum Jaka Slewah dan para pengikutnya, karena bagaimanapun juga Kerajaan Magada adalah sekutu Kerajaan Hastina.

Demikianlah, Prabu Pandu, Patih Gandamana, dan pasukan Hastina telah sampai di Kerajaan Magada. Prabu Jarasanda, Raden Kangsa, dan Patih Suratimantra segera mengerahkan pasukan menghadapi mereka. Pertempuran sengit pun terjadi. Patih Gandamana berhasil meringkus Patih Suratimantra, sedangkan Prabu Pandu berhasil mengalahkan Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa menggunakan Aji Pangrupak Jagad.

Kini, tubuh Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa dibenamkan di dalam tanah oleh Prabu Pandu hingga sebatas dada. Prabu Jarasanda menangis memohon ampun. Ia mengaku salah telah membunuh ayahnya sendiri karena dibutakan oleh dendam sejak kecil. Namun demikian, kini dirinya telah bertobat ingin menebus dosa besar tersebut.

Dasar watak Prabu Pandu yang mudah kasihan, ia pun mengangkat tubuh Prabu Jarasanda dan Raden Kangsa dari dalam tanah. Prabu Jarasanda lalu berlutut menyembah Prabu Pandu memohon pengampunan dan ia pun berjanji tidak akan pernah mengganggu Kerajaan Hastina seumur hidupnya. Prabu Pandu menerima janji tersebut. Ia pun mempersilakan Prabu Jarasanda tetap menjadi raja Magada, karena bagaimanapun juga Prabu Jarasanda adalah ahli waris sah Prabu Wrehadrata.

Setelah dirasa cukup, Prabu Pandu dan Patih Gandamana pun membawa pasukan kembali ke Kerajaan Hastina. Patih Jayakalana dan sebagian prajurit Magada yang tidak mau mengabdi kepada Prabu Jarasanda memutuskan untuk ikut bergabung mengabdi kepada Prabu Pandu Dewanata.

PRABU JARASANDA MENYUSUN RENCANA UNTUK RADEN KANGSA

Setelah Prabu Pandu pergi, Raden Kangsa bertanya mengapa Prabu Jarasanda sudi berlutut menyembah Prabu Pandu. Prabu Jarasanda pun menjelaskan bahwa dirinya hanya berpura-pura saja. Untuk menghadapi musuh sakti seperti Prabu Pandu tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan, tetapi harus bisa pula mengandalkan tipu muslihat. Ternyata dugaan Prabu Jarasanda benar. Prabu Pandu meskipun sakti dan perkasa namun mudah merasa kasihan dan mudah diperdaya, bahkan merestui dirinya tetap menjadi raja Magada.

Patih Suratimantra pun menjelaskan bahwa Prabu Pandu adalah adik ipar Prabu Basudewa raja Mandura, yaitu suami dari Dewi Kunti. Mendengar itu, Raden Kangsa merasa gentar. Jika dirinya meneruskan niat menyerang Kerajaan Mandura, tentu Prabu Pandu akan datang untuk membantu Prabu Basudewa. Dengan demikian, niatnya untuk membalas dendam akan hancur berantakan.

Prabu Jarasanda menyarankan agar Raden Kangsa menggunakan tipu muslihat saja untuk bisa mengalahkan Prabu Basudewa. Caranya, Raden Kangsa jangan mengaku sebagai putra Prabu Gorawangsa, tetapi mengakulah sebagai putra Prabu Basudewa. Kemudian Patih Suratimantra hendaknya datang menyerang Kerajaan Mandura dengan alasan ingin membalas kematian Prabu Gorawangsa. Saat itulah Raden Kangsa harus tampil sebagai pahlawan dengan cara menaklukkan Patih Suratimantra.

Raden Kangsa dan Patih Suratimantra menimbang-nimbang usulan Prabu Jarasanda. Mereka lalu menyatakan setuju. Patih Suratimantra pun menjelaskan tentang anggota keluarga Prabu Basudewa. Bahwa selain Dewi Kunti, masih ada dua adik Prabu Basudewa yang lainnya, yaitu Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena. Aryaprabu Rukma berwatak cerdik dan pandai, sedangkan Arya Ugrasena adalah yang paling sakti di antara mereka, namun mudah tersinggung dan kurang teliti.

Mendengar itu, Prabu Jarasanda pun menyarankan agar Raden Kangsa masuk ke dalam istana Mandura melalui Arya Ugrasena saja. Ia lantas menyusun rencana dan mengajarkan beberapa tipu muslihat kepada Raden Kangsa sebelum berangkat.

RADEN KANGSA MENGALAHKAN ARYA UGRASENA

Sesuai rencana yang disusun Prabu Jarasanda, maka Raden Kangsa pun masuk ke Kerajaan Mandura melalui Kesatrian Lesanpura. Begitu bertemu dengan Arya Ugrasena, ia langsung mengaku sebagai putra Dewi Mahirah yang dilahirkan di tengah hutan. Karena Dewi Mahirah adalah istri Prabu Basudewa, maka Raden Kangsa pun mengaku sebagai putra Prabu Basudewa pula.

Arya Ugrasena tidak percaya begitu saja. Raden Kangsa pun menantang pamannya itu berkelahi untuk membuktikan ucapannya. Keduanya lalu bertanding satu lawan satu. Dalam pertandingan itu Arya Ugrasena kalah dan mengakui kehebatan Raden Kangsa. Namun, Raden Kangsa telah diajari Prabu Jarasanda cara bertutur kata manis, sehingga tidak sampai mempermalukan Arya Ugrasena di hadapan para prajurit Lesanpura. Arya Ugrasena terkesan mendengar bujuk rayu Raden Kangsa, dan ia pun mengajak pemuda itu menemui Prabu Basudewa di istana.

RADEN KANGSA MENEMUI PRABU BASUDEWA

Prabu Basudewa di istana Mandura menerima kedatangan Arya Ugrasena dan Raden Kangsa. Hadir pula di sana Aryaprabu Rukma dan Patih Saragupita. Dalam pertemuan itu, Arya Ugrasena memperkenalkan Raden Kangsa adalah putra sulung Prabu Basudewa yang lahir di tengah hutan dari rahim Dewi Mahirah. Kini Dewi Mahirah telah meninggal dan berwasiat agar Raden Kangsa menemui ayahnya di istana Mandura.

Aryaprabu Rukma membantah keterangan tersebut. Ia meminta Prabu Basudewa agar tidak mudah percaya, karena Dewi Mahirah telah berselingkuh dengan Prabu Basudewa palsu, penjelmaan Prabu Gorawangsa. Bisa jadi, Raden Kangsa adalah anak hasil perselingkuhan tersebut. Mendengar itu, Raden Kangsa pura-pura mengeluh dan meratap sedih karena dirinya tidak dipercaya. Ia menyatakan lebih baik bunuh diri menyusul ibunya daripada ditolak oleh Prabu Basudewa.

Arya Ugrasena yang telah terperdaya segera membela Raden Kangsa. Ia pun menyatakan di hadapan semua orang, jika Prabu Basudewa tidak mau mengakui Raden Kangsa sebagai putra, maka biarlah dirinya saja yang menjadi ayah angkat bagi pemuda tersebut. Raden Kangsa pun berlutut menyembah kaki Arya Ugrasena dan memanggil ayah kepadanya. Ia benar-benar telah menguasai seni tipu muslihat sesuai yang telah diajarkan Prabu Jarasanda.

RADEN KANGSA PURA-PURA MENAKLUKKAN PATIH SURATIMANTRA

Setelah rencana pertama berjalan, Prabu Jarasanda pun mengerahkan rencana kedua, yaitu mengirim Patih Suratimantra dan pasukan Guagra untuk pura-pura menyerang Kerajaan Mandura. Demikianlah, saat Aryaprabu Rukma dan Arya Ugrasena berdebat untuk meyakinkan Prabu Basudewa, tiba-tiba datang serangan pasukan raksasa dari Kerajaan Guagra tersebut.

Arya Ugrasena selaku panglima perang Kerajaan Mandura segera menyiagakan pasukan untuk menghadang mereka. Pertempuran sengit pun meletus. Arya Ugrasena tampak terdesak menghadapi kekuatan Patih Suratimantra. Melihat ayah angkatnya kewalahan, Raden Kangsa segera turun tangan membantu. Ia bertarung dan bergulat melawan Patih Suratimantra. Sesuai rencana, Patih Suratimantra pun pura-pura kalah. Raden Kangsa lalu meringkus raksasa tersebut dan menghadapkannya kepada Prabu Basudewa.

PRABU BASUDEWA MENERIMA RADEN KANGSA SEBAGAI PUTRANYA

Prabu Basudewa bertanya mengapa Patih Suratimantra datang menyerang Kerajaan Mandura. Patih Suratimantra menjawab bahwa dirinya ingin membalas kematian kakaknya, yaitu Prabu Gorawangsa tiga belas tahun silam. Namun, kini ia merasa gagal dan memohon ampun karena ternyata Prabu Basudewa memiliki seorang jagoan hebat bernama Raden Kangsa.

Prabu Basudewa merasa serbasalah. Di satu sisi ia belum percaya kalau Raden Kangsa adalah anak kandungnya, namun di sisi lain ia merasa gentar dan ngeri melihat kesaktian pemuda gagah berusia tiga belas tahun tersebut. Akhirnya, ia pun mengampuni Patih Suratimantra dan mengakui Raden Kangsa sebagai putra.

Patih Suratimantra berterima kasih atas kebaikan hati Prabu Basudewa. Ia lalu mohon pamit pulang ke Kerajaan Guagra dan berjanji tidak akan pernah mengganggu Kerajaan Mandura lagi.

Setelah pasukan raksasa itu pergi, Prabu Basudewa pun menghadiahkan Kadipaten Sengkapura sebagai tempat tinggal Raden Kangsa. Raden Kangsa sangat berterima kasih dan mohon pamit untuk mulai memimpin daerah tersebut.

Setelah Raden Kangsa pergi, Aryaprabu Rukma langsung membuka pembicaraan. Ia mengingatkan Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena tentang ramalan Batara Narada tiga belas tahun yang lalu. Saat itu Batara Narada memerintahkan Prabu Basudewa untuk menyembunyikan putra-putrinya yang baru lahir, yaitu Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya di Desa Widarakandang agar mereka dididik dan ditempa menjadi pribadi-pribadi yang tangguh, sekaligus untuk menghindari ancaman munculnya putra hasil perselingkuhan Prabu Gorawangsa dan Dewi Mahirah. Aryaprabu Rukma yakin bahwa Raden Kangsa adalah putra yang diramalkan oleh Batara Narada tersebut.

Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena terkejut mendengarnya. Mereka mengaku benar-benar lupa terhadap ramalan itu. Apalagi melihat kesaktian Raden Kangsa dalam meringkus Patih Suratimantra telah membuat mereka kagum sekaligus ngeri. Namun, Prabu Basudewa dan Arya Ugrasena sudah terlanjur mengakui Raden Kangsa sebagai putra, tentunya tidak mungkin ucapan tersebut ditarik kembali. Satu-satunya jalan bagi mereka hanyalah berdoa semoga Raden Kakrasana, Raden Narayana, dan Dewi Bratajaya yang kini diasuh Buyut Antyagopa dan Nyai Sagopi selalu mendapatkan perlindungan dari dewata dan kelak mampu mengatasi masalah ini.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------




CATATAN : kisah Raden Kangsa diterima Prabu Basudewa ini terdapat dalam Pustakaraja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita dan disebutkan terjadi pada tahun Suryasengkala 691 yang ditandai dengan sengkalan “rupa rodra angoyak langit”, atau tahun Candrasengkala 712 yang ditandai dengan sengkalan “paksa anunggal paksi”. Sedangkan pertemuan Raden Kangsa dan Prabu Jarasanda adalah pengembangan dari saya, berdasarkan cerita dalam kitab Mahabharata.








1 komentar:

  1. Mas, request lakon yang ada matinya Jarasanda. Kalau tidak salah, "Sesaji Raja Suya" ya. Thanks

    BalasHapus