Sabtu, 23 Februari 2019

Boma Rabi



Kisah ini menceritakan tentang perkawinan antara Prabu Boma Narakasura dengan Dewi Agnyanawati yang ternyata jatuh cinta kepada Raden Samba Wisnubrata. Kisah ini menjadi awal dari Perang Gojalisuta.

Kisah ini saya olah dari sumber artikel pedhalangan di majalah Panjebar Semangat, dengan perubahan seperlunya.

Kediri, 23 Februari 2019

Heri Purwanto

Untuk daftar judul lakon wayang lainnya, silakan klik di sini

------------------------------ ooo ------------------------------

Prabu Boma Narakasura.

PRABU BOMA MEMINTA RESTU MENIKAH KEPADA PRABU KRESNA

Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa memimpin pertemuan dihadap Raden Partajumena, Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam pertemuan itu mereka membicarakan tentang putra mahkota, yaitu Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menginap di Astana Gandamadana. Prabu Kresna khawatir Raden Samba lupa pulang, mengingat Dewi Sugatawati saat ini sedang mengandung. Kurang sepuluh hari dari sekarang, Prabu Kresna berniat mengadakan upacara mitoni untuk menantunya tersebut.

Tiba-tiba datanglah putra yang lain, yaitu Prabu Boma Narakasura raja Trajutresna. Kedatangan Prabu Boma ialah untuk meminta restu kepada Prabu Kresna atas rencana pernikahannya dengan putri Prabu Krentagnyana raja Giyantipura yang bernama Dewi Agnyanawati. Meskipun Dewi Agnyanawati adalah keponakan Patih Pancadnyana, namun ia tidak langsung menerima pinangan Prabu Boma. Gadis itu mengajukan syarat dirinya bersedia menjadi istri Prabu Boma Narakasura asalkan diberi mas kawin berupa bunga kahyangan bernama Kembang Parijata.

Prabu Boma yang tidak pernah mengetahui adanya bunga tersebut segera menghadap Prabu Kresna untuk meminta petunjuk. Prabu Kresna berkata bahwa segala macam jenis bunga ada di Kahyangan Pustaka-kawedar yang dipimpin Batara Kuwera. Apabila Prabu Boma menginginkan bunga tersebut, hendaknya pergi ke sana dan meminta langsung kepada Batara Kuwera. Prabu Boma gembira menerima petunjuk tersebut. Ia lalu mohon pamit meninggalkan pertemuan.

Setelah Prabu Boma pergi, Prabu Kresna kembali membicarakan tentang Raden Samba. Ia lantas memerintahkan Raden Partajumena dan Arya Setyaki agar pergi ke Astana Gadamadana untuk menjemput pulang Raden Samba di sana. Raden Partajumena dan Arya Setyaki mohon pamit melaksanakan perintah. Prabu Kresna lalu membubarkan pertemuan dan masuk ke dalam kedaton.

PRABU BANAKATONG INGIN MENIKAHI DEWI AGNYANAWATI

Tersebutlah seorang raja dari negeri Pasirsegara yang bernama Prabu Banakatong. Beberapa tahun yang lalu ia pernah melamar Dewi Agnyanawati sebagai istrinya. Namun, saat itu Dewi Agnyanawati masih belum cukup umur, sehingga Prabu Krentagnyana belum bisa menerima pinangan tersebut. Prabu Banakatong bersedia menunggu Dewi Agnyanawati dewasa. Kini ia merasa waktunya telah tiba. Prabu Banakatong segera mempersiapkan pasukan dan berangkat menuju Kerajaan Giyantipura.

Dalam perjalanannya itu, rombongan Prabu Banakatong bertemu Raden Partajumena dan Arya Setyaki yang sedang dalam perjalanan menuju Astana Gandamadana untuk mencari Raden Samba. Terjadi perselisihan di antara mereka yang berlanjut dengan pertempuran. Raden Partajumena dan Arya Setyaki berdua saja menandingi pasukan Pasirsegara. Karena jumlah musuh terlalu banyak, lama-lama mereka terdesak juga. Raden Partajumena dan Arya Setyaki akhirnya meloloskan diri, mencari jalan lain menuju Astana Gandamadana.

RADEN ARJUNA BERTEMU RADEN PARTAJUMENA DAN ARYA SETYAKI

Raden Arjuna sang Panegah Pandawa saat itu sedang berkelana bersama para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Di tengah jalan mereka melihat beberapa raksasa dari Kerajaan Pasirsegara yang terpisah dari rombongan Prabu Banakatong. Para raksasa itu tampak sedang berbuat onar, mengganggu masyarakat pedesaan. Raden Arjuna pun turun tangan menumpas mereka.

Setelah semua raksasa itu terbunuh, tiba-tiba muncul Raden Partajumena dan Arya Setyaki yang sedang dalam perjalanan menuju Astana Gandamadana. Setelah saling memberi salam dan bertanya tujuan, Raden Arjuna merasa tertarik ingin ikut pergi ke Astana Gandamadana menjemput Raden Samba, mengingat Dewi Sugatawati adalah putrinya pula. Arya Setyaki dan Raden Partajumena mempersilakan, lalu mereka pun pergi bersama-sama.

PRABU BOMA MENDATANGI KAHYANGAN PUSTAKA-KAWEDAR

Sementara itu, Prabu Boma Narakasura yang didampingi Patih Pancadnyana serta para punggawa lainnya, seperti Ditya Yayahgriwa, Ditya Amisunda, Ditya Mahodara, dan Ditya Ancakogra telah sampai di Kahyangan Pustaka-kawedar. Batara Kuwera menyambut kedatangan mereka dan bertanya ada keperluan apa Prabu Boma datang ke tempatnya. Prabu Boma berkata bahwa dirinya ingin melihat wujud Kembang Parijata. Batara Kuwera pun mengantarkan Prabu Boma ke Taman Sugandika untuk memperlihatkan bunga tersebut.

Setelah melihat wujud bunga itu, Prabu Boma berkata terus terang bahwa ia ingin memiliki Kembang Parijata sebagai mas kawin untuk menikahi Dewi Agnyanawati. Batara Kuwera menjawab, bahwa dirinya mendapat pesan dari Batara Guru mengenai Kembang Parijata yang kelak hendaknya diberikan kepada putra Prabu Kresna. Prabu Boma berkata dirinya adalah putra Prabu Kresna, sehingga berhak mendapatkan bunga pusaka tersebut. Batara Kuwera tidak setuju, karena ia tahu jelas bahwa Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu, bukan putra Prabu Kresna. Meskipun Batara Wisnu sudah menitis ke dalam raga Prabu Kresna, tetap saja Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu.

Prabu Boma marah diperlakukan seperti ini. Ia pun mengamuk memaksa Batara Kuwera agar menyerahkan Kembang Parijata kepadanya. Batara Kuwera dengan tangkas menghadapi amukannya. Keduanya lalu bertarung sengit. Patih Pancadnyana dan para punggawa Trajutresna ikut maju menyerang Batara Kuwera. Batara Kuwera dengan gagah berani mampu menandingi mereka semua. Meskipun demikian, tetap saja ia hanya seorang diri yang dikeroyok raksasa sebanyak itu. Batara Kuwera lama-lama letih juga dan sebuah pukulan Prabu Boma membuat ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Prabu Boma kemudian menghampiri Kembang Parijata dan memetiknya. Pada saat itulah Batara Kuwera bangun dari pingsan dan langsung menghantam dada Prabu Boma menggunakan gada pusaka. Prabu Boma terpental hingga keluar kahyangan, sedangkan Kembang Parijata yang ada di tangannya ikut terlempar entah ke mana. Melihat itu, Patih Pancadnyana dan para punggawa raksasa segera mengejar, meninggalkan Kahyangan Pustaka-kawedar.

RADEN SAMBA MENERIMA KEMBANG PARIJATA

Di Astana Gandamadana, Resi Gunadewa dihadap adik kandungnya, yaitu Raden Samba Wisnubrata yang sudah satu bulan ini menginap di sana. Resi Gunadewa dan Raden Samba adalah putra Prabu Kresna yang lahir dari ibu yang sama, yaitu Dewi Jembawati. Kedua orang tua Dewi Jembawati adalah Resi Jembawan dan Dewi Trijata, yang keduanya dulu diangkat Prabu Basudewa menjadi juru kunci Astana Gandamadana, tempat Prabu Kuntiboja dimakamkan. Hingga kemudian Resi Jembawan dan Dewi Trijata mendapat permohonan dari Prabu Kresna untuk mengasuh Raden Gunadewa yang terlahir berbulu lebat seperti wanara. Sejak kecil Raden Gunadewa lebih banyak mengurung diri di dalam Astana Gandamadana, mempelajari kitab suci dan belajar meditasi. Hingga akhirnya setelah Resi Jembawan dan Dewi Trijata meninggal, ia pun menggantikan kedudukan kakek dan neneknya itu sebagai juru kunci astana.

Selama satu bulan ini Raden Samba menginap di Astana Gandamadana. Resi Gunadewa lama-lama merasa curiga. Raden Samba yang biasanya manja dan jarang keluar istana, mengapa kali ini bisa meninggalkan Kerajaan Dwarawati begitu lama. Akhirnya, ia pun bertanya ada masalah apa yang sebenarnya sedang dihadapi adiknya tersebut. Raden Samba bercerita bahwa sebulan yang lalu dirinya mimpi bertemu seorang putri berwajah cantik jelita. Sayangnya, belum sempat mengetahui nama gadis tersebut, ia terlanjur bangun dari tidur. Namun, sejak peristiwa itu rasa cintanya kepada sang istri, yaitu Dewi Sugatawati menjadi berkurang. Siang malam Raden Samba hanya membayangkan wajah gadis dalam mimpinya tersebut. Ia tidak peduli lagi pada Dewi Sugatawati yang sebentar lagi kandungannya berusia tujuh bulan.

Resi Gunadewa menasihati Raden Samba agar jangan terbuai pada mimpinya. Mimpi itu hanyalah bunga tidur belaka. Daripada sibuk memikirkan sesuatu yang tidak nyata, lebih baik menjaga dan merawat apa yang sudah di tangan, yaitu Dewi Sugatawati. Apalagi saat ini Dewi Sugatawati sedang hamil, sebentar lagi akan melahirkan keturunan untuk Raden Samba. Harusnya Raden Samba bersyukur, bukannya berandai-andai membayangkan perempuan lain yang belum tentu ada.

Raden Samba tersadarkan oleh nasihat kakaknya. Selama ini ia hanya memendam kegelisahan, tidak berani bercerita kepada ayah dan ibu. Baru kali ini ia menceritakan isi hatinya dan langsung mendapatkan pencerahan dari sang kakak.

Tiba-tiba dari angkasa turun melayang sekuntum bunga yang jatuh di pangkuan Raden Samba. Bunga tersebut tidak lain adalah Kembang Parijata yang terlempar dari Kahyangan Pustaka-kawedar.

PRABU BOMA MEMINTA KEMBANG PARIJATA

Tidak lama kemudian datanglah Raden Arjuna, Arya Setyaki, dan Raden Partajumena di Astana Gandamadana tersebut. Setelah saling memberi salam, Arya Setyaki pun menyampaikan pesan Prabu Kresna bahwa Raden Samba diminta untuk segera pulang, karena sepuluh hari lagi Dewi Sugatawati harus menjalani upacara mitoni, yaitu selamatan tujuh bulan usia kandungannya.

Belum sempat Raden Samba menjawab, Prabu Boma mendadak datang pula di tempat itu. Melihat Kembang Parijata ada di tangan Raden Samba, Prabu Boma segera meminta bunga tersebut agar diserahkan kepadanya, karena bunga itu adalah mas kawin untuk menikahi Dewi Agnyanawati. Tiba-tiba, datang pula Batara Kuwera yang menjelaskan bahwa Kembang Parijata hanya boleh dimiliki putra Prabu Kresna. Meskipun Prabu Boma memanggil Prabu Kresna sebagai ayah, tetap saja tidak masuk hitungan, karena sesungguhnya Prabu Boma adalah putra Batara Wisnu.

Prabu Boma marah dan menantang Batara Kuwera untuk melanjutkan pertarungan tadi. Raden Arjuna maju melerai. Ia menasihati Prabu Boma agar jangan menentang keputusan dewata. Jika dewa sudah menetapkan peraturan seperti itu, maka tidak baik apabila ada manusia menentangnya. Prabu Boma semakin marah dan melarang Raden Arjuna ikut campur. Sejak dulu ia tahu kalau pamannya itu tidak suka kepadanya. Ia pun menantang Raden Arjuna bertarung apabila memang ingin menggantikan Batara Kuwera.

Dasar watak Raden Arjuna yang mudah marah, ia pun melayani tantangan Prabu Boma. Keduanya lalu bertarung di halaman Astana Gandamadana tanpa ada yang bisa melerai. Setelah menyaksikan pertarungan mereka yang cukup lama tanpa ada kejelasan siapa yang menang atau kalah, Raden Samba akhirnya maju menengahi.

Raden Samba berkata kepada Batara Kuwera bahwa Kembang Parijata sudah menjadi miliknya, maka terserah dirinya digunakan untuk apa. Ia lalu menghampiri Prabu Boma dan menyerahkan bunga tersebut kepadanya. Prabu Boma sangat berterima kasih dan memeluk Raden Samba.

Karena tugasnya telah selesai, Batara Kuwera undur diri kembali ke kahyangan. Raden Arjuna merasa kecewa dan ikut pergi tanpa pamit, disertai para panakawan.

RADEN SAMBA INGIN MENYAKSIKAN PERNIKAHAN PRABU BOMA

Sebagai ungkapan rasa terima kasihnya, Prabu Boma pun mengajak Raden Samba sebagai saksi atas perkawinannya dengan Dewi Agnyanawati di Kerajaan Giyantipura. Raden Samba menerima undangan itu dengan senang hati. Arya Setyaki mengingatkan Raden Samba atas panggilan Prabu Kresna. Raden Samba menjawab, upacara mitoni Dewi Sugatawati masih sepuluh hari lagi. Saat ini yang ingin ia lakukan hanyalah menyaksikan perkawinan kakaknya.

Arya Setyaki dan Raden Partajumena lalu berunding membagi tugas. Arya Setyaki kembali ke Kerajaan Dwarawati untuk melapor kepada Prabu Kresna, sedangkan Raden Partajumena mengawal Raden Samba untuk mengingatkan pulang apabila acara pernikahan Prabu Boma telah selesai. Adapun Resi Gunadewa tetap tinggal di Astana Gandamadana karena ia tidak berani meninggalkan tugasnya tanpa seizin Prabu Kresna.

RADEN SAMBA BERTEMU MATA DENGAN DEWI AGNYANAWATI

Demikianlah, Prabu Boma telah berbusana pengantin diarak menuju Kerajaan Giyantipura. Raden Samba dan Raden Partajumena ikut di dalam rombongan, berbaur dengan para punggawa raksasa. Sesampainya di sana, mereka disambut Prabu Krentagnyana dan Dewi Sumirat, bersama anak gadis mereka, yaitu si calon mempelai wanita Dewi Agnyanawati. Betapa terkejut hati Raden Samba saat menyaksikan ternyata Dewi Agnyanawati adalah perempuan yang pernah dijumpainya di alam mimpi dan ia rindukan siang-malam.

Sebaliknya, Dewi Agnyanawati juga tergetar perasaannya sewaktu menyaksikan Raden Samba berjalan di samping Prabu Boma. Tampak Prabu Boma menyerahkan Kembang Parijata kepadanya. Dewi Agnyanawati menerima bunga tersebut dengan perasaan menyesal. Ia membayangkan andai saja Raden Samba yang menyerahkan bunga pusaka ini kepadanya, alangkah bahagia.

Karena persyaratan mas kawin sudah diwujudkan oleh Prabu Boma, maka pernikahan di antara mereka pun dimulai. Ketika upacara mencuci kaki dilaksanakan, ternyata Dewi Agnyanawati justru mencuci kaki Raden Samba. Semua orang pun terkejut melihatnya, terutama Raden Samba yang menahan malu bercampur bahagia. Dewi Sumirat buru-buru membetulkan posisi Dewi Agnyanawati agar membasuh kaki Prabu Boma.

SERANGAN PRABU BANAKATONG

Upacara pernikahan antara Prabu Boma dan Dewi Agnyanawati telah selesai dan kemudian dilanjutkan dengan pesta meriah. Kedua mempelai duduk di atas pelaminan menerima ucapan selamat dari para tamu dan undangan. Wajah Prabu Boma tampak ceria dengan senyum riang tak tertahankan, sedangkan Dewi Agnyanawati terlihat murung tidak bergairah. Sesekali Dewi Agnyanawati mencuri pandang ke arah Raden Samba, dan ketika pandangan mereka bertemu ada perasaan malu-malu bercampur bahagia tak terlukiskan.

Tiba-tiba pesta pernikahan tersebut berubah menjadi kacau karena Prabu Banakatong dan pasukan Pasirsegara datang menyerang untuk merebut Dewi Agnyanawati. Prabu Boma marah hendak menghadapi serangan tersebut. Namun, Raden Samba mencegahnya karena tidak baik seorang pengantin turun tangan seperti ini. Raden Samba lalu memberi isyarat kepada Raden Partajumena agar segera bertindak.

Maka, berangkatlah Raden Partajumena bersama Patih Pancadnyana dan para raksasa Trajutresna menghadapi amukan tersebut. Pertempuran terjadi di alun-alun Kerajaan Giyantipura. Raden Partajumena tampak menghadapi Prabu Banakatong. Keduanya pun bertarung sengit, hingga akhirnya Prabu Banakatong tewas di tangan Raden Partajumena.

Melihat rajanya gugur, pasukan Pasirsegara menjadi kocar-kacir. Ada yang mati terbunuh, ada yang melarikan diri, dan ada yang menyerah takluk. Keadaan akhirnya tenang kembali. Prabu Krentagnyana pun melanjutkan pesta pernikahan putrinya dan mempersilakan para tamu menikmati hidangan.

------------------------------ TANCEB KAYON ------------------------------

 

Catatan : Tokoh Prabu Banakatong adalah tambahan dari saya untuk meramaikan cerita.


Untuk kisah perkawinan Raden Samba dan Dewi Sugatawati bisa dibaca di sini.












6 komentar:

  1. Mas Heri saya sangat berterimakasih karena sudah mau menulis cerita wayang dalam bahasa Indonesia, saya orang suku Jawa yg tinggal di Lampung sudah tidak mengerti lagi tradisi Jawa. Setelah membawa semua cerita saya jadi makin penasaran bagaimana cerita ini berakhir. Kiranya mas Heri mau melanjutkan cerita Wayang ini sampai selesai.. Terimakasih banyak mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak sudah berkunjung. Mohon doanya semoga lancar kisah-kisah selanjutnya.

      Hapus
    2. semoga tetep sehat bang biar bisa tetep up ceritanya mantab

      Hapus
  2. Dukung terus kisah selanjutnya..

    BalasHapus
  3. Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
    dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
    WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    BalasHapus
  4. Nice info, thanks for share, oh ya saya mau berbagi, baru saja saya menemukan Video Viral tentang Hobby jadi Bisnis trus minum Kopi Terbaik sambil simak Media Kalteng baca tentang Paid Promote untuk Jual Akik Gambar buat modal usaha sablon kaos

    BalasHapus