Kisah ini menceritakan tentang Arya Wrekodara yang menyamar sebagai
raja bernama Prabu Tuguwasesa di Kerajaan Gilingwesi dan juga memerangi para
Kurawa di Kerajaan Hastina.
Kisah ini saya olah dan saya kembangkan dari sumber Serat Purwabharata
karya Ki Mardibudhi, dengan perubahan seperlunya.
Kediri, 10 November 2018
Heri Purwanto
------------------------------ ooo ------------------------------
RESIWARA BISMA MENCERITAKAN SEJARAH KERAJAAN GILINGWESI
Di Kerajaan Hastina, Prabu
Duryudana memimpin pertemuan yang dihadiri Danghyang Druna dari Sokalima, Patih
Sangkuni dari Plasajenar, dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Dalam
pertemuan itu hadir pula sesepuh kerajaan, yaitu Resiwara Bisma dari Padepokan
Talkanda. Kedatangan Resiwara Bisma adalah untuk menanyakan kebenaran berita
yang ia terima, bahwa Prabu Duryudana telah mengirim Adipati Karna untuk
menaklukkan Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Duryudana membenarkan
hal itu. Terus terang ia merasa kesal mendengar kabar bahwa raja Gilingwesi
memiliki nama yang mirip dengannya, yaitu Prabu Yudana. Adapun Prabu Yudana ini
baru saja naik takhta menggantikan ayahnya yang telah meninggal, bernama Prabu
Sudana. Karena tidak terima ada raja yang namanya mirip dengannya, Prabu
Duryudana pun mengirim Adipati Karna untuk menaklukkan Prabu Yudana dan menjadikan
Kerajaan Gilingwesi sebagai jajahan Kerajaan Hastina.
Resiwara Bisma menyayangkan
ulah Prabu Duryudana yang menyerang Kerajaan Gilingwesi hanya karena masalah
sepele seperti ini. Hanya karena nama yang mirip, mengapa harus mengorbankan
nyawa para prajurit? Andai saja Prabu Duryudana mengetahui sejarah Kerajaan
Gilingwesi, tentu penyerangan ini tidak akan terjadi. Resiwara Bisma mengatakan
bahwa Kerajaan Gilingwesi sesungguhnya adalah negeri luluhur para Kurawa dan
Pandawa. Itu artinya, menyerang Kerajaan Gilingwesi sama dengan menyerang
leluhur sendiri.
Prabu Duryudana tidak paham
dan memohon diberi tahu selengkapnya tentang sejarah Kerajaan Gilingwesi. Resiwara
Bisma pun bercerita, bahwa Kerajaan Gilingwesi awalnya bernama Kerajaan
Medang-gili, didirikan oleh Sri Maharaja Sunda yang merupakan penjelmaan Batara
Brahma. Kemudian ketika Batara Brahma turun ke dunia untuk yang kedua kalinya
dengan nama Sri Maharaja Budawaka, nama Kerajaan Medang-gili pun diubah menjadi
Kerajaan Gilingaya. Konon setelah itu Kerajaan Gilingaya pernah dipimpin oleh Sri
Maharaja Dewahesa yang merupakan penjelmaan Batara Rudra, yaitu kakak Batara
Guru. Hingga akhirnya ada keturunan Batara Rudra bernama Prabu Watugunung yang
memimpin negeri tersebut dan mengganti namanya menjadi Kerajaan Gilingwesi.
Pada masa kepemimpinan Prabu
Watugunung inilah, Kerajaan Gilingwesi mengalami masa kejayaan dan menjadi
kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Kebesarannya membuat Prabu Watugunung lupa
diri dan disusupi watak angkara murka. Ia akhirnya tewas dihukum mati Batara
Wisnu. Setelah peristiwa itu, Kerajaan Gilingwesi kembali dipimpin Batara
Brahma untuk yang ketiga kalinya, dengan gelar Prabu Brahmaraja.
Batara Brahma kemudian
digantikan putranya yang bernama Raden Brahmanisita, bergelar Prabu
Brahmanaraja. Lalu Prabu Brahmanaraja digantikan putranya yang bernama Prabu
Tritrusta. Setelah itu, Prabu Tritrusta digantikan putranya yang bernama Prabu
Parikenan. Prabu Parikenan ini adalah ayah dari Resi Manumanasa, yang merupakan
pendiri Padepokan Saptaarga, atau leluhur para Pandawa dan Kurawa.
Prabu Duryudana bertanya,
mengapa Resi Manumanasa tidak menjadi raja Gilingwesi menggantikan ayahnya.
Resiwara Bisma menjawab, Resi Manumanasa sejak kecil menjadi putra angkat Prabu
Basupati raja Wirata, dan lebih suka menjadi pendeta daripada menjadi raja.
Adapun Prabu Parikenan meninggal karena perang saudara melawan iparnya sendiri,
yaitu Prabu Srikala raja Medang-kamulan. Prabu Srikala ini tidak lain adalah
leluhur Dewi Gandari dan Patih Sangkuni.
Setelah Prabu Parikenan
meninggal, Kerajaan Gilingwesi kosong selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya
raja Wirata yang bernama Prabu Basukiswara (cucu Prabu Basupati) memberikan
negeri tersebut kepada seorang punggawa yang berjasa untuk menjadi raja di
sana. Punggawa itu bergelar Prabu Danadewa, yang merupakan leluhur dari Prabu
Yudana yang saat ini bertakhta.
Prabu Duryudana menerima
penjelasan Resiwara Bisma dengan seksama. Ia baru paham ternyata Kerajaan
Gilingwesi masih memiliki sangkut-paut dengan dirinya. Hal ini justru membuat
Prabu Duryudana semakin yakin bahwa tindakannya menaklukkan Kerajaan Gilingwesi
sudah benar. Prabu Parikenan adalah leluhurnya dari pihak ayah, sedangkan Prabu
Srikala adalah leluhurnya dari pihak ibu. Oleh sebab itu, ia merasa lebih
berhak menjadi penguasa Kerajaan Gilingwesi daripada Prabu Yudana.
Patih Sangkuni membenarkan
ucapan Prabu Duryudana. Kerajaan Gilingwesi saat ini hanyalah sebuah negara
kecil, namun dahulu kala pernah menjadi negara adikuasa saat dipimpin Prabu
Watugunung. Oleh sebab itu, dengan kalahnya Kerajaan Gilingwesi dan menjadi
jajahan Kerajaan Hastina, maka wibawa Prabu Duryudana tentu semakin besar dan tentunya
semakin disegani pihak kawan maupun lawan.
Resiwara Bisma kecewa melihat sikap
Prabu Duryudana yang hanya menuruti nafsu keserakahan diri sendiri, apalagi ditambah
hasutan Patih Sangkuni. Ia pun pamit undur diri kembali ke Padepokan Talkanda.
KERAJAAN HASTINA GANTI DISERANG KERAJAAN GILINGWESI
Tidak lama kemudian tiba-tiba
muncul seorang pria yang mengaku bernama Raden Antawasesa menghadap Prabu
Duryudana. Ia mengaku sebagai putra Prabu Tuguwasesa raja Gilingwesi yang
diutus ayahnya itu untuk menurunkan Prabu Duryudana dari takhta Kerajaan
Hastina. Prabu Duryudana heran mendengar penuturan laki-laki itu. Yang ia tahu
raja Gilingwesi bernama Prabu Yudana, dan itu pun sudah dikalahkan Adipati
Karna.
Raden Antawasesa menjawab
memang benar demikian. Raja Gilingwesi bernama Prabu Yudana memang telah
dikalahkan Adipati Karna utusan Prabu Duryudana. Namun, Prabu Yudana berhasil melarikan
diri ke hutan hingga akhirnya bertemu Prabu Tuguwasesa dan Raden Antawasesa.
Kedua orang itu bersedia memberikan bantuan kepada Prabu Yudana. Raden
Antawasesa lalu berangkat mengalahkan Adipati Karna dan memasukkannya ke dalam
penjara. Kerajaan Gilingwesi pun kembali ke tangan Prabu Yudana. Namun, Prabu
Yudana menyerahkan takhta kepada Prabu Tuguwasesa, sedangkan dirinya ikhlas
turun jabatan menjadi patih.
Prabu Duryudana marah
bercampur tidak percaya. Ia tidak yakin Adipati Karna telah dikalahkan dan
Kerajaan Gilingwesi telah direbut Prabu Tuguwasesa. Raden Antawasesa berkata
ayahnya tidak hanya merebut Kerajaan Gilingwesi, namun sebentar lagi juga akan
merebut Kerajaan Hastina. Adapun Prabu Tuguwasesa saat ini sudah menunggu di
luar bersama Patih Yudana.
Prabu Duryudana semakin marah
dan mengusir Raden Antawasesa pergi. Raden Antawasesa pun melangkah keluar dan
menantang Prabu Duryudana untuk bertempur di alun-alun.
PRABU TUGUWASESA MEREBUT KERAJAAN HASTINA
Prabu Duryudana memerintahkan Patih
Sangkuni dan para Kurawa untuk menghadapi serangan Kerajaan Gilingwesi. Perang
pun terjadi antara kedua pihak. Raden Antawasesa ternyata sangat sakti. Seorang
diri ia mampu menangkap semua Kurawa, antara lain Arya Dursasana, Raden
Srutayu, Raden Durmagati, Raden Kartawarma, termasuk pula Adipati Jayadrata dan
Bambang Aswatama semua menjadi tawanannya.
Melihat adik-adiknya
tertangkap, Prabu Duryudana segera ikut maju perang. Prabu Tuguwasesa pun
menghadapinya. Ternyata yang bernama Prabu Tuguwasesa memiliki tubuh tinggi
besar dan juga kekuatannya sangat dahsyat. Setelah bertarung cukup lama, Prabu
Duryudana dibuat babak belur dan jatuh terjungkal. Patih Sangkuni yang berusaha
menolong pun dapat diringkus oleh Raden Antawasesa yang cekatan.
Melihat pihaknya sudah kalah,
Prabu Duryudana memilih kabur melarikan diri. Sementara itu, Danghyang Druna
mohon ampun dan menyerahkan diri kepada Prabu Tuguwasesa. Ia bersedia menerima
hukuman apa saja dari raja Gilingwesi tersebut. Namun, Prabu Tuguwasesa justru memperlakukannya
dengan hormat. Ia menyatakan hendak mengangkat Danghyang Druna sebagai pendeta agung
Kerajaan Gilingwesi. Danghyang Druna terkejut namun tidak berani membantah. Ia
pun mematuhi keputusan Prabu Tuguwasesa itu.
Prabu Tuguwasesa beserta Patih
Yudana dan Danghyang Druna pun kembali ke Kerajaan Gilingwesi, sedangkan Raden
Antawasesa dipersilakan untuk menghukum Patih Sangkuni si tukang hasut. Raden
Antawasesa dengan senang hati melakukannya. Ia pun menelanjangi Patih Sangkuni
dan mengaraknya keliling ibu kota Kerajaan Hastina, menjadi tontonan segenap
rakyat.
PRABU DURYUDANA MEMINTA BANTUAN KEPADA PRABU BALADEWA
Sementara itu di Kerajaan
Dwarawati, Prabu Kresna Wasudewa sedang menerima kunjungan sang kakak, yaitu
Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura. Tiba-tiba datang pula Prabu Duryudana
dengan pakaian acak-acakan menemui mereka. Ia bercerita bahwa Kerajaan Hastina kini
telah direbut musuh bernama Prabu Tuguwasesa dari Kerajaan Gilingwesi. Karena
kalah perang, Prabu Duryudana pun pergi ke Kerajaan Mandura untuk meminta
bantuan Prabu Baladewa. Akan tetapi, menurut kabar dari Dewi Erawati, ternyata
Prabu Baladewa sedang berkunjung ke Kerajaan Dwarawati. Maka, berangkatlah
Prabu Duryudana menyusul Prabu Baladewa ke sana.
Prabu Baladewa sangat marah
mendengar penuturan Prabu Duryudana. Tanpa pikir panjang ia pun bergegas pergi mencari
keberadaan Prabu Tuguwasesa. Prabu Duryudana merasa gembira dan ia pun
mengikuti kepergian kakak iparnya tersebut.
Tidak lama kemudian muncul
Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca menghadap Prabu Kresna. Mereka datang untuk
meminta petunjuk atas hilangnya tiga dari lima Pandawa. Mula-mula Prabu
Puntadewa dan Raden Arjuna menghilang, lalu disusul kemudian Arya Wrekodara
juga ikut menghilang. Untuk sementara ini, Kerajaan Amarta dipimpin oleh Raden
Nakula dan Raden Sadewa. Mereka memerintahkan Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca
untuk pergi mencari ketiga Pandawa tersebut. Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca segera
pergi ke Kerajaan Dwarawati untuk meminta petunjuk kepada Prabu Kresna.
Prabu Kresna mengheningkan
cipta sejenak, lalu ia mengajak Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca untuk
menyusul kepergian Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana. Rupanya ia mendapat
petunjuk bahwa hilangnya ketiga Pandawa tersebut ada hubungannya dengan
kemunculan Prabu Tuguwasesa yang kini memimpin Kerajaan Gilingwesi.
PRABU BALADEWA MENGHADAPI PRABU TUGUWASESA
Sementara itu, Prabu Baladewa dan
Prabu Duryudana yang hendak melabrak Prabu Tuguwasesa di Kerajaan Hastina,
ternyata bertemu dengan orang itu di tengah jalan. Prabu Tuguwasesa tampak
sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Gilingwesi bersama Patih Yudana dan
Danghyang Druna.
Prabu Duryudana bertanya
mengapa Prabu Tuguwasesa meninggalkan Kerajaan Hastina. Prabu Tuguwasesa
menjawab, mulai sekarang keadaan terbalik. Kerajaan Gilingwesi tidak lagi
menjadi jajahan Kerajaan Hastina, tetapi justru Kerajaan Hastina yang menjadi
bawahan Kerajaan Gilingwesi. Prabu Duryudana dilorot jabatannya menjadi adipati,
dan setiap tahun harus menyerahkan upeti kepada Prabu Tuguwasesa.
Prabu Baladewa sangat marah
mendengar ucapan tersebut. Ia pun maju menantang Prabu Tuguwasesa karena
dirinya kini menjadi wakil Prabu Duryudana dalam menyelesaikan masalah ini.
Prabu Tuguwasesa mengejek Prabu Baladewa yang merupakan saudara tua tetapi
menjadi pesuruh adik iparnya. Prabu Baladewa semakin marah dan ia pun menerjang
Prabu Tuguwasesa. Maka, terjadilah pertarungan di antara mereka. Namun, Prabu
Tuguwasesa terlihat hanya menangkis dan menghindar, sama sekali tidak
menyerang. Padahal sewaktu di Kerajaan Hastina, ia telah menghajar Prabu
Duryudana hingga jatuh terjungkal mencium tanah.
Meskipun pihak lawan tidak
pernah balas menyerang, tetap saja Prabu Baladewa kesulitan mengalahkan Prabu
Tuguwasesa. Karena habis kesabaran, Prabu Baladewa akhirnya mengeluarkan
senjata Nanggala untuk membunuh Prabu Tuguwasesa. Pada saat itulah Raden
Antawasesa muncul dan langsung menangkap ujung Nanggala. Dengan kekuatannya, ia
menghentakkan senjata itu hingga membuat Prabu Baladewa terjungkal dan jatuh
pingsan. Raden Antawasesa lalu mengikat Prabu Baladewa sebagai tawanan,
sekaligus dengan Patih Sangkuni dan para Kurawa yang dimuatnya dalam pedati
besar.
Pada saat itulah Prabu Kresna
datang bersama Raden Abimanyu dan Arya Gatutkaca. Melihat ulah Raden Antawasesa
yang menyekap Prabu Baladewa, Arya Gatutkaca hendak maju menolong. Namun, Prabu
Kresna segera mencegahnya. Arya Gatutkaca dan Raden Abimanyu tidak boleh
bertindak apabila tidak ada perintah darinya.
Raden Antawasesa tampak menantang
Prabu Duryudana apabila ingin membebaskan para tawanan hendaknya datang
menyerahkan diri ke Kerajaan Gilingwesi. Prabu Tuguwasesa diam saja pertanda ia
mendukung ucapan putranya itu. Prabu Duryudana meminta bantuan kepada Prabu
Kresna, namun Prabu Kresna justru mengajaknya pergi meninggalkan tempat itu.
PRABU KRESNA MENOLAK MEMBANTU PRABU DURYUDANA
Prabu Duryudana terpaksa
mengikuti Prabu Kresna yang melangkah pergi bersama Raden Abimanyu dan Arya
Gatutkaca. Prabu Duryudana bertanya apakah Prabu Kresna tidak malu disebut pengecut
karena tidak berani menghadapi Prabu Tuguwasesa dan Raden Antawasesa. Prabu
Kresna menjawab dirinya santai saja disebut pengecut. Kalau memang ia
ditakdirkan bukan menjadi lawan Prabu Tuguwasesa dan Raden Antawasesa, maka
tidak ada gunanya bertarung dengan mereka.
Prabu Duryudana merasa gagal
menghasut Prabu Kresna. Ia lalu memohon kepada Prabu Kresna agar sudi membantunya
mengalahkan Prabu Tuguwasesa. Namun, Prabu Kresna dengan tegas menolak permohonan
itu karena dirinya tidak ditakdirkan menjadi lawan Prabu Tuguwasesa. Prabu
Duryudana lalu bertanya, siapakah orang yang menjadi lawan Prabu Tuguwasesa?
Prabu Kresna menjawab, apabila ingin mengetahui siapa orangnya, maka Prabu
Duryudana harus mengikuti perjalanannya tanpa membantah. Prabu Duryudana yang
merasa tidak punya pilihan lain terpaksa mematuhi.
PRABU KRESNA BERTEMU BAGAWAN DARMAJATI
Prabu Kresna, Prabu Duryudana,
Raden Abimanyu, dan Arya Gatutkaca berjalan lumayan jauh hingga akhirnya
bertemu seorang pendeta dan pengikutnya. Pendeta itu bernama Bagawan Darmajati,
sedangkan pengikutnya bernama Putut Panjangjiwa. Setelah saling memberi salam,
Prabu Kresna pun berterus terang meminta bantuan Bagawan Darmajati untuk
mengalahkan Prabu Tuguwasesa yang telah mengusir Prabu Duryudana dari Kerajaan
Hastina.
Bagawan Darmajati berkata,
Prabu Duryudana dahulu bisa menjadi raja di Hastina karena menggunakan cara
licik, yaitu membakar para Pandawa di dalam Balai Sigala-gala. Meskipun para
Pandawa selamat dan tidak menaruh dendam, namun hukum karma tetap berlaku. Kini
giliran Prabu Duryudana yang harus merasakan bagaimana terusir dari negaranya
sendiri.
Prabu Duryudana tertunduk
malu. Ia pun mengancam hendak bunuh diri daripada dipermalukan oleh Prabu
Tuguwasesa seperti ini. Bagawan Darmajati yang berwatak welas asih tidak
mungkin membiarkan kematian di depan mata. Maka, ia pun menyanggupi permintaan
Prabu Kresna untuk mengalahkan Prabu Tuguwasesa.
PRABU TUGUWASESA MENGHADAPI PARA PENANTANGNYA
Singkat cerita, rombongan
Prabu Kresna telah sampai di Kerajaan Gilingwesi. Prabu Tuguwasesa, Patih
Yudana, dan Raden Antawasesa segera keluar menghadapi mereka. Prabu Kresna
berkata, dirinya telah mendapatkan jago untuk menghadapi Prabu Tuguwasesa. Jago
tersebut adalah Bagawan Darmajati dan Putut Panjangjiwa yang berdiri di
belakangnya. Apabila kedua jago ini menang, maka Prabu Tuguwasesa harus
membebaskan semua tawanan dan memerdekakan Kerajaan Hastina dari penjajahan
Kerajaan Gilingwesi.
Prabu Tuguwasesa sepakat,
namun ia kecewa karena kedua jago yang dibawa Prabu Kresna hanyalah para
laki-laki kurus, mana bisa mengalahkan dirinya yang gagah perkasa? Bagawan
Darmajati pun memberi isyarat agar Putut Panjangjiwa maju lebih dulu. Putut
Panjangjiwa mematuhi dan segera menantang Prabu Tuguwasesa bertanding.
Raden Antawasesa berkata,
sebelum menghadapi ayahnya, maka Putut Panjangjiwa harus bisa mengalahkan
dirinya terlebih dulu. Melihat itu, Prabu Kresna segera memberi isyarat kepada
Arya Gatutkaca untuk bertindak. Arya Gatutkaca sudah lama menunggu perintah
ini. Dengan senang hati ia pun terbang menyambar Raden Antawasesa agar tidak
mengganggu jalannya pertandingan.
Prabu Tuguwasesa sendiri telah
menerima tantangan Putut Panjangjiwa. Keduanya lalu memulai pertandingan. Mereka
pun bertarung sengit, saling menyerang dan saling berusaha menjatuhkan lawan.
Meskipun berbadan kurus, namun Putut Panjangjiwa dapat bergerak gesit seperti
angin untuk mengimbangi kekuatan Prabu Tuguwasesa yang bertubuh tinggi besar.
RADEN ANTAWASESA KEMBALI KE WUJUD ASAL
Sementara itu, Arya Gatutkaca
tampak terdesak menghadapi kesaktian Raden Antawasesa yang ternyata sulit
dikalahkan. Serangan-serangannya yang dahsyat dapat ditangkis semua oleh lawannya
itu. Hingga akhirnya, Arya Gatutkaca dapat dipukul mundur oleh serangan balasan
dari Raden Antawasesa.
Pada saat Arya Gatutkaca
mundur untuk mengambil napas, tiba-tiba muncul kakak sulungnya, yaitu Raden
Antareja di tempat itu. Rupanya Raden Antareja juga mendapatkan perintah dari
Raden Nakula dan Raden Sadewa untuk pergi mencari hilangnya ketiga Pandawa. Raden
Antareja pun meminta petunjuk kakeknya, yaitu Batara Anantaboga di Kahyangan
Saptapratala. Ternyata Batara Anantaboga mengatakan bahwa ketiga Pandawa akan
muncul di Kerajaan Gilingwesi.
Raden Antareja pun tiba di
wilayah Kerajaan Gilingwesi dan melihat Arya Gatutkaca sedang terengah-engah
seperti baru saja kalah bertarung. Sebaliknya, Arya Gatutkaca merasa sangat
gembira karena bala bantuan telah datang. Ia pun menemukan akal dan segera berbisik
kepada Raden Antareja tentang bagaimana cara untuk mengalahkan musuhnya yang
bernama Raden Antawasesa. Raden Antareja menimbang-nimbang, lalu ia pun setuju menjalankan
rencana tersebut.
Maka, dengan penuh semangat,
Arya Gatutkaca terbang menemui Raden Antawasesa untuk melanjutkan pertarungan.
Keduanya kembali terlibat baku hantam dengan sengitnya. Kali ini Arya Gatutkaca
lebih percaya diri karena ada Raden Antareja yang siap membantu. Serangannya
pun lebih gencar daripada tadi. Namun, serangan kali ini hanyalah pancingan
belaka. Ketika Raden Antawasesa lengah, Arya Gatutkaca melesat terbang ke
angkasa, sedangkan dari dalam tanah tiba-tiba menyembul keluar Raden Antareja
yang langsung menyemburkan bisa panas ke arah dada Raden Antawasesa.
Raden Antawasesa tidak menduga
mendapat serangan mendadak dari dalam tanah. Ia pun tidak sempat menghindar,
sehingga dadanya terkena semburan bisa Raden Antareja. Akibat semburan tersebut,
tiba-tiba wujud Raden Antawasesa musnah dan berubah menjadi Raden Antasena.
Raden Antareja dan Arya
Gatutkaca heran melihat pihak lawan ternyata adik mereka sendiri. Kini mereka pun
maklum mengapa Raden Antawasesa mampu mengalahkan Prabu Baladewa, Adipati Karna,
dan juga para Kurawa. Hal itu karena Raden Antawasesa adalah penjelmaan Raden
Antasena yang memang memiliki kesaktian luar biasa.
Raden Antasena pun meminta
maaf atas pertarungan tadi. Pada dasarnya ia tidak memiliki dendam dan hanya
ingin mengajak Arya Gatutkaca main-main. Arya Gatutkaca memaafkan adiknya itu
dan mereka lalu bersama-sama menemui Prabu Kresna.
PRABU TUGUWASESA KEMBALI KE WUJUD ASAL
Sementara itu, Prabu
Tuguwasesa masih bertanding melawan Putut Panjangjiwa. Setelah bertarung cukup
lama akhirnya Prabu Tuguwasesa dapat menangkap tubuh lawannya itu dan
melemparkannya hingga membentur pohon beringin di alun-alun Kerajaan
Gilingwesi. Begitu membentur pohon tersebut, wujud Putut Panjangjiwa tiba-tiba
musnah dan berubah menjadi Raden Arjuna.
Bagawan Darmajati lega melihat
Raden Arjuna tidak terluka. Ia kemudian maju menghadapi Prabu Tuguwasesa. Prabu
Tuguwasesa pun menantangnya bertarung satu lawan satu. Namun, Bagawan Darmajati
berkata tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan. Usai berkata
demikian, Bagawan Darmajati segera membuka jubah dan ia pun kembali ke wujud
aslinya, yaitu Prabu Puntadewa.
Melihat kenyataan ini, Prabu
Tuguwasesa segera ikut membuka pakaian. Ternyata ia adalah penjelmaan Arya
Wrekodara. Keduanya lalu berpelukan erat, sedangkan Prabu Kresna tampak tersenyum-senyum
seolah sudah mengetahui akan berakhir seperti ini.
KERAJAAN GILINGWESI MENJADI BAWAHAN KERAJAAN AMARTA
Arya Wrekodara menyatakan
dirinya bersedia membebaskan semua tawanan asalkan Prabu Duryudana berjanji
tidak akan mengganggu Kerajaan Gilingwesi untuk selamanya. Tanpa banyak
membantah, Prabu Duryudana menyatakan setuju, yang penting dirinya bisa kembali
menjadi raja sepenuhnya di Kerajaan Hastina. Karena kesepakatan sudah
ditandatangani, Raden Antasena pun membuka pintu penjara dan mengeluarkan semua
tawanan, yaitu Prabu Baladewa, Adipati Karna, Patih Sangkuni, dan juga para
Kurawa.
Patih Yudana meminta Arya
Wrekodara untuk tetap menjadi raja di Gilingwesi. Namun, Arya Wrekodara secara
tegas menolak dan tetap mengembalikan takhta kepada Patih Yudana. Maka, Patih
Yudana pun kembali bergelar Prabu Yudana, sedangkan jabatan patih kembali diisi
Patih Raksaka.
Prabu Yudana merasa dirinya
hanyalah seorang raja lemah yang tidak mampu berdiri sendiri. Mulai saat itu,
ia pun menyatakan Kerajaan Giingwesi adalah bawahan Kerajaan Amarta. Prabu
Puntadewa menolak menjadi atasan negara lain, namun Prabu Yudana terus
mendesaknya. Akhirnya, Prabu Puntadewa setuju menjadi pelindung Kerajaan
Gilingwesi, namun demikian Prabu Yudana tetap diberi hak penuh untuk mengatur
negaranya sendiri. Prabu Yudana berterima kasih dan berjanji akan memberikan
upeti setiap tahun kepada Kerajaan Amarta. Prabu Puntadewa menjawab, soal upeti
sedikit saja, yang penting pembangunan di Kerajaan Gilingwesi harus diutamakan.
Bagaimanapun juga Kerajaan Gilingwesi adalah negeri leluhur para Pandawa,
sehingga Prabu Puntadewa sangat berterima kasih apabila Prabu Yudana dapat
memimpin dengan bijaksana. Prabu Yudana menyatakan sanggup dan ia pun mengadakan
jamuan untuk semua tamunya itu.
------------------------------
TANCEB KAYON
------------------------------
Catatan : Dalam Serat Purwabharata tidak disebutkan adanya tokoh bernama
Raden Antawasesa. Adapun Raden Antawasesa saya tambahkan dalam kisah di atas berdasarkan
umumnya yang berlaku di pedalangan.
Untuk kisah kematian Prabu Watugunung bisa dibaca di sini.
Untuk kisah pertempuran antara Prabu Parikenan dan Prabu Sikala bisa
dibaca di sini.
Untuk kisah pelantikan Prabu Danadewa leluhur Prabu Yudana bisa dibaca di sini.
Luar biasa..joss
BalasHapusAmin ... terima kasih
BalasHapusLakon carangan yg ketika perang bharatayudha aryawerkodara diangkat mnjdi raja sementara ketika melawan duryudana dalam lakon jaya pukuan gugurnya duryudana karena pada saat perang yg bersyarat raja dan raja mka diangktlah bimasena mnjdi raja sementara di gilingwesi bergelar prabu tuwisesa atau prabu dandunwacana
BalasHapus